Share

Tunor Bagian 2

"Emangnya enggak iri melihat yang lain sudah pada nikah dan punya anak?" —Mayoritas teman di reuni angkatan.

"Ayu sayang, kami bukannya ingin kalian menikah hari ini atau besok, kalian menikah tahun depan juga tidak masalah. Tetapi alangkah baiknya untuk direncanakan dari sekarang. Lebih cepat direncanakan lebih baik," jawab Ibu.

"Bukan, Bu. Maksudnya, Ayu memang tidak ada niat untuk menikah. Maksudnya ... Ayu enggak akan menikah."

Tiba-tiba suasana menjadi hening. Tidak ada yang mengeluarkan komentar dalam beberapa jeda. Bapak, Ibu, Om Danu, dan Tante Ratih hanya mematung untuk sesaat. Binar tidak berani melihat sisanya, tidak bisa membayangkan reaksi apa yang akan ia terima.

"Maksudnya, Nak?" tanya Bapak.

"Ayu hanya ... tidak ingin menikah, Pak, Bu. Ayu sudah merasa nyaman dan aman dengan kehidupan Ayu yang sekarang. Ayu sudah merasa sangat cukup," terang Binar, masih sehalus dan sesopan mungkin.

Tentu saja, Bapak dan Ibu tidak akan mengerti, sama halnya dengan Om Danu, Tante Ratih, Kak Bagas, Kak Janu, Kak Jakti, Raka, Nila, dan, mungkin Mas Banyu pun begitu.

Namun, tidak sama sekali. Banyu sangat memahami semua yang dibicarakan Binar. Meskipun sebelumnya ia sempat terperangah bukan main ketika mendengar ungkapan Binar yang tiba-tiba, dan berpikir bahwa wanita di depannya ini seperti sudah gila—bahkan mungkin melebihi Bundanya—dengan bicara terang-terangan tentang keinginannya yang di luar nalar kebanyakan orang. Tetapi, anehnya, Banyu mengerti.

Banyu sangat mengerti. 

Karena mungkin itu pula yang dirasakan Banyu saat ini. Sampai-sampai ia rasanya ingin tepuk tangan dan memuji Binar atas keberaniannya mengungkapkan isi hatinya.

"Iya, tapi kenapa? Sayang, apa jangan-jangan ... kamu mandul? Makanya kamu memutuskan untuk tidak menikah?" tanya Ibu.

"Enggak, Ibu. Enggak seperti itu. Ayu hanya merasa kehidupan pernikahan dan rumah tangga itu bukan untuk Ayu. Ayu hanya bahagia hidup seperti sekarang," jawab Binar memelas.

"Nak Ayu, terus kalau Nak Ayu tiba-tiba ingin menikah bagaimana? Lalu, nanti kalau sudah tua seperti Bapak siapa yang akan mengurus? Nak Ayu kalau ngomong hati-hati, ya," ujar Bapak, yang kelihatannya mulai kehilangan kesabaran.

"Ibu, Bapak, sampai di usia segini pun Ayu masih tidak ingin menikah, dan Ayu enggak pernah merasa kesepian, kok. Ayu masih punya Bapak, Ibu, Kak Bagas, Kak Janu, Kak Jakti, tiga Mbak Ipar, keponakan-keponakan, Raka, Nila, kurang apalagi? Percaya sama Ayu, Pak, Bu, Ayu enggak akan merasa kesepian bahkan sampai tua nanti," jawab Binar, masih memelas.

Bapak dan Ibu tidak mampu berkata-kata. Begitu pula dengan orang-orang di ruangan itu, mereka hanya berani menonton.

Tetapi, entah kenapa Banyu seperti memiliki dorongan untuk ikut menunjukkan apa yang ia rasakan. Kalau sudah terlanjur kena gerimis seperti ini, lebih baik disiram sampai basah saja sekalian.

Banyu menarik napas dalam-dalam sebelum membuka mulut, "Bun, Yah, Banyu izin ingin bilang sesuatu," Banyu memberi jeda sesaat, kemudian melanjutkan, "Sebelumnya Banyu minta maaf yang sebesar-besarnya untuk Ayah dan Bunda, sama seperti Binar, untuk saat ini Banyu juga tidak ingin menikah."

Ayah, Bunda, dan satu ruangan melongo, tak terkecuali Binar. 

"Banyu, jangan aneh-aneh, ya, kamu!" seru Bunda.

"Kamu ingat, tuh, umur kamu berapa?" kata Ayah menambahi.

Hm, bahas umur lagi. Banyu menarik napas perlahan sebelum mulai bicara, "Ayah, Bunda, Banyu sudah dewasa, sudah bisa mengurus diri sendiri. Binar pun begitu. Kami bisa mencari pasangan sendiri, tidak perlu melalui perjodohan seperti ini."

"Iya, tapi kapan, Nak?" balas Bunda, mulai kehilangan kesabaran.

"Nanti ada waktunya, yang pasti bukan sekarang-sekarang ini, Bun."

"Aduh, Bunda tidak mengerti, ya, sama kamu. Kamu sudah mapan, tapi enggak punya waktu untuk cari jodoh. Giliran dicarikan, malah menolak. Terus maunya bagaimana?"

Ya, tentu saja membatalkan perjodohan ini. Banyu sungguh ingin mengatakan itu dengan keras, tetapi melihat gelagat orang tuanya dan suasana di dalam ruangan yang terasa semakin canggung, rasanya menjawab seperti itu hanya akan sia-sia.

Apakah di antara sekian banyak orang di sini tidak ada yang ingin berkoalisi dengan Banyu dan Binar? Kenapa mereka hanya diam saja? Kata orang diam itu memang emas, sih. Tapi, kan, enggak begini juga.

Pelan-pelan  terdengar suara isak tangis. Banyu, Binar, dan seisi ruangan menengok ke arah suara secara bersamaan, terperangah.

Astaga, Ibu! Waduh, mulai drama, nih. Bahaya. Kalau situasinya sudah seperti ini, Binar bicara apa pun akan selalu salah. Selain itu, Binar juga enggak cukup tega untuk melawan ketika Ibunya sudah mengeluarkan senjata air mata.

Iya, menurut Binar—dan, tentu saja, abang-abangnya—tangisan Ibu adalah senjata terkuat dalam krisis apapun dan disaat yang sama merupakan kelemahan terparah bagi Binar—dan abang-abangnya.

Sebelum Ibu mengeluarkan jurus-jurus pamungkas berikutnya yang kemungkinan besar bisa ditebak oleh Binar, Kak Bagas, abang tertua yang memiliki akreditasi sebagai anak paling berbakti dan mulia di mata Bapak dan Ibu, akhirnya ikut menengahi.

"Ibu, tarik napas pelan-pelan, ya, Bu. Ikutin Bagas," Kak Bagas menarik napas pelan dan panjang, diikuti oleh Ibu. Kemudian menghembuskannya perlahan, lalu mengulanginya sampai tiga kali. Kenapa Kak Bagas menjadi seperti instruktur senam ibu-ibu kompleks perumahan begini?

Kak Janu, yang titelnya tidak jauh berbeda dengan Kak Bagas—mungkin hanya berbeda setengah level dibawahnya—dan yang menurut orang-orang, paling ganteng di keluarga ini dan terus bertambah kegantengannya meskipun sudah lewat kepala tiga, turut membantu menenangkan, "Tenang dulu, ya, Bu. Yang sabar. Sini Janu pijitin." 

"Iya, Bu, yang sabar. Ingat, orang sabar disayang Tuhan," tambah Kak Jakti, yang sebenarnya sama gantengnya seperti Kak Janu, tapi jadi tidak begitu kelihatan karena kekonyolan dan kejahilannya yang seringkali salah sasaran. 

Tentu saja, tingkah Kak Jakti tadi langsung dibalas dengan tatapan memicing dari Bapak, memberi pesan agar jangan ikut memancing emosi Ibu.

Dalam waktu singkat, suasana jadi mengharu biru, semua perhatian tertuju pada Ibu dan mulai berbagi tugas untuk menenangkan Ibu yang baru saja mengetahui berita sial tentang putri satu-satunya yang tidak ingin menikah.

Di sudut ruangan, Binar bisa melihat kedua sahabatnya yang hanya geleng-geleng kepala, mungkin sembari berpikir, 'Sudah gila ini anak.'

Persis di depannya, Binar bisa melihat Mas Banyu yang hanya menatapnya penuh tanda tanya. 

Dan tanpa sepengetahuan siapa pun, dalam benaknya, Binar sudah merencanakan sebuah ide gila untuk menyelesaikan permasalahan hari ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status