"Percuma karir sukses tapi belum menikah." —Oknum Netizen Burung Biru.
"Mas Banyu siapa?" tanya Binar keheranan.
"Kamu enggak tahu Mas Banyu? Kata Raka, kalian sempat saling kenal?"
Binar mulai membuka kotak memori masa lalunya, bertanya-tanya. Kalau soal mengingat nama, Binar memang yang paling payah, apalagi yang sudah lama sekali. Boleh jadi total nama teman yang telah ia lupakan sudah mencapai 70%. Entahlah, siapa tahu si Banyu-yang-entah-siapa ini masuk ke dalam persen sisanya.
Setelah berpikir keras, tiba-tiba saja bola lampu di kepala Binar menyala, disertai bola matanya yang membulat, "Astaga! Mas Banyu kakak kamu, Rak?"
"Iya, Erlangga Banyu Biru Perdana, lebih tepatnya, Binar," terang Raka, lagi. "Lagipula, aku dan Nila enggak akan tahu berita ini kalau Banyu yang dimaksud adalah Banyu yang lain."
"Ah, benar juga, sih," kata Binar hampir mengutuk diri sendiri, merasa paling bodoh. Pasti Raka dan Nila mendengar kabar ini ketika mereka berdua berkunjung ke rumah orang tuanya Raka.
Bagaimana bisa orang tuanya main menjodohkannya begitu saja tanpa sepengetahuannya? Omel Binar tak habis pikir dalam hati.
Menyebalkan sekali, ada apa dengan orang tuanya? Apakah Binar adalah Siti Nurbaya yang tertukar?
Orang tuanya ini dapat ide dari mana untuk kemudian menjodohkannya? Jangan-jangan, Binar sedang berada di ruang waktu puluhan tahun yang lalu?
"Kamu masih ingat Mas Banyu?" tanya Raka, membangunkan Binar yang hampir hanyut dalam lamunannya.
"Eng ... samar-samar, sih. Kakak kamu yang kutu buku dan pendiam itu, kan?"
"Fyi, kalau kamu lupa, aku cuma punya kakak satu, sih. Jadi, yang kamu gambarkan barusan itu, pasti Mas Banyu," jawab Raka terkekeh, mulai mencairkan suasana.
"Kata Raka, kamu dulu suka sama Mas Banyu, ya?" tanya Nila ceplas-ceplos, mulai tersenyum usil.
"Mana mungkin aku ingat? Bisa jadi benar, sih, tapi kamu tahu sendiri lah, anak SD bisa menyukai siapa saja tanpa pikir panjang," jawab Binar sekenanya.
Dalam benak Binar, puzzle memori satu-persatu mulai terpasang kembali. Binar dan Raka adalah tetangga sekaligus sahabat masa kecil. Ketika SD, ia sering bermain ke rumah Raka, begitu pun sebaliknya, sehingga tidak jarang ia melihat Mas Banyu, yang telah memasuki SMP, tengah sibuk dengan bukunya.
Sepengetahuan Binar, orang tua mereka bersahabat sampai memutuskan untuk bertetangga. Namun, tidak lama setelahnya, keluarga Raka memutuskan untuk pindah rumah karena urusan pekerjaan.
Binar bertemu lagi dengan Raka—dan bertemu Nila untuk pertama kalinya—ketika memasuki SMA dan melanjutkan persahabatannya sampai hari ini.
Namun, untuk saat ini memori masa lalunya bukanlah yang terpenting. Berita perjodohan inilah yang harus ia pikirkan.
Saat kepalanya mulai pusing memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, tangisan Aksa mulai terdengar dari balik kamar, memanggil ibunya yang segera sigap bergerak untuk menenangkan.
***
Banyu masih tidak habis pikir tentang apa yang baru saja didengarnya. Ibarat makanan, baru masuk kerongkongan sudah bikin tersedak, bagaimana mau dicerna?
Bunda sudah gila, pikirnya. Oke, maaf, mungkin sedikit kasar.
Tapi benar, deh, orang tua mana yang masih menjodohkan anaknya di jaman yang apa-apa serba teknologi? Di kota metropolitan pula.
Kalau Banyu berasal dari keluarga, yang setidaknya, sepuluh besar konglomerat terkaya di negeri ini dan hendak memperluas kekayaan bisnis keluarga dengan meminang putri dari konglomerat sebelah, mungkin masuk akal saja.
Tapi masalahnya, keluarga Banyu, sebut saja, tidak 'seberuntung' itu.
Namun, Banyu sedikit paham perasaan Bundanya. Karir Banyu sudah cukup mapan, yang menurut Bundanya, sudah bisa menafkahi istri dan anak, yang tentu saja, hanya bisa tercapai jika Banyu berniat menikah.
Punya kekasih saja tidak, bagaimana mau meminang? Terlebih lagi, Banyu tidak punya waktu.
Jujur saja, Banyu tidak punya waktu untuk hal-hal selain pekerjaannya. Dari dua puluh empat jam dalam sehari, ia menghabiskan lebih dari setengahnya di kantor. Dari tujuh hari dalam seminggu, ia benar-benar mau 'full-time' di rumah hanya di hari Minggu. Mungkin bisa saja ia meliburkan diri di hari Sabtu, tetapi untuk seorang Banyu, rasanya aneh sekali.
Ia bahkan jarang mengambil cuti, karena menurutnya, untuk apa juga? Banyu tidak pernah punya rencana di hari libur, atau boleh dibilang, ia tidak tahu cara berlibur seperti manusia normal.
Secara gamblang, orang-orang di sekitar Banyu menyebutnya telah mengawini pekerjaannya sendiri.
Lalu, Banyu kalau lagi libur ngapain? Oh, tentu saja ke rumah orang tuanya, itu juga kalau ada yang menyuruh. Untuk perkara itu, biar Bunda yang mengatur.
Ditambah, Banyu sudah dilangkahi oleh adiknya, Raka, dalam hal membangun rumah tangga. Mungkin itu juga yang membuat orang tuanya—terutama Bunda—menjadi panik, khawatir anak sulungnya enggak akan ada yang mau kalau sudah ketuaan.
Tapi, toh, Banyu merasa dirinya oke-oke saja, sehat-sehat saja. Apa yang dikhawatirkan oleh orang tuanya dirasa Banyu agak berlebihan. Mungkin Banyu bisa memahaminya, meskipun tidak akan pernah seratus persen.
Banyu hanya bisa terduduk di ruang kantornya. Masih memutar ulang percakapan Bunda dan dirinya beberapa jam yang lalu di kepalanya.
"Banyu, Bunda ingin bertanya ke Banyu, tapi Banyu jawab sejujurnya saja, ya," kata Bunda melalui telepon
"Iya, ada apa, Bunda?" jawab Banyu.
"Banyu gimana kabarnya? Sudah ada yang mau dikenalin ke Bunda?"
"Belum ada, Bun. Banyu masih belum punya waktu untuk itu," jawab Banyu seadanya.
"Kalau tidak mau meluangkan waktu untuk mencari gimana mau dapat—" terdengar suara Bunda menghela napas pelan, "Banyu, kamu masih suka perempuan, kan?"
"Bun, jangan mulai lagi, ya," ujar Banyu, tanpa sadar ikut menghela napas pelan.
"Banyu, kamu masih ingat Binar anaknya Tante Ratna dan Om Adi? Tante Ratna dan Om Adi sahabatnya Bunda dan Ayah, yang dulunya sempat jadi tetangga kita," tanya Bunda, mengatur nadanya sestabil mungkin.
Binar yang sahabatan sama Raka dan adik iparnya? Kalau tidak salah ingat, sepertinya Banyu terakhir melihatnya di acara resepsi pernikahan adiknya beberapa tahun lalu.
"Ingat, Bun," jawab Banyu singkat.
"Menurut kamu Binar gimana? Cantik?" tanya Bunda. Kali ini membuat perasaan Banyu tidak nyaman.
Sepertinya Banyu tahu akan diarahkan ke mana pembicaraan ini.
"Ya ... cantik, Bun. Namanya juga perempuan," jawab Banyu. Tapi, ya, jujur saja, Binar ini memang cantik menurut siapa saja yang melihat, bukan hanya menurutnya pribadi.
Mungkin tidak sampai membuat semua orang memandang layaknya aktris ibukota, tapi bisa dibilang, cantiknya perempuan Indonesia tulen.
"Bagus kalau begitu," ujar Bunda menarik napas lega.
Apanya yang bagus? Sepertinya pendapat Banyu soal kecantikan Binar tidak begitu penting. Toh, yang namanya perempuan, kan, ya memang cantik.
Belum sempat Banyu bertanya, Bunda melanjutkan, "Kamu Minggu ini harus balik ke sini, ya. Setelah ngomong sama Tante Ratna dan Om Adi minggu lalu, Bunda dan Ayah memutuskan ingin menjodohkan kamu dengan Binar."
Deg!
Oke, ini tidak seperti yang Banyu pikirkan. Sebelumnya ia berpikir Bunda hanya berusaha menggodanya untuk mendekati anak sahabat lamanya itu, tidak sampai benar-benar menjodohkannya begini.
Banyu menyandarkan kepalanya, kemudian memejamkan mata. Semakin dipikir, ia semakin yakin Bundanya benar-benar sudah gila.
"Bersakit-sakit dahulu, menikah kemudian." —Budak Korporat. Binar berangkat menuju rumah orang tuanya pagi-pagi sekali. Mungkin kalau ia berangkat sepagi ini, ia bisa segera menghentikan perjodohan ini sebelum keluarga Mas Banyu datang ke rumah, memberi pengertian ke Ibu dan Bapak bahwa hal ini tidak seharusnya terjadi. Setelah memaksa Ibunya untuk jujur perihal perjodohan kemarin hari, akhirnya Ibu mau mengaku juga. Tetapi, ternyata hal itu tidak cukup untuk memaksa Ibu mau menghentikannya sekaligus. Kata Ibu, kalau itu maunya Binar, artinya Binar harus datang Minggu ini. Huft, untung Ibu sendiri, pikirnya. Binar menengok jam tangannya, menunjukkan waktu masih pukul 07.20 pagi. Setelah menyerahkan helm ke Bapak Ojol, ia beranjak menuju pelataran rumahnya, dan mendapati mobil dan sandal-sepatu yang tidak familiar dimatanya. Tunggu, please, jangan bilang ... Binar berharap apa yang dipikirkannya tidak terjadi.
"Emangnya enggak iri melihat yang lain sudah pada nikah dan punya anak?" —Mayoritas teman di reuni angkatan. "Ayu sayang, kami bukannya ingin kalian menikah hari ini atau besok, kalian menikah tahun depan juga tidak masalah. Tetapi alangkah baiknya untuk direncanakan dari sekarang. Lebih cepat direncanakan lebih baik," jawab Ibu. "Bukan, Bu. Maksudnya, Ayu memang tidak ada niat untuk menikah. Maksudnya ... Ayu enggak akan menikah." Tiba-tiba suasana menjadi hening. Tidak ada yang mengeluarkan komentar dalam beberapa jeda. Bapak, Ibu, Om Danu, dan Tante Ratih hanya mematung untuk sesaat. Binar tidak berani melihat sisanya, tidak bisa membayangkan reaksi apa yang akan ia terima. "Maksudnya, Nak?" tanya Bapak. "Ayu hanya ... tidak ingin menikah, Pak, Bu. Ayu sudah merasa nyaman dan aman dengan kehidupan Ayu yang sekarang. Ayu sudah merasa sangat cukup," terang Binar, masih sehalus dan sesopan mungkin. Tentu saja, B
"Nasib anak bungsu: dianggap masih kecil dan dipanggil Adek meskipun sudah kepala tiga." —Binar, berdasarkan pengalaman pribadi. "Kita sama-sama tahu lah, ya, kalau kamu orang paling enggak waras di antara kita bertiga, tapi aku enggak pernah tahu kalau kamu bisa segila ini," ujar Raka menggeleng-geleng kepala, membuka pembicaraan. Selepas acara perjodohan yang tidak berjalan sesuai rencana—setidaknya, bagi orang tua Banyu dan Binar—Raka, Nila, Binar, dan, tentu saja, Aksa, memutuskan langsung cabut ke rumah kontrakan Binar, tempat yang jaraknya cukup dekat dari rumah orang tua Binar. "Ya, mau bagaimana lagi?" balas Binar seraya mengedikkan bahu. "Ha ha ha, Binar emang the best! Keren banget kamu, Nar, aku sudah menyangka pasti bakal ada sesuatu di luar dugaan," timpal Nila sambil mengacungkan jempol ke arah Binar, memamerkan gigi putihnya. Lalu ia melanjutkan, "Eh, aku sudah pernah bilang belum, ya? Temenan sama kamu itu engga
"Mata dibalas mata, gigi dibalas gigi, ide gila dibalas ide gila." —Petuah yang sudah dimodifikasi oleh Binar sendiri. Banyu baru saja sampai apartemennya setelah mengantar Ayah dan Bunda pulang ke rumah dan menghabiskan waktunya di sana—atau lebih tepatnya dihabiskan dengan mendengarkan nasihat-nasihat yang bersangkutan dengan yang baru saja Banyu sampaikan ketika acara perjodohan. Meskipun ia sudah sering mendengar nasihat untuk-segera-menikah dari bertahun-tahun yang lalu, tidak serta-merta membuat Banyu nyaman dengan nasihat tersebut. Rasanya terlalu ... mengatur. Tetapi Banyu tidak ingin memikirkan itu, dipikirkan juga percuma, pada akhirnya ia tidak bisa mengontrol pikiran orang-orang terhadapnya. Setelah membersihkan diri, ia pergi ke ruang kerjanya untuk mengecek bahan meeting yang akan ia sampaikan esok hari. Sembari menunggu komputernya menyala, ia mengecek ponsel kalau-kalau ada e-mail penting yang masuk. Ket
"Dikira hati itu mesin, bisa dinyalakan dan dimatikan sesuka hati?" —Nasihat salah satu sahabat. "Kalau dipikir-pikir, menarik, sih" jawab Banyu setelah merenung cukup lama, "Kalau dicoba enggak ada salahnya, win-win solution juga." Eh? Binar sudah biasa disebut gila oleh sahabatnya sendiri, bahkan ia mengakui bahwa jangan-jangan ia memang gila? Karena kalau ia menyampaikan ini ke kedua sahabatnya, pasti mereka akan terperangah setengah mati. Tapi, kok, pria di depannya langsung setuju-setuju saja? Padahal Binar sudah memikirkan berbagai kalimat untuk meyakinkan Mas Banyu agar ia setuju. Ternyata semudah itu, ya? Apa karena—dengar-dengar dari Ibu—Mas Banyu bekerja di perusahaan start-up sehingga ia biasa dituntut untuk punya ide di luar kepala? Apa menurut Mas Banyu, ide Binar ini adalah sesuatu yang biasa-biasa saja? "Oh, iya, okay," Binar tidak tahu harus jawab apa, ini tidak seperti yang ia ekspektasikan sebelumnya.
"Selamat hari jomblo sedunia!" —Jatuh pada 11 November. Asli, beneran ada. Kalau Mas sendiri, Mas Banyu bisa janji untuk enggak akan suka sama aku? Banyu mengulang pertanyaan Binar dalam kepalanya berkali-kali. Apa Binar mengerti apa yang dikatakannya barusan? Banyu ragu Binar mengerti. Apa ia tidak tahu bahwa perasaan itu tidak bisa sepenuhnya berada di bawah kontrol diri sendiri? Apa Binar tidak mengerti bahwa selalu ada probabilitas untuk segala sesuatu, sekecil apa pun itu? "Hm ... kalau untuk itu, kamu urus perasaan kamu sendiri saja, biar saya yang urus perasaan saya sendiri," jawab Banyu, sedikit dingin. Dahi Binar berkerut. Jadi, ini maksudnya bisa atau enggak? Ini, kan, pertanyaan yang butuh jawaban pasti, bukan jawaban yang abu-abu seperti ini. "Maksudnya gimana, ya?" "Ya, kayak tadi. Kita urus perasaan masing-masing saja," jawab Banyu masih tidak benar-benar menjawab. Binar mengh
"Punya pacar sama jomblo itu beda tipis. Punya pacar itu taken, kalau jomblo itu taken-an batin." —Netizen yang budiman. "Ngomong-ngomong, makasih, ya, karena udah mau jauh-jauh ke sini untuk mengabarkan ini ke aku," kata Binar, kini bibirnya tak bisa berhenti mengulum senyum setelah mendengarkan penjelasan panjang lebar dan detil dari Angga. Sampai-sampai Binar tak menyadari ia telah menghabiskan dua potong kue yang ia pesan. "Iya, santai," jawab Angga, dirinya mengambil jeda sebelum melanjutkan, "Kamu habis ini mau ke mana, Nar?" Binar mengedikkan bahu, "Entahlah, kayaknya aku mau langsung pulang untuk merevisi tulisan." "Wow, rajin sekali," Angga menggeleng-gelengkan kepalanya takjub. "Abis ini mau nonton, enggak?" Bagaimana Binar bisa bermalas-malasan kalau hampir setiap hari Angga mengingatkan Binar untuk menyelesaikan naskahnya?! Dibanding kata 'mengingatkan', sepertinya lebih pantas disebut sebagai 'mener
"Aturan nomor satu: orang tua selalu benar. Kalau suatu hari mereka salah, balik lagi ke aturan nomor satu." —Anak yang penuh kasih sayang pada orang tuanya. "Ibu maafin kamu. Tapi, bukan berarti Ibu dan Bapak setuju dengan yang kamu bilang Minggu lalu, ya," tambah Ibu. Oh. Ya, tentu saja. Binar sudah menduganya. Kenapa ia malah sempat-sempatnya berharap? Binar menghembuskan napas dan memutar bola matanya. "Iya, Bu. Bu ... Minggu depan aku bisa ketemu Bapak dan Ibu? Aku mau ngomong sesuatu ... dan ... enggak bisa aku omongin lewat telepon," tanya Binar. "Boleh, dong. Meskipun Ibu dan Bapak masih kesal, tapi kamu tetap anak Ibu dan Bapak, kok. Memangnya ingin membicarakan apa?" "Tentang kelanjutan perjodohan kemarin, Bu. Nanti lengkapnya biar aku jelasin Minggu depan." Binar bisa merasakan Ibu menghela napasnya dari balik telepon. "Iya, nanti Ibu bilang sama Bapak. Kamu kalau ke sini bilang, ya. Biar Ibu