"Cantik," puji Bimo pada Thena yang terlihat sedang mematut dirinya di depan cermin yang menempel di lemari lapuknya.
Thena yang sedang membubuhkan lipstik di bibirnya itu pun seketika jadi menunduk malu. Ini pertama kalinya Bimo memuji kecantikannya, dan ini membuat Thena menjadi malu sekaligus senang.
"Itu baju dari Mamah?" tanya Bimo dengan wajah yang terlihat lebih sumringah dari sebelum-sebelumnya.
"Iya, kemarin Mamah ngasih ke aku. Kenapa? Gak cocok ya dipake sama aku?" tanya Thena yang tiba-tiba merasa tidak percaya diri.
"Aku gak bilang gitu, kenapa jadi gak pede, hm? kamu makin cantik pake baju itu, cocok banget."
Thena semakin tersipu malu. "Kata Mama, hari ini pak Mandor mau beli barang kamu itu, jadi katanya aku harus dandan cantik. Kamu gak pake baju bagus, mas?"
Bimo tersenyum lebar lalu menggeleng kuat. "Aku kayaknya gak perlu pake baju bagus. Duitnya gak cukup buat beli dua baju baru, jadi aku beli buat kamu aja."
"Oh... jadi ini pake uang kamu?"
"Uang aku sama Mamah sih, kita patungan. Lagian, liat kamu secantik ini aja aku udah ngerasa bangga kalo aku juga mampu beliin kamu barang bagus, masa bodoh lah kalo misalnya aku gak bisa pake baju baru, yang penting kamu dulu."
Ah... Thena merasa hatinya menghangat. Ia sangat senang dan terharu kalau ternyata Bimo juga sangat memperdulikannya.
***
Pak Mandor itu benar-benar datang dengan sekoper uang. Bisa Thena lihat bagaimana wajah Bimo dan Rika sangat berbinar saat melihat gepokan uang di dalam koper itu.
Bahkan, jika saja Bimo dan Ratih tidak menutup mulutnya, mungkin saja liur mereka akan menetes deras karena melihat uang sebanyak itu.
"Barangnya belum kamu gunakan lagi kan? Tuan Brian gak suka kalo barang yang ingin dibelinya disentuh dulu," ucap pak Mandor datar.
"Oh enggak kok pak, barangnya masih mulus, gak pernah saya pake lagi," ucap Bimo membantah cepat. Kemudian, ia pun melirik ke arah Thena dan melambaikan tangannya untuk meminta Thena mendekat dan duduk disampingnya.
Tak ada sofa empuk. Itu hanya kursi bambu dibuatkan oleh buatkan Bapaknya Thena beberapa bulan yang lalu.
Pak Mandor itu melirik Thena, dan menatapnya lekat-lekat. Mata Mandor itu terlihat seperti meneliti Thena dari ujung rambut sampai ujung kakinya, membuat Thena merasa canggung dan tidak nyaman.
"Uangnya 4 Milyar kan, pak? Gak kurang, kan?" tanya Bimo yang langsung membuat pandangan mandor itu teralihkan.
Thena menghela napas lega untuk hal itu.
"Itu sudah pas 4 Milyar," kata mandor itu lalu begerak membalikkan koper yang terbuka itu jadi menghadap ke arahnya. "Tapi, kamu harus ingat Bimo. Kalau aku sudah menyetujui proses jual beli dan barangnya memang bagus, kamu cuma dapat 1Milyar sedangkan sisanya adalah pelunasan hutang."
Walau terlihat agak kecewa, tapi pada akhirnya Bimo pun menyetujui hal itu. Toh uang 1 Milyar itu sangat banyak!
"Gapapa deh, pak. Dari awal kan saya emang udah setuju kalo barangnya udah dijual, sebagian besar uangnya buat pelunasan, yang penting hidup saya tenang. Uang 1 Milyar pun udah cukup banget!" serunya semangat. "Jadi, gimana, Pak? Bapak suka gak sama barangnya?"
"Iya, saya suka," ucap mandor itu seraya membuka amplop coklat berukuran lumayan besar, lalu memasukkan beberapa gepok uang ke dalam sana, sementara sisanya langsung dibiarkan di dalam koper yang sengaja ditutup setelahnya.
"Kalo cocok, sinikan uangnya pak."
Namun, Mandor itu tidak mendengarnya. Ia malah sibuk mengeluarkan selembar kertas dari saku jaket kulitnya, lalu memberikannya pada Bimo.
"Tanda tangan dulu," ucap pak Mandor.
Itu adalah kertas perjanjian jual beli dengan materai yang sudah ditempel di bawahnya. Tanpa banyak berpikir, Bimo langsung menandatangani surat perjanjian itu tepat di atas materai, lalu bergegas memeluk sekantung penuh uang di hadapannya.
"Tapi, mas... barangnya mana? Aku kok gak liat?" tanya Thena bingung.
Ia masih tidak mengerti dengan situasi yang terjadi saat ini. Apalagi Bimo langsung mendapatkan uang sebanyak itu, sementara Thena tak sekalipun melihat wujud dari barang berharga yang dimaksud oleh Bimo.
Mendengar itu, Bimo menyeringai lebar. Sebuah seringai aneh, yang membuat jantung Thena sempat mencelus saat melihatnya.
Thena takut.
"Oh... aku lupa, kamu ternyata belum aku kasih tahu ya seperti apa barangnya?" kata Bimo seraya membelai rambut kecoklatan milik Thena. "Tapi, sayang. Maaf, kayaknya aku udah gak punya hak buat ngejelasin ke kamu. Biar pak mandor aja yang ngejelasin," lanjutnya.
Thena semakin dibuat bingung dengan ucapan Bimo yang tidak jelas itu. Tiba-tiba saja, Thena merasakan jantungnya berdebar kencang, begitu bertalu-talu.
"Maksudnya gimana, Mas?"
Bukannya langsung menjawab pertanyaan Thena, Bimo malah melirik ke arah Pak Mandor yang sedari tadi menatap mereka berdua dengan tatapan matanya yang datar.
"Pak Mandor, tolong jelaskan. Rasanya di sini anda jauh lebih berhak mengatakannya daripada saya," kata Bimo ringan.
Mandor itu tidak menjawab, tapi ia langsung menatap Thena tepat di matanya.
"Kamu sudah dijual oleh suamimu," kata Mandor itu ringan. "Tuanku adalah seorang yang tuli, lumpuh dan bisu. Menikahlah dengan tuanku, agar semua hutang suamimu lunas. Ini bukan tawaran ataupun permintaan, karena kamu gak bisa menolaknya. Aku sudah memberikan uang untuk suamimu, jadi siap atau tidak, kamu harus menerimanya."
Seolah palu godam dipukulkan ke tubuhnya, dalam hitungan detik, Thena merasa nyawanya direnggut paksa sementara raganya hancur berantakan.
"Apa maksudnya ini semua, mas? kamu bilang mau hidup bahagia sama aku, kan? pak Mandor ini pasti bohong, kan?" tanya Thena dengan suara tercekik.
Mata sayunya yang berlinangan air mata itu menatap nyalang ke arah Bimo yang terlihat tidak merasa berdosa sama sekali.
"Lo ngomong apa Thena? Lo baper cuma karena gue baik-baikin lo, hm?" tanyanya lalu tersenyum miring, terlihat sangat meremehkan Thena. "Bangun... Thena, bangun! Tidur lo terlalu miring. Jangan kegeeran. Gue gak pernah bilang kalo gue cinta sama lo, terus mau hidup bahagia sama elo, jangan ngarang! gue baik karena itu bagian dari strategi gue."
"K-Kamu... K-Kamu kenapa tega sama aku, mas? aku salah apa?"
Tangis itu tidak lagi bisa ditahan oleh Thena, ketika bahkan hatinya terasa terkoyak dan dicabik-cabik.
"Hmmm lo gak terlalu salah, sih. Cuma takdir hidup lo aja yang kurang beruntung. Lo gak akan hidup bahagia sama gue, Thena, begitupun gue. Jadi, daripada kita sama-sama gak bahagia dan gue jadi tertekan karena hidup sama lo, lebih baik gue kasihin lo ke orang lain. Liat, gue dapet uang dan utang gue lunas. Gue talak lo, Thena. Talak 2. Karena setelah ini, gue mau nikah sama Ayu– cewek yang gue cinta dari dulu."
Semua kalimat itu Bimo ucapkan dengan tenang dan dengan nada ceria yang begitu kentara sekali.
Seketika, telinga Thena terasa tuli. Ia tidak kuasa lagi mendengarkan semua ucapan suaminya yang tega menjualnya itu.
Air matanya mengucur deras, dan kepalanya terasa berputar.
Apa artinya semua kalimat manis itu? Apa artinya baju mahal, lipstik dan juga bedak yang Thena dapatkan kemarin itu?
Ia sudah merasa dilambungkan setinggi langit, tapi hari ini dia dijatuhkan sampai rasanya tak kuasa untuk bangun lagi.
"Aku mencoba jadi istri terbaik, mas. Apa itu masih kurang? Baju, lipstik, bedak dan segala perhatian kamu, itu buat apa? apa gak ada artinya sama sekali buat kamu?"
"Iya, gak ada artinya sama sekali. Sumpah demi Tuhan, Thena... gue gak pernah sekalipun cinta sama lo. Alasan kenapa gue nyentuh lo dan berhubungan intim itu ya cuma karena kebutuhan doang, gak lebih. Jadi, cepet-cepet deh lo sadar terus pergi dari hidup gue. Nikah sana sama tuan Brian. Dia kaya raya. Kasar juga. Gue harap lo lebih menderita hidup sama dia," papar Brian tak punya hati.
Brian terbahak-bahak, terlihat sangat puas dan senang. Sedangkan Thena menangis tersedu-sedu maratapi takdir hidupnya yang mengerikan ini.
"Selamat menempuh kehidupan penuh penderitaan yang baru, Thena. Tolong dinikmati, ya?" Itu suara Rika menimpali.
Ia tertawa terbahak-bahak bersama Bimo, mengejek kesengsaraan hidup Thena.
Hari Senin pagi, Athena begitu semangat melangkahkan kakinya memasuki lift VIP khusus para eksekutif perusahaan.Hari ini sangat menyenangkan bagi Athena karena ia berangkat bekerja diantar oleh Reza. Pria itu bahkan datang pagi-pagi sekali untuk sekadar menjemput Athena. Bahkan,Reza begitu telaten menyuapi Valerie, membuat Athena merasa benar-benar punya pasangan yang cocok untuk dirinya dan ayah yang baik untuk anaknya."Morning, Bu Aleah. Anda sepertinya sangat ceria hari ini, tidak seperti biasanya." Suara Brian menyapa.Sontak, saat itu Athena menoleh ke belakang, untuk sekadar mendapati Brian yang tersenyum tipis ke arahnya.Ah, sial memang. Saking larutnya dalam rasa senang, Athena bahkan sampai tidak melihat keberadaan Brian.“O-Oh… morning pak Brian,” sahut Athena sedikit terbata. Ia berdeham sejenak sebelum akhirnya ia menetralkan raut wajahnya kembali menjadi terlihat tanpa ekspresi."Diantar oleh suami, bu?" ta
You Hate When People See You Cry Because You Want To Be That Strong Girl. At The Same Time, Though, You Hate How Nobody Notices How Torn Apart And Broken You Are.(Anonymous)***“Baba, pon unyi.” (Papa, handponenya bunyi.) Suara menggemaskan itu terdengar, disusul dengan langkah kecil Valerie yang datang menghampiri Andreas dengan sebuah ponsel yang digenggam erat oleh tangan mungilnya.Andreas dan Athena yang saat itu sedang duduk di ruang tamu membicarakan soal bisnis pun akhirnya menoleh ke arah Valerie yang berjalan sedikit limbung ke arah mereka.“Oh, iya beneran bunyi. Makasih ya?” Andreas menyahut senang seraya meraih tubuh mungil Valerie untuk duduk dipangkuannya.Ia mengambil ponselnya dan menerima panggilan itu untuk beberapa saat, sebelum akhirnya padangdan matanya tertuju ke arah Athena.“Ada apa?” tanya Athena.Andreas tak langsung menjawab. Ia menutup lubang spiker
"Kak Andre," panggil Athena ragu. Ia bersandar pada daun pintu ruang praktek Andreas di klinik pria itu.“Ada apa?” sahut Andreas bertanya, setelah ia selesai membungkus semua obat-obatan racikannya.“Eng… itu… aku mau tanya… apa dokter Reza… suka ngerayain ulang tahun?” tanya Athena dengan suara yang sedikit terbata-bata.Mendengar itu, Andreas pun seketika mengulum senyumnya dan berbalik menatap Athena dengan kedua alis yang sengaja naikkan sebelah, berniat menggoda Athena.“Apa ini artinya kamu mau memberikan lampu hijau pada penantian Reza selama ini?”Athena menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Ia tiba-tiba saja merasa malu dan canggung kalau harus mengakui niatannya.“Eng.. iya, aku pikir kata-kata kakak juga ada benernya. Mulai dari hari ini aku mau buka hati aku buat dokter Reza. Apa kakak tahu di mana dokter Reza biasanya ngerayain ulang tahun?”
“Minum obat anda, tuan.” Suara Ismail menegur Brian yang masih saja keras kepala tak mau meminum obatnya sama sekali.Brian masih tetap memilih terus berbaring lemah di atas tempat tidurnya, sambil terus mendiamkan demam menggorogoti tubuhnya lebih lama lagi.“Berhenti mengoceh, Ismail. Suaramu membuat kepalaku makin sakit,” protes Brian seraya menarik selimutnya sampai menutupi seluruh kepalanya.“Tuan, kan, harus mengurus perusahaan. Belum lagi proyek bersama perusahaan Hilton. Kalau anda masih terbaring lemah seperti ini, bu Aleah Dominique pasti akan marah besar. Anda tahu sendiri bagaimana murkanya beliau seperti apa?"Brian diam. Ia enggan menjawab ucapan Ismail dan memilih tetap memejamkan matanya.Pada akhirnya Ismail hanya bisa menghela napas berat dan mengembalikan botol pil obat anti depresan juga obat demam Brian itu ke dalam laci nakas."Ah, ternyata tuan sudah tak punya semangan hidup. Padahal saya
"Brian Atmaja bercerai," ucap Andreas membaca headline dari berita online yang ia baca di ponselnya. “Ckckck... jaman sekarang berita perceraian orang-orang kaya lebih banyak dimuat di media berita, darpada informasi saham atau apapun yang lebih pending,”lanjutnya berkomentar.Sementara Athena tampak termenung mendengar kabar itu. Entah ia harus bereaksi seperti apa. Sebab, untuk sekadar bergembira pun ia tak mampu. Hatinya sudah terlanjur kosong untuk sekadar memberikan reaksi soal Brian.“Kamu gak mau ketawa gitu?” tanya Andreas seraya menoleh ke arah Athena.Athena menggeleng cepat.“Gak deh makasih. Gak peduli juga hidup mereka berantakan atau apa pun juga, kecuali kalo mereka sengsara karena perbuatanku, barulah aku senang." Sudut bibir Athena berkedut, menyunggungkan senyum miring untuk beberapa saat.Andreas terbahak, lalu mengulurkan tangannya untuk sekadar mengusap gemas puncak kepala Athena.&ldq
Tak ada banyak yang aku harapkan.Cukup dengan melihatmu setiap pagi menyajikan senyum dan ucapan selamat pagi tiap kali aku bangun tidur pun, aku sudah bahagia.Ah, andai semua harap tentangmu bisa jadi nyata, Aleah.(Reza Zanuardi)***"Atas nama ibu Aleah Dominique?" suara seorang kurir langsung menyapa begitu Athena membuka pintu mansion Andreas.Bukannya langsung menjawab, Athena justru mengerutkan keningnya bingung dengan segala tanya di kepala-Dia tahu alamat ini dari mana? batin Athena.“Ya, saya sendiri. Ada keperluan apa?”tanya Athena akhirnya, alih-alih menanyakan pertanyaan yang sebelumnya sempat terlintas di kepalanya.“Oh, ini ada kiriman bunga dan kotak hadiah untuk ibu Aleah Dominique atas nama pengirim Reza Zanuardi,” jawabnya ringan seraya mengulurkan rangkaian bungan mawar-bunga baby birth dan tulip ungu itu kepada Athena.Sedangkan Athena sudah
"Aku gak mau pisah, please...." Mona bersimpuh di kaki Brian. "Aku bisa dihukum mati kalo orang tuaku tahu aku hamil sama orang lain."Surat gugatan cerai itu sudah Brian berikan pada Mona. Sudah ia tanda tangani juga, dan hanya tinggal menunggu Mona untuk menanda tanganinya juga, tapi perempuan itu malah membuat segalanya jadi terhambat."Jangan mempersulit keadaan, Mona. Tanda tangani saja," tukas Brian yang tak memperdulikan bagaimana Mona begitu memohon dengan sungguh-sungguh kepadanya.Perempuan itu bahkan memeluk erat kaki Brian dan tak melepaskannya sekalipun sudah beberapa kali Brian melepaskan tautan tangan Mona dari sana."Aku hamil Brian, jangan ceraikan aku. Kalo kita cerai aku harus gimana? Anakku pasti akan hidup tanpa ayah, Brian. Aku mohon... jangan ceraikan aku."Dengan wajah yang berurai air mata, Mona mendongak menatap Brian dengan tatapan memelas. Ia memohon belas kasihan Brian.Helaan napas berat kemudian terdengar dari
"Ngapain?" ketus Athena saat mendapati Reza dan sepeda motornya yang sudah terparkir di depan pintu keluar lobi kantor.Namun, seolah tak terpengaruh dengan wajah dingin dan ucapan Athena yang ketus, Reza justru memamerkan senyum manisnya pada Athena.“Bukan apa-apa sih. Tadi,aku isi bensinnya full tank. Jok belakang juga kosong,kayaknya seru kalo bonceng kamu,” ujar Reza dengan senyuman manis yang tak pernah sekalipun luntur dari wajahnya, menciptakan dua lesung pipit yang terlihat tak kalah manis menghiasi kedua pipinya.Sial memang.“Saya nunggu kakak saya datang jemput,” sahut Athena menolak secara halus. Ia memalingkan wajahnya ke arah lain,menghindari untuk melihat betapa senyuman manis Reza yang benar-benar mengganggunya.“Andreas ada jadwal OP di rumah sakit, jadi gak mungkin jemput.”“Nanti pasti sebentar lagi pak Lukman bakal jemput ke sini,” kata Athena masih terus mengutarakan
"Tuan tadi kelihatan dingin pada nona Aleah, kenapa?" tanya Ismail begitu ia selesai membantu Brian untuk merebahkan dirinya ke atas tenpat tidur."Karena dia bukan Athena," jawab Brian ringan. "Dia mirip Athena, makanya aku ingin terus melihatnya. Tapi, setelah Athena ditemukan, aku gak lagi mau melihat Aleah. Aku sudah punya tempat tujuan ke mana aku harus melepas rinduku pada Athena," lanjutnya.Mendengar jawaban itu, Ismail pun mengangguk-nganggukan kepalanya."Silakan minum obatnya," ucap Ismal seraya mengulurkan obat anti depresan untuk Brian.Ya, depressi Brian kembali parah setelah ia sangat terpukul dengan penemuan mayat Athena dan Valerie."Aku gak mau minum obat." Brian mendorong pelan uluran tangan Ismail, menghalaunya agar tak memberikan obat itu lagi."Tapi, sakit tuan bisa makin parah kalau gak minum obat.""Aku ingin mati, Ismail... aku cuma ingin pergi," racau Brian membuat Ismail seketika menghembuskan napas be