“Bu-ibu, liat itu suaminya Mbak Maya lagi nyapu teras. Saya kok nggak habis pikir ya, Mbak Maya kan cantik, pintar, dari keluarga mapan, orang tuanya juga terpandang di sini. Tapi kok mau-maunya nikah sama suami orang! Maksudnya bekas suami sahabatnya."
"Bu Joko hati-hati kalau ngomong. Tidak
enak kalau sampai terdengar Mbak Maya. Dia baik orangnya nggak pernah nyenggol orang lain."
Itulah gunjingan-gunjingan yang selalu kudengar hampir tiap pagi ketika membeli sayuran di tukang sayur keliling yang biasa mangkal di dekat rumah kami.
Namaku Maya Damayanti, wanita yang bersuamikan bekas suami sahabatku, Tantri. Dan karena kata bekas itulah satu per satu masalah mulai menghampiriku.
"Mas kamu nggak kerja? Udah jam delapan ini," ujarku menghampiri mas Dendi yang masih asyik memegang gagang sapu membersihkan teras rumah kecil kami.
"Nantilah, Sayang. Baru jam delapan, belum jam sepuluh," kekehnya melanjutkan kembali kegiatannya.
Entah apa yang Tantri pikirkan sampai-sampai ia meminta cerai pada laki-laki sebaik mas Dendi. pernikahan mereka hanya bertahan selama setahun kurang 7 bulan, padahal pesta yang diadakan sewaktu mereka nikah sangat mewah.
"Yasudah, aku mandi dulu ya. Sudah telat, nih."
"Ya, mandilah sayang, nanti bisa kena SP lagi kalo kamu telat," ucap Mas Dendi dibarengi senyum hangat.
Aku tak mengira jika pada akhirnya kami berjodoh, padahal awalnya aku dan Mas Dendi hanya sebatas teman ngobrol biasa, walau kadang ia juga suka curhat tentang hubungannya dengan Tantri kala itu. Tapi aku sama sekali tak pernah ada pikiran jika pria yang selama ini curhat padaku akan menjadi teman hidupku. Namun, meski demikian aku masih bertanya-tanya kenapa Tantri memilihku untuk menikah dengan mantan suaminya? Apakah karena mereka tak bahagia atau belum dikaruniai anak atau….
"Sayang ... Sayang ... kamu belum selesai juga?"
Ketukan pintu dari Mas Dendi mengagetkanku. Aku bahkan belum menuangkan shampo yang ujungnya telah ku gunting.
"I-iya, Mas. sebentar." Buru-buru aku mandi agar tak memperlambat laju Mas Dendi karena kami beda kantor. Kantor Mas Dendi lumayan cukup jauh dari rumah kami, dan kantor tempatku mencari nafkah cukup dekat.
"Maaf ya, Mas lama,” ucapku keluar dengan rambut yang masih basah karena terburu-buru.
Mas Dendi kulihat tertawa geli saat melihatku keluar kamar mandi. Aku memiringkan kepala bingung apa yang sedang ditertawakan suamiku.
"Kenapa, Mas? Ada yang lucu?" tanyaku kulihat diriku sendiri.
"Ini ...." Tangan Mas Dendi menjamah rambutku, ternyata masih ada sisa shampo yang belum terbilas dengan bersih.
"Astagaaaa!! Bagaimana bisa?" Aku malu setengah mati. Wajahku merah padam dan langsung bergegas ke kamar untuk ganti baju.
Di kamar, degup jantungku sangat kencang sampai aku tak bisa mengatur ritmenya. Entah sudah kali ke berapa Mas Dendi membuat jantungku hampir copot. Meski kami telah menikah, tapi pernikahan kami masih seumur jagung, baru dua tahun rumah tangga ini berjalan. Tapi aku mengenal Mas Dendi sudah hampir lima tahun sejak masih menjalin hubungan dengan Tantri.
"Ya Tuhan, jika Mas Dendi selalu bersikap seperti itu, lama-lama jantungku copot,” ujarku menuju lemari pakaian yang ada di ujung kamarku. Pekerjaanku sebagai staf marketing di salah satu majalah wanita memang memberikan keuntungan padaku, setidaknya aku bisa belajar menjadi perempuan pada umumnya karena sejak kecil aku sangat tomboy bahkan untuk pakai rok saja aku harus bertengkar dengan ibuku.
"Sayang, kamu udah selesai ganti bajunya?"
"Sudah Mas."
Aku gegas membuka pintu kamar kami dan bergantian memakainya. Terdengar aneh, ya? Pasangan suami-istri yang menikah secara sah, tapi enggan berganti pakaian bersama. Ini memang keinginanku, karena aku belum terbiasa, dari teman menjadi pasangan, aku masih b-benar belum percaya.
"Mas mau sarapan apa?" tanyaku sebelum meninggalkan kamar.
"Tolong belikan ketoprak aja, sayang."
Aku mengangguk. Tak perlu buang waktu karena waktu terus berjalan, buru-buru kumelangkah meninggalkan rumah mungil dan nyaman, kulihat masih ada tukang sayuran langgananku di sana. Seperti biasa, selalu setia ditemani ibu-ibu komplek perumahan tempat tinggal aku dan suami.
"Mau ke mana Mbak Maya?
Buru-buru amat.” Salah seorang tetanggaku menyapaku.
"Mau ke depan Bu. Beli ketoprak untuk suami saya," timpalku tersenyum.
Entah siapa yang memulai atau ada apa dengan para ibu komplek tempat tinggalku. Salah satu dari mereka ada yang latah dan mengatakan suamiku adalah suami bekas.
Mendengar latahan salah seorang ibu-ibu yang ada di tukang sayuran tersebut aku hanya bisa tersenyum pasi dan cepat-cepat pergi.
"Memang apa salahnya sih dengan mantan suami orang? Kayak mereka semua yang ngomong suci aja!" Aku sangat kesal sampai nggak sadar Mas Dendi memperhatikanku.
"Kenapa Sayang? Kok ngedumel gitu? Masih pagi ini."
"Mas Dendi?" aku sedikit terkejut ternyata suamiku sedang duduk di kursi reot ruang tamu kami.
"Sini ... sini, cerita sama Mas." Tepuk Mas Dendi pada kursi kosong di sebelahnya.
Kuturuti ucapan suamiku meski masih kesal dan geram dengan omongan ibu-ibu lambe turah tadi. Aku berusaha untuk tak bicara dengan nada tinggi dengan mas Dendi.
"Kenapa? Coba cerita." Ujar Mas Dendi mengelus lembut punggung tanganku.
"Aku kesel banget mas sama tuh mulut ibu-ibu komplek sini! Mereka punya mulut nggak dijaga apa! Seenaknya main ngomong nggak dipikir!" kesalku tanpa sadar nada bicaraku meninggi.
"Emang mereka ngomong apa?"
Aku langsung diam. Antara ingin memberitahu atau tidak, karena bagaimanapun juga aku harus menjaga perasaan suamiku.
"Itu…." Kuggigit bibir bawahku. "Mas, udah jam setengah 9, kamu nggak berangkat? Udah siang banget, lho ini. Aku juga harus berangkat." Kilahku dengan cepat berdiri untuk menghindar dari pertanyaan Mas Dendi.
"Maya…" panggilnya dengan lembut.
Aku tak tega membalik badanku dan pada akhirnya berdiri memunggungi suamiku. Kutahan air mataku supaya Mas Dendi tak tahu apa yang orang-orang ucapkan tentangnya, kami, dan pernikahan ini.
"Bukan apa-apa mas. Mereka cuma iri karena kita keluarga kecil yang bahagia meski hidup sederhana," ucapku.
Aku tak tahu bagaimana ekspresi wajah mas Dendi karena tak berani menatap wajahnya.
"Tidak sopan memunggungi orang yang lagi bicara sama kamu apalagi suamimu yang sedang bicara," ujarnya dengan nada lembut dan pelan.
Mau tak mau akhirnya aku berbalik badan dan pecahlah tangisku di hadapan mas Dendi.
"Sayang, kamu kenapa? Kok nangis?" Mas Dendi langsung panik dan memelukku.
"Mereka jahat, mas! Mereka semua keterlaluan! Apa salah jika aku menikahi suami sahabatku sendiri? Toh, kalian sudah pisah, kan? Tapi kenapa mereka sering mencibir kamu!!" aku menangis sekencang-kencangnya, tak peduli dengan make-up yang mulai luntur di wajahku.
"Jadi karena ucapan mereka kamu begini?"
Aku mengangguk. "Mas juga kenapa diam aja, sih? Kenapa kamu nggak kasih tahu mereka siapa mas sebenarnya, biar mereka melek mas!" ujarku kesal.
Mas Dendi yang biasanya selalu punya alasan untuk tak mengungkap identitasnya kini diam. Aku pun sedikit mendongak untuk melihat ekspresi wajah suamiku. Begitu terkejutnya aku saat melihat mata kemerahan dan rahang pipi yang mengeras.
'Apakah mas Dendi sedang marah atau ia akan mengatakan yang sebenarnya pada orang-orang?' batinku.
“Mas, apa kamu mau jujur ke orang-orang yang sudah menghina kamu?”
“Kita sudah sampai Mbak. Mbak … Mbak.”“O-oh, iya … maaf, Mas Yoga.” Aku buru-buru mematikan ponsel dan turun dari mobil. “Wah, panjang banget antriannya, ya,” kataku melihat barisan panjang orang-orang di sebuah tempat makan yang mungkin lebih mirip kaki lima. “Kira-kira kita masih kebagian nggak ya?” tanyaku meragu dengan situasi di depanku saat ini.“Kebagian, kok. Jangan khawatir.” “Eh, kebagian?” aku langsung menoleh ke arah Yoga dengan banyak pertanyaan dalam benakku. Masa sih? Antriannya aja ngalahin bus Transjakarta, batinku.“Yuk, Mbak.” Yoga spontan menarik tanganku masuk dari arah berlawanan. Kami tidak mengantri seperti orang-orang itu. Aku pun diam dan seperti orang bodoh mau saja diajak ke sana-sini.“Mbok Jum, sotone kaleh (Bu Jum, sotonya dua),” ucapnya sambil mengangkat dua jarinya dan tersenyum. Wanita tua yang ada di depanku dengan batik lusuh warna coklat pudar serta jarik (kain) lurik dan celemek yang penuh dengan warna kuning serta bermacam-macam warna yang sang
“Sudah sampai.”Yoga mengantarku hingga ke depan pintu kamar hotel. Aku pun hanya bisa mengangguk menahan malu dan rasa tak enak karena beberapa saat lalu tanganku mengalung di lengan kekarnya tanpa permisi. Tak ada kata yang terucap dari kami. Saat hendak menempelkan kartu hotel, suara berat dan pelan Yoga tiba-tiba membangunkan bulu kudukku.“Aku dulu juga punya pengalaman yang sama seperti Mbak Maya.”“A-apa? Maaf Mas Yoga?” kepalaku pun langsung spontan menoleh ke kiri tepat melihat pria ini dengan tatapan bingung.“Maaf, jadi curcol.” Tawanya sambil garuk-garuk kepala. “Yasudah, kalau begitu saya pamit dulu, Mbak Maya. Selamat malam dan selamat beristirahat.” Tubuh tegap pria itu segera balik kanan mengayun langkah seraya memasukkan kedua tangannya ke dalam celana bahan hitam polos. Aku melihat punggung lebar dan gagah sepupu Dina sedikit sendu. Aku tak salah dengar! Dia mengatakan sesuatu yang aku yakin berhubungan dengan masa lalunya.***“Ah, lelahnya!” tubuhku langsung kuhemp
“Karena pernikahan kita di ujung tanduk.”“Apa maksudmu, May? Kenapa bicara begitu? Kenapa tiba-tiba ….” Mas Dendi terbelalak, begitu pula Yoga. Aku pun tak menyangka bisa bicara seperti ini.“Bukankah semua sudah jelas, Mas? Pernikahan kita sudah hancur!” tegasku namun masih dengan suara datar dan rendah. “Kenapa kamu bisa bilang begitu, May? Tolong jelaskan,” pinta Mas Dendi. Dari raut wajahnya, aku tahu dia sangat terkejut dan shock dengan ucapanku. Aku melirik ke arah Yoga yang sepertinya penasaran dengan rumah tanggaku, tapi tak mungkin juga ‘kan aku cerita, dia orang lain. Masa aib aku ceritakan dengan orang yang baru pertama bertemu.“Itu-”Belum lagi aku selesaikan ucapanku, ponsel milik Mas Dendi berdering nyaring. Dan firasatku mengatakan itu adalah Tantri!“Kenapa nggak diangkat?” tanyaku tersenyum sinis.“Nanti aja, nggak penting!” jawab Mas Dendi. Memang dia tak menjawab telepon yang masuk, tapi Yoga merasa risih dan terganggu dengan deringan berisik ponsel milik suamik
Aku dan Yoga berjalan tak tentu arah. Entah ke mana kaki membawa kami, tapi yang kutahu aku harus menjauh dari suamiku dan Tantri. Air mataku sudah hampir terlepas dari kelopak mata, kucoba menahan namun tak bisa. “Kalau Mbak Maya capek, berhenti dulu di sini nggak apa-apa.”Aku terkejut dan menoleh ke samping kiriku. Yoga, lelaki yang baru kukenal hari ini entah mengapa suaranya begitu menenangkan dan membuatku merasa aman. Suara berat ditambah senyum khas mas-mas Jawa menambah nilai plus pada dirinya.“M-maaf.” Kulepas genggaman tanganku yang ternyata masih melekat ke tangan Yoga. Canggung, aku balik badan dan memalingkan wajah karena malu.“Kita duduk dulu, Mbak Maya?” ajak Yoga menunjuk sebuah bangku panjang tepat di depan benteng Vredeburg. Aku membaca tulisan warna hitam timbul itu sambil berkaca-kaca. “Mbak Maya ….”Aku mengangguk. “Maaf atas ketidaknyamanannya, Mas Yoga.” Tundukku tak enak karena orang lain harus tahu masalah rumah tanggaku.“Nggak apa-apa, Mbak. Saya paham k
“Tantri! Mas Dendi!” ucapku tak kencang namun tetap saja rasa kejut ku sangat besar.“M-May?” suamiku tampak terkejut melihat keberadaanku. “Maya, kebetulan banget kita ketemu di sini.” Tantri langsung mendekatiku yang awalnya dia sangat dekat dengan suamiku, bahkan seolah tiada berjarak. “Kamu sama siapa ke sini?” tanya Tantri mengalungkan tangannya ke lenganku.“Teman,” kataku tersenyum tipis sambil melepaskan tangannya.Mas Dendi sepertinya kikuk dan salah tingkah melihat sikapku pada Tantri, begitu pula Tantri. Sambil mendekat, Mas Dendi berkata, “Sama siapa ke sini May? Kenapa nggak ngomong sama Mas?” tanya suamiku tapi sekilas melirik Tantri.“Kupikir Mas sudah ganti nomor telepon atau menghapus nomorku,” sindirku menatap mereka berdua.“Kenapa Mas harus begitu? Memangnya ada apa?” Kukepalkan kedua tanganku kencang. Apa-apaan ucapan Mas Dendi? Benarkah ini suamiku?“Permisi, Mas, Tantri. Aku harus pergi.” Tak tahan melihat dua manusia ini, aku memutuskan untuk menghindari mere
Akhirnya kami tiba di Gambir dan segera mencetak tiket. Tak lama, pengumuman jika kereta yang akan kami naiki telah tiba. Aku dan Dina segera bergegas, saat sampai di tempat duduk, Dina lagi-lagi menghubungi sepupunya yang berada di Jogja. Entah sudah keberapa kali dia menghubungi sepupunya itu, membuatku semakin penasaran.“Din, sepupumu itu … dia angkatan?” tanyaku coba tak terlalu kepo walau aslinya sangat ingin tahu.“Kenapa? Kepo, ya?” kekeh Dina.“Ish, cuma tanya aja kok. Nggak mau jawab ya udah,” sahutku mencebik.Dina tertawa lebar, “Dia AAU,” singkatnya.“AAU? Apa itu?” “Astaga, Mayaaaaa!! Kamu emang nggak pernah belajar RPUL apa?” Dina tersontak.“Ya belajar, tapi ‘kan aku emang nggak tahu apa artinya,” ujarku membela diri.“Hadeh, yaudah deh. Simpan rasa kepomu, nanti juga tahu sendiri.” Dina tersenyum lebar sembari mencubit gemas pipi kiriku. “Aku jamin saat kau bertemu sepupuku ini matamu akan keluar dan nama Dendi langsung terhapus dari otakmu,” kekehnya.“Benarkah? Apa