Share

4. Istri yang dijual suaminya

"Cantik," puji Bimo pada Thena yang terlihat sedang mematut dirinya di depan cermin yang menempel di lemari lapuknya.

Thena yang sedang membubuhkan lipstik di bibirnya itu pun seketika jadi menunduk malu. Ini pertama kalinya Bimo memuji kecantikannya, dan ini membuat Thena menjadi malu sekaligus senang.

"Itu baju dari Mamah?" tanya Bimo dengan wajah yang terlihat lebih sumringah dari sebelum-sebelumnya.

"Iya, kemarin Mamah ngasih ke aku. Kenapa? Gak cocok ya dipake sama aku?" tanya Thena yang tiba-tiba merasa tidak percaya diri.

"Aku gak bilang gitu, kenapa jadi gak pede, hm? kamu makin cantik pake baju itu, cocok banget."

Thena semakin tersipu malu. "Kata Mama, hari ini pak Mandor mau beli barang kamu itu, jadi katanya aku harus dandan cantik. Kamu gak pake baju bagus, mas?"

Bimo tersenyum lebar lalu menggeleng kuat. "Aku kayaknya gak perlu pake baju bagus. Duitnya gak cukup buat beli dua baju baru, jadi aku beli buat kamu aja."

"Oh... jadi ini pake uang kamu?"

"Uang aku sama Mamah sih, kita patungan. Lagian, liat kamu secantik ini aja aku udah ngerasa bangga kalo aku juga mampu beliin kamu barang bagus, masa bodoh lah kalo misalnya aku gak bisa pake baju baru, yang penting kamu dulu."

Ah... Thena merasa hatinya menghangat. Ia sangat senang dan terharu kalau ternyata Bimo juga sangat memperdulikannya.

***

Pak Mandor itu benar-benar datang dengan sekoper uang. Bisa Thena lihat bagaimana wajah Bimo dan Rika sangat berbinar saat melihat gepokan uang di dalam koper itu.

Bahkan, jika saja Bimo dan Ratih tidak menutup mulutnya, mungkin saja liur mereka akan menetes deras karena melihat uang sebanyak itu.

"Barangnya belum kamu gunakan lagi kan? Tuan Brian gak suka kalo barang yang ingin dibelinya disentuh dulu," ucap pak Mandor datar.

"Oh enggak kok pak, barangnya masih mulus, gak pernah saya pake lagi," ucap Bimo membantah cepat. Kemudian, ia pun melirik ke arah Thena dan melambaikan tangannya untuk meminta Thena mendekat dan duduk disampingnya.

Tak ada sofa empuk. Itu hanya kursi bambu dibuatkan oleh buatkan Bapaknya Thena beberapa bulan yang lalu.

Pak Mandor itu melirik Thena, dan menatapnya lekat-lekat. Mata Mandor itu terlihat seperti meneliti Thena dari ujung rambut sampai ujung kakinya, membuat Thena merasa canggung dan tidak nyaman.

"Uangnya 4 Milyar kan, pak? Gak kurang, kan?" tanya Bimo yang langsung membuat pandangan mandor itu teralihkan.

Thena menghela napas lega untuk hal itu.

"Itu sudah pas 4 Milyar," kata mandor itu lalu begerak membalikkan koper yang terbuka itu jadi menghadap ke arahnya. "Tapi, kamu harus ingat Bimo. Kalau aku sudah menyetujui proses jual beli dan barangnya memang bagus, kamu cuma dapat 1Milyar sedangkan sisanya adalah pelunasan hutang."

Walau terlihat agak kecewa, tapi pada akhirnya Bimo pun menyetujui hal itu. Toh uang 1 Milyar itu sangat banyak!

"Gapapa deh, pak. Dari awal kan saya emang udah setuju kalo barangnya udah dijual, sebagian besar uangnya buat pelunasan, yang penting hidup saya tenang. Uang 1 Milyar pun udah cukup banget!" serunya semangat. "Jadi, gimana, Pak? Bapak suka gak sama barangnya?"

"Iya, saya suka," ucap mandor itu seraya membuka amplop coklat berukuran lumayan besar, lalu memasukkan beberapa gepok uang ke dalam sana, sementara sisanya langsung dibiarkan di dalam koper yang sengaja ditutup setelahnya.

"Kalo cocok, sinikan uangnya pak."

Namun, Mandor itu tidak mendengarnya. Ia malah sibuk mengeluarkan selembar kertas dari saku jaket kulitnya, lalu memberikannya pada Bimo.

"Tanda tangan dulu," ucap pak Mandor.

Itu adalah kertas perjanjian jual beli dengan materai yang sudah ditempel di bawahnya. Tanpa banyak berpikir, Bimo langsung menandatangani surat perjanjian itu tepat di atas materai, lalu bergegas memeluk sekantung penuh uang di hadapannya.

"Tapi, mas... barangnya mana? Aku kok gak liat?" tanya Thena bingung.

Ia masih tidak mengerti dengan situasi yang terjadi saat ini. Apalagi Bimo langsung mendapatkan uang sebanyak itu, sementara Thena tak sekalipun melihat wujud dari barang berharga yang dimaksud oleh Bimo.

Mendengar itu, Bimo menyeringai lebar. Sebuah seringai aneh, yang membuat jantung Thena sempat mencelus saat melihatnya.

Thena takut.

"Oh... aku lupa, kamu ternyata belum aku kasih tahu ya seperti apa barangnya?" kata Bimo seraya membelai rambut kecoklatan milik Thena. "Tapi, sayang. Maaf, kayaknya aku udah gak punya hak buat ngejelasin ke kamu. Biar pak mandor aja yang ngejelasin," lanjutnya.

Thena semakin dibuat bingung dengan ucapan Bimo yang tidak jelas itu. Tiba-tiba saja, Thena merasakan jantungnya berdebar kencang, begitu bertalu-talu.

"Maksudnya gimana, Mas?"

Bukannya langsung menjawab pertanyaan Thena, Bimo malah melirik ke arah Pak Mandor yang sedari tadi menatap mereka berdua dengan tatapan matanya yang datar.

"Pak Mandor, tolong jelaskan. Rasanya di sini anda jauh lebih berhak mengatakannya daripada saya," kata Bimo ringan.

Mandor itu tidak menjawab, tapi ia langsung menatap Thena tepat di matanya.

"Kamu sudah dijual oleh suamimu," kata Mandor itu ringan. "Tuanku adalah seorang yang tuli, lumpuh dan bisu. Menikahlah dengan tuanku, agar semua hutang suamimu lunas. Ini bukan tawaran ataupun permintaan, karena kamu gak bisa menolaknya. Aku sudah memberikan uang untuk suamimu, jadi siap atau tidak, kamu harus menerimanya."

Seolah palu godam dipukulkan ke tubuhnya, dalam hitungan detik, Thena merasa nyawanya direnggut paksa sementara raganya hancur berantakan.

"Apa maksudnya ini semua, mas? kamu bilang mau hidup bahagia sama aku, kan? pak Mandor ini pasti bohong, kan?" tanya Thena dengan suara tercekik.

Mata sayunya yang berlinangan air mata itu menatap nyalang ke arah Bimo yang terlihat tidak merasa berdosa sama sekali.

"Lo ngomong apa Thena? Lo baper cuma karena gue baik-baikin lo, hm?" tanyanya lalu tersenyum miring, terlihat sangat meremehkan Thena. "Bangun... Thena, bangun! Tidur lo terlalu miring. Jangan kegeeran. Gue gak pernah bilang kalo gue cinta sama lo, terus mau hidup bahagia sama elo, jangan ngarang! gue baik karena itu bagian dari strategi gue."

"K-Kamu... K-Kamu kenapa tega sama aku, mas? aku salah apa?"

Tangis itu tidak lagi bisa ditahan oleh Thena, ketika bahkan hatinya terasa terkoyak dan dicabik-cabik.

"Hmmm lo gak terlalu salah, sih. Cuma takdir hidup lo aja yang kurang beruntung. Lo gak akan hidup bahagia sama gue, Thena, begitupun gue. Jadi, daripada kita sama-sama gak bahagia dan gue jadi tertekan karena hidup sama lo, lebih baik gue kasihin lo ke orang lain. Liat, gue dapet uang dan utang gue lunas. Gue talak lo, Thena. Talak 2. Karena setelah ini, gue mau nikah sama Ayu– cewek yang gue cinta dari dulu."

Semua kalimat itu Bimo ucapkan dengan tenang dan dengan nada ceria yang begitu kentara sekali.

Seketika, telinga Thena terasa tuli. Ia tidak kuasa lagi mendengarkan semua ucapan suaminya yang tega menjualnya itu.

Air matanya mengucur deras, dan kepalanya terasa berputar.

Apa artinya semua kalimat manis itu? Apa artinya baju mahal, lipstik dan juga bedak yang Thena dapatkan kemarin itu?

Ia sudah merasa dilambungkan setinggi langit, tapi hari ini dia dijatuhkan sampai rasanya tak kuasa untuk bangun lagi.

"Aku mencoba jadi istri terbaik, mas. Apa itu masih kurang? Baju, lipstik, bedak dan segala perhatian kamu, itu buat apa? apa gak ada artinya sama sekali buat kamu?"

"Iya, gak ada artinya sama sekali. Sumpah demi Tuhan, Thena... gue gak pernah sekalipun cinta sama lo. Alasan kenapa gue nyentuh lo dan berhubungan intim itu ya cuma karena kebutuhan doang, gak lebih. Jadi, cepet-cepet deh lo sadar terus pergi dari hidup gue. Nikah sana sama tuan Brian. Dia kaya raya. Kasar juga. Gue harap lo lebih menderita hidup sama dia," papar Brian tak punya hati.

Brian terbahak-bahak, terlihat sangat puas dan senang. Sedangkan Thena menangis tersedu-sedu maratapi takdir hidupnya yang mengerikan ini.

"Selamat menempuh kehidupan penuh penderitaan yang baru, Thena. Tolong dinikmati, ya?" Itu suara Rika menimpali.

Ia tertawa terbahak-bahak bersama Bimo, mengejek kesengsaraan hidup Thena.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status