Setelah memastikan anak-anak berangkat sekolah, Azriya lantas berbalik badan dan hendak masuk kembali ke dalam rumah. Namun, tiba-tiba tubuhnya terlonjak ke belakang saat Gavriel berada tepat di depannya."Kenapa?" tanyanya seraya semakin mendekatkan wajah kepada Azriya."Ka-Kamu ngapain berdiri di belakangku?! Aku 'kan jadi kaget!"Azriya mundur ke belakang. Jujur saja, berhadapan dengan jarak sedekat ini membuat wanita cantik itu gugup."Memangnya kenapa? Ada masalah?" tanyanya dengan raut datar.Azriya menggeleng, wanita cantik itu lantas berlalu pergi meninggalkan Gavriel yang masih mempertahankan tatapan tajamnya. Hingga kemudian lelaki yang berstatus sebagai suaminya itu kembali membuka suara."Nanti malam acara peresmian pernikahan kita, sebaiknya hari ini kamu jangan ke rumah sakit. Atau kalau bisa, kamu berhenti beberapa waktu dulu biar fokus menjaga Austin dan Adolf."Deg!Berhenti? Apa maksudnya? Menjadi Dokter adalah cita-cita Azriya sedari dulu. Meskipun saat ini Azriya be
Gavriel masih berdiri di tengah pintu dengan pandangan datar. Namun, siapa yang tahu bahwa jantungnya sedari tadi terus berdesir, ia bahkan sudah menatap tubuh polos Azriya hampir satu menit lamanya. Pria itu bukannya tidak normal, ataupun tidak tertarik dengan Azriya. Bohong kalau matanya tidak jatuh cinta saat menatap tubuh indah tersebut, tetapi lagi-lagi bayangan Kartika lebih dulu hadir dalam benaknya.Yeah! Gavriel masih mencintai mendiang istrinya, begitu dalam, sehingga tidak mampu mengkhianatinya meskipun jalan ini adalah jalan yang dipilihkan oleh Kartika sendiri. Gavriel masih ingin mengingat Kartika di setiap detak jantungnya. Gavriel masih ingin menyuarakan nama Kartika di setiap hela napasnya. Gavriel masih ingin bersama dengan bayangan Kartika di setiap langkahnya menyusuri sisa akhir hayatnya.'Kenapa takdirku harus se-pedih ini, Ka. Aku harus berpisah denganmu saat belum sempat melakukan itu semua. Aku harus bagaimana? Kenapa kamu tega denganku dan memintaku untuk me
"Apa maksudnya, Mom?" Gavriel kembali melontarkan pertanyaan, pasalnya ia bingung. Apalagi Azriya yang hanya menangis memegangi pipinya, sedangkan Mommy-nya masih melayangkan tatapan tajam."Mommy sudah lihat video CCTV, Gav! Dia yang sudah mengambilkan salad buah untuk Austin. Dia juga yang berlagak menjadi malaikat penyelamat untuk cucuku! Padahal dia berniat membunuh putramu, Gav. Dia ingin membunuh Austin seperti dia membunuh Kartika!" pekik Lauren dengan suara tertahan.Azriya menggelengkan kepala."Aku memang mengambilkan salad buah, tapi itu Austin yang minta. Aku juga nggak kasih susu, aku nggak tahu kenapa di piringnya tadi ada susu," ucapnya dengan air mata yang terus mengalir deras."Alasan!" sentak Lauren.Wanita paruh baya itu maju satu langkah dan mendekat kepada Azriya. Niatnya ingin menggertak, tetapi Azriya sama sekali tidak gentar."Kebenarannya memang seperti itu, Mom. Aku nggak ada niat mencelakai Austin, aku juga tahu dia alergi susu," ucapnya berusaha membela dir
Pagi ini Austin sudah diperbolehkan pulang oleh Dokter, jelas saja Gavriel dan Azriya langsung menggumamkan rasa syukurnya pada kuasa Tuhan. Mereka sampai di mansion Erlando sekitar pukul sembilan pagi. Adolf yang melihat Kakaknya baru saja turun dari mobil langsung berlari menghampiri dan memeluk tubuh bocah kecil itu. Samua orang yang melihatnya tak ayal tersenyum. "Aku khawatir banget sama kamu, Austin. Masih ada yang sakit nggak?""Nggak, Adolf. Aku cuma ngerasa ngantuk sekarang.""Ngantuk?" tanya Adolf dengan kening mengerut."Efek obat, Nak. Sebaiknya kalian berdua istirahat saja di kamar, ya," sahut Gavriel.Kedua bocah laki-laki itu kompak mengangguk dan lantas menuju kamar mereka. Beruntung hari ini sekolah libur, jadi Austin tidak akan kesepian karena ada Adolf dan Aurell yang menemani."Gav, Austin sudah benar-benar sembuh?" tanya Lauren saat memastikan kedua cucunya sudah masuk."Syukurlah, racunnya belum menyebar. Dan untungnya saat itu ada Azriya yang memberikan pertol
Usai mengembalikan peralatan makan ke dapur, Azriya tidak sengaja berpapasan dengan Adolf. Anak bungsunya yang sangat pendiam dan dingin tersebut sangat mirip dengan Gavriel. Wanita cantik itu mengulas senyum manis, tetapi bocah tampan itu sama sekali tidak melirik kepadanya."Kamu mau ambil apa, Nak?""Coklat," jawabnya singkat. Bahkan Adolf sama sekali tidak menoleh.Azriya mengerutkan kening."Bukannya kamu kemarin sudah makan banyak coklat? Apa gigimu nggak akan sakit, Nak?" tanyanya yang lantas membuat Adolf menoleh."Apa urusan Aunty?""Nak, Aunty cuma mau mengingatkan. Karena 'kan coklat nggak baik buat gigi kamu yang masih dalam masa pertumbuhan. Bagaimana kalau diganti dengan yang lain? Kamu tertarik?" tawarnya dengan senyum cerah."Memangnya apa masalahnya bagi Aunty? Yang akan sakit aku, bukan Aunty 'kan?"Azriya menahan napas mendengar jawaban menohok keluar dari mulut bocah sekecil itu."Tapi cukup siang ini saja, ya, Nak. Nanti jangan makan coklat lagi," ucapnya lagi.Ji
Malam ini Gavriel melakukan perjalanan bisnis setelah dihubungi oleh salah satu rekannya. Langit malam menurunkan banyak tetesan air hujan beserta guntur yang saling menyambar. Di dalam mansion tersebut, Austin sudah terlelap dengan Azriya yang masih mengusap kakinya. Sesekali penglihatan wanita cantik itu akan menyapu ke seluruh ruangan, siapa tahu ada barang Kartika yang bisa ia jadikan petunjuk.Ceklek!Azriya tersentak saat pintu tiba-tiba pintu dibuka. Wanita cantik itu sempat menoleh kepada Austin, guna memastikan tidur bocah itu tidak terganggu. Baru kemudian dirinya keluar kamar dan menghampiri sang Mommy Mertua."Ada apa, Mom? Mommy mau melihat Austin?" tanyanya saat sudah berdiri di hadapan Lauren."Nggak usah pura-pura polos, Riya. Apa yang kamu lakukan kepada Austin sangat berbanding terbalik dengan apa yang kamu lakukan kepada Adolf."Azriya terperangah kaget."Apa maksudnya, Mom? Aku melakukan apa?" tanyanya dengan raut bingung.Lauren tersenyum miring, ia melipat tanga
Gavriel langsung memerintahkan anak buahnya untuk mencari Azriya malam ini juga. Pria tampan itu bahkan mengesampingkan penampilannya dengan kemeja basah."Cari Dokter Andreas di rumah sakit. Mungkin Azriya pergi ke tempat Kakaknya!" ucapnya memberikan perintah kepada pengawalnya di balik telepon."Baik, Tuan.""Laporkan apapun perkembangannya. Dan ingat! Aku mau kalian bergerak cepat!""Kami akan melaksanakan semuanya sesuai keinginan Anda, Tuan."TUT!Gavriel meletakkan ponselnya di atas meja. Lelaki itu terus merutuk di dalam hatinya karena tidak ada di tempat saat kejadian itu.Perlahan Gavriel membaringkan tubuhnya di sofa panjang yang terletak di ruang kerjanya, hingga tanpa terasa kelopak mata itu terpejam lantaran rasa kantung yang menyerang.***Pagi hari.Gavriel merasakan punggungnya pegal-pegal lantaran posisi tidurnya semalam. Dengan perlahan ia menegakkan posisi tubuh dan mulai melangkah keluar ruangan."Loh, Nak! Kamu kok di sini? Katanya ada dinas ke luar kota?" tanya
"Bagaimana?!" tanya Gavriel pada anak buahnya yang berada di seberang telepon."Maaf, Tuan. Kami belum menemukan Nona Azriya, tetapi Dokter Andreas ada di rumah sakit. Apa kami perlu menanyakan tentang Nona Azriya kepadanya?" jawab pengawal tersebut."Jangan. Biar itu menjadi urusanku.""Baik, Tuan. Kami akan mengawasi Dokter Andreas dari luar."TUT!Gavriel melepaskan sambungan earphonenya dan lantas melajukan mobil menuju rumah sakit. Mungkin dirinya nanti akan terkesan seperti orang bodoh saat menanyakan keberadaan Azriya. Namun, ia tidak bisa menahan ini lebih lama.'Entah kenapa kamu benar-benar membuatku tertekan, Riya!' batinnya geram.•Mobil mewah tersebut sudah berhenti di parkiran gedung pencakar langit Oran's Hospital. Langkahnya sedikit gugup saat menginjakkan kaki di lantai rumah sakit, pasalnya ini mengingatkan pada mendiang sang istri. Namun, demi Azriya ia harus tetap melakukannya.Langkahnya dengan cepat menuju ke ruangan Andreas. Tangannya menekan handle pintu dan s