Share

3

Keesokan harinya, Artha berangkat ke Indonesia tanpa diantar oleh Aylin. Perjalanan yang ditempuh dari Turki ke Indonesia kurang lebih 20 jam. Itu masih ke Jakarta belum ke Medan. Kota asalnya. Pesawat menuju KNO sedikit delay, karena cuaca pada hari itu mendung. Jadi, pesawat tidak dapat mengudara. Setelah menunggu selama 2 jam lebih, barulah pesawat berangkat. 

Perjalanan dari Jakarta menuju Medan sekitar 2 jam. Badan Artha pegal semua, yang dia butuhkan saat ini adalah kasur yang empuk. Dia ingin segera sampai dan bisa mengistirahatkan dirinya. Hampir satu harian dia berada dalam pesawat. Membuat dirinya jetlag, akibat terlalu lama di pesawat. Setelah 2 jam berada di pesawat, akhirnya sampai juga di bandara.

Sekarang di sinilah dia berada, di kota kelahirannya. Bandara Kualanamu, yang secara resmi beroperasi atau dibuka untuk umum pada tanggal 25 juli 2013. Bandara Kualanamu ini dibangun untuk menggantikan Bandar Udara Internasional Polonia yang telah berusia lebih dari 85 tahun.

Saat ini sudah pukul 11 malam, ini adalah penerbangan terakhir. Sehingga suasana di bandara ini lumayan sepi. Mungkin saja tidak ada mobil atau taxi yang akan membawa Artha keluar dari bandara untuk mencari penginapan. Sesampainya di pintu keluar bandara, dia hanya melihat satu mobil. Apakah mobil itu sedang menunggunya? Atau justru mobil sudah ada penumpangnya? Artha memberanikan diri untuk bertanya.

"Bang," sapanya kepada orang tersebut, "bisa antar saya bang?"

Yang ditanyapun tersenyum, bingung harus mau jawab apa pasalnya dia sudah ada penumpang. "I-iya de, adek mau kemana?"

"Mau ke kota bang, tapi sepertinya hanya ini ya mobilnya? Gak ada yang lain?" Sahutnya sambil melihat ke sekitar berharap ada mobil atau angkutan lainnya.

"Iya dek, hanya motor ini yang ada, yang lain sudah pada pulang dan bawa sewa juga."

(Motor adalah sebutan mobil di daerah Medan. Penggunaan istilah 'mobil' kurang populer di Medan. Mereka lebih senang menyebut mobil dengan nama 'motor).

Kenapa begitu? Apa mereka sudah pada ngantuk? Atau sudah tau tak akan ada penumpang lagi?

Seakan tau apa yang dipikirkan oleh lawan bicaranya, si supirpun berkata" semua supir sudah pada pulang dek, hanya saya yang betah tinggal, bersyukur masih ada sewa, cantik lagi". Dengan tersenyum jahil dan logat kas daerah Medan dia menggoda Artha.

Apa maksudnya ini? Apa supir ini mesum? Takut juga jika naik mobil ini jika hanya mereka berdua.

"Lae, kita jadi berangkat nggak?"suara dari dalam mobil memutus obrolon mereka. Katanya tadi tak ada sewa. Ehhh,,, tapi tak apalah, mudah-mudahan bisa ikut nebeng. Modus juga ini supir ya.

(Lae artinya secara asli ipar, seorang pria dan memiliki saudari maka suami dari saudarinya akan dipanggil lae. Namun seiring berkembangnya zaman dan kata lae ini sering dipakai diperkotaan, maka maknanya bergeser menjadi 'saudara' atau seperti bro untuk bahasa gaulnya).

Sebelumnya, si supir sudah ada penumpang dan mereka sudah saling menyapa dan berkenalan. Jadilah supir tersebut mengajari penumpangnya untuk memanggilnya Lae. Karena dari penampilannya dia bukan orang Medan dan bukan juga orang pribumi lebih ke bule gitu.

Sambil menghampiri ke sumber suara, "bentar lek, ada satu orang lagi, cewek cantik, kasihan gak ada motor lagi hari ini. Bisa tidak dia ikut sama kita lek?" Tak ada sahutan dari dalam mobil. Tetapi dari raut mukanya yang dilihat supir sepertinya orang itu setuju.

"Ayok dek, kita sama lae itu, mau 'kan adek ikut satu motor sama kita. Udah malam ini tak ada lagi motor, gak usah takut kau, aku tak makan orang." Lagi-lagi supir itu mengajak Artha dengan logat khasnya.Dan tanpa minta persetujuan, supir itu langsung saja membuka pintu penumpang bagian kiri. Karena bagian kanan sudah diduduki pria tadi.

"Koper saya gimana bang?" Tanya Artha sebelum masuk ke mobil.

"Tenang, nanti saya masukkan ke bagasi, adek masuk saja dulu."

" Terima kasih bang," Artha dengan tenang masuk ke mobil dan tak lupa menutup pintu mobil.

Sementara supir tersebut memasukkan koper ke bagasi dan bergegas masuk ke mobil dan segera menghidupkan mesin mobil. Mobilpun berjalan perlahan menyusuri jalanan bandara. Lima menit kemudian mobil sudah berada di pintu keluar bandara.

Tanpa sengaja supir melihat dari kaca spion tengah mobil. "Kok diam saja lek, dek?" Supir sengaja berbicara karena suasana dalam mobil tersebut seperti kuburan. Sunyi mencekam, bahkan lebih parah dari kuburan.

Untuk memecahkan suasana hening dalam mobil tersebut, supir itupun memperkenalkan dirinya "nama saya Baringin Malau, dari dolok masihol," masih dengan logat kasnya dia berbicara.

Sekalipun sudah lama merantau keluar pulau sumatera, jika kembali lagi ke Medan. Logat itu tidak akan pernah hilang. Itulah ciri khasnya, bukan hanya si Baringin itu saja. Sebagian bahkan hampir 90% penduduk kota Medan, sejauh manapun kaki melangkah, sangat sulit untuk melupakan logat daerahnya. Ciri khasnya itu adalah dalam penekanan huruf "e". Dan juga jika berbicara terkesan seakan marah-marah.

"Ohh, aku boru Sa ... Auw..." Belum sempat dia meneruskan kata-katanya tiba-tiba saja mobil menabrak sesuatu. "Hati-hati nyetirnya bang," Artha mengingatkan.

"Maaf dek, Lek. Ada jalan berlobang tadi, jadi aku tak sempat mengelak."

"Sudahlah jangan mengoceh terus, bisa- bisa kita tak jadi ke hotel. Malah ke hotel del Luna itupun klo kita diterima." Nah, 'kan mulailah keluar dialek Medan itu, meski sudah lama merantau jauh. Beda pulau, beda negara, beda cuaca lagi. Tetap ciri khas itu tak lupa dari dirinya. Sudah tersemat sejak lahir.

Baringin tertawa menanggapi perkataan Artha sementara penumpang disamping Artha hanya diam saja. "Apa itu hotel del Luna dek?" Tanya Baringin kemudian.

"Pernah nonton drakor tidak bang? Itu salah satu judul drama korea bang, tempat persinggahan sementara bagi para arwah yang akan terbang ke alam baka. Itu hanya ada di dramalah bang. Di dunia nyata mana ada itu. Lanjutlah mengemudi bang dan hati-hati agar kita selamat sampai tujuan." Artha menjelaskan sambil mengingatkan agar tetap hati-hati. Mana mau dia mati muda 'kan?

Artha melirik sekilas pria disebelahnya. Dan tatapan mereka bertemu dikaca mobil samping pria itu. Saling menatap dan membisu, pria itu tak mengalihkan pandangannya begitupun Artha. Seakan ada yang menghipnotis mereka.

"Ke hotel mana kita ini lek?" Baringin kembali berbicara mengalihkan pandangan mereka berdua.

"Lae saja yang rekomendasikan ke hotel mana kita, lae lebih tahu daerah Medan, bukan?" Pria tersebut menjawab sambil menetralkan detak jantungnya.

"Oh, ya sudah ke Hotel DT saja kita, kebetulan calon aku kerja disana, hitung-hitung buat tambahan komisi dia. Bagaimana dek?" Supir bertanya kepada Artha sambil melirik ke kaca spion tengah mobil.

"Fokus bang, lihat ke depan klo bawa motor. Aku ikut saja bang. Sudah lama juga aku tak ke medan ini. Hampir delapan tahunan, sudah banyak berubah ku tengok kota Medan ini" jawabnya sambil melihat keluar jendela. Menikmati angin malam.

Obrolan mereka di dominasi oleh si Baringin ini. Sesekali membuat candaan, menceritakan pengalaman hidupnya yang sudah berkeliling Indonesia. Karena begitu dia tamat SMA langsung pergi merantau. Baru setahun dia jadi supir travel di Kualanamu ini, jadi tidak begitu banyak dia tahu tentang kota Medan yang sudah banyak perubahan. Mobil yang mereka tumpangi akhirnya tiba di tujuan.

Namun sepasang penumpang itu larut dalam lamunan masing-masing. Entah apa yang mereka pikirkan. Terlebih pria tersebut yang banyak diam, seperti seseorang yang tak terjamah. Hanya Artha yang sedikit menanggapi celoteh supir itu.

"Kita sudah sampai Lek, dek," suara supir mengejutkan lamunan mereka.

"Ahh, iya bang. Bantu turunkan koperku bang."

Baringin menurut dan bergegas ke belakang mobil menurunkan semua barang-barang mereka dari bagasi. Saat Artha ingin membayar berapa biaya mobil, Baringin menolak dan sudah dibayar lunas.

Pastilah pria tersebut yang membayarnya. Tak ingin berhutang budi. Artha segera menyusul pria tersebut masuk ke hotel menghampiri meja resepsionis.

"Bang, berapa tadi abang bayar biaya motor itu? Kita bagi dua saja ya, tak enak kurasa hanya abang saja yang bayar." Begitulah ucapannya, tak malu-malu. Meski sudah lama di negeri orang, dia tak melupakan logat dari daerahnya.

Tak ada sahutan dari pria tersebut. Dia diam menatap wajah gadis didepannya. Memindai setiap inci wajah gadis tersebut. Dilihatnya dari mulai ujung rambut sampai kaki dan berhenti menatap manik mata gadis tersebut.

"Manis," gumannya tanpa sadar dan masih didengar oleh Artha.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status