Gavriel luruh ke lantai saat Azriya melipat kembali surat tersebut. Dadanya sakit, seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas jantungnya.Gavriel adalah seorang pria, ia sudah membunuh banyak musuh dengan tangannya. Menghadapi segala rintangan dan tantangan dalam hidup. Pahit manis kehidupan dan tipu daya musuh sudah pernah ia rasakan.Namun, kenapa sekarang ia menangis? Kenapa menjadi lemah?Oh, sungguh! Mau sejahat apapun Mommy-nya, Gavriel tetap tidak sanggup kalau harus kehilangan. Lauren adalah seluruh cintanya, baginya posisi wanita paruh baya itu setara dengan posisi Azriya di hatinya."Sayang?" Azriya mengambil posisi jongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan sang suami. "Jangan seperti ini, Mom pasti sedih melihat kamu begini," ucapnya lagi."Memangnya apa yang lebih sedih dari ini? Mom sudah mendapatkan ingatannya tiga bulan lalu, tapi Mom berlagak tidak ingat dan tidak mau bicara denganku. Hanya momen saat di taman tadi yang menjadi kebersamaan manis kita, Baby. Bagaimana
"Baby, kamu masih lama?" suara bariton itu sontak membuat Azriya tersentak."Gav, aku menemukan ini," ucapnya tanpa menjawab pertanyaan Gavriel barusan."Apa itu?" Pria itu melangkah masuk ke dalam kamar, meraih sebuah buku kecil yang ditunjukkan istrinya."Apa ini, Baby?" Gavriel kembali melontarkan pertanyaan."Aku tidak tahu, sepertinya itu buku diary Mom. Yeah, meskipun awalnya aku tidak percaya Mom masih menulis di diary, tetapi setelah aku membaca lembar pertama, aku yakin kalau buku itu memang buku diary," jelas Azriya yang membuat Gavriel mengernyit bingung.Selama hidup ia tidak pernah tahu kalau Mommy-nya menyimpan buku ini, ia semakin terkejut saat melihat sekilas isi lembar buku itu yang kebanyakan berisi isi hati Mommy-nya untuk mendiang sang Kakak — Silvana."Aku menemukannya di tumpukan kain batik, Gav," ucap Azriya yang langsung diangguki oleh Gavriel."Baiklah, kita akan melihat nanti saja. Sekarang kita ke depan, pemuka agama sudah menunggu kainnya." Gavriel memasukka
"Tuan, Nyonya," sapa Ghina seraya membungkukkan badan.Wanita paruh baya dengan setelah serba hitam itu mengulas senyum tipis, di tangannya memegangi goodie bag berwarna hitam yang entah berisi apa."Kamu ... datang sendirian?" tanya Azriya."Iya, Nyonya. Tadi saya naik taksi ke sini," sahut Ghina dengan kepala yang masih menunduk."Ayo masuk saja." Ajak Gavriel yang melangkah lebih dulu ke dalam Mansion.Pria itu mendudukkan dirinya di atas sofa diikuti oleh Azriya, sementara ketiga anak itu langsung menuju kamar masing-masing tanpa harus diperintah lagi."Silakan duduk Ghina, tidak usah sungkan. Kamu di sini adalah tamu," ucap Azriya yang lantas diangguki oleh Ghina.Wanita itu duduk dengan kikuk, goodie bag ia letakkan di atas sofa kemudian kedua tangannya ditumpuk di atas paha."Kedatangan saya malam ini karena mendengar kabar Nyonya Lauren meninggal, saya mengucapkan berduka cita yang sedalam-dalamnya." Ghina menjeda ucapannya barang sesaat. "Saya juga ingin mengembalikan barang
Azriya membawa tubuh Aurell masuk ke dalam pelukannya, wanita cantik itu mengusap lembut rambut hitam putri kecilnya. Pedih.Yeah! Aurell hanya gadis kecil yang sudah kehilangan orang tuanya dan sekarang harus kehilangan sang Grandma, ditambah ia baru tahu fakta ini."Kenapa Grandma menyiapkan ini semua untukku, Mom? Aku tidak mau. Apa itu semua bisa ditukar agar Grandma bisa kembali lagi?" tanyanya di sela-sela isak tangis."Grandma menyerahkan itu kepada kamu, karena Grandma percaya kamu bisa menjaganya, Nak. Jangan berpikir seperti itu, ya. Nanti Grandma sedih. Aurell tidak mau 'kan Grandma sedih di sana?" Gadis cantik itu menggelengkan kepala, meskipun hatinya masih perih dengan kejadian ini, tetapi ia harus kuat demi Grandma nya. Azriya menyugar pelukan, menghapus titik air mata yang masih mengalir deras dari pelupuk netra Aurell. Sementara Gavriel sudah memalingkan pandangan, tidak kuasa melihat pemandangan haru ini."Sekarang kamu buka kotak ini. Setelah ini kotak dan isinya
Denting alat medis yang berada di ruangan putih ini semakin membuat telinga berdengung. Apalagi di ranjang tersebut tengah terbaring tubuh lemah seorang wanita muda. Peluh keringat terus membasahi pelipis seorang Dokter cantik yang bertugas di sana, bola mata hitam itu menatap layar yang menunjukkan denyut jantung yang tidak beraturan. Dalam hatinya, ia terus berdoa agar keajaiban segera datang."Ayolah, Kartika. Austin dan Adolf masih kecil, dia masih butuh kamu," ucapnya pelan.Sekuat mungkin kelopak mata itu menahan luapan cairan bening yang hampir menetes, juga hatinya yang terus menjerit memanggil nama Kartika, sahabatnya."Dokter, tekanan darahnya naik!" seru salah satu perawat.'Gawat! Ini bisa berakibat fatal pada jantungnya. Oh, Tuhan ... tolong selamatkan sahabatku,' batin Dokter muda tersebut.Ia terus beradu dengan banyak alat dan suntikan obat, hingga beberapa menit kemudian keajaiban berkenan memihak kepadanya. Perlahan , layar monitor itu menunjukkan perubahan. Hingga l
Mansion Erlando"Daddy ...!" pekik Austin."Halo, Boy. Kenapa mukamu begitu?" tanya Gavriel saat melihat raut putranya sembab."Kata orang-orang Mommy akan pulang, tapi kenapa aku tidak melihatnya?"Glek!Gavriel tersentak dan tak ayal kesusahan menelan salivanya. "Sayang, eum ... nanti kita bicarakan ini lagi, ya. Lebih baik sekarang kamu bermain dengan Adolf. Ngomong-ngomong, ke mana dia?""Adolf sedang ada di kamarnya. Dia bilang rindu dengan Mommy, Dad. Baiklah, kalau begitu aku akan ke kamar saja."Gavriel mengangguk dan lantas menurunkan tubuh mungil itu dari gendongannya. Tanpa ia sadari, sedari tadi Azriya turut memperhatikan semua interaksi tersebut. Ada perasaan tidak nyaman di hatinya, terlebih saat mengingat mendiang Kartika.Tiba-tiba bayangan beberapa jam lalu terputar kembali di dalam benak Azriya, sebuah pesan terakhir dari mendiang sahabatnya tersebut."Ada yang tidak menginginkan keberadaan anak-anakku di rumah itu, Azriya. Tolong kamu lindungi Austin dan Adolf, dan
Pagi hari.Azriya sudah siap dengan setelan baju kerjanya, ia memang belum bekerja penuh waktu, dan akan datang saat Kakaknya membutuhkan bantuan. Kebetulan pagi ini wanita cantik itu sendiri yang berniat datang untuk melihat jenis infeksi yang ditemukan oleh Kakaknya.Saat ini semua anggota keluarga tengah berkumpul di meja makan. Semuanya diam penuh keheningan, bahkan Austin dan Adolf pun turut mengunci rapat mulutnya."Sebagai pengantin baru kalian perlu didoakan, dan ini sudah adatnya. Terlepas bagaimana terjadinya pernikahan kalian, tapi kau sudah membawa wanita masuk ke dalam rumah ini, Gavriel. Apalagi statusnya adalah istrimu.""Aku rasa ini tidak perlu, Mom. Aku menikahinya juga karena paksaan dari Kartika, jadi aku tidak menganggapnya sebagai istri," sahut Gavriel."Mommy juga tidak menganggapnya sebagai menantu, tapi ini adalah adat yang harus ditaati!"Azriya hanya menyimak perdebatan itu, bahkan sampai sekarang ia masih belum mengetahui siapa nama Ibu Mertuanya tersebut.
Azriya baru saja pulang saat waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Beruntung masih ada penjaga yang membukakan pagar untuknya. Kemudian ia lantas masuk ke dalam mansion mewah tersebut. Saat hendak menuju kamar, lagi-lagi dirinya melihat sosok yang berjalan cepat ke arah pintu dan langsung keluar begitu saja.Azriya langsung bersemedi di balik vas bunga besar yang berada pojok tangga. Untungnya semua lampu utama sudah padam."Siapa, sih?" gumamnya. Sepersekian detik kemudian nampak seorang maid berjalan sendirian di kegelapan mansion itu, tiba-tiba sebuah ide terlintas di benak Azriya untuk menanyakan sesuatu kepada maid tersebut."Nona ... maaf, saya kaget. Saya pikir siapa," ucap maid tersebut saat Azriya tiba-tiba muncul di depannya."Maaf, ya," jawabnya dengan cengiran polos."Tidak apa-apa, Nona. Oh, iya, pasti Nona baru saja pulang 'kan? Mau saya siapkan makanan?""Nggak usah. Aku cuma mau tanya, kamu tadi lihat nggak ada orang keluar?"Maid tersebut diam beberapa saat, m