"Emangnya enggak iri melihat yang lain sudah pada nikah dan punya anak?" —Mayoritas teman di reuni angkatan.
"Ayu sayang, kami bukannya ingin kalian menikah hari ini atau besok, kalian menikah tahun depan juga tidak masalah. Tetapi alangkah baiknya untuk direncanakan dari sekarang. Lebih cepat direncanakan lebih baik," jawab Ibu.
"Bukan, Bu. Maksudnya, Ayu memang tidak ada niat untuk menikah. Maksudnya ... Ayu enggak akan menikah."
Tiba-tiba suasana menjadi hening. Tidak ada yang mengeluarkan komentar dalam beberapa jeda. Bapak, Ibu, Om Danu, dan Tante Ratih hanya mematung untuk sesaat. Binar tidak berani melihat sisanya, tidak bisa membayangkan reaksi apa yang akan ia terima.
"Maksudnya, Nak?" tanya Bapak.
"Ayu hanya ... tidak ingin menikah, Pak, Bu. Ayu sudah merasa nyaman dan aman dengan kehidupan Ayu yang sekarang. Ayu sudah merasa sangat cukup," terang Binar, masih sehalus dan sesopan mungkin.
Tentu saja, Bapak dan Ibu tidak akan mengerti, sama halnya dengan Om Danu, Tante Ratih, Kak Bagas, Kak Janu, Kak Jakti, Raka, Nila, dan, mungkin Mas Banyu pun begitu.
Namun, tidak sama sekali. Banyu sangat memahami semua yang dibicarakan Binar. Meskipun sebelumnya ia sempat terperangah bukan main ketika mendengar ungkapan Binar yang tiba-tiba, dan berpikir bahwa wanita di depannya ini seperti sudah gila—bahkan mungkin melebihi Bundanya—dengan bicara terang-terangan tentang keinginannya yang di luar nalar kebanyakan orang. Tetapi, anehnya, Banyu mengerti.
Banyu sangat mengerti.
Karena mungkin itu pula yang dirasakan Banyu saat ini. Sampai-sampai ia rasanya ingin tepuk tangan dan memuji Binar atas keberaniannya mengungkapkan isi hatinya.
"Iya, tapi kenapa? Sayang, apa jangan-jangan ... kamu mandul? Makanya kamu memutuskan untuk tidak menikah?" tanya Ibu.
"Enggak, Ibu. Enggak seperti itu. Ayu hanya merasa kehidupan pernikahan dan rumah tangga itu bukan untuk Ayu. Ayu hanya bahagia hidup seperti sekarang," jawab Binar memelas.
"Nak Ayu, terus kalau Nak Ayu tiba-tiba ingin menikah bagaimana? Lalu, nanti kalau sudah tua seperti Bapak siapa yang akan mengurus? Nak Ayu kalau ngomong hati-hati, ya," ujar Bapak, yang kelihatannya mulai kehilangan kesabaran.
"Ibu, Bapak, sampai di usia segini pun Ayu masih tidak ingin menikah, dan Ayu enggak pernah merasa kesepian, kok. Ayu masih punya Bapak, Ibu, Kak Bagas, Kak Janu, Kak Jakti, tiga Mbak Ipar, keponakan-keponakan, Raka, Nila, kurang apalagi? Percaya sama Ayu, Pak, Bu, Ayu enggak akan merasa kesepian bahkan sampai tua nanti," jawab Binar, masih memelas.
Bapak dan Ibu tidak mampu berkata-kata. Begitu pula dengan orang-orang di ruangan itu, mereka hanya berani menonton.
Tetapi, entah kenapa Banyu seperti memiliki dorongan untuk ikut menunjukkan apa yang ia rasakan. Kalau sudah terlanjur kena gerimis seperti ini, lebih baik disiram sampai basah saja sekalian.
Banyu menarik napas dalam-dalam sebelum membuka mulut, "Bun, Yah, Banyu izin ingin bilang sesuatu," Banyu memberi jeda sesaat, kemudian melanjutkan, "Sebelumnya Banyu minta maaf yang sebesar-besarnya untuk Ayah dan Bunda, sama seperti Binar, untuk saat ini Banyu juga tidak ingin menikah."
Ayah, Bunda, dan satu ruangan melongo, tak terkecuali Binar.
"Banyu, jangan aneh-aneh, ya, kamu!" seru Bunda.
"Kamu ingat, tuh, umur kamu berapa?" kata Ayah menambahi.
Hm, bahas umur lagi. Banyu menarik napas perlahan sebelum mulai bicara, "Ayah, Bunda, Banyu sudah dewasa, sudah bisa mengurus diri sendiri. Binar pun begitu. Kami bisa mencari pasangan sendiri, tidak perlu melalui perjodohan seperti ini."
"Iya, tapi kapan, Nak?" balas Bunda, mulai kehilangan kesabaran.
"Nanti ada waktunya, yang pasti bukan sekarang-sekarang ini, Bun."
"Aduh, Bunda tidak mengerti, ya, sama kamu. Kamu sudah mapan, tapi enggak punya waktu untuk cari jodoh. Giliran dicarikan, malah menolak. Terus maunya bagaimana?"
Ya, tentu saja membatalkan perjodohan ini. Banyu sungguh ingin mengatakan itu dengan keras, tetapi melihat gelagat orang tuanya dan suasana di dalam ruangan yang terasa semakin canggung, rasanya menjawab seperti itu hanya akan sia-sia.
Apakah di antara sekian banyak orang di sini tidak ada yang ingin berkoalisi dengan Banyu dan Binar? Kenapa mereka hanya diam saja? Kata orang diam itu memang emas, sih. Tapi, kan, enggak begini juga.
Pelan-pelan terdengar suara isak tangis. Banyu, Binar, dan seisi ruangan menengok ke arah suara secara bersamaan, terperangah.
Astaga, Ibu! Waduh, mulai drama, nih. Bahaya. Kalau situasinya sudah seperti ini, Binar bicara apa pun akan selalu salah. Selain itu, Binar juga enggak cukup tega untuk melawan ketika Ibunya sudah mengeluarkan senjata air mata.
Iya, menurut Binar—dan, tentu saja, abang-abangnya—tangisan Ibu adalah senjata terkuat dalam krisis apapun dan disaat yang sama merupakan kelemahan terparah bagi Binar—dan abang-abangnya.
Sebelum Ibu mengeluarkan jurus-jurus pamungkas berikutnya yang kemungkinan besar bisa ditebak oleh Binar, Kak Bagas, abang tertua yang memiliki akreditasi sebagai anak paling berbakti dan mulia di mata Bapak dan Ibu, akhirnya ikut menengahi.
"Ibu, tarik napas pelan-pelan, ya, Bu. Ikutin Bagas," Kak Bagas menarik napas pelan dan panjang, diikuti oleh Ibu. Kemudian menghembuskannya perlahan, lalu mengulanginya sampai tiga kali. Kenapa Kak Bagas menjadi seperti instruktur senam ibu-ibu kompleks perumahan begini?
Kak Janu, yang titelnya tidak jauh berbeda dengan Kak Bagas—mungkin hanya berbeda setengah level dibawahnya—dan yang menurut orang-orang, paling ganteng di keluarga ini dan terus bertambah kegantengannya meskipun sudah lewat kepala tiga, turut membantu menenangkan, "Tenang dulu, ya, Bu. Yang sabar. Sini Janu pijitin."
"Iya, Bu, yang sabar. Ingat, orang sabar disayang Tuhan," tambah Kak Jakti, yang sebenarnya sama gantengnya seperti Kak Janu, tapi jadi tidak begitu kelihatan karena kekonyolan dan kejahilannya yang seringkali salah sasaran.
Tentu saja, tingkah Kak Jakti tadi langsung dibalas dengan tatapan memicing dari Bapak, memberi pesan agar jangan ikut memancing emosi Ibu.
Dalam waktu singkat, suasana jadi mengharu biru, semua perhatian tertuju pada Ibu dan mulai berbagi tugas untuk menenangkan Ibu yang baru saja mengetahui berita sial tentang putri satu-satunya yang tidak ingin menikah.
Di sudut ruangan, Binar bisa melihat kedua sahabatnya yang hanya geleng-geleng kepala, mungkin sembari berpikir, 'Sudah gila ini anak.'
Persis di depannya, Binar bisa melihat Mas Banyu yang hanya menatapnya penuh tanda tanya.
Dan tanpa sepengetahuan siapa pun, dalam benaknya, Binar sudah merencanakan sebuah ide gila untuk menyelesaikan permasalahan hari ini.
"Nasib anak bungsu: dianggap masih kecil dan dipanggil Adek meskipun sudah kepala tiga." —Binar, berdasarkan pengalaman pribadi. "Kita sama-sama tahu lah, ya, kalau kamu orang paling enggak waras di antara kita bertiga, tapi aku enggak pernah tahu kalau kamu bisa segila ini," ujar Raka menggeleng-geleng kepala, membuka pembicaraan. Selepas acara perjodohan yang tidak berjalan sesuai rencana—setidaknya, bagi orang tua Banyu dan Binar—Raka, Nila, Binar, dan, tentu saja, Aksa, memutuskan langsung cabut ke rumah kontrakan Binar, tempat yang jaraknya cukup dekat dari rumah orang tua Binar. "Ya, mau bagaimana lagi?" balas Binar seraya mengedikkan bahu. "Ha ha ha, Binar emang the best! Keren banget kamu, Nar, aku sudah menyangka pasti bakal ada sesuatu di luar dugaan," timpal Nila sambil mengacungkan jempol ke arah Binar, memamerkan gigi putihnya. Lalu ia melanjutkan, "Eh, aku sudah pernah bilang belum, ya? Temenan sama kamu itu engga
"Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi, ide gila dibalas ide gila." —Petuah yang sudah dimodifikasi oleh Binar sendiri. Banyu baru saja sampai apartemennya setelah mengantar Ayah dan Bunda pulang ke rumah dan menghabiskan waktunya di sana—atau lebih tepatnya dihabiskan dengan mendengarkan nasihat-nasihat yang bersangkutan dengan yang baru saja Banyu sampaikan ketika acara perjodohan. Meskipun ia sudah sering mendengar nasihat untuk-segera-menikah dari bertahun-tahun yang lalu, tidak serta-merta membuat Banyu nyaman dengan nasihat tersebut. Rasanya terlalu ... mengatur. Tetapi Banyu tidak ingin memikirkan itu, dipikirkan juga percuma, pada akhirnya ia tidak bisa mengontrol pikiran orang-orang terhadapnya. Setelah membersihkan diri, ia pergi ke ruang kerjanya untuk mengecek bahan meeting yang akan ia sampaikan esok hari. Sembari menunggu komputernya menyala, ia mengecek ponsel kalau-kalau ada e-mail penting yang masuk. Ket
"Dikira hati itu mesin, bisa dinyalakan dan dimatikan sesuka hati?" —Nasihat salah satu sahabat. "Kalau dipikir-pikir, menarik, sih" jawab Banyu setelah merenung cukup lama, "Kalau dicoba enggak ada salahnya, win-win solution juga." Eh? Binar sudah biasa disebut gila oleh sahabatnya sendiri, bahkan ia mengakui bahwa jangan-jangan ia memang gila? Karena kalau ia menyampaikan ini ke kedua sahabatnya, pasti mereka akan terperangah setengah mati. Tapi, kok, pria di depannya langsung setuju-setuju saja? Padahal Binar sudah memikirkan berbagai kalimat untuk meyakinkan Mas Banyu agar ia setuju. Ternyata semudah itu, ya? Apa karena—dengar-dengar dari Ibu—Mas Banyu bekerja di perusahaan start-up sehingga ia biasa dituntut untuk punya ide di luar kepala? Apa menurut Mas Banyu, ide Binar ini adalah sesuatu yang biasa-biasa saja? "Oh, iya, okay," Binar tidak tahu harus jawab apa, ini tidak seperti yang ia ekspektasikan sebelumnya.
"Selamat hari jomblo sedunia!" —Jatuh pada 11 November. Asli, beneran ada. Kalau Mas sendiri, Mas Banyu bisa janji untuk enggak akan suka sama aku? Banyu mengulang pertanyaan Binar dalam kepalanya berkali-kali. Apa Binar mengerti apa yang dikatakannya barusan? Banyu ragu Binar mengerti. Apa ia tidak tahu bahwa perasaan itu tidak bisa sepenuhnya berada di bawah kontrol diri sendiri? Apa Binar tidak mengerti bahwa selalu ada probabilitas untuk segala sesuatu, sekecil apa pun itu? "Hm ... kalau untuk itu, kamu urus perasaan kamu sendiri saja, biar saya yang urus perasaan saya sendiri," jawab Banyu, sedikit dingin. Dahi Binar berkerut. Jadi, ini maksudnya bisa atau enggak? Ini, kan, pertanyaan yang butuh jawaban pasti, bukan jawaban yang abu-abu seperti ini. "Maksudnya gimana, ya?" "Ya, kayak tadi. Kita urus perasaan masing-masing saja," jawab Banyu masih tidak benar-benar menjawab. Binar mengh
"Punya pacar sama jomblo itu beda tipis. Punya pacar itu taken, kalau jomblo itu taken-an batin." —Netizen yang budiman. "Ngomong-ngomong, makasih, ya, karena udah mau jauh-jauh ke sini untuk mengabarkan ini ke aku," kata Binar, kini bibirnya tak bisa berhenti mengulum senyum setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar dan detil dari Angga. Sampai-sampai Binar tak menyadari ia telah menghabiskan dua potong kue yang ia pesan. "Iya, santai," jawab Angga, dirinya mengambil jeda sebelum melanjutkan, "Kamu habis ini mau ke mana, Nar?" Binar mengedikkan bahu, "Entahlah, kayaknya aku mau langsung pulang untuk merevisi tulisan." "Wow, rajin sekali," Angga menggeleng-gelengkan kepalanya takjub. "Abis ini mau nonton, enggak?" Bagaimana Binar bisa bermalas-malasan kalau hampir setiap hari Angga mengingatkan Binar untuk menyelesaikan naskahnya?! Dibanding kata 'mengingatkan', sepertinya lebih pantas disebut sebagai 'mener
"Aturan nomor satu: orang tua selalu benar. Kalau suatu hari mereka salah, balik lagi ke aturan nomor satu." —Anak yang penuh kasih sayang pada orang tuanya. "Ibu maafin kamu. Tapi, bukan berarti Ibu dan Bapak setuju dengan yang kamu bilang Minggu lalu, ya," tambah Ibu. Oh. Ya, tentu saja. Binar sudah menduganya. Kenapa ia malah sempat-sempatnya berharap? Binar menghembuskan napas dan memutar bola matanya. "Iya, Bu. Bu ... Minggu depan aku bisa ketemu Bapak dan Ibu? Aku mau ngomong sesuatu ... dan ... enggak bisa aku omongin lewat telepon," tanya Binar. "Boleh, dong. Meskipun Ibu dan Bapak masih kesal, tapi kamu tetap anak Ibu dan Bapak, kok. Memangnya ingin membicarakan apa?" "Tentang kelanjutan perjodohan kemarin, Bu. Nanti lengkapnya biar aku jelasin Minggu depan." Binar bisa merasakan Ibu menghela napasnya dari balik telepon. "Iya, nanti Ibu bilang sama Bapak. Kamu kalau ke sini bilang, ya. Biar Ibu
"Awas, hati-hati sama hati orang, hati sendiri lebih lagi." —(Bukan) Pakar Cinta. Binar menaikkan alisnya, terkejut. Kenapa tiba-tiba Mas Banyu ikut ditanya? Binar mengalihkan pandangannya menuju Mas Banyu, lalu ia menangkap mata Mas Banyu yang sudah menatapnya lekat dari tadi. Binar mengedipkan matanya cepat, tiba-tiba merasa gugup karena dipandangi seperti itu. Banyu, yang tanpa sadar sudah memandangi wanita di depannya cukup lama dengan tatapan yang lebih terlihat seperti terpesona, tiba-tiba tersadar bahwa ia sedang ditanya oleh Bunda ketika mata Binar—dan juga mungkin mata seisi ruangan—mengarah padanya. Banyu mengaburkan pandangannya, menelan ludah, dan kembali fokus pada percakapan, "Hah? I–iya, Bun," jawab Banyu terbata-bata. "Ah, kamu ini. Melihat Binar begini saja sudah grogi. Gimana kalau kalian nanti malam pertama? Yang ada kejang-kejang kamu, Banyu," balas Bunda santai. Banyu membelalakkan mata, Binar
"Biasanya, jatuh dari mata, lalu turun ke hati. Dari yang sudah-sudah, sih, seperti itu. Nanti kamu juga begitu." —Teman sesama jomlo yang tiba-tiba jadi ahli percintaan. "I—iya, aku mau." Banyu hanya bisa bereaksi pada jawaban wanita di depannya dengan tersenyum kecil. Tersenyum? Kenapa Banyu sampai tersenyum? Astaga, setelah dipikir-pikir, sudah tidak terhitung berapa kali ia mencuri pandang ke arah Binar sambil kesengsem tidak jelas. Sial, kenapa dandanan Binar jadi terlihat sangat cantik hari ini? Tunggu, kenapa malah Binar yang disalahkan? Ia sadar keduanya hanya menikah kontrak demi menyenangkan hati kedua orang tuanya. Tetapi, kenapa ia bahkan tidak bisa menahan senyumnya setelah mendengar jawaban Binar? Banyu menelan ludahnya. Ia tidak yakin kegaduhan macam apa yang terjadi di hatinya saat ini. "Nah, begitu, dong! Akhirnya kamu menuruti apa kata Bunda untuk menikah. Bunda senang sekali mendengarnya