"Kau jadi kembali ke Indonesia besok?" Aylin menghampiri Artha yang sedang berkemas memasukkan pakaian ke dalam koper.
"Selesai," ujar Artha setelah menutup kopernya.
"Bisakah kau berpikir ulang tentang rencanamu itu?" Kini Aylin telah duduk di tepi ranjang mencoba membujuk Artha agar tidak jadi pulang ke Indonesia.
"Tidak bisa kak Ay, keputusanku sudah bulat tidak bisa diganggu gugat lagi. Lagian tiket sudah aku beli untuk penerbangan besok pagi," ucap Artha sambil memperhatikan barang-barangnya apakah masih ada yang tidak dikemas.
"Kau berbicara layaknya seorang hakim, padahal kau hanya seorang akuntan yang menghitung berapa kas masuk dan keluar."
Artha tertawa dengan perkataan Aylin, "kakak bisa saja, jadi aku harus berkata apa kak? Kakak selalu saja mengusikku agar tidak jadi kembali ke negara kelahiranku, padahal aku disini sudah sangat lama, sudah delapan tahun lebih dan aku sangat merindukan tanah kelahiranku."
"Yah, aku tahu itu" jawab kak Ay. 'Dan aku juga sangat sangat merindukannya, tapi aku tak bisa kembali kesana' lanjutnya dalam hati.
Artha Saulina Sagala seorang gadis keturunan asli Indonesia bersuku batak toba, tinggal dan bekerja di Turki sejak delapan tahun lalu, dia bekerja disalah satu hotel berbintang sebagai seorang staf akuntan. Keahliannya tidak di ragukan lagi. Dia juga menjadi salah satu karyawan terbaik di perusahaan tempatnya bekerja.
Gadis dengan berperawakan hitam manis, tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek. Tinggi badannya sesuai dengan tinggi badan orang asia pada umumnya. Bodynya juga tidak seperti gitar spanyol, tetapi lingkar celananya ukuran S. Untuk ukuran dadanya juga tidak terlalu besar dan bahkan tidak terlalu kecil.
"Baiklah, jika itu memang keputusanmu. Tidak ada yang bisa aku lakukan sebagai atasanmu. Aku hanya merasa sangat kehilanganmu bukan hanya kehilangan karyawan tetapi juga kehilangan sahabat," Aylin mencoba pasrah dengan keputusan yang diambil Artha.
Hidup di negri orang selama delapan tahun tidak membuat Artha merasa kesepian atau merasa di dunia lain. Dia tetap merasa seperti di negaranya sendiri. Selain tempat kerjanya yang nyaman dan teman-teman kerjanya juga baik dan ramah. Di lingkungan tempat dia tinggalpun tetangganya ramah meski mereka jarang bertemu.
Meski Aylin adalah atasannya, dia tidak merasa sungkan atau segan kepadanya. Selain itu permintaan dari Aylin sendiri, di tempat dia bekerja tidak ada pembanding antara atasan maupun bawahan. Asal mereka selalu sopan dan berbicara dengan sopan juga.
Itu sebabnya Artha betah bekerja selama delapan tahun di perusahaan itu. Bukan tidak sedikit yang menawarinya bekerja di tempat lain dan tentu saja dengan salary yang besar pula, tapi dia tidak menerimanya. Itu semua karena dia merasa nyaman, dia termasuk tipe orang yang setia. Jika dia sudah nyaman selamanya akan dia pertahankan.
Masa kontrak kerjanya sudah habis, dia tidak berminat lagi untuk melanjutkannya. Selama delapan tahun disini dia tak pernah pulang sekalipun. Bukan tidak rindu kampung halaman, hanya saja dia merasa nyaman disini, jika ditahun ketiga dia pulang saat itu, bisa saja bapaknya tak menginjinkannya untuk pergi keluar negeri lagi.
"Jam berapa pesawatmu berangkat?" Sepertinya aku tidak bisa mengantarmu, aku tak akan sanggup melihatmu pergi," ucap Aylin dengan mata yang berlinang. Aylin berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh, tetapi semua sia-sia.
"Jam 5 pagi kak," sambil memeluk Aylin, Artha berkata lagi, "sudahlah kak, jangan menangis, kalau kakak seperti ini bagaimana aku bisa pergi? Aku tak akan sanggup kak. Toh nanti aku bisa berkunjung kesini lagi."
Masih dalam pelukan Artha, Aylin masih terisak "baiklah, kalau kau mengunjungi tempat ini kuharap kau tidak sendirian, bawalah adik ipar untukku."
"Kakak duluan saja yang bawa abang ipar untukku, aku masih belum kepikiran untuk menikah kak. Umurku masih muda," Artha pun terkekeh dan beranjak dari sana sebelum mendapat lemparan.
"Sesampainya di Indonesia, kau harus menghubungiku. Dan jangan lupa untuk mengganti sim cardmu sesampainya disana agar kau bisa menghubungi keluargamu," ucap Aylin sambil membawa dua gelas kopi. Satu gelas dia berikan kepada Artha dan satu gelasnya lagi dia pegang.
Artha menerima kopi yang diberikan Aylin dan menyesapnya, "sepertinya rasa kopi ini lebih nikmat kak, apakah ini dari kopi yang berbeda? Atau karena ini kali terakhir aku bisa menikmati kopi buatanmu?"
"Jangan bicara seperti itu tha, ini masih dari kopi yang sama, kau hanya terlalu menikmatinya. Ayo kita keluar, sepertinya para tetangga sudah selesai mempersiapkannya," ajaknya sambil menggandeng tangan Artha.
Artha merasa heran ada acara apa ini? Dan lagi Aylin tidak bekerja hari ini. Artha sudah mengerti akan sahabat sekaligus atasannya itu, wanita yang gila kerja, jarang sekali libur jika bukan tanggal merah bahkan disaat weekend pun akan bekerja. Artha yang selalu mengajaknya untuk meninggalkan perkerjaan sejenak.
Jika hari libur mereka akan pergi menonton atau sekedar jalan-jalan di mall. Terkadang orang-orang berpikir mereka adalah sepasang kekasih. Karena dimana ada Aylin disitu pasti Artha, begitupun sebaliknya. Gila! Emang mereka lesbiola apa? Mereka masih tertarik dengan lawan jenis, hanya saja mereka belum menemukan yang pas dihati.
Bukan hal yang tabu lagi di zaman yang serba canggih ini, bila melihat pasangan sesama jenis. Bahkan di negara-negara tertentu ada yang sudah mensahkan hubungan sesama jenis. Untuk menepis prasangka buruk itu, mereka berdua sepakat untuk berpacaran denga pria lokal. Itupun hanya sebentar, sekitar satu bulan. Sejak saat itu tak ada lagi yang berprasangka buruk kepada mereka.
Sesampainya di depan rumah Artha dibuat terkejut dengan pemandangan didepan rumahnya. Spanduk dengan ucapan 'Sampai Jumpa lagi' bukan selamat jalan terpampang di atas pagar. Disisi kanan dan kiri pagar rumahnya begitu banyak balon warna-warni.
Tetangganya begitu antusias membuat perayaan bagi Artha. Karena ini adalah hari terakhir dia tinggal di Turki. Entah kapan dia bisa kembali lagi.
"Kak, kau yang menyiapkan semua ini."
Aylin hanya menggeleng. Bukan Aylin yang mencetuskan ide ini, para tetangganyalah yang membuat semua ini, sebagai perpisahan kata mereka.
"Malam ini ada pesta barbeque, nikmatilah semuanya, ini kado dari kami untukmu Artha," ucap salah satu tetangga mereka.
Meski perumahan yang mereka huni adalah kawasan perkantoran. Yang semua orang-orang pada sibuk kerja. Tetapi setiap pagi bila mereka akan berangkat ke kantor mereka akan saling menyapa. Begitupun saat pulang kantor.
Tidak sedikit tetangganya merasa kehilangan. Karena Artha adalah orang yang cukup ramah, selalu tersenyum kepada para tetangganya. Karena prinsipnya tetangga adalah orang terdekat kita, orang yang bisa kita minta tolong disaat kita butuh.
Setelah acara makan malam itu, mereka mengucapkan kata-kata perpisahan dan penyemangat buat Artha. Sebagian dari mereka ada yang menitikkan air mata. Bahkan ada yang sampai menangis histeris tak rela akan kehilang sosok gadis yang ramah itu.
Merekapun berpelukan sebagai bentuk perpisahan, acara makan malam itu selesai pada pukul 8 malam. Mengingat besok pagi Artha harus ke bandara dan pesawatnya take jam 5 subuh. Jadi acaranya mereka percepat.
Aylin menyuruh Artha agar segera tidur, "Tidurlah, istirahatkan dirimu, besok kau akan berada di pesawat selama 20 jam. Aku akan membangunkanmu pukul 3 dini hari. Semua perlengkapanmu sudah siap 'kan?"
Artha hanya mengangguk, tak kuasa melihat Aylin yang sudah dia anggap seperti kakak kandungnya sendiri. Diapun membaringkan dirinya diatas kasur empuknya, yang menemaninya selama delapan tahun ini.
Sambil menutup pintu kamar Artha, Aylin mengambil handphone dari saku celananya. Dan menghubungi seseorang. Tanpa mengucapkan salam "opa, besok dia berangkat."
Bersambung.
"Capek, Bang?" Rajata menyandarkan punggungnya pada kursi sofa, "iya," jawab Rajata dengan mata terpejam. "Sebentar, biar aku ambilkan minum." Artha bangkit, tapi dengan cepat Rajata mencegahnya, "tidak usah, Dek. Nanti, abang saja yang ambil." "Akhirnya kasusnya selesai. Setelah memakan waktu hampir 2 bulan. Tika dipenjara selama 3 tahun," guman Rajata masih dengan mata terpejam. Akibat kasus penculikan yang dilakukan Tika, gadis berambut gelombang itu mendekam di penjara. Karena setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76F dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Menurut Rajata itu terlalu ringan, seharusnya Tika mendekam selamanya di penjara. Mengingat bagaimana ia merencanakan penculikan pada Artha, sedangkan untuk Tina, kembaran Tika memilih kabur begitu tau Ti
"Menikahlah denganku!"Suara bariton mengejutkan Aisyah. Semua kunci yang dipegang olehnya terjatuh. Saat ini ia sedang ingin menutup pintu ruko tempat butiknya berada. Namun, karena suara bariton mengagetkannya, pintu tak bisa ia tutup.Aisyah semakin terlonjak kaget ketika membalikkan badan. Di hadapannya berdiri seorang pria yang masih lengkap mengenakan seragam berwarna coklat.Pria itu melangkah mendekat untuk membantu menutup pintu butik milik Aisyah."Mau apa kamu?" tanya Aisyah dengan gugup."Aku hanya ingin membantu menutup butikmu."Pria itu memunguti kunci yang berserakan di lantai. "Yan
"Kamu yakin akan melanjutkan pernikahan ini?"Saat ini Agha sedang berada dalam sebuah kamar hotel bersama Artha. Beberapa jam lagi adalah pemberkatan pernikahan mereka. Masih ada waktu untuk menunda pernikahan sebelum pemberkatan dimulai.Para MUA pilihan mamak sudah selesai merias dan membantu Artha memakai gaun. Agha meminta mereka semua meninggalkan dirinya dan Artha. Kini, tinggal ia dan Artha yang tinggal di kamar hotel itu. Agha ingin membujuk Artha sekali lagi untuk menunda pernikahan mereka. Namun, Artha tetap pada pendiriannya untuk melanjutkan pernikahan.Kondisi Artha belum sepenuhnya pulih. Fisik Artha masih lemah dan ia sedikit mengalami trauma akibat penculikan yang dialaminya. Luka dibagian kaki akibat ikatan yang terlalu kuat belum sepenuhnya p
Bab 87"Mamak di rumah aja, gak usah ikut!" Rendra melarang mamak untuk ikut pergi bersama mereka ketika mengekori langkahnya."Kenapa?" Mamak ingin ikut, ia yakin Artha berada di rumah kosong itu."Aku sama Bang Agha saja yang ke rumah itu. Bapak juga gak usah ikut, siapa tahu ada kabar terbaru dari bang Rajata tentang kak Artha," ucap Rendra dengan lembut."Tulang dan Nantulang sebaiknya istirahat saja di rumah. Kalau ada kabar terbaru kabari kami secepatnya. Setelah menemukan jam itu, kami akan pulang."Agha ikut membujuk kedua orang tua Artha agar tak ikut bersama mereka.Akhirnya kedua orang t
Bab 86."Siapa kira-kira?" tatapan mata bapak sangat tajam seolah ingin menghunus jantung Agha."Mak!"Seruan Rendra membuat Agha urung menjawab pertanyaan bapak."Ada apa?" tanya bapak dengan heran pada Rendra.Rendra mengabaikan bapak dan menghampiri mamak yang baru saja meletakkan minuman, "Mamak ada lihat jam aku?""Jam yang mana?""Jam yang seperti itu."Saat menunjuk, mata Rendra tertuju pada pergelangan tangan Agha yang kebetulan sedang memakai jam tangan yang s
Terdengar bunyi dering ponsel yang begitu nyaring, tanpa melihat siapa yang memanggil, Tika langsung menempelkan ponsel ke telinga begitu ia menggeser ikon telepon berwarna hijau. "Gue masih di rumah kosong ini. Kenapa suara lo kedengaran khawatir gitu?" Kemudian Tika melihat ponselnya dan menekan ikon loudspeaker. "Gimana gue gak khawatir, hampir aja gue ketahuan." Suara lawan bicaranya terdengar menghela nafas. "Ketahuan bagaimana? Bukannya semua udah gue kasih tau dan lo udah paham?" "Satu hal yang lo lupa, lo gak kasih tahu parfum yang lo pakai!" Suara diseberang terdengar sangat kesal, "sorry, gue gak berpikir sampai kesitu. Apa itu jadi masalah? Gue yakin lo bisa mengatas
Bab 84"Ternyata lo masih ingat wangi parfum Tika," ejek Riko. "Padahal sudah hampir enam bulan kita semua tidak pernah ketemu sama lo," imbuhnya lagi menatap tak percaya pada pria pirang itu."Lo salah, gue dan Tika dua bulan lalu baru bertemu. Kalo gak percaya tanya aja langsung pada orangnya."Agha melirik tajam pada Tika yang duduk dengan meremas kedua tangannya. Sontak semua mata tertuju pada Tika, dengan cepat Tika mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan Agha yang semakin curiga melihatnya."Kalian tahu sendiri 'kan. Parfum yang digunakan Tika sangat menyengat dan bahkan bukan hanya gue yang menyadari jika Tika tidak pernah berganti parfum."Pandangan Agha masih tetap pada Tika yang duduk gelisah dengan kedua tangan masih saling meremas"Gu-e, hanya mencoba parfum Rani. I-ya 'kan Ran?" Tika menjawab dengan gugup sembari menyikut pergelangan tangan Rani meminta pembelaan pada gadis berambut sebahu itu."Santai aja kali Gha. Gue baru beli parfum baru dan meminta Tika untuk m
Bab 83Mentari merangkak menuju barat, tanda sore semakin merayap. Senja menyapa dengan lambaian warna jingganya. Keluarga Artha terlihat panik karena tidak menemukan Artha di kamar ataupun di halaman belakang. "Lapor polisi, Pah!" seru mamak wajahnya terlihat panik dan kelihatan sedikit pucat. Meskipun melapor kepada pihak yang berwajib belum bisa dilakukan, dengan spontan mamak tetap mengatakannya. Karena wanita paruh baya itu begitu panik dan cemas akan anak gadisnya yang tiba-tiba saja tidak berada di rumah. Artha memang selalu keluar, tapi ia selalu pamit sebelum hendak pergi kemanapun.Jika esok ia akan keluar, maka malam sebelum kedua orangtuanya tidur ia akan pamit dan mengatakan kemana tujuannya atau paling tidak ia akan menelepon atau mengirim pesan. Kali ini, Artha tidak pamit meski baru beberapa jam Artha tidak berada di rumah, tapi naluri keibuannya berkata Artha sedang tidak baik-baik saja. "Belum 1x24 jam Artha menghilang," jawab bapak dengan datar, terlihat santai.
Bab 82Entah kenapa selepas makan siang Agha tampak gusar. Sebentar duduk sebentar lagi berdiri. Begitu terus sampai berulang-ulang. Apa mungkin karena akan menghadapi hari pernikahan, tapi itu akan berlangsung 2 minggu lagi. Ia menyambar kunci mobil dan dompet yang berada di atas meja dengan cepat. Satu-satunya yang ada dipikirannya adalah Artha. Keluarga melarang mereka untuk bertemu sementara sampai pada hari H. Namun, saat ini pikirannya tertuju pada Artha, ada rasa yang tak biasa yang mengganjal. Ia pun sulit mengartikannya, padalah saat istirahat sembari makan siang ia sempatkan untuk video call dengan Artha. Ia pun melajukan mobilnya ke kediaman Artha dengan kecepatan rata-rata, beruntung jalanan tidak begitu macet. Mungkin belum jam kantor pulang. Setelah memarkirkan mobil tepat di depan rumah Artha, ia pun turun dan kedua orangtua Artha juga baru turun dari becak. Mereka berpapasan di depan rumah. "Bere, sudah kami bilang jangan d