Share

Berjabat Tangan

Sudah dua jam berlalu, tapi keluarga Nadendra belum juga pamit untuk pulang, bahkan sepertinya mereka begitu kerasan berada di rumah Sanusi,  sang calon besan. Terdengar suara tawa bersahutan dari kedua pasang suami istri paruh baya itu. Sementara Liana makin gusar saja di ruang tengah sembari menguping pembicaraan mereka yang bahkan kini tak membahas tentang dirinya sama sekali. 

"Bisa-bisanya bapak akrab sama pak Narendra. Gak nyadar apa anak gadis kesayangannya ini lagi bosen dan sebel banget?" gumam Liana sembari tanpa sadar dirinya merobek-robek kertas koran yang tergeletak begitu saja di ruang tengah. 

Sementara di luar, ada tiga orang remaja tanggung belasan tahun yang menatap kagum terhadap sebuah mobil yang tengah terparkir di pinggir jalan di depan rumah Sanusi itu. Salah satunya adalah Dimas, adik Liana.

"Wih, iki montor larang mesti (ini pasti mobil mahal), mulus," ucapnya seraya membulatkan mata dan memonyongkan bibirnya.

"Aku kalau gede mau beli yang kayak gini, tak bawa si mbok'e jalan-jalan ke alun-alun," timpal Yanto, salah satu teman Dimas yang berbadan cungkring dan berkulit hitam legam.

"Punya mobil ginian, kok jalan-jalane mung ke alun-alun, hu... gak keren kamu, Yan," ejek Dimas kemudian, seraya menepuk agak keras kepala bagian belakang Yanto. 

Yanto cungkring itu hanya mengelus-elus kepala bagian belakangnya seraya sedikit memejamkan mata, kemudian berkata, "Ya habisnya aku itu tahunya cuma alun-alun saja. Mau ke luar kota aku takut nyasar, mengko (nanti) aku diamuk'i sama si mbok'e. Hahahaha...."

Ketiga anak itu tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan Yanto. Kemudian Samsul, teman Dimas yang gendut dan bermata sipit, tiba-tiba memotong pembicaraan mereka.

"Sik, sik. Aku lali (lupa). Aku hari ini gak dibolehin pulang siang-siang. Bapak mau ngajak aku ke kota mau beli gabus (spons) buat nembel kursi tamu yang gembos. Duh, jam berapa ini wes, Dim?"

Dimas melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, kemudian menjawab, " Wis jam sebelas, wis siang ini, Sul. Wis-wis sana cepetan pulang, kalau telat nanti kamu bisa dicancang (diikat) bapakmu kayak kemarin."

Akhirnya Samsul segera mengayuh sepeda BMXnya dengan cepat meninggalkan tempat itu, disusul Yanto yang berteriak memanggil Samsul.

"Sul, tunggu, barengan pulangnya!"

Tinggal Dimas sendirian di tempat itu sembari kepalanya menggeleng melihat tingkah kedua sahabatnya itu. Kemudian ia segera menuntun sepedanya memasuki halaman rumah dan memarkirnya di depan teras, di bawah pohon jambu.

Dimas memasuki rumah lewat pintu depan, tapi dia sempat penasaran dengan penampakan dua sandal bermerk Hit Pupus dan sebuah sandal wanita berhak yang tak mungkin dipakai oleh ibunya maupun Liana. Dia berpikir kalau di ruang tamu pasti ada tamu. Dia sempat berpikir untuk lewat pintu samping saja, hanya saja karena penasaran dengan tamu, yang sepertinya tak biasa itu, maka dia putuskan untuk bersiasat dengan pura-pura tak tahu sehingga bisa tahu siapa gerangan tamu pemilik mobil mulus yang terkesan mahal itu.

'Kayaknya pemilik mobil tadi ada di dalam rumah,' batin Dimas sembari melangkah masuk.

"Assalamualaikum," salam Dimas seketika memasuki ruang tamu.

"Waalaikumsalam,"jawab yang berada di dalam ruangan hampir bersamaan.

"Nah, ini anak saya yang nomor dua, Pak. Namanya Dimas, adiknya Liana," ucap Sanusi memperkenalkan Dimas pada Narendra, kemudian memanggil putranya itu, "Sini, Le. Salim sama bapak dan ibu Narendra, terus salim juga sama Andreas, calonnya mbakmu." Sanusi berucap dengan wajah sumringah.

Dimas tersenyum sembari menunduk memberi salam kepada Narendra sekeluarga, kemudian bersalaman dengan Narendra dan Puspa, lalu dia juga menyalami Andreas sembari menatapnya penuh selidik.

"Oh, ini toh, mas-mas yang biasanya bikin mbak senyum-senyum sendiri itu. Hihihi..." ucap Dimas seketika selesai dengan tatapannya tadi, "Pantesan, wong mas'e ngganteng," ucapnya lagi seraya mengacungkan kedua jempolnya ke arah Andreas.

Sontak saja seluruh ruangan tertawa mendengar celotehan Dimas. Apa lagi Andreas yang terlihat menyukai remaja itu seketika bertemu, bahkan dia sempat berpikir bahwa Dimas adalah salah satu jalan yang bisa membuatnya makin dekat dengan Liana. Karena, selama ini Andreas merasa sedikit kesulitan mengenal gadis itu. Untung saja si gadis menyuruhnya untuk datang melamar, jika tidak, dia pasti akan kebingungan mengetahui kepastian perasaan Liana selama ini.

Menjelang dzuhur, keluarga Narendra baru pulang. Liana yang sedari tadi menguping sembari tak henti-henti bergumam dan mendengus itu pun, merasa sedikit lega dengan pamitnya mereka.

"Waduh, sudah siang banget ini pak Sanusi. Tamunya kerasan, gak kerasa pisang gorengnya hampir habis juga. Hahahaha..." ucap Narendra ketika tersadar bahwa waktu telah bergulir begitu banyak sejak mereka bertamu tadi. 

Pertemuan pertama yang begitu akrab dan menyenangkan, menurut mereka. Silaturahmi pertama antara calon besan itu berjalan begitu lancar, bahkan di luar dugaan mereka kalau akhirnya mereka akan menjadi seakrab ini. 

"Yo, saya malah seneng toh, Pak, kalau suguhan kami yang cuma pisang goreng ini bisa cocok sama lidah bapak sekeluarga. Nanti kalau ada pisang yang mateng lagi, tak suruh Liana nganter ke rumah bapak, atau kalau ada pisang kepok atau pisang candi muda yang bagus, tak bikinin keripik pisang. Istri saya ini jago bikin cemilan dari berbagai hasil tanah di halaman belakang. Pokok cocok saja, saya seneng banget. Wong bahannya kami tanam sendiri. Di belakang itu saya tanami macem-macem, ada bothe, singkong, ubi, jamu-jamuan juga ada," ucap Sanusi menjelaskan perihal halaman belakangnya dengan antusias

"Boleh-boleh. Di kota itu apa-apa beli, Pak. Jadinya tidak terjamin juga bagaimana kualitasnya. Kalau dari hasil tanam sendiri itu enak, lebih jelas kalau gak dikasih obat macam-macam. Oh ya, wes kelamaan ini, kalau dibiarin bisa-bisa kami nginep," kelakar Narendra yang diikuti gelak tawa seisi ruangan, "Kami mau pamit dulu, Pak. Dan sesuai pembicaraan kita barusan, acara lamarannya gak perlu nunda-nunda lagi, minggu depan saja. Nanti kita pakai cara adat saja, biar kekeluargaan, tidak perlu pakai cara modern, biar keluarga kita makin saling mengenal."

"Saya manut saja bagaimana enaknya. Wong ini niat baik. Insyaallah bakal baik terus dan lancar."

"Ya sudah, kami pamit dulu," ucap Narendra. 

"Sebentar-sebentar, tak panggilin Liana, ya."

"O iya, sampai lupa sama calon mantu, sudah berasa mantu lama soalnya. Hahaha...." kelakar Narendra lagi yang diikuti gelak tawa seluruh orang di ruangan itu.

"Dim, panggilin mbakmu, bilang kalau bapak mertuanya mau pulang!" suruh Sanusi pada Dimas. Dan saking akrabnya mereka, hingga Sanusi menyebut Narendra sebagai 'bapak mertua' bagi Liana.

Dimas melangkah ke dalam rumah segera setelah Sanusi menyuruhnya untuk memanggil liana. Tak lama berselang, Liana datang dengan wajah yang sedikit bersungut-sungut, tapi berusaha disamarkannya karena dia tak ingin membuat kekacauan di tengah kebahagiaan yang dirasakan bapak dan ibunya itu.

"Nah, ini mantu ayuku sudah keluar," ucap Puspa seketika melihat Liana keluar sambil menunduk. Puspa berpikir jika Liana menunduk sebab malu, tapi nyatanya gadis itu menunduk sebab tak ingin wajah marahnya yang terlihat masam itu bisa jelas terlihat oleh tamunya saat ini, dan lagi dia tak ingin melihat wajah Andreas yang baginya terasa begitu menyebalkan.

"Ya wis, kami pamit dulu, ya," ucap Narendra seraya bersalaman kepada Sanusi dan Suyatmi. 

Mereka saling bersalaman, begitu juga Andreas, yang menyalami kedua calon mertuanya dengan begitu hormat, kemudian dia juga menyalami Dimas dengan sebuah salam khas anak muda. Kedua calon ipar itu kelihatan akrab meski pertama bertemu, karena memang Dimas adalah anak yang supel dan menyenangkan. Liana yang melihat hal itu, sedikit merasa gusar.

Kemudian Sanusi menyuruh putrinya itu untuk bersalaman dengan kedua calon mertua dan calon tunangannya.

Liana menyalami Puspa dengan begitu hormat, tapi dia tak menyalami Narendra dan Andreas. Dia hanya berisyarat hormat kepada kedua lelaki itu dengan kedua telapak tangan yang disatukan di depan dada. Hal itu karena apa yang diketahuinya akhir-akhir ini selama mengenal Jun. Selain itu, dia juga sengaja melakukannya agar Narendra menjadi sedikit tersinggung, tapi tak membuatnya mendapat predikat sebagai perusuh, dia masih bisa berkelit dengan dalih aturan agama. Karena terkadang beberapa sikapnya yang syar'i tapi sedikit berbeda dengan kebiasaan, membuat beberapa orang bergunjing karena tersinggung dan kurang senang. Dan ini bisa menjadi kesan pertama yang sedikit tak disenangi mereka, pikir Liana.

Sontak saja, sikap Liana yang semacam itu, berhasil mengejutkan Narendra dan istrinya. Namun, alih-alih mereka tersinggung dan marah, Narendra dan Puspa malah kagum dan memuji sikap calon menantunya itu. Padahal sebelumnya, Sanusi sempat kaget dan hampir memarahi putrinya itu.

"Wah, pak Sanusi ini punya putri yang luar biasa memang. Andreas, kamu ini beruntung banget," ucap Narendra seraya menepuk punggung putranya itu. Andreas tersenyum senang digoda ayahnya seperti itu.

Liana yang berpikir bahwa sikapnya akan menimbulkan sedikit masalah, menjadi kecewa dengan yang terjadi. Gagal sudah usaha pertamanya, tapi dia tak berputus asa untuk mencari cara lainnya

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status