Share

Perceraian yang Direncanakan

Surat perceraian.

Itu kalimat pertama yang terpampang di posisi paling atas ketika Melody membuka map tersebut. Manik matanya menatap nanar ke arah tandatangan sang suami yang sudah ada di sana.

“Perlu kamu tahu kalau sebenarnya perceraian kalian sudah diurus sejak beberapa minggu lalu. Aku yang membantu mengurus perceraian ini atas permintaan suamimu sendiri. Sekaligus mencari bukti perselingkuhan yang kamu lakukan,” beber Emily yang masih belum menghilang senyum penuh kemenangan di wajahnya.

Pernyataan itu membuat Melody sontak mengangkat kepala dengan tatapan semakin tajam. “Jadi, kamu yang memberikan foto-foto itu pada suamiku?! Apa saja yang sudah kamu katakan sampai membuatnya salah paham?!”

“Aku hanya mengatakan apa yang terjadi sebenarnya. Lagipula, meski tanpa foto-foto itu, Khaysan akan tetap menceraikan dirimu. Dia sendiri yang mengatakan sudah muak dengan sikapmu.” Lagi, Emily sengaja semakin menggores hati Melody dengan kalimat pedasnya.

“Apa kamu tidak bisa mencari lelaki lain yang masih single di luar sana sampai harus merusak rumah tangga orang lain? Di mana letak harga dirimu?” sindir Melody telak.

Sesaat, terlihat perubahan yang signifikan dari wajah Emily. Namun, sepersekian detik berikutnya wanita itu kembali menampilkan ekspresi seperti semula. “Jangan banyak bicara, tandatangani saja surat perceraianmu!”

Sekali lagi Melody membaca isi surat perceraian yang berada di tangannya. Memantapkan hati untuk terakhir kalinya sebelum membubuhkan tandatangannya. Tidak ada lagi alasannya untuk mempertahankan rumah tangga yang jelas-jelas telah dikhianati oleh suaminya sendiri.

Melody tidak akan membiarkan harga dirinya diinjak-injak lebih dari ini. Ia mampu merawat dan membesarkan janin dalam kandungannya seorang diri, meski Khaysan tidak mau mengakui buah hati mereka.

Emily langsung mengambil alih map yang ada di tangan Melody setelah sepupunya membubuhkan tandatangan di sana. “Bagus, sepertinya sekarang sudah waktunya kamu angkat kaki dari rumah ini. Apa perlu aku membantu mengemasi barang-barangmu?”

“Tidak perlu repot-repot! Aku juga sudah tidak sudi tinggal di rumah ini lagi!” balas Melody dingin.

Melody langsung memutar langkah menuju kamarnya. Dengan emosi yang masih menyelubungi dadanya, wanita itu mengambil barang-barangnya dan memasukkan semuanya ke koper miliknya.

Tak ada satu pun barang pemberian Khaysan yang Melody bawa, karena ia tidak ingin ada kenangan lelaki itu yang tertinggal. Terkecuali bagian dari lelaki itu yang kini tumbuh di rahimnya. Melody akan selalu menjaganya dengan sekuat tenaga.

“Aku tidak menyangka akhirnya akan seperti ini,” gumam Melody sembari menatap setiap sudut kamarnya.

Tanpa sadar setetes cairan bening meluruh dari netra kecokelatannya. Buru-buru wanita itu menghapus lelehan air mata yang seharusnya tidak perlu keluar. Sudah cukup, sekarang waktunya ia angkat kaki dari rumah ini.

Melody yang tidak tahu harus pergi ke mana memilih mendatangi rumah ayahnya. Tubuhnya sudah lelah dan ia membutuhkan istirahat sejenak. Hanya rumah sang ayah saja yang bisa Melody datangi saat ini.

Begitu sampai di rumah ayahnya, Melody sudah menyadari hawa tak menyenangkan yang sang ayah pancarkan sejak kedatangannya. Namun, ia berusaha menepis pikiran negatifnya. “Ayah, aku—”

PLAK!

Wajah Melody terlempar ke samping akibat tamparan keras yang ayahnya berikan. Panas dan perih bercampur menjadi satu. Sebelah pipinya memerah dengan sudut bibir yang robek dan mengeluarkan sedikit darah. Ia spontan menyentuh wajahnya yang baru ditampar oleh ayahnya sendiri.

Melody memang tak pernah benar-benar akur dengan sang ayah, terlebih semenjak ibunya meninggal dunia. Tetapi, bukan sambutan seperti ini yang dirinya harapan. Jangankan rengkuhan yang menguatkan, bahkan sebelum ia menyampaikan tujuannya datang, sang ayah telah memberinya hadiah yang luar biasa.

“Kenapa Ayah menamparku?” tanya Melody dengan suara bergetar.

Argani berdecih sinis. Tak terlihat secuil sesal dari wajah angkuhnya setelah menampar putri semata wayangnya itu. “Setelah apa yang kamu lakukan, kamu masih bisa bertanya kenapa? Kamu pikir Ayah tidak tahu mengetahui kelakuanmu?!”

Pria paruh baya itu menuding Melody dengan telunjuknya. “Kamu sudah mempermalukan Ayah. Apa yang ada dalam pikiranmu sampai kamu berselingkuh dari suamimu, hah?!”

Sesungguhnya, Melody sedikit berharap Argani bersedia merengkuhnya, mengatakan semuanya akan baik-baik saja, dan tidak semudah itu termakan gosip murahan tentang dirinya. Namun, lagi-lagi ia harus menelan pil pahit kekecewaan.

“Apa kamu sudah kehilangan harga dirimu?! Benar-benar memalukan! Dan setelah berani mencoreng nama baik Ayah, kamu masih berani datang kemari!” Argani kembali membentak dengan suara menggelegar.

Melody menggeleng cepat. “Ayah, tolong dengarkan aku dulu. Kejadian sebenarnya tidak seperti yang Ayah pikirkan. Aku tidak pernah bermain api di belakang suamiku. Justru, dia yang mengkhianatiku, dia berselingkuh dengan Emily.”

“Jangan membalikkan kenyataan dan bersikap seolah-olah kamu korban di sini! Ternyata ini balasan yang bisa kamu berikan padaku? Sia-sia Ayah mendidik dan merawatmu selama ini. Kenyataannya kamu tidak bisa menjaga kehormatanmu sendiri!” ucap Argani dengan kobaran amarah yang semakin terlihat.

Argani melempar foto-foto yang sama dengan gambar yang Khaysan tunjukkan semalam di depan wajah Melody. Kedua tangan wanita itu yang berada di sisi tubuhnya mulai mengepal tanpa sadar. Ini pasti karena perbuatan sepupunya yang bermuka dua.

“Mulai detik ini, kamu bukan bagian dari keluarga Bramantya lagi. Ayah tidak akan membiarkan kamu semakin mencoreng nama baik keluarga ini. Pergi dari hadapan Ayah sekarang juga!” usir Argani lantang.

Melody terkesiap, wanita itu kontan berlutut di hadapan sang ayah. “Ayah, tolong jangan usir aku. Aku tidak tahu harus pergi ke mana lagi. Beri aku kesempatan untuk mengungkapkan kalau semua tuduhan itu tidak benar!”

“Tidak ada yang perlu dijelaskan! Siapa pun yang berani mencoreng nama baikku harus disingkirkan!” bentak Argani menggelegar.

Pria paruh baya itu mengalihkan pandangan pada beberapa bodyguardnya yang berada di sekitar ruang tamu. “Seret anak ini keluar dari rumahku! Aku tidak mau melihat wajahnya lagi!”

Melody menggeleng cepat dan kembali berusaha memohon agar Argani tidak mengusirnya. Wanita itu nyaris bersujud di hadapan sang ayah dengan air mata yang entah sejak kapan sudah bercucuran. Namun, tubuhnya lebih dulu ditarik oleh dua orang anak buah ayahnya.

Melody memberontak sekuat tenaga sembari berteriak agar dilepaskan. Akan tetapi, sisa tenaganya tak mampu mengalahkan anak buah Argani. Sekeras apa pun usaha Melody untuk bertahan di tempatnya berdiri, pada akhirnya tubuh mungilnya tetap terseret.

“Ayah, kumohon, aku akan memperbaiki semuanya! Aku pasti bisa membuktikan kalau aku tidak bersalah! Emily berusaha mengadu domba kita, tolong percayalah padaku!” seru Melody dengan suara yang sudah mulai serak.

Sayangnya, Argani telah menulikan pendengarannya dan langsung pergi begitu saja setelah Melody diseret keluar oleh anak buahnya. Pintu utama rumah mewah itupun segera ditutup rapat, seolah-olah takut Melody kembali masuk ke sana.

Melody meringis ketika kedua lututnya bergesekan dengan aspal yang panas. Lelehan darahnya langsung keluar dari luka lecet itu. Dengan langkah tertatih-tatih ia menyeret kopernya meninggalkan kediaman yang ditempatinya selama bertahun-tahun. Tangisnya masih terus berurai meski dirinya sudah berusaha keras untuk berhenti menangis.

“Aku harus pergi ke mana setelah ini?” gumam Melody putus asa.

Melody terus menggerakkan tungkai jenjangnya tak tentu arah. Kakinya mulai terasa kebas, tetapi ia belum ingin menghentikan langkah. Gemuruh yang tiba-tiba terdengar membuat wanita itu terlonjak. Belum sempat mencari tempat berteduh, hujan deras telah lebih dulu membasahi tubuhnya.

Melody yang panik langsung berlari mencari tempat berteduh terdekat. Sudut bibirnya sedikit tertarik ke atas ketika melihat halte yang hanya berjarak beberapa meter dari tempatnya berada. Ia memacu langkah lebih cepat lagi ke tempat tersebut.

Tangan ringkih Melody memeluk tubuhnya yang menggigil. Bibir dan wajahnya berubah pucat pasi. Manik matanya yang memerah pun semakin sayu. Wanita itu menepuk keras pipinya sendiri ketika kesadarannya mulai berkurang.

“Aku harus membuktikan kalau aku bisa hidup tanpa mereka,” gumam Melody penuh tekad.

Wanita malang itu mencari keberadaan ponselnya. Helaan napas lega lolos dari bibirnya karena ponselnya yang basah kuyup itu masih bisa menyala. Jemari lentiknya bergerak cepat mencari nomor kontak seseorang. Setelah menemukannya, ia langsung menelepon orang itu.

“Aku membutuhkan bantuanmu. Apa kamu bisa menemuiku sekarang?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status