Share

Bab 6

Author: Osaka ois
last update Last Updated: 2024-07-11 12:00:17

"Jharna!" panggil seseorang.

Jharna dan Aidan menoleh kompak ke asal suara di balik punggung mereka. Seorang pria dengan lesung pipi tengah berlari menghampiri.

"Aku menunggu kalian, mengapa baru pulang di jam segini?" cecar Theodor sambil melihat arloji di pergelangan tangan kiri. "Hampir saja aku pulang, kalau tak sabar."

Gurat sesal amat ketara di wajah Jharna. "Maaf, kami baru saja pergi ke suatu tempat. Aku bahkan lupa memeriksa jam, sehingga tak terasa waktu berlalu begitu cepat, Theo."

Theodor tersenyum kecil, lalu melirik Aidan yang sedang menahan kantuk. "Ya sudah, tampaknya kalian butuh istirahat."

"Maaf kalau aku datang tanpa mengabarkan mu," lanjutnya seraya mengusap kepala Aidan.

"Tunggulah sebentar, aku akan menaruh Aidan terlebih dahulu," putus Jharna, langsung membalikkan badan dan masuk ke rumah.

Theodor tak memungkiri jika ada hal penting yang ingin dirinya sampaikan. Apa lagi Jharna seperti tidak keberatan dengan kedatangannya, membuat Theodor memilih menunggu sesuai perkataan Jharna barusan.

Selang beberapa menit, Jharna keluar dan menyuguhkan secangkir coklat panas di meja kecil di pelataran teras. Theodor sendiri menyambut baik suguhan tersebut sambil mengukir senyuman terbaiknya.

"Lain kali tak perlu repot. Itu hanya menyusahkan dirimu," terang Theodor.

Alis Jharna terangkat. "Setidaknya, kau menerima coklat buatanku. Bagaimana rasanya, enak?"

Pria itu tertawa kecil ketika mendengar sindiran halus dari wanita di sampingnya. "Hmm, lumayan."

Kepala Jharna menggeleng pelan. Kemudian dirinya teringat pada maksud kedatangan Theodor malam-malam ke rumahnya, akhirnya dia bertanya sambil menatap Theodor cukup lekat.

"Lalu ada keperluan apa kau datang di larut malam begini?" tanya Jharna saat pria di dekatnya ini baru selesai menyeruput coklat.

Sedangkan Theodor memberi jeda, tak menjawab langsung pertanyaan yang diberikan Jharna padanya.

"Untuk besok saja, tolong temani aku, Jharna. Aku harus menghadiri sebuah acara dari salah satu kolega perusahaan, lebih tepatnya pesta gala."

"Apakah kau mau menemani ku?" Wajah Theodor terlihat memohon, membuat Jharna menghela napas panjang.

Jharna tampak berpikir, sembari menggaruk kepala sebagai sarat kebingungan. "Theo, kau tahu sendiri kalau aku tidak pernah datang ke pesta seperti itu. Aku takut sekali jika mempermalukan mu di depan teman atau kolegamu di sana," sahut Jharna tersenyum kikuk.

"Oh, ayolah ... hanya kau wanita yang pantas mendampingiku, aku sungguh merasa terhormat kalau kau mau menerimanya. Aku tidak mau orang lain, Jharna," protes Theodor, menampilkan raut memelas.

"Lagi pula ini terlalu mendadak, aku—"

"Baiklah, aku anggap kau menerimanya. Terima kasih banyak, Jharna," potong Theodor seenaknya.

"Theo, aku tid—"

Pria itu memegang kedua tangan Jharna, senyum merekah terpampang jelas di wajahnya. Lalu satu jari tersemat di depan mulut. "Stt, aku tidak mau mendengar penolakanmu."

"Hey, itu tak adil tahu!" sungut Jharna mendelik ke arah Theodor dengan wajah kesalnya.

"Hahahaha ... malah bagi itu sangat adil." Satu kedipan mata, seraya jari telunjuknya mencolek lancang dagu Jharna, bermaksud menggoda wanita itu. Theodor mulai berkata, "Besok siang kita akan mencari gaunnya dan untuk Aidan, biarkan dia bersama Bibi Lura."

Wajah kesal Jharna berubah menjadi tenang, itulah mengapa dia menolak. Aidan, sang anak memenuhi pikirannya.

Matanya menatap Theodor yang masih mempertahankan senyuman manis bak gulali. "Sesuai dengan keinginan anda, Tuan Wycliff."

Theodor kian tersenyum puas mendengar Jharna berpasrah, guna menerima ajakannya. Lalu di menit berikutnya, Theodor menghabiskan coklat buatan Jharna, dan memutuskan untuk pamit setelahnya.

Di sisi Jharna. Wanita berstatus janda beranak satu tersebut sedikit bimbang, ada perasaan cemas di dalam dadanya. Namun dirinya berharap, esok adalah hari baik, untungnya dia dan Max tidak memiliki janji pada hari itu.

***

Seribu kata umpatan tertahan di mulutnya. Jharna kini merutuki Theodor karena memilihkan gaun dengan bagian depan dada tertutup, namun punggungnya terbuka hampir ke pinggang. Penampilannya malam ini memang mewah dan glamor.

Tetapi bukan itu juga masalahnya, masalahnya adalah wartawan dari berbagai media akan mengambil dan memvideokan mereka. Menyoroti mereka seolah ini berita menarik, karena pengusaha muda yang sukses berada du sampingnya.

"Theo, di sini amat menggangguku," bisik Jharna perlahan.

Kepala Theodor menoleh sekilas. "Ayo, kita langsung masuk saja sekarang," ajaknya.

Jharna menghela napas lega. Pasalnya, dirinya tidak terbiasa oleh sorotan kamera, walau nanti di dalam sana masih ada hal serupa.

Di sisi lain. Seorang pria tampan dengan tubuh jangkung memperhatikan hebohnya wartawan yang tengah mengambil gambar beserta video ke arah pria dan wanita lain.

Lambat laun dia menyadari setelah mata tajamnya memicing. Wajah datarnya pun menyeringai mendapatkan wanita yang dirinya kenal digaet pria lain.

"Harus aku apakan wanita itu, hmm?" gumamnya, bermonolog, sembari menerima jepretan kamera dari berbagai sisi.

Raut muka datarnya seakan ciri khas menarik perhatian di awak media, apa lagi dirinya kini datang sendirian tanpa pendamping seperti sebelum-sebelumnya. Sehingga menjadi buah bibir, kalau memang dia tak mau sembarangan orang berdiri di sampingnya.

Berita simpang siur tentang siapa dia pun bukan lagi isapan jempol belaka, jikalau tahu benar dirinya telah melalang buana di dunia bisnis. Hanya beberapa orang yang mungkin tak mengenalnya secara baik. Contohnya, Jharna. Mungkin?

Di posisi Jharna saat ini. Wanita itu ditinggal sendirian, karena Theodor harus berbincang ringan pada beberapa orang penting. Theodor sendiri tidak mau memberatkan Jharna, apa lagi status mereka ialah seorang teman, jelas Theodor masih menaruh kewarasan tersebut.

Membebani Jharna adalah pilihan terburuk. Begitulah menurut Theodor.

"Permisi Nona." Pria asing menyapa Jharna.

Jharna tersenyum ramah menanggapinya. Si pria asing mengeluarkan suara kembali. "Apakah boleh saya duduk di samping anda?"

Kening Jharna berkerut samar, matanya pun tak luput melirik ke arah Theodor yang masih sibuk mengobrol. "Maaf, tapi ini kursi teman saya, Tuan," tolaknya halus.

"Saya melihat Tuan Wycliff tengah sibuk, biarkan saya menemani anda, Nona," bujuk si pria. Tanpa persetujuan Jharna, dia mengambil tempat duduk kursi sebelahnya.

"Kalau begitu saya permisi," putus Jharna yang tak mau menimbulkan berita buruk.

Tetapi saat dirinya hendak berdiri, si pria mencekal pergelangan tangan Jharna. Membuat Jharna mendelik dan merasa pria itu kurang sopan.

"Maaf Tuan, bisakah anda melepaskan saya?" pinta Jharna mempertahankan sikap sopan.

"Oh, ayolah. Jangan terlalu jual mahal, aku yakin Theodor tidak masalah jika kita mengobrol sebentar." Tingkah tengil si pria benar-benar di luar jangkauan Jharna dan dirinya tidak membayangkan hal ini terjadi. "Lalu, untuk apa kau bersama Theodor. Dia pria membosankan, aku bisa jadi yang terbaik kalau kau mau."

Jharna tertawa sinis, namun di detik berikutnya, dia menghempas kasar tangan itu. "Menjijikkan," hina Jharna pelan.

"Hey, mulutmu!" Tangan pria itu hampir melayang ke arah Jharna.

Jharna sendiri tanpa berkedip melihat ke arah tangan yang mau menamparnya, tapi tangan lain memberhentikan pergerakan pria itu. Sampai tatapan penuh jatuh pada seorang pria di belakang pria di depannya ini, kemudian Jharna melihat pria itu terpaku siapa pelakunya.

"T—uan Kingston?"

"Apa kau tuli? Berapa kali wanita itu harus mengusir mu. Sadarlah, banyak media di sini, jangan mempermalukan pemilik acara." Suara bariton nan tegas tersebut cukup membuat beberapa orang yang mendengarnya di sana bergidik.

Termaksud Jharna. Dia sedari tadi kedatangan Max hanya mampu bergeming di tempat. Dirinya melupakan jika Max salah satu dari pebisnis di antara tamu.

Di sisi Theodor, Theodor berjalan menghampiri Jharna yang menjadi bisikan orang-orang sekitar. Sampai di tempat mereka duduk, ada dua orang pria asing—tapi satu orang tampak familiar di matanya.

"Ada apa ini?" Pertanyaan Theodor mengembalikan kesadaran Jharna sepenuhnya.

Sedangkan pria asing tadi yang mengganggu Jharna berpamitan setelah kemunculan Theodor. Ketakutan hinggap di diri pria itu, berbeda hal dengan pria lain di sisi mereka bertiga.

Mata Max melirik Jharna. "Seperti urusan kita belum selesai, Nona. Bisakah anda meluangkan waktu untuk sekedar berbincang ringan?"

Jharna tahu maksud Max, jadi memilih mengangguk dan izin pada Theodor. Theodor sendiri merasa bingung saat Jharna mau saja diajak oleh pria bermarga Kingston tersebut.

Tapi tak ayal, dia mengizinkannya. Kemungkinan besar kedua manusia memang memiliki hubungan yang Theodor sendiri tidak tahu.

Membayangkan hubungan tersembunyi antara Jharna dan tiran bisnis itu membuatnya mendesah kesal. Sungguh takkan sanggup, jikalau ada fakta menyakitkan di balik itu semua.

Tak terasa mereka berdua sudah ada di area luar gedung pesta diselenggarakan. Di sini keduanya berdiam, membalas keheningan dengan kebisuan oleh salah satu pihak ke pihak lain.

Keduanya saling diam, hingga di menit ke tujuh suara tawa kecil tersirat sinis terdengar di telinga. "Apa kau menikmati suguhan di pesta ini, Jharna. Bersama seorang pria asing?"

Jharna berusaha tidak mau terlihat ketakutan, kala tatapan intimidasi Max berikan secara terang-terangan. Dia memalingkan wajah ke arah lain.

"Namanya Theodor, dia hanya seorang teman," sahut Jharna, sekaligus mantan kekasih.

"Kau mempunyai calon suami, jika lupa," ucap Max tenang.

Perlahan kepala Jharna menoleh, menatap Max dengan alis terangkat satu. "Aku tahu dan tidak lupa."

"Kami hanya berteman, Max. Sepertinya kau salah paham ketika melihat kami bersama," tambah Jharna mencoba menjelaskan secara singkat.

Kaki Max mengikis jarak antara dirinya dan Jharna. Sampai berujar dengan suara hampir berbisik. "Sepertinya kau yang salah paham. Aku tidak peduli tentang penjelasanmu."

Hembusan angin membawa aroma parfum Max yang kian tercium jelas di indra penciuman Jharna. Wanita itu termangu karena Max mencuri kesempatan lagi, kali ini dirinya masih tidak memberontak.

Cup!

Entah memang reaksi tubuhnya terlalu lambat, atau dirinya 'lah secara naluriah menerima lapang dada. Namun, seperti biasa Max mengeluarkan kalimat menyebalkan. Oke, di sini Jharna merasa, justru dirinya memang bodoh.

"Mencium seorang janda ternyata tidaklah buruk, ralat, mengecup." Kemudian Max memberi jarak kembali antara mereka.

Max membalikkan badan dan membiarkan Jharna di belakangnya sendirian. Tetapi langkanya terhenti, saat mengingat kewajibannya.

"Aku yang akan mengantarmu pulang, jangan harap pria lain melakukan hal sama. Atau kau akan aku adukan kepada Ibu," gertak Max, lalu melanjutkan langkah.

Jharna mendengus mendapati Max menggertaknya. Dirinya baru tahu kalau Max miliki tingkah seperti ini. Padahal sedari awal Jharna menilai, bahwa memang sepenuhnya Max pria dingin tidak tersentuh, walau faktanya dia adalah pria penurut di depan sang ibu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menikahi Tuan Maximilian   Bab 48

    "Apa berita tempo hari cukup menghibur anda, Tuan?" Seseorang yang sedang dia tanya tak langsung menoleh.Max, dirinya tengah memandangi foto cantik Jharna melalui ponselnya. Perhatiannya harus teralihkan, karena pertanyaan menarik dari Austin barusan. "Ya, lumayan. Apa ada masukkan tentang bumbu tambahan?"Austin diam-diam tersenyum miring. "Tentu ada, Tuan-ku. Bumbu penyedap mana yang paling bagus, agar masakan tersebut kian sedap dirasa?""Saya menyarankan pemanis, seperti gula," tambah Austin bersemangat.Kening Max berkerut sesaat, lalu tak lama kepalanya mengangguk. Benaknya sampai membayangkan, rasa puas hasil kinerja anak buahnya satu ini. Perlahan-lahan bibirnya membentuk seringai menyeramkan. Dia gemar sekali hal yang menurutnya pantas dimasak. Contohnya, yang sedang mereka perbincangkan sekarang."Tampaknya aku mesti memberikan bonus untukmu, Austin," cetus Max sempat berpikir. "Lakukan apa maumu terhadap masakan yang sedang kau pegang. Janjikan aku hasil memuaskan nantinya

  • Menikahi Tuan Maximilian   Bab 47

    Oliver menggaruk kepala belakangnya, ada rasa malu menghinggapi dirinya sejak memasuki kamar. Kekasihnya, Mac, tak mau berpisah kamar dan hanya ingin bersamanya. Dua insan yang sedang melakukan kegiatan masing-masing sesekali mencuri pandang ke satu sama lainnya.Mac menutup kasar laptopnya. Kini tatapan tajam menghadap Oliver sepenuhnya dia berikan. Wanita itu berpindah, mengikis jarak yang hampir membuat Oliver bangun. Tangannya mencekal lembut menghentikan pergerakan Oliver bersama kegugupan sang pria amat kentara kental di mimik wajah tampannya tersebut."Mau ke mana?" Oliver segera menggeleng cepat saat Mac melayangkan pertanyaan.Tiba-tiba Mac kembali bergerak, lalu duduk mengangkang di pangkuan Oliver, mengalungi pinggang kokoh sang kekasih menggunakan kaki jenjangnya. Kedua tangannya memegang pundak, seraya tatapannya kian serius. "Masih ingat janjimu setelah kita keluar dari sini nantinya?"Oliver menghembuskan napas lega, dia kira Mac mau melakukan hal tidak-tidak di kediama

  • Menikahi Tuan Maximilian   Bab 46

    Dua hari berikutnya, Max memenuhi permintaan Jharna. Memulangkan anak tirinya ke rumah mereka sekarang ini. Pria itu semakin menerima kehadiran Aidan, walau anak itu bukanlah dari benihnya sendiri. Kehadiran calon anak mereka berdua seolah berdampak aura positif ke sekitar, hingga berpengaruh ke kehidupan Max. "Jadi aku akan mempunyai seorang adik?" tanya seorang anak kecil, tiada lain ialah Aidan. Sirat bahagia serta antusias ternyata juga membubuhi hati anak itu, membuat Jharna dan Max menganggukkan kepalanya serentak. "Wah, akhirnya!" "Apa kau sangat senang?" Max menggali sedikit kejujuran sang anak. Tentunya Aidan tanpa berbohong mengangguk semangat. "Sangat, sangatlah senang, Ayah!" "Aku berjanji akan menjadi seorang kakak yang baik," lanjutnya tersenyum lebar, menunjukkan deretan gigi susu. Max menoleh ke Jharna. Jharna memahaminya pun mengusap sayang lengan kekar nan kokoh tersebut, pertanda semuanya dapat berjalan lancar. Rasa haru sulit Max bendung, tapi kali ini dia

  • Menikahi Tuan Maximilian   Bab 45

    "Hmm, pagiku disambut dengan berita terbaru ini—adalah hiburan," gumamnya menonton tayangan televisi. Kedua lesung pipinya tampak terbentuk, setelah sadar ulah siapa atau dalang di balik berita menggemparkan jagat media. Di luaran sana pasti khalayak telah menggunjing habis-habisan dua orang itu. Apa lagi dia tahu wanita di dalam berita, yang tengah menjadi sorotan perbincangan panas. Dia hanya menggelengkan kepala tidak habis pikir. Ada untungnya sempat menurut oleh pria itu, kalau tidak, semua keburukan yang dirinya sembunyikan bertahun-tahun akan terbongkar dengan cara melebihi kasus perselingkuhan sekaligus hal mengejutkan lainnya seperti di berita pagi ini. Ya, setidaknya menuruti keinginan ego adalah pilihan terbaik, ketimbang mengutamakan perasaan sendiri. "Mau bagaimana lagi, aku masih mencintai Jharna. Sekeras aku menepis kenyataan dan berusaha melupakannya, bagian terbaik ialah mencoba meletakkan dirinya di lubuk hati terdalam. Meski aku tersiksa sendirian, namun bayan

  • Menikahi Tuan Maximilian   Bab 44

    Setelah sekian lama tidak memberi waktu pada dirinya sendiri, terutama mengistirahatkan mentalnya agar selalu terkendali dengan baik, Jharna kini tahu permasalahan tersebut selama dirinya sudah menerima Max kembali. Tanpa sadar dia menyisihkan celah buat mengaturnya sesuai keinginannya sendiri. Memanipulasi car berpikirnya dan tak serta-merta turut andil dalam permainan emosi. Sehingga menciptakan ruang di hati Jharna supaya mau terbuka, terlebih memaafkan atas kesalahan pria selaku suaminya. Entah itu perbuatan masa lalu atau masa sekarang yang tengah mereka jalani. Rasanya helaan napas berat adalah isyarat kurang tak nyaman, gambaran tepat mengenai suasana hati. Bahkan, raut wajah tanpa ekspresi enggan sekali menampilkan sedikit empati. Sayangnya, semua tidak bertahan lama. Jharna mempunyai sisi berpasrah serta firasatnya mengatakan, harus mau bersabar menghadapi Max. Dikarenakan pria itu pintu masuk penderitaan juga pintu keluar menuju kebahagiaan. Dia harap pun begitu. "Apa

  • Menikahi Tuan Maximilian   Bab 43

    Pada malam harinya di restoran mewah berbintang lima. Max memutuskan mengajak Jharna menikmati suasana malam, hitung-hitung melepaskan penat setelah rasa letih mempengaruhi akibat kegiatan di kantor memuakkan. Rencananya Max mengajak Jharna ke tempat lain selain restoran nantinya. Jharna sendiri menuruti apa kemauan Max, sampai keduanya tak perlu pulang dan hanya membersihkan diri di kamar pribadi milik Max di ruang kerjanya. Terlebih, di sana sudah tersedia sebuah gaun indah nan anggun. Sama sekali tidak menunjukkan desain lekukan tubuh berlebih, tampak sangat sopan seperti gaun formal. Kini Jharna telah siap. Wajahnya di poles tipes dengan riasan sederhana, di tambah max juga baru keluar dari kamar mandi, mampu mengalihkan sebentar pandangan Jharna. "Apa gaun ini kau yang memilihnya?" Max berjalan menghampiri sang istri sembari mematri senyuman di bibirnya. "Tentu, khusus untukmu, hanya boleh aku menilai seberapa layak pakaian melekat di tubuh ini. Sekarang kau adalah istriku,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status