Bab 88. Kabar Tak TerdugaRumah sakit itu begitu sunyi, hanya suara langkah kaki para perawat yang sesekali terdengar menggema di lorong-lorong panjang. Gandha berjalan mondar-mandir di depan ruang perawatan dengan wajah cemas. Tangannya terkepal, matanya terus mengarah ke pintu ruangan di mana istrinya, Lisa, tengah dirawat. Bayangan wajah Lisa yang pucat ketika tiba-tiba pingsan di rumah tadi masih terbayang jelas di benaknya.“Ya Tuhan, jangan sampai ada apa-apa,” gumamnya pelan, lebih seperti berbicara pada dirinya sendiri.Tak lama, pintu ruangan terbuka dan seorang dokter wanita keluar sambil membuka masker. Wajahnya tampak ramah, namun ada sesuatu di matanya yang membuat Gandha penasaran. Pria itu segera menghampiri.“Bagaimana istri saya, Dok?” tanyanya buru-buru.Dokter itu tersenyum, mencoba menenangkan Gandha. “Tenang, Pak. Kondisi istri Bapak sekarang sudah sadar dan cukup stabil. Kami tadi sudah melakukan pemeriksaan awal.”Gandha mengangguk cepat. “Syukurlah. Saya boleh
Di tahun Ketiga pernikahan mereka, Lisa mulai berpikir tentang cara lain untuk membantu warga kampung. Dia ingin anak-anak dari keluarga di kampung ini mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Ia pun mengutarakan ide untuk mendirikan sebuah yayasan amal. Dengan yayasan ini, anak-anak berbakat dari desa dapat bersekolah di kota dengan layak.Tentu saja, apapun yang ingin dilakukan Lisa, selalu mendapatkan dukungan penuh dari Gandha. Dia sangat setuju dengan usul Lisa. Semua seperti biasanya berjalan lancar.Namun, di balik semua kebahagiaan dan kesuksesan yang mereka capai, Lisa mulai merasa gelisah. Hingga tahun keempat pernikahan mereka, ia dan Gandha belum juga dikaruniai anak. Gandha sendiri tidak pernah mempermasalahkannya, tetapi Lisa merasa ada yang kurang. Ia sering merenung dan bertanya-tanya apakah ini adalah takdir mereka.Dua bulan lagi, mereka akan masuk tahun kelima pernikahan mereka, Lisa akhirnya mengutarakan sesuatu yang selama ini dipendamnya. Malam itu, saat mereka du
Sudah lebih dari setahun sejak kasus Duha berakhir. Segalanya berangsur-angsur kembali tenang, meskipun bayang-bayang dari kejadian itu masih menghantui beberapa orang. Munir, kepala desa yang selama ini dihormati, ternyata terlibat dalam skenario gelap yang dijalankan oleh Ida. Semua yang terlibat kini menerima balasan atas perbuatan mereka. Namun, ada satu yang tak bisa dilupakan oleh Lisa—Yasmin. Saudari tirinya itu, yang tak hanya harus menanggung hukuman atas perbuatannya terhadap Lisa, juga harus menghadapi tuntutan di tempat kerjanya.Yasmin, yang tak hanya dihukum oleh hukum, kini dihantui oleh beban mental yang semakin berat. Tekanan itu membuatnya tak bisa bertahan lagi, dan akhirnya ia harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit jiwa.Pagi itu, di meja makan yang sunyi, Gandha menatap Lisa dengan mata yang penuh perhatian. Sambil menyantap sarapannya, dia memutuskan untuk memecah keheningan.“Sayang,” ucapnya lembut, “besok kamu ikut ke kampung, kan?”Lisa menganggu
Langkah kaki Lisa terasa berat ketika ia mengikuti Gandha turun dari mobil. Di pelataran Pengadilan Agama itu, udara siang yang sedikit panas justru terasa dingin di kulitnya. Ada sesuatu yang menggantung di dadanya, entah itu rasa gugup, takut, atau justru haru. Rasanya semuanya bercampur jadi satu, memenuhi ruang dadanya tanpa bisa dikendalikan.Di depan pintu masuk, Nico sudah berdiri menunggu, lengkap dengan jas rapi dan map di tangannya. Saat melihat kedatangan mereka, pria itu langsung menyunggingkan senyum lebar.“Wah, akhirnya datang juga nih pasangan pengantin baru,” sapa Nico santai, seakan-akan peristiwa ini bukanlah hal yang besar.Gandha hanya mengangguk, sementara Lisa berusaha memaksakan senyuman kecil meski jantungnya berdetak tak karuan.“Semua sudah siap, Bro?” tanya Gandha.“Siap, Bos,” jawab Nico sambil mengangkat map-nya. “Berkas lengkap, saksi lengkap, tinggal sidang istbat sebentar lagi. Hakimnya juga kebetulan orang yang saya kenal baik, insya Allah semua berjal
Lisa menarik napas dalam sebelum akhirnya benar-benar masuk ke dalam mobil, meninggalkan Andrian yang terlihat penuh penyesalan di belakangnya.Sejak pagi, pikirannya sudah begitu penuh dengan berbagai hal. Masalah demi masalah seperti tidak mau berhenti datang kepadanya, dan meski satu per satu mulai terselesaikan, tetap saja ada rasa berat yang menumpuk di dadanya. Hari itu, Lisa tahu, akan menjadi hari yang panjang dan berat. Tapi, setidaknya, dia bersyukur karena masih ada orang-orang yang benar-benar peduli padanya. Salah satunya Gandha.“Sedikit lagi selesai,” gumam Lisa pelan, seolah ingin menenangkan dirinya sendiri.Saat dia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam, Lisa terkejut. Di dalam mobil itu, sudah ada Gandha yang duduk tenang di kursi penumpang belakang. Lisa sontak memandang ke sekeliling, mencari keberadaan Iyam dan supir lainnya yang tadi menjemputnya, tapi yang ditemukannya hanya senyuman Gandha.“Mas… sejak kapan Mas Gandha ada di sini? Terus, Iyam dan—”“Mereka ku
"Jangan pernah bicara tentang suamiku seperti itu!" suaranya gemetar, bukan karena ragu, tetapi karena terlalu banyak emosi yang bercampur dalam dadanya.Andrian terdiam. Matanya menatap Lisa dengan luka yang tak bisa disembunyikan, tetapi kali ini, ia tahu—tidak ada kesempatan untuknya, tetapi dia tetap harus terus mencoba.Lisa mengepalkan tangannya erat, napasnya memburu. Dadanya naik-turun seiring emosi yang ia tahan sejak lama mendidih ke permukaan. Ia menatap Andrian tajam, sorot matanya menyala seperti api yang siap membakar."Mas Andrian!" suaranya melengking, membuat udara di sekitar mereka terasa lebih panas. "Jangan sekali-kali kamu mengungkit masalah pernikahanku!"Andrian tertegun, tetapi sebelum ia sempat berkata apa pun, Lisa melangkah maju. Jarak mereka semakin dekat, seakan hanya menyisakan ketegangan di antara mereka."Bukankah jika kamu mau, kamu bisa membuat pernikahanku batal waktu itu?" Lisa menatapnya penuh amarah. "Tapi apa yang kamu lakukan?!"Andrian membuka m