Share

Tunor Bagian 2

Author: A. Senandika
last update Last Updated: 2021-11-03 14:41:54

"Emangnya enggak iri melihat yang lain sudah pada nikah dan punya anak?" —Mayoritas teman di reuni angkatan.

"Ayu sayang, kami bukannya ingin kalian menikah hari ini atau besok, kalian menikah tahun depan juga tidak masalah. Tetapi alangkah baiknya untuk direncanakan dari sekarang. Lebih cepat direncanakan lebih baik," jawab Ibu.

"Bukan, Bu. Maksudnya, Ayu memang tidak ada niat untuk menikah. Maksudnya ... Ayu enggak akan menikah."

Tiba-tiba suasana menjadi hening. Tidak ada yang mengeluarkan komentar dalam beberapa jeda. Bapak, Ibu, Om Danu, dan Tante Ratih hanya mematung untuk sesaat. Binar tidak berani melihat sisanya, tidak bisa membayangkan reaksi apa yang akan ia terima.

"Maksudnya, Nak?" tanya Bapak.

"Ayu hanya ... tidak ingin menikah, Pak, Bu. Ayu sudah merasa nyaman dan aman dengan kehidupan Ayu yang sekarang. Ayu sudah merasa sangat cukup," terang Binar, masih sehalus dan sesopan mungkin.

Tentu saja, Bapak dan Ibu tidak akan mengerti, sama halnya dengan Om Danu, Tante Ratih, Kak Bagas, Kak Janu, Kak Jakti, Raka, Nila, dan, mungkin Mas Banyu pun begitu.

Namun, tidak sama sekali. Banyu sangat memahami semua yang dibicarakan Binar. Meskipun sebelumnya ia sempat terperangah bukan main ketika mendengar ungkapan Binar yang tiba-tiba, dan berpikir bahwa wanita di depannya ini seperti sudah gila—bahkan mungkin melebihi Bundanya—dengan bicara terang-terangan tentang keinginannya yang di luar nalar kebanyakan orang. Tetapi, anehnya, Banyu mengerti.

Banyu sangat mengerti. 

Karena mungkin itu pula yang dirasakan Banyu saat ini. Sampai-sampai ia rasanya ingin tepuk tangan dan memuji Binar atas keberaniannya mengungkapkan isi hatinya.

"Iya, tapi kenapa? Sayang, apa jangan-jangan ... kamu mandul? Makanya kamu memutuskan untuk tidak menikah?" tanya Ibu.

"Enggak, Ibu. Enggak seperti itu. Ayu hanya merasa kehidupan pernikahan dan rumah tangga itu bukan untuk Ayu. Ayu hanya bahagia hidup seperti sekarang," jawab Binar memelas.

"Nak Ayu, terus kalau Nak Ayu tiba-tiba ingin menikah bagaimana? Lalu, nanti kalau sudah tua seperti Bapak siapa yang akan mengurus? Nak Ayu kalau ngomong hati-hati, ya," ujar Bapak, yang kelihatannya mulai kehilangan kesabaran.

"Ibu, Bapak, sampai di usia segini pun Ayu masih tidak ingin menikah, dan Ayu enggak pernah merasa kesepian, kok. Ayu masih punya Bapak, Ibu, Kak Bagas, Kak Janu, Kak Jakti, tiga Mbak Ipar, keponakan-keponakan, Raka, Nila, kurang apalagi? Percaya sama Ayu, Pak, Bu, Ayu enggak akan merasa kesepian bahkan sampai tua nanti," jawab Binar, masih memelas.

Bapak dan Ibu tidak mampu berkata-kata. Begitu pula dengan orang-orang di ruangan itu, mereka hanya berani menonton.

Tetapi, entah kenapa Banyu seperti memiliki dorongan untuk ikut menunjukkan apa yang ia rasakan. Kalau sudah terlanjur kena gerimis seperti ini, lebih baik disiram sampai basah saja sekalian.

Banyu menarik napas dalam-dalam sebelum membuka mulut, "Bun, Yah, Banyu izin ingin bilang sesuatu," Banyu memberi jeda sesaat, kemudian melanjutkan, "Sebelumnya Banyu minta maaf yang sebesar-besarnya untuk Ayah dan Bunda, sama seperti Binar, untuk saat ini Banyu juga tidak ingin menikah."

Ayah, Bunda, dan satu ruangan melongo, tak terkecuali Binar. 

"Banyu, jangan aneh-aneh, ya, kamu!" seru Bunda.

"Kamu ingat, tuh, umur kamu berapa?" kata Ayah menambahi.

Hm, bahas umur lagi. Banyu menarik napas perlahan sebelum mulai bicara, "Ayah, Bunda, Banyu sudah dewasa, sudah bisa mengurus diri sendiri. Binar pun begitu. Kami bisa mencari pasangan sendiri, tidak perlu melalui perjodohan seperti ini."

"Iya, tapi kapan, Nak?" balas Bunda, mulai kehilangan kesabaran.

"Nanti ada waktunya, yang pasti bukan sekarang-sekarang ini, Bun."

"Aduh, Bunda tidak mengerti, ya, sama kamu. Kamu sudah mapan, tapi enggak punya waktu untuk cari jodoh. Giliran dicarikan, malah menolak. Terus maunya bagaimana?"

Ya, tentu saja membatalkan perjodohan ini. Banyu sungguh ingin mengatakan itu dengan keras, tetapi melihat gelagat orang tuanya dan suasana di dalam ruangan yang terasa semakin canggung, rasanya menjawab seperti itu hanya akan sia-sia.

Apakah di antara sekian banyak orang di sini tidak ada yang ingin berkoalisi dengan Banyu dan Binar? Kenapa mereka hanya diam saja? Kata orang diam itu memang emas, sih. Tapi, kan, enggak begini juga.

Pelan-pelan  terdengar suara isak tangis. Banyu, Binar, dan seisi ruangan menengok ke arah suara secara bersamaan, terperangah.

Astaga, Ibu! Waduh, mulai drama, nih. Bahaya. Kalau situasinya sudah seperti ini, Binar bicara apa pun akan selalu salah. Selain itu, Binar juga enggak cukup tega untuk melawan ketika Ibunya sudah mengeluarkan senjata air mata.

Iya, menurut Binar—dan, tentu saja, abang-abangnya—tangisan Ibu adalah senjata terkuat dalam krisis apapun dan disaat yang sama merupakan kelemahan terparah bagi Binar—dan abang-abangnya.

Sebelum Ibu mengeluarkan jurus-jurus pamungkas berikutnya yang kemungkinan besar bisa ditebak oleh Binar, Kak Bagas, abang tertua yang memiliki akreditasi sebagai anak paling berbakti dan mulia di mata Bapak dan Ibu, akhirnya ikut menengahi.

"Ibu, tarik napas pelan-pelan, ya, Bu. Ikutin Bagas," Kak Bagas menarik napas pelan dan panjang, diikuti oleh Ibu. Kemudian menghembuskannya perlahan, lalu mengulanginya sampai tiga kali. Kenapa Kak Bagas menjadi seperti instruktur senam ibu-ibu kompleks perumahan begini?

Kak Janu, yang titelnya tidak jauh berbeda dengan Kak Bagas—mungkin hanya berbeda setengah level dibawahnya—dan yang menurut orang-orang, paling ganteng di keluarga ini dan terus bertambah kegantengannya meskipun sudah lewat kepala tiga, turut membantu menenangkan, "Tenang dulu, ya, Bu. Yang sabar. Sini Janu pijitin." 

"Iya, Bu, yang sabar. Ingat, orang sabar disayang Tuhan," tambah Kak Jakti, yang sebenarnya sama gantengnya seperti Kak Janu, tapi jadi tidak begitu kelihatan karena kekonyolan dan kejahilannya yang seringkali salah sasaran. 

Tentu saja, tingkah Kak Jakti tadi langsung dibalas dengan tatapan memicing dari Bapak, memberi pesan agar jangan ikut memancing emosi Ibu.

Dalam waktu singkat, suasana jadi mengharu biru, semua perhatian tertuju pada Ibu dan mulai berbagi tugas untuk menenangkan Ibu yang baru saja mengetahui berita sial tentang putri satu-satunya yang tidak ingin menikah.

Di sudut ruangan, Binar bisa melihat kedua sahabatnya yang hanya geleng-geleng kepala, mungkin sembari berpikir, 'Sudah gila ini anak.'

Persis di depannya, Binar bisa melihat Mas Banyu yang hanya menatapnya penuh tanda tanya. 

Dan tanpa sepengetahuan siapa pun, dalam benaknya, Binar sudah merencanakan sebuah ide gila untuk menyelesaikan permasalahan hari ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikah Jalur Orang Dalam   Sebuah Kecelakaan

    "Tidak ada yang namanya kecelakaan. Semua yang terjadi berawal dari keputusan yang disadari." —Kutipan motivasi"Udah selesai, Mas?" Binar menyalakan microwave untuk memanaskan makanan instan yang biasa ia stok kalau-kalau ia sedang malas memasak. "Kita makan nasi teriyaki aja ya, Mas. Rasanya kayak bukan makanan instan, lho."Mas Banyu yang baru saja keluar dari toilet dan masuk ke dapur, hanya menyetujui apapun yang Binar siapkan. "Iya. Mas ikut kamu aja."Tunggu, kenapa Mas Banyu jadi menyebut dirinya 'Mas' lagi? Binar baru sadar sepanjang hari ini Mas Banyu menyebut dirinya dengan sebutan 'Mas'. Apakah karena status pernikahan mereka sudah legal di mata hukum?Binar mengambil nasi teriyaki instan dari microwave, lalu membawanya ke arah Mas Banyu yang tidak jauh di belakangnya. Tanpa ia sadari, kakinya tersangkut gaunnya sendiri—dan ia sempat lupa bahwa dirinya masih memakai gaun pernikahan dan belum menggantinya—yang pa

  • Menikah Jalur Orang Dalam   Menikah Jalur Orang Dalam

    "Cie, udah ada ayank. Uhuk." —Teman nongkrong 'Saya nikahkan dan kawinkan Binar Jati Rahayu binti Adi Sucipto dengan mas kawin tersebut dibayar tunai.' Banyu terus merapalkan kalimat itu dalam hati, berkonsentrasi agar tidak terjadi kesalahan. Akad sebentar lagi akan dimulai. Keluarga dan kerabat sudah hadir di lokasi yang tidak jauh dari gedung tempat pesta pernikahan diadakan. Penghulu duduk di antara Banyu dan Om Adi yang duduk berhadapan. Hari itu akhirnya datang juga. Proses persiapan terasa begitu cepat walaupun cukup melelahkan. Banyu dan Binar memutuskan untuk menyewa gedung pernikahan yang cukup terkenal di kota. Gedungnya yang berwarna putih memiliki aksen elegan dan modern. Areanya yang cukup luas—setidaknya cukup luas untuk menampung tidak hanya kenalan Binar dan Banyu, namun juga kenalan orang tua keduanya yang terlampau banyak—memiliki dua bagian, yakni indoor dan outdoor. "Bapak, mohon lebih tenang, ya. Penguc

  • Menikah Jalur Orang Dalam   Penasaran Banget, Mas?

    “Orang bertanya belum tentu bisa diartikan perhatian. Bisa jadi hanya penasaran biasa.” —Single yang tidak mudah terpengaruh oleh perasaan Suka mengatur dan suka ngambek sendiri? Wah, Mas Banyu ini benar-benar, ya. Belum menikah saja sudah mencari keributan. Apalagi nanti jika mereka sudah resmi menikah? Binar menatap lurus ke arah Mas Banyu. Matanya melotot. “Mas, mau gelut?” Alis Mas Banyu berkerut, pura-pura tidak mengerti. “Gelut? Yang mirip cacing itu?” Binar menganga. Oh, ini mas-mas bisa melucu juga, ya, ternyata?! Sontak tawa Angga meledak, tangannya menunjuk-nunjuk Mas Banyu. “HA HA HA! Bagus juga selera humor calon suami kamu, Nar!” “Mas, tolong, ya. Itu belut! Belut sama cacing apa miripnya, sih? Astaga,” Binar mendengus kesal, lalu memutar bola matanya. Mas Banyu yang kelihatannya masih belum puas menggoda Binar, berkata, “Emang enggak mirip, ya? Kan, sama-sama enggak punya k

  • Menikah Jalur Orang Dalam   Apa Itu Kakaknya Teman?

    “Siapa di dunia ini yang jalan dan makan hanya berdua dengan kakaknya teman? Status macam apa itu?” —Netizen kepo Binar dan Mas Banyu terdiam, memandang satu sama lain. Situasi apa ini? Kenapa tiba-tiba Binar tidak mampu berpikir? “Ca—“ sebelum menjawab, jawaban Mas Banyu terpotong. “Kakaknya teman. He he,” potong Binar mengambil alih. “Kakaknya teman? Siapa?” tanya Angga heran, alisnya berkerut. “Itu, loh. Raka. Kamu tahu Raka, kan?” kata Binar, berusaha menyelamatkan dirinya sendiri. Meskipun sebenarnya agak tidak masuk akal juga kalau dirinya makan berdua dengan … kakaknya Raka. Angga berpikir sesaat. Kemudian membalas, “Oh, Raka yang sering banget nempel sama kamu itu, ya? Sama siapa, tuh, satu lagi yang setengah bule? Nila, ya?” “Giliran cewek cakep aja. Cepat banget ingatnya,” sindir Binar. Lalu ia melanjutkan, “Oh, iya. Dia seperempat bule, bukan setengah. Hanya ingin membenarkan. Dia juga

  • Menikah Jalur Orang Dalam   Tenang, Cuma Kating

    “Segala yang dekat itu tidak selalu harus dimiliki.” —Pembelajar dari masa lalu.“Kalian, kok, bisa dekat?” tanya Banyu penasaran, berusaha menguatkan diri.Binar dan Angga menoleh ke arah satu sama lain, saling menatap, sama-sama berpikir. Hm … mulai dari mana, ya?“Kayak … biasa aja, sih, Mas. Seperti orang-orang yang dekat pada umumnya. Kita bisa dekat karena … terjadi secara natural aja,” jawab Binar mencoba memilah kata-kata, bingung antara ingin menjawab pertanyaan Mas Banyu atau mengalihkan fokus ke gurame asam manis di bawahnya.“Dari kuliah enggak, sih?” Angga menambahkan.“Iya benar,” Binar mencoba menyobek daging ayam kalasannya dengan garpu, “Pas itu kamu tiba-tiba bilang punya kenalan orang penerbitan. Kayaknya dari situ kita mulai dekat.”“Sebelumnya juga udah dekat enggak, sih?” Angga mengingat-

  • Menikah Jalur Orang Dalam   Eh, Ketemu Buaya

    “Selera, selera. Emangnya Ind*mie!” —Orang yang sudah melepas masa jomlo, kepada jomlo yang sangat pemilih. Tampak seorang pria datang dari pintu masuk rumah makan. Penampilannya modis dari ujung kepala sampai kaki khas anak muda ibukota. Sepatu kets, celana khaki, kaos, jaket kulit, kacamata yang menggantung pada hidungnya yang lancip, dan rambut gondrong yang diikat ke belakang Wajahnya? Jangan ditanya. Banyu bahkan yakin kedatangan pria itu pasti sudah membuat semua wanita di restoran menoleh, berusaha mencuri-curi pandang. Pria itu terus berjalan. Semakin dekat, dan semakin dekat. Matanya terus mengarah pada meja makan yang ditempati Binar dan Banyu. Atau, lebih tepatnya, ke arah Binar. Tunggu, Banyu enggak salah lihat? “Ini Binar, kan?” sapa pria itu, berdiri tepat di samping Binar. Binar yang masih fokus menatap ponselnya, kepalanya menengadah mencari sumber suara. Binar terkejut, “

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status