Home / Romansa / Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa / 4. Pintu yang Ditatap Lama

Share

4. Pintu yang Ditatap Lama

Author: Maulana Hani
last update Huling Na-update: 2025-05-11 09:32:51

Aku berkeliling ke penjuru rumah besar ini, mencari di mana sekiranya lelaki itu berada. Dan, aku akhirnya menemukannya. Ia berada di depan pintu gudang, bersama seorang lelaki yang kalau tak salah namanya adalah ... ya, aku ingat namanya Jon, seorang sopir pribadi Bibi Zulaina. Tapi mereka sedang apa?

Aku tak langsung menuju ke sana, memilih bersembunyi di belakang lemari besar, sembari mendengarkan obrolan mereka.

"Kau ingat tempat ini bukan?" Suara Jon terdengar jelas di telingaku. Dari nadanya ia seperti mencoba mengingatkan Naqib pada sesuatu.

Apakah sesuatu pernah terjadi di gudang rumah ini? Dan apa itu? Bukankah Naqib mengalami kelumpuhan juga wajahnya, yang rusak karena kebakaran? Dan, kata beberapa orang kejadiannya di pavilliun tiga. Aku menajamkan pendengaranku sebisa mungkin, berharap bisa mendengar, ya mungkin sedikit rahasia milik Naqib.

Aku mengintip melalui celah lemari, dan otak milikku menangkap sinyal aneh ketika tangan Jon perlahan mulai mengelus bahu Naqib, yang pagi ini mengenakan kaos polos dan jaket tipis berwarna biru gelap.

Bukankah aneh seorang lelaki mengusap bahu lelaki lainnya? Ini aneh, karena biasanya Ayahku bahkan hanya menepuk bahu Kakak lelakiku, yang bahkan mereka berdua sangat akrab. Lagipula, beberapa teman Ayahku juga tak pernah melakukan hal demikian pada Ayahku, mereka hanya menepuk bahu, entah seakrab apa pun mereka.

"Aku tahu kau mengingatnya, Tuan Muda Naqib!" Suara Jon kembali terdengar, dan ku sadari sejak tadi Naqib tak bersuara, lelaki itu hanya diam. Sampai aku melihat tangan lelaki itu sedikit gemetaran.

Apa Naqib merasa takut? Terancam? Atau apa? Dan, sepertinya aku tak bisa lagi bersembunyi makin lama. Aku keluar dari persembunyian, dan menyapa mereka sok akrab sembari menyembunyikan buku, yang tadi kuambil, aku menutupinya dengan jilbabku.

"Hai, Jon! Naqib!" Sungguh ku rasa ini adalah sapaan paling sok akrab, yang pernah aku lakukan sepanjang hidupku. Agak memalukan, tapi aku harus tetap melakukannya, takut sesuatu terjadi pada Naqib, mengingat kata Paman Qasim, terkadang Naqib bisa mengalami kejang-kejang.

Jon langsung tersenyum menatapku, lalu lelaki yang mengenakan setelan jas formal itu pamit, dan meninggalkan kami berdua. Ya, aku dan Naqib di depan pintu gudang.

Aku berjongkok di sebelah Naqib, yang sejak tadi masih menatap pintu gudang. "Kau akrab dengan Jon, ya?" Ku putuskan untuk menanyakan hubungannya dengan Jon, barang kali kalau memang mereka akrab, aku bisa sedikit menggali rahasia Naqib padanya, meminta lelaki itu untuk menceritakan segala hal tentang Naqib, yang ingin ku ketahui.

"Naqib," Aku memanggilnya, dan menoleh pada lelaki itu. Sayangnya Naqib hanya diam.

Segera aku berpindah posisi, kini berjongkok di hadapannya, menggenggam kedua tangannya yang terasa sangat dingin dan gemetaran. Aku sungguh tak tahu apa yang dikatakan oleh Jon sebelum aku datang, hingga membuat Naqib seperti ini sekarang. Ku tatap matanya, dan aku tak menemukan nyala hidup seperti ketika Naqib menatap pintu kamarnya, yang ada justru kesedihan, luka, rasa sakit. Mata dengan iris cokelat itu mulai berkaca-kaca, dan entah sejak kapan tanganku telah digenggam oleh Naqib, padahal setahuku tadi aku yang menggenggam tangannya. Perlahan, genggaman itu berubah menjadi cengkeraman. Dan Naqib mulai kejang-kejang.

Aku berteriak, membuat Paman Qasim dan anggota keluarga lainnya datang. Rupanya hari itu, adalah hari terakhir aku berbicara, dan mendengar suara Naqib.

***

Sudah satu minggu lamanya Naqib dirawat di rumah sakit, dan lelaki itu tak kunjung mau membuka matanya. Kelopak mata yang berwarna cokelat gelap, dengan bulu mata yang hanya tumbuh beberapa helai saja itu masih betah menutup.

Mulutnya dipasangi selang ventilator, pasti rasanya sangat sakit. Tangan kirinya diinfus, dan di meja sebuah mesin pendeteksi detak jantung berbunyi tiada henti, garis naik-turun terpampang dengan jelas di layarnya.

Adzan dzuhur telah berkumandang sejak tadi, dan aku ingin pergi sholat, tapi tak mungkin juga meninggalkan Naqib seorang diri di ruangannya. Aku takut ia kejang lagi, dan tak ada yang mengetahuinya.

"Assalamualaikum!"

Aku langsung bangkit dari sofa, dan tersenyum begitu melihat Paman Qasim datang, membawa sekeranjang buah, serta tas berwarna hijau yang entah isinya apa.

"Waalaikumsalam, Paman," balasku sembari membantu meletakkan sekeranjang buah, dan tas ke meja di dekat sofa.

"Biar aku yang menjaga Naqib, kau bisa sholat dzhuhur, Laiba," Kata Paman Qasim yang segera ku angguki.

"Baiklah, terima kasih banyak, Paman." Aku tersenyum, dan segera berpamitan untuk menuju ke mushola di rumah sakit.

***

Malam telah menjelang, dan Paman Qasim juga telah berpamitan pulang. Ia bilang harus pergi keluar kota untuk mengurus bisnis.

Kini tersisa aku lagi, dan Naqib juga segala peralatan medis, yang sejak seminggu lalu menempel di tubuhnya.

Aku duduk di kursi dekat brankarnya, ku tatap lelaki yang sejak seminggu lalu tak kunjung membuka mata, tak kunjung membuka mulut untuk bersuara. Aku memberanikan diri menyentuh wajahnya, sangat kasar, dan aku benci untuk menyadari sekarang aku menangis karena membayangkan, betapa menyakitkannya saat luka-luka di wajahnya pertama kali ia dapatkan.

Aku tidak tahu seberapa menyakitkannya, dan kau mungkin ingin berteriak saat itu terjadi.

Aku masih mengusap wajahnya, sampai air mata membuat pandanganku sedikit memburam, dan aku segera berhenti mengusapnya, menurunkan tanganku dari wajah yang ku ketahui memiliki senyuman sehangat mentari pagi itu.

Naqib Kamandhana. Aku tak pernah tahu kalau kau ada di dunia ini, kalau Ibu dan Ayahku tak menjodohkanku denganmu, kalau Allah Tuhanku tak mendekatku denganmu.

Apa kau pernah mengira kita akan bertemu sebelumnya, Naqib? Apakah kau pernah mengira kau akan menikah dengan perempuan, yang tak menarik atau pun cantik sepertiku? Sepertinya tidak, dan kita sama-sama tak pernah mengiranya.

Kali ini aku memilih berjalan dua langkah, dan mengambil duduk di sofa. Ku buka tas hijau yang tadi dibawakan oleh Paman Qasim, dan isinya ada tiga kotak. Tadinya, aku ingin membukanya, tetapi mataku justru teralihkan oleh buku di meja. Buku yang kubawa saat pertama kali mengantar Naqib ke rumah sakit, dan sejak itu tak pernah ku sentuh lagi.

Sepertinya lelaki ini memang suka membaca buku, tetapi aku tak tahu buku bergenre apa yang menjadi kesukaannya, karena aku hanya tahu buku ini saja "Laila Majnun" karya Nizami Ginjavi. Seminggu yang lalu, aku memang melihat beberapa buku tertata di meja kamar Naqib yang dulu, tetapi aku memang hanya terfokus pada buku ini.

Kau suka membaca 'kan, Naqib? Maka bangunlah, aku akan membacakannya untukmu, aku akan membacakan semua buku-buku yang ingin kau baca. Biar aku saja yang membacakannya, lalu kita bisa membicarakan tokoh-tokoh di dalamnya. Ayo bangun, Naqib. Bangun. Aku menatapnya, tak ada pergerakkan darinya, ia masih begitu lelap di brankar yang mungkin ketika ia bangkit dari sana, akan meninggalkan aroma tubuhnya.

Aku bangkit dari sofa, mendekat lagi pada Naqib. Aku duduk di kursi samping kanan brankarnya, dan entah mengapa mataku mulai terasa berat, tapi aku tak ingin tidur, aku ingin menunggu lelaki ini membuka matanya, ingin mendengar lagi mulutnya membalas setiap ucapanku dengan nada pedas, dan ingin lagi melihat kelakuannya yang menyebalkan dan sungguh rewel itu.

Ku harap kau segera bangun. Aku tidak tahu apa itu cinta, atau apakah aku sudah mencintaimu. Tapi ku pikir ini adalah perasaan saat aku merasa, bahwa kau mulai berarti untukku. Kita mungkin bisa berteman setelah kau bangun nanti, Naqib. Aku ingin mendengar semua ceritamu, ingin mendengar keluhanmu, semuanya. Kita bisa menjadi teman, lalu sahabat, atau jika memang takdir mengizinkan, mungkin kita bisa memulai untuk saling mencintai. Tapi aku tak berharap lebih, yang ku harapkan kita hanya bisa saling mengenal dan sedikit lebih akrab. Dan, tentunya kau segera bangun.

Lama kelamaan, mataku terasa berat, dan sepertinya aku mulai tenggelam dalam mimpi. Semoga ketika aku bangun, kau juga sudah bangun, lelaki pemilik senyum sehangat mentari pagi, Naqib Kamandhana.

Bersambung.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   11. Bunga Matahari

    Aku sudah selesai mengobati lukanya, dengan menempelkan plester di telapak tangan lelaki ini."Assalamualaikum!" Kami berdua menoleh bersamaan, dan menemukan Paman Qasim tengah tersenyum lebar di dekat pot bunga besar, yang dihuni oleh bunga kamboja."Waalaikumsalam!" Aku dan Naqib menyahut bersamaan. Ku kira aku bisa sedikit melihat senyuman di wajah lelaki ini karena Paman Qasim sudah pulang, tetapi aku salah. Karena ekspresi di wajahnya tak berubah. Hanya saja sorot matanya, sedikit tampak ada nyala hidup di sana.Lelaki paruh baya yang mengenakan setelan jas formal warna biru gelap, segera melangkah kan kakinya yang bersepatu pantofel mengkilat hitam, mendekat pada kami, atau mungkin lebih tepatnya pada Naqib.Paman Qasim berjongkok di hadapan Naqib, keponakan yang ku tahu amat ia sayangi."Bagaimana kondisimu, Nak? Sudah lebih baik?" Aku mengamati ekspresi di wajah Naqib, dan bisa ku temukan nyala hidup di matanya perlahan-lahan mulai penuh, di sana aku menemukan Naqib yang masih

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   10. Mawar Berdarah

    Sudah dua hari lamanya aku dan Naqib tinggal di kediaman Keluarga Kamandhana. Ku pikir, aku mulai menyadari adanya semacam sekat di antara mereka dengan Naqib. Seperti hanya Paman Qasim lah yang peduli pada lelaki itu di rumah ini.Nenek? Sudahlah jangan menanyakannya. Perempuan baya itu, tak pernah ku sangka, bahwa ia tampak tak menyukai Naqib. Sangat berbeda dari sikapnya saat kali pertama datang ke rumahku, untuk mengajukan lamaran Naqib padaku.Sekarang sudah pukul sembilan pagi. Kami sudah sarapan walau hanya di kamar, karena Naqib menolak untuk makan bersama di ruang makan. Aku mencoba menanyakan alasannya, dan tentu saja ia tak akan mau repot-repot menjawab, lelaki itu justru pergi dengan kursi roda canggihnya, meninggalkanku di kamar seorang diri.Sudah satu jam lamanya Naqib keluar, apa lelaki itu baik-baik saja? Atau di mana kah ia sekarang? Sepertinya aku harus segera mencarinya, takut sesuatu terjadi padanya. Bagaimana kalau nanti ia kejang lagi?Aku keluar kamar, mengenak

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   9. Mimpi Buruk

    Kami berdua tiba di kediaman Keluarga Kamandhana sekitar pukul setengah sebelas siang, dan tak ada yang menyambut, ya apa yang ku harapkan memangnya? Mereka mungkin akan datang menyambut kalau ada Paman Qasim, tapi karena paman belum kembali dari luar kota, jadi lah kami seperti orang asing di kediaman ini. Maksudku, mereka seperti tak menganggap Naqib ada. Setidaknya jika mereka menganggapku asing tak apa, karena jika aku tak menikah dengan Naqib, aku memang hanya orang asing bagi mereka. Tapi, Naqib? Mengapa mereka melakukan ini? Bukankah Naqib bagian dari keluarga ini? Sungguh aku tak nengerti.Kali ini kami sudah di kamar Naqib yang dulu, kamar yang dicat biru muda, dengan langit-langit di cat biru gelap, dihiasi bintang-bintang juga bulan. Kemarin aku tak mengamati dengan benar, dan kali ini aku benar-benar terpukau, kamar lelaki ini sangat indah, se-indah matanya yang ber-iris cokelat itu.Sejak kembali, Naqib sudah terbaring di single bednya, aku menyelimutinya tadi, dan ia sud

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   8. Awan Pengelana

    Tiga puluh menit lamanya kami berdua menunggu, tetapi taksi yang ku pesan tak kunjung datang. Aku bahkan sudah berulang kali jongkok, berdiri lalu jongkok lagi, atau terkadang menengok ke arah kanan-kiri, menanti taksi itu datang menjemput kami.Bunyi notifikasi di ponsel membuatku segera mengeceknya, dan aku menatap Naqib. Ingin mengatakan padanya kalau si pengemudi rupanya menolak kami, tapi melihat wajahnya yang sudah lelah dan tampak pucat, membuatku jadi tak tega.Sekarang kami harus bagaimana? Tak mungkin aku jalan kaki, mendorong Naqib di kursi rodanya, dengan barang bawaan sebanyak ini.Aku berjongkok lagi, menghadap lelaki ini. "Kenapa?" Aku tersenyum padanya. Ku pikir ia sudah tidur."Kau bisa tidur dulu," Kataku masih dengan tersenyum.Helaan napas terdengar dari mulutnya. "Pengemudinya menolak datang?" Aku menganggukkan kepala, dan setelahnya ia menghela napas lagi, lalu memejamkan mata.Ku harap ia betulan tertidur, dan aku akan mengusahakan bagaimana pun caranya agar ka

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   7. Mata yang Irisnya Cokelat

    "Rumah itu sudah ku jual! Jadi, kalian harus tinggal di Rumah Besar Kamandhana mulai sekarang!" Panggilan itu seketika diputuskan secara sepihak. Dan, aku sungguh terkejut mendapati sikap Nenek yang sangat berbeda. Rupanya segala hal tentang Naqib, dan Keluarga Kamandhana memang menyimpan banyak keanehan juga rahasia. Aku segera memasukkan kembali ponsel ke saku.Aku menghela napas, menatap Naqib yang duduk dengan tenang di kursi roda canggihnya. Kami berdua pulang ke rumah, dan sayangnya ketika mencoba mengetuk pagar, seseorang keluar dari sana, menjelaskan bahwa ia adalah pemilik baru rumah kami.Aku berjongkok di samping lelaki ini, mengamati rumah yang cukup besar yang beberapa minggu telah kami tempati. Rumahnya nyaman, asri, dan menyenangkan tinggal di sini. Sayangnya Nenek malah menjualnya, maka mau tak mau seperti yang Nenek katakan di panggilan tadi, kami harus tinggal di kediaman Kamandhana, lebih tepatnya rumah besar."Aku tidak mau kembali ke sana!" Ucapan Naqib sungguh me

  • Menikahi Tuan Muda Buruk Rupa   6. Lelaki Hobi Marah

    Melihatnya sudah membuka mata, dan sedikit berbicara membuatku semakin lega. Aku senang ia bangun lagi, dan senang setelah Dokter Kahil datang mengatakan, kalau Naqib memiliki kemungkinan untuk berjalan lagi, tapi ia harus rajin meminum obatnya juga mulai mengikuti terapi.Aku mulai bertanya-tanya, apakah selama ini Naqib tak meminum obatnya dengan rajin? Maksudku sebelum kami menikah? Dan, terapi? Benarkah tak ada yang mampu memaksanya untuk ikut terapi? Aku yakin Paman Qasim pasti sudah membujuk lelaki ini, dan lelaki ini tentu menolaknya, sehingga membuat terapi tak kunjung dilakukan padanya.Setelah Dokter Kahil pergi, aku duduk di samping kanan brankar Naqib lagi, lantaran saat Dokter Kahil datang tadi aku duduk di sofa. Mendengarkan penjelasannya mengenai keadaan kaki Naqib, dan kemungkinan lelaki itu untuk bisa kembali berjalan."Kau sudah tahu kau masih bisa berjalan lagi kalau ikut terapi?" Ku harap ia tidak mengiyakan, karena aku sangat kesal jika sampai ia mengiyakan.Tapi

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status