Share

Musuh Dalam Selimut

“Tidak perlu memasang ekspresi sedih seperti itu. Aku tahu sebenarnya kamu senang. Setelah kita resmi berpisah, kamu bisa melakukan apa pun dengan selingkuhanmu.” Setelah mengatakan itu, Khaysan benar-benar pergi dari sana tanpa menoleh lagi.

Melody berusaha lebih keras untuk kembali bangkit, tetapi dirinya malah terduduk lagi. Beberapa pelayan yang sedari tadi hanya berani mengintip akhirnya mulai bergerak dan membantu sang nyonya berdiri.

Tanpa menanggapi pertanyaan para pelayan yang menanyakan bagaimana keadaannya, Melody langsung mengejar Khaysan dengan langkah tertatih-tatih. Wanita itu menggedor jendela mobil sang suami, berharap suaminya bersedia keluar. Namun, lelaki itu malah menyalakan mesin mobil dan pergi tanpa memedulikan dirinya.

Melody terduduk di tanah dengan tangis yang kembali pecah. Angin malam yang menusuk tulangnya tak sebanding dengan nyeri yang berdenyut-denyut di dadanya. Lama-kelamaan tangis Melody berhenti dengan sendirinya. Namun, ia masih bergeming di tempat yang sama dengan sorot mata menyorot ke arah perginya sang suami.

“Nyonya, Anda bisa jatuh sakit jika terlalu lama berada di sini. Apalagi saat ini Nyonya sedang mengandung,” tutur wanita paruh baya yang merupakan kepala pelayan rumah ini.

Melody membiarkan sang kepala pelayan membantunya berdiri dan memapahnya kembali memasuki rumah. Hingga wanita paruh baya itu mengantarnya ke kamar, Melody masih diam membisu dengan tatapan kosong.

“Nyonya, apa perut Anda masih sakit? Saya akan menelepon dokter untuk memeriksa keadaan An—”

“Tidak perlu. Aku baik-baik saja. Bibi, bisa tinggalkan aku sendirian di sini? Aku hanya perlu beristirahat saja,” potong Melody dengan suara serak. Matanya yang berkaca-kaca masih menatap lurus ke depan.

Sang kepala pelayan langsung mengangguk paham dan pamit pergi setelah itu. Sedangkan Melody kembali melanjutkan tangis dengan harapan sesak di dadanya dapat sedikit berkurang. Pada kenyataannya, sesak itu malah semakin membelenggu erat dadanya.

Kalau bukan karena mengingat janin yang berkembang di perutnya, Melody tidak akan memaksakan mengisi perutnya. Nafsu makannya sudah lenyap sejak tadi, tetapi ia tidak boleh egois hanya karena hatinya yang sedang hancur saat ini.

Melody masih menunggu kepulangan suaminya hingga larut malam. Kantuk yang biasanya menghampiri menghilang entah ke mana. Menyisakan kekhawatiran yang semakin pekat karena Khaysan tak kunjung kembali dan sekarang hujan deras mulai mengguyur.

“Ayolah, angkat teleponku!” gumam Melody yang berjalan mondar-mandir di dalam kamar sembari berusaha menghubungi suaminya.

Tak terhitung sudah berapa kali Melody menghubungi Khaysan juga mengirim pesan. Sayangnya, tidak ada satu pun yang mendapat respon dari lelaki itu. Bahkan, pesan yang dirinya kirimkan juga belum dibaca.

Melody tidak tahu sejak kapan dirinya ketiduran dengan posisi bersandar di kepala ranjang. Ringisan samar lolos dari bibirnya karena leher dan punggungnya terasa nyeri. Ini pasti efek dari tidur dengan posisi duduk semalaman.

Pelan-pelan Melody bangkit dari ranjang sembari memijat leher belakangnya yang terasa kebas. Ia spontan melirik sisi ranjang di sampingnya yang masih rapi seperti tak tersentuh. Itu berarti Khaysan tidak pulang semalam.

“Sebenarnya dia pergi ke mana?” monolog Melody lirih.

Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Melody pun keluar dari kamar. Tak sengaja ia melihat sosok Khaysan yang tampak baru saja keluar dari kamar tamu. Seulas senyum miris tersungging di bibirnya, tidur satu kamar dengannya saja lelaki itu tidak sudi.

Mengabaikan hatinya yang kembali berdenyut nyeri, Melody bergegas memacu langkah menghampiri Khaysan. Ia menunggu suaminya sampai selesai bertelepon sebelum benar-benar menghampiri lelaki itu.

“Apa yang kamu lakukan di sini?! Perlu berapa kali aku katakan, jangan ganggu aku lagi!” sembur Khaysan tepat ketika Melody menghampirinya.

Melody sedikit berjingkat karena bentakan Khaysan yang menggelegar. Namun, sepersekian detik berikutnya ia kembali menetralkan ekspresinya. Biar bagaimanapun, dirinya harus tetap meluruskan kesalahpahaman di antara mereka.

“Kamu pergi ke mana semalam? Kenapa kamu tidak membalas pesan atau mengangkat teleponku? Aku benar-benar khawatir, aku takut terjadi sesuatu yang buruk padamu,” ucap Melody sembari menyentuh tangan Khaysan yang tentu saja langsung ditepis oleh sang empunya.

Melody menatap sang suami yang mengacuhkannya dengan helaan napas berat. “Khaysan, hubunganku dengan David tidak seperti yang kamu pikirkan. Tolong percayalah padaku, anak yang ak—”

“Diam! Aku tidak ingin mendengarkan pembelaan apa pun dari mulutmu! Pergi dari sini, aku tidak mau melihat wajahmu!” usir Khaysan tanpa melirik Melody sama sekali. Lelaki itu kembali melangkah memasuki kamar tamu yang sebelumnya ia tempati.

Melody tidak ingin membiarkan masalah ini semakin berlarut-larut. Permasalahan ini harus diselesaikan secepatnya. Wanita itu bergegas melangkah menuju dapur dan membuatkan secangkir kopi kesukaan suaminya.

Melody mengetuk kamar tempat Khaysan berada sembari memanggil lelaki itu berulang kali. Selama beberapa menit ia menunggu, tetapi tetap saja tidak ada jawaban dari dalam sana. Kakinya sampai pegal karena menunggu terlalu lama.

Alhasil, Melody memberanikan diri untuk membuka pintu di hadapannya secara langsung. Khaysan yang sedang duduk bersandar di atas ranjang tidak menoleh sama sekali meski menyadari pintu terbuka.

“Aku sudah membuatkan kopi untuk—”

PYAR!

Nampan yang Melody pegang jatuh ke lantai bersamaan dengan bunyi pecahan gelas yang terdengar. Tubuhnya mendadak lemas melihat seorang wanita yang baru saja keluar dari toilet.

Nyeri yang menghantam hatinya terasa lebih pekat dibanding dengan perih di kakinya akibat terkena tumpahan kopi panas. Melody membeku selama beberapa saat. Seseorang yang menuduhnya berselingkuh ternyata malah berani membawa dan satu kamar wanita lain

Manik mata Melody memburam karena air mata yang mulai mendesak keluar. Sosok wanita yang kini menyunggingkan senyum penuh kemenangan itu adalah Emily, sepupunya sendiri.

Dengan wajah merah padam dan emosi yang memuncak, Melody memutar langkah dan menghampiri suaminya. Sebuah tamparan keras mendarat di wajah tampan lelaki yang memasang ekspresi tak berdosa itu.

“Kamu mengkhianatiku?!” seru Melody dengan deru napas memburu.

Tangan Melody yang baru saja menampar wajah Khaysan terasa panas dan memerah. Menjadi bukti seberapa kerasnya tamparan itu. Namun, rasanya itu belum sepadan dengan apa yang suaminya lakukan.

Khaysan menyentuh sudut bibirnya yang mengeluarkan darah sembari bangkit dari posisinya. “Memangnya kenapa? Kamu pikir kamu saja yang bisa melakukan itu?”

“Aku tidak pernah berselingkuh dengan siapa pun! Kenapa kamu tidak bisa mempercayaiku?!” balas Melody dengan suara meninggi. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, sampai buku-buku jarinya memutih.

“Mengapa kalian tega melakukan ini padaku? Sejak kapan kalian bermain api di belakangku?!” Wanita itu menatap dua orang yang berdiri di hadapannya secara bergantian dengan sorot penuh kebencian.

Sisa rasa yang Melody miliki pada suaminya setelah lelaki itu tega menuduhnya berselingkuh kini benar-benar lenyap tak bersisa. Hanya menyisakan kekecewaan dan kebencian yang memenuhi dadanya.

Sekarang Melody mengerti mengapa belakangan ini Emily mendadak sering mengunjungi rumah ini dengan dalih ingin menemuinya. Rupanya alasan tersebut hanyalah tipuan belaka untuk menutupi perbuatan busuk wanita itu di belakangnya.

“Sepupuku sayang, seharusnya kamu tidak perlu bereaksi seperti ini,” tutur Emily sembari melangkah mendekati Melody. Senyum miring yang tersungging di bibir wanita berpakaian minim itu semakin lebar.

“Bukannya apa yang kamu lakukan sama saja? Kenapa kamu terlihat sangat terpukul seperti ini? Bahkan, perbuatanmu membuat kamu mengandung anak dari lelaki lain,” lanjut Emily dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

Kobaran amarah terpampang sangat jelas dari manik mata Melody yang kini sedang berusaha mengontrol emosinya. Ia tidak ingin membuat orang-orang yang tega mengoyak hatinya semakin merasa di atas angin. Seseorang yang selama ini ia kenal sangat baik telah menusuknya dari belakang dengan cara paling kejam.

“Apa kalian sengaja menuduhku selingkuh untuk menutupi perbuatan busuk yang kalian lakukan?!” sembur Melody dengan suara tertahan.

Emily tertawa geli. “Tenanglah, tidak perlu terbawa emosi. Lebih baik sekarang kamu ikut denganku, aku akan menunjukkan kejutan lainnya untukmu.”

Setelah itu, Emily langsung menarik Melody keluar dari kamar tersebut dengan gerakan kasar. Kaki Melody yang tadi terkena tumpahan kopi panas semakin terasa perih karena dipaksakan berjalan.

Melody berusaha memberontak dan melepaskan diri, tetapi tenaga Emily jauh lebih besar dari tenaganya. Pada akhirnya, wanita itu terpaksa mengikuti ke mana sang sepupu membawanya pergi.

Melody spontan berpegangan pada meja di sampingnya ketika Emily melepaskannya di ruang tamu. Tubuhnya yang lemas ditambah dengan nyeri yang bersarang di kedua kakinya menyebabkan ia kehilangan keseimbangan.

Emily mengambil sebuah map yang tersimpan di dalam laci tepat di samping meja televisi. “Cepat kamu tandatangani berkas ini. Supaya setelah ini kamu bisa bebas, begitu juga suamimu. Atau lebih pantas aku sebut sebagai calon mantan suamimu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status