"Bersakit-sakit dahulu, menikah kemudian." —Budak Korporat.
Binar berangkat menuju rumah orang tuanya pagi-pagi sekali. Mungkin kalau ia berangkat sepagi ini, ia bisa segera menghentikan perjodohan ini sebelum keluarga Mas Banyu datang ke rumah, memberi pengertian ke Ibu dan Bapak bahwa hal ini tidak seharusnya terjadi.
Setelah memaksa Ibunya untuk jujur perihal perjodohan kemarin hari, akhirnya Ibu mau mengaku juga. Tetapi, ternyata hal itu tidak cukup untuk memaksa Ibu mau menghentikannya sekaligus. Kata Ibu, kalau itu maunya Binar, artinya Binar harus datang Minggu ini.
Huft, untung Ibu sendiri, pikirnya.
Binar menengok jam tangannya, menunjukkan waktu masih pukul 07.20 pagi. Setelah menyerahkan helm ke Bapak Ojol, ia beranjak menuju pelataran rumahnya, dan mendapati mobil dan sandal-sepatu yang tidak familiar dimatanya.
Tunggu, please, jangan bilang ... Binar berharap apa yang dipikirkannya tidak terjadi.
Seketika itu juga terdengar suara riuh rendah dari ruang tamu.
Astaga! Kenapa mereka datang sepagi ini? Memangnya mau ngapain? Sekalian apel pagi? Apa memang biasanya acara seperti ini diadakan pagi-pagi sekali?
Lagipula, ini kan hari Minggu! Apa mereka tidak lari pagi dulu sekeluarga ke alun-alun, atau, ke GBK, misalnya? Binar mulai menarik napas panjang-panjang.
Kalau sudah seperti ini, apa yang harus dilakukannya sekarang? Apa lebih baik ia kembali ke tempatnya tinggal dan beralasan kalau ia tiba-tiba sakit kepala?
Sepertinya itu tidak sepenuhnya bohong juga, karena Binar mulai benar-benar merasa sakit kepala!
Tepat ketika Binar berbalik arah, ada suara yang memanggil Binar dari belakang.
"Binar, mau ke mana?"
Binar menengok, dasar Nila sialan! Kutuknya dalam hati.
"Eh? Enggak papa, tadi mau nengok pohon mangga. Ternyata udah mulai berbuah lagi, ya?" jawab Binar beralasan.
"Oh, kirain mau kabur," goda Nila iseng. "Masuk, gih. Udah ditungguin tuh sama calon dan camer! Hahaha."
Binar berbisik tanpa suara sembari mengepalkan tangannya, "Awas, ya!" yang kemudian dijawab dengan tawa puas Nila.
Binar memasuki ruang tamu dengan ragu. Wah, ramai sekali! Ia kira hanya akan ada dirinya, Mas Banyu, dan orang tua mereka.
Kenapa Raka dan Nila ikut ke sini juga? Ia melihat sekeliling ruangan dan mendapati, astaga, kenapa abang-abangnya, dan, keluarga kecil mereka ada di sini juga?!
Ia sebelumnya sempat bertanya ke Nila tentang tujuan keberadaannya di sini. Nila dengan cengengesan dan bangga menjawab, "Tentu saja aku tidak akan melewatkan salah satu momen bersejarah dalam kehidupan seorang Binar Jati Rahayu! Lagipula, sah-sah saja aku datang ke sini, aku ini, kan, adik iparnya Mas Banyu."
Bagus. Bahkan sahabatnya sendiri tidak berniat untuk menyelamatkannya.
Kalau ketiga abangnya—Kak Bagas, dan abang kembarnya, Kak Janu dan Kak Jakti—ditanyakan hal yang sama, Binar yakin jawabannya tak akan jauh berbeda.
Ditengah sambutan orang-orang kepadanya, Ibu menghampiri dan mengajaknya duduk di sebelah Ibu dan Bapak.
Dari posisi ini, ia dapat melihat orangtua Raka—Tante Ratih dan Om Danu—dan, tentu saja, itu pasti Mas Banyu.
Mas Banyu mengenakan setelan kemeja rapi berwarna navy dan celana bahan. Dari tampangnya, terlihat rasa canggung dan bingung menyelimuti wajahnya, tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan Binar saat ini.
Tapi dilihat-lihat, kenapa wajah Mas Banyu terlihat asing, namun, juga familiar?
Binar tidak pernah melihat Mas Banyu lagi setelah bertahun-tahun lamanya, karena Mas Banyu memang sudah tidak lagi tinggal bersama keluarganya sejak kuliah.
Itulah mengapa meskipun saat SMA ia sering bermain—atau lebih tepatnya, belajar, karena kedua sahabatnya yang memang ambisius sekali kalau soal akademik—ke rumah Raka, ia tidak pernah mendapati Mas Banyu berada di sana.
Banyu melihat perempuan yang akan dijodohkan dengannya secara seksama. Binar mengenakan blouse warna pastel polos dan celana panjang warna senada, dengan rambut yang digerai sebahu dan dibiarkannya tidak disisir rapi. Riasannya dibiarkan polos, tidak begitu mencolok.
Banyu jadi bertanya-tanya, Binar ini memang orangnya anti ribet, atau, merasa 'ogah' untuk datang ke acara perjodohan semacam ini? Kalau jawabannya yang terakhir, baguslah kalau begitu, artinya mereka sepakat untuk menolak perjodohan ini.
"Baik, jadi sebelumnya, Bapak, Ibu, Om Danu, dan Tante Ratih minta maaf atas ketidaknyamanan Nak Ayu dan Nak Banyu, pasti kaget, ya, tiba-tiba dijodohkan begini?" Bapak memulai percakapan dengan menyebut nama Ayu—nama panggilan kecil Binar—dan dengan nada yang sangat kalem.
Bukan kaget lagi, Pak! Rasanya Binar kayak mau meninggal! Dipikir-pikir, pura-pura meninggal di saat seperti ini kayaknya bukan pilihan yang buruk-buruk amat. Dicoba pun tak ada salahnya. Apa Binar coba saja, ya?
Banyu tidak bersuara, sampai-sampai ia takut suara degup jantungnya terdengar di telinga orang-orang. Kalau keluar di saat-saat seperti ini dengan alasan mencari udara segar itu termasuk enggak sopan, ya?
Bapak melanjutkan, "Tapi, Bapak dan Ibu terpaksa melakukan hal ini demi kebaikan Nak Ayu dan Nak Banyu juga. Nak Ayu dan Nak Banyu, kan, sudah tiga puluh lebih umurnya, jadi alangkah lebih baik jika disegerakan."
Bapak, umur Binar masih tiga puluh pas! Jangan dilebih-lebihkan seperti itu, deh. Kebiasaan lupa umur anak sendiri. Ditambah, ini sebenarnya demi kebaikan Binar atau kebaikan Bapak-Ibu? Gerutu Binar dalam hati.
Waduh, ini Om Adi kenapa bahas-bahas umur segala. Lagipula, umur segitu enggak tua-tua amat, kok. Masih banyak yang umur segitu masih melajang di luar sana. Ya, di luar sana sih, bukan di sini.
Kali ini, Ayah ikut bersuara, "Om Adi benar. Ayah sama Om Adi juga sudah pada pensiun, tinggal menikmati hari tua saja. Tapi, khususnya Ayah, kalau belum melihat Banyu menikah, rasa-rasanya tanggung jawab Ayah sebagai orang tua belum lunas."
"Bunda setuju. Soal umur juga enggak ada yang tahu, kamu mengerti, kan, maksud Bunda?" tambah Bunda, yang sepertinya lebih mengarah kepada Banyu.
Wah, kalau orang tua sudah bawa-bawa usia dalam konteks seperti ini, Banyu juga tidak berani melawan.
Namun, berbeda dengan Binar, pada saat-saat menegangkan seperti ini rasanya ia ingin menumpahkan minyak ke dalam api. Kalau sudah ada api begini, kenapa tidak sekalian kebakaran saja?
"Bapak, Ibu, Om, Tante, sebelumnya Ayu minta maaf karena sudah lancang. Tapi, Ayu ingin menolak perjodohan ini. Ayu sepertinya juga tidak ada niat untuk menikah sampai hari ini," ujar Binar dengan intonasi suara sehalus dan sesopan mungkin.
"Tidak ada yang namanya kecelakaan. Semua yang terjadi berawal dari keputusan yang disadari." —Kutipan motivasi"Udah selesai, Mas?" Binar menyalakan microwave untuk memanaskan makanan instan yang biasa ia stok kalau-kalau ia sedang malas memasak. "Kita makan nasi teriyaki aja ya, Mas. Rasanya kayak bukan makanan instan, lho."Mas Banyu yang baru saja keluar dari toilet dan masuk ke dapur, hanya menyetujui apapun yang Binar siapkan. "Iya. Mas ikut kamu aja."Tunggu, kenapa Mas Banyu jadi menyebut dirinya 'Mas' lagi? Binar baru sadar sepanjang hari ini Mas Banyu menyebut dirinya dengan sebutan 'Mas'. Apakah karena status pernikahan mereka sudah legal di mata hukum?Binar mengambil nasi teriyaki instan dari microwave, lalu membawanya ke arah Mas Banyu yang tidak jauh di belakangnya. Tanpa ia sadari, kakinya tersangkut gaunnya sendiri—dan ia sempat lupa bahwa dirinya masih memakai gaun pernikahan dan belum menggantinya—yang pa
"Cie, udah ada ayank. Uhuk." —Teman nongkrong 'Saya nikahkan dan kawinkan Binar Jati Rahayu binti Adi Sucipto dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.' Banyu terus merapalkan kalimat itu dalam hati, berkonsentrasi agar tidak terjadi kesalahan. Akad sebentar lagi akan dimulai. Keluarga dan kerabat sudah hadir di lokasi yang tidak jauh dari gedung tempat pesta pernikahan diadakan. Penghulu duduk di antara Banyu dan Om Adi yang duduk berhadapan. Hari itu akhirnya datang juga. Proses persiapan terasa begitu cepat walaupun cukup melelahkan. Banyu dan Binar memutuskan untuk menyewa gedung pernikahan yang cukup terkenal di kota. Gedungnya yang berwarna putih memiliki aksen elegan dan modern. Areanya yang cukup luas—setidaknya cukup luas untuk menampung tidak hanya kenalan Binar dan Banyu, namun juga kenalan orang tua keduanya yang terlampau banyak—memiliki dua bagian, yakni indoor dan outdoor. "Bapak, mohon lebih tenang, ya. Penguc
“Orang bertanya belum tentu bisa diartikan perhatian. Bisa jadi hanya penasaran biasa.” —Single yang tidak mudah terpengaruh oleh perasaan Suka mengatur dan suka ngambek sendiri? Wah, Mas Banyu ini benar-benar, ya. Belum menikah saja sudah mencari keributan. Apalagi nanti jika mereka sudah resmi menikah? Binar menatap lurus ke arah Mas Banyu. Matanya melotot. “Mas, mau gelut?” Alis Mas Banyu berkerut, pura-pura tidak mengerti. “Gelut? Yang mirip cacing itu?” Binar menganga. Oh, ini mas-mas bisa melucu juga, ya, ternyata?! Sontak tawa Angga meledak, tangannya menunjuk-nunjuk Mas Banyu. “HA HA HA! Bagus juga selera humor calon suami kamu, Nar!” “Mas, tolong, ya. Itu belut! Belut sama cacing apa miripnya, sih? Astaga,” Binar mendengus kesal, lalu memutar bola matanya. Mas Banyu yang kelihatannya masih belum puas menggoda Binar, berkata, “Emang enggak mirip, ya? Kan, sama-sama enggak punya k
“Siapa di dunia ini yang jalan dan makan hanya berdua dengan kakaknya teman? Status macam apa itu?” —Netizen kepo Binar dan Mas Banyu terdiam, memandang satu sama lain. Situasi apa ini? Kenapa tiba-tiba Binar tidak mampu berpikir? “Ca—“ sebelum menjawab, jawaban Mas Banyu terpotong. “Kakaknya teman. He he,” potong Binar mengambil alih. “Kakaknya teman? Siapa?” tanya Angga heran, alisnya berkerut. “Itu, loh. Raka. Kamu tahu Raka, kan?” kata Binar, berusaha menyelamatkan dirinya sendiri. Meskipun sebenarnya agak tidak masuk akal juga kalau dirinya makan berdua dengan … kakaknya Raka. Angga berpikir sesaat. Kemudian membalas, “Oh, Raka yang sering banget nempel sama kamu itu, ya? Sama siapa, tuh, satu lagi yang setengah bule? Nila, ya?” “Giliran cewek cakep aja. Cepat banget ingatnya,” sindir Binar. Lalu ia melanjutkan, “Oh, iya. Dia seperempat bule, bukan setengah. Hanya ingin membenarkan. Dia juga
“Segala yang dekat itu tidak selalu harus dimiliki.” —Pembelajar dari masa lalu.“Kalian, kok, bisa dekat?” tanya Banyu penasaran, berusaha menguatkan diri.Binar dan Angga menoleh ke arah satu sama lain, saling menatap, sama-sama berpikir. Hm … mulai dari mana, ya?“Kayak … biasa aja, sih, Mas. Seperti orang-orang yang dekat pada umumnya. Kita bisa dekat karena … terjadi secara natural aja,” jawab Binar mencoba memilah kata-kata, bingung antara ingin menjawab pertanyaan Mas Banyu atau mengalihkan fokus ke gurame asam manis di bawahnya.“Dari kuliah enggak, sih?” Angga menambahkan.“Iya benar,” Binar mencoba menyobek daging ayam kalasannya dengan garpu, “Pas itu kamu tiba-tiba bilang punya kenalan orang penerbitan. Kayaknya dari situ kita mulai dekat.”“Sebelumnya juga udah dekat enggak, sih?” Angga mengingat-
“Selera, selera. Emangnya Ind*mie!” —Orang yang sudah melepas masa jomlo, kepada jomlo yang sangat pemilih. Tampak seorang pria datang dari pintu masuk rumah makan. Penampilannya modis dari ujung kepala sampai kaki khas anak muda ibukota. Sepatu kets, celana khaki, kaos, jaket kulit, kacamata yang menggantung pada hidungnya yang lancip, dan rambut gondrong yang diikat ke belakang Wajahnya? Jangan ditanya. Banyu bahkan yakin kedatangan pria itu pasti sudah membuat semua wanita di restoran menoleh, berusaha mencuri-curi pandang. Pria itu terus berjalan. Semakin dekat, dan semakin dekat. Matanya terus mengarah pada meja makan yang ditempati Binar dan Banyu. Atau, lebih tepatnya, ke arah Binar. Tunggu, Banyu enggak salah lihat? “Ini Binar, kan?” sapa pria itu, berdiri tepat di samping Binar. Binar yang masih fokus menatap ponselnya, kepalanya menengadah mencari sumber suara. Binar terkejut, “