Aku terbangun, ketika suara mesin pendeteksi detak jantung berbunyi sangat keras, seolah mengumumkan keadaan lelaki yang tengah terbaring di brankarnya.
Mataku segera terbuka lebar, dan jam di dinding menunjukkan pukul tiga dini hari. Ku tekan tombol darurat di ujung brankar, aku bahkan menekannya berulang kali, tak peduli jika Dokter atau perawat akan merasa terganggu atau apa pun, karena sekarang aku sangat khawatir. Apa benar kau sudah harus pergi? Apa benar ketika kau pergi rasa sakit itu akan menghilang? Apa benar, kau sungguhan ingin pergi? Aku masih menekan tombol darurat, berharap dokter atau perawat segera datang, dan melakukan tindakan terhadap lelaki ini, yang ku lihat tiba-tiba mulai mengalami kejang. Aku tak tahu, Naqib. Aku tak tahu, harus bagaimana bersikap, tapi ketika dokter dan perawat masuk ke ruanganmu tergopoh-gopoh, serta menanyakan keadaanmu, aku seperti linglung. Ku pikir aku akan pingsan, tapi tidak. Aku terlalu linglung sepertinya untuk pingsan. "Anda bisa menunggu di luar, Bu. Biar kami melakukan tindakan terhadap Pak Naqib," Ucap Dokter yang tanpa lama segera aku angguki. Tapi kenapa? Kenapa kakiku tak mau bergerak? Kenapa mataku masih saja terpaku padamu, yang tengah dalam keadaan menyakitkan? Naqib, perawat sampai harus mendorong ku keluar, dan aku terus termangu, menatap pintu ruang rawatmu yang perlahan tertutup. Ini mengingatkanku pada hari di mana pintu kamar masa mudamu ditutup oleh Azizeh, dan pintu gudang tertutup, yang terus kau tatap sampai akhirnya kau kejang-kejang. Ada apa sebenarnya, Naqib? Kau ini siapa? Mengapa kau begitu menyimpan banyak rahasia, yang tak aku ketahui? Seberapa banyak rahasia dalam hidupmu? Seberapa penuh kepalamu untuk terus menyimpannya seorang diri? Apa ini juga alasan mengapa senyum milikmu menghilang? Nyala hidup di matamu lenyap. Aku menghela napas, segera mengucap istighfar, dan memilih duduk tak jauh dari pintu ruangan di mana lelaki itu dirawat. Perasaanku gelisah, takut, dan aku tak tahu rasanya tak jelas sekali melihat keadaan lelaki itu tadi. Segera aku merogoh saku gamisku, mengambil ponsel dari sana, dan menekan panggilan pada nomor Paman Qasim, yang beruntungnya langsung dijawab oleh lelaki paruh baya itu. Aku menjelaskan keadaan Naqib, dan Paman Qasim mengatakan akan segera datang ke rumah sakit. Aku tak menduga Paman Qasim akan datang secepat ini, ia bilang ia langsung memesan kereta cepat, dan langsung menuju kemari hanya dalam beberapa menit saja. "Ia kejang lagi?" Tanyanya yang segera ku angguki. Lelaki paruh baya, yang mengenakan setelan jas formal itu berjalan mendekati pintu ruang rawat Naqib. Ia berdiri lama di sana, mengamati tindakan dokter dan perawat melalui kotak transparan tertempel di pintu. Aku menundukkan kepala, dan mulai berdzikir. Tapi tak tahu mengapa, rasanya aku semakin gelisah, tak bisa tenang dan mataku berulang kali menatap ke arah pintu, khawatir dan mencemaskan keadaan lelaki di dalam ruangan sana. "Aku pergi ke toilet sebentar, Paman," Ucapku pada Paman Qasim, yang membuat lelaki paruh baya itu mengangguk, mempersilakan. Langkah kakiku membawa ku menuju mushola. Jam 3 dini hari. Mungkin ini saatnya, saatnya aku melakukan sholat tahajud. Sholat yang jarang atau bahkan hampir tak pernah aku lakukan lagi. Ku mantapkan diri menuju tempat wudhu, lalu masuk ke mushola. Ku hamparkan sajadah dan mulai melaksanakan sholat tahajud, yang telah sangat lama tak pernah aku laksanakan. Aku percaya Tuhan ada, aku percaya Allah, Tuhanku ada. Aku sangat percaya. Tiada tempat yang patut dimintai pertolongan selain Ia. Tiada doa yang tak dikabulkan oleh-Nya. Maka aku memohon kepada-Mu, ya Allah, ya Tuhanku. Dengan segala daya upayaku yang lemah, aku memohon pada-Mu. Kali ini, kali ini biarkan lelaki itu bangun, biarkan ia menghirup napas yang kau berikan percuma padanya, biarkan ia sehat lagi, biarkan ia membuka matanya lagi. Aku berdoa pada-Mu. Aku percaya. Aku sangat percaya. Aku akan mulai berpuasa sunnah, aku akan bersyukur atas segala nikmat yang Kau berikan, aku akan mendirikan sholat lima waktu dengan tepat waktu, aku akan menjadi istri yang baik untuk lelaki itu. Aku memohon pada-Mu sang Maha Pemurah untuk mengabulkan doaku, untuk membuat lelaki itu bangun dan kembali baik-baik saja. Aaminn. Aku tak tahu, tapi ku rasa ini adalah doaku yang paling tulus dari hati terdalamku. Air mata meluruh di wajahku begitu saja. Lelaki itu, lelaki itu, Naqib Kamandhana yang menjadi penyebabnya. Setelahnya segera aku keluar dari mushola, berjalan tergesa menunju ke ruang rawat di mana lelaki itu berada. Ku lihat Paman Qasim sudah tak lagi berdiri di depan pintu, ia duduk dengan ekspresi wajah yang tampak lega di kursi tak jauh dari pintu ruang rawat Naqib. "Bagaimana keadaan Naqib, Paman?" Aku hanya ingin mendengar satu kabar. Kabar baik, bahwa lelaki itu dalam kondisi yang stabil, bahwa Allah telah menjaganya, membantunya untuk bangun, membantunya untuk kembali membuka matanya. Seulas senyum tipis tercipta di wajah lelaki paruh baya itu. "Allhamdulillah, segala puji bagi Allah. Keadaannya membaik, tadi perawat sudah keluar untuk mengatakannya, sebentar lagi dokter akan keluar, memastikan kondisi Naqib benar-benar stabil," Ucapnya membuatku akhirnya turut mengulas senyum. Kegelisahan juga rasa takut, telah hilang dariku. Kelegaan datang menyapa, dan benar, Ibuku selalu benar, begitu pun Ayahku. Bahwa Tuhan ada, bahwa Allah akan selalu mengabulkan doa-doa hamba-Nya, yang dipinta dengan penuh kesungguhan juga ketulusan hati. Naqib seharusnya tahu ini, bahwa Tuhan memang ada, selalu ada untuk hamba-hamba-Nya. Tak seberapa lama, dokter akhirnya keluar. Seulas senyum tampak di wajah lelaki yang sepertinya, seusia dengan Paman Qasim. Dokter mengatakan kalau kondisi Naqib sudah stabil, dan beberapa waktu ke depan ada kemungkinan lelaki itu akan sadarkan diri. Kau tahu, Naqib? Tuhan ada. Dan aku telah berdoa padanya, agar kau baik-baik saja, dan Tuhanku Allah mengabulkannya. Paman Qasim masuk lebih dulu, dan aku memilih menunggunya di luar, karena ku lihat ia menggenggam tangan Naqib, lalu entah mengucapkan apa, setelahnya lelaki paruh baya itu mengusap kepala Naqib. Cukup lama Paman Qasim berbicara pada keponakannya itu. *** Jam di dinding ruangan menunjukkan pukul sembilan pagi. Aku masih duduk di kursi samping kanan brankar Naqib, menunggu lelaki itu untuk membuka mata. Tapi aku bersyukur keadaannya berangsur-angsur membaik, bahkan ia sudah tak memerlukan mesin pendeteksi detak jantung, dan ventilator yang sejak seminggu lalu dipasang di mulutnya juga sudah dilepaskan sekitar pukul 7 pagi tadi. Dokter bilang Naqib sudah tak memerlukannya lagi. "Kau tidak mau bangun, Naqib? Kau tidak mau membalas setiap perkataanku dengan mulut pedasmu itu? Aku tidak tahu, tapi aku sangat berharap kau bangun lagi. Jadi, bangunlah. Aku bisa mengajakmu jalan-jalan nanti, kita bisa pergi ke taman, ke pameran lukisan barang kali kau suka seni, atau ke museum, dan banyak tempat yang ingin ku tunjukkan padamu." Aku berbicara pada lelaki ini, yang masih saja menutup kelopak matanya. Apa mimpinya sangat indah? Sehingga ia menolak untuk bangun. Apa rasanya sangat nyaman? Sampai ia tak lagi mengigau di kala ia terlelap. Tentu saja, aku ingin melihatnya tidur dengan nyenyak, tapi bukan seperti ini. Bukan di rumah sakit, bukan karena ia sakit. Tiba-tiba saja, kelopak mata yang berwarna cokelat gelap, dan bulu matanya tersisa beberapa helai saja itu bergerak, seperti hendak terbuka. Ku harap benar, ku harap lelaki ini benar-benar membuka matanya, menatapku lagi, walau dengan sorot mata penuh kebencian miliknya itu. Sungguh tak apa. Aku tak masalah. Benar. Kelopak matanya terbuka perlahan, dan langsung menyipit, sepertinya menyesuaikan cahaya. Aku kembali merasa lega, sangat lega, sampai aku merasa ini adalah perasaan, paling melegakan dalam sepanjang aku hidup di dunia ini. Mulutnya yang kering dan kecokelatan bergerak, hendak terbuka. Ia seperti ingin mengatakan sesuatu, membuat ku langsung bangkit dan mendekat ke arahnya. "Kau memerlukan sesuatu?" Apa pun itu, aku akan membantumu mendapatkannya, Naqib. "A-air," Suaranya lirih sekali dan aku nyaris menangis, hanya untuk mendengar suara yang biasanya tegas, dan terdengar menyebalkan, kini jadi sangat lirih. Aku segera mengangguk, dan mengambilkan air minum di meja dekat sofa. Setelahnya aku membantunya untuk minum, satu gelas telah ia habiskan, seolah ia baru saja berkeliling di gurun tandus, dan amat kehausan. "Paman Qasim." Kali ini tak terlalu lirih, ia menyebut lelaki paruh baya itu. "Tadi Paman datang kemari, tapi ia harus segera kembali keluar kota karena urusan bisnisnya belum selesai, ia sangat mencemaskanmu," Ucapku menjelaskan, membuat lelaki itu tak lagi menanyakan apa-apa. Akhirnya aku bisa mendengar suaranya lagi, suara yang terkadang memang menyebalkan untuk didengar itu. "Berapa lama?" Mungkin maksudnya berapa lama ia ada di rumah sakit. "Satu minggu kau tak sadarkan diri," Aku membalasnya dan ia kembali diam. "Siapa saja yang kemari?" Kau mengharapkan siapa memangnya? Mereka aneh, mereka seperti tak peduli padamu, yang datang hanya Paman Qasim. Seolah lelaki itu adalah satu-satunya yang peduli, dan menyayangimu setulus hati. Aku sungguh tak paham tentang hubungan keluarga, yang terjalin di antara mereka di Keluarga Kamandhana, seolah hanya Paman Qasim yang menganggap lelaki ini ada, hidup, dan perlu perhatian. Yang lain tak pernah peduli padanya. "Tidak ada. Hanya Paman Qasim dan aku saja." To be continued.Apa yang dokter katakan rupanya meleset, mengenai Naqib yang kemungkinan akan sadar dalam dua hari lagi, karena kenyataannya sore ini, mata lelaki itu telah terbuka, ia menatapku lama sekali tanpa berkedip, dan aku segera menekan tombol di ujung brankar, memanggil dokter agar segera datang memeriksa lelaki ini.Setelah dokter datang dan memeriksa kondisinya, aku merasa sangat lega, gemuruh badai di hatiku benar-benar telah lenyap. Dan kini Naqib telah dipindahkan ke ruang rawat, serta apabila kondisinya semakin membaik dalam dua hari, ia bisa pulang. Ku harap kondisinya segera baik, agar kami bisa segera pulang, tak perlu terlalu lama di rumah sakit."Kau perlu sesuatu?" Di ruangan ini hanya ada aku dan Naqib. Paman Qasim sudah datang tadi sore, dan malam ini ia mengatakan tak bisa datang, ia harus pergi ke luar kota untuk mengurus bisnisnya.Lelaki itu masih belum mengatakan apa-apa, sejak baru sadar hingga kini malam telah datang.Aku menghela napas, membiarkan saja ia untuk menyesu
Seorang perempuan bernama Aleisha bangun cukup pagi, merasa kesal luar biasa setelah sang Ayah—Qasim menghubungi agar ia segera ke rumah sakit. Perempuan itu turun dari ranjang besarnya, rambut cokelat gelap panjangnya acak-acakkan, sejenak perempuan itu menatap kaca datar di pojok kamar, menatap diri sendiri yang penampilannya begitu kusut."Naqib, Naqib dan selalu Naqib! Entah apa yang membuat Ayah begitu menyayanginya," Ia menggerutu lalu memutuskan masuk ke kamar mandi, menyalakan keran di bak dan segera menenggelamkan diri di sana, memejamkan mata menikmati air hangat, dan membiarkan piyama bunga-bunga kuningnya basah."Aleisha!" Perempuan itu tahu siapa yang memanggil, membuatnya berdecak sebal. Ia segera menyelesaikan mandinya, dan keluar dengan pakaian baru yang rapi."Ada apa?" Aleisha memandang kesal lelaki yang berdiri di depan rak bukunya, yang dibalas dengan tatapan malas oleh lelaki itu."Kita harus pergi ke rumah sakit, bukankah Ayah sudah bilang padamu?" Lelaki itu, Ba
Pagi itu, ketika langit terlalu erat dipeluk oleh sang awan, yang kelabu karena terlalu banyak menyimpan kesedihan anak-anak manusia, hingga mencegah sang surya untuk memunculkan diri. Laiba, perempuan yang mengenakan jilbab panjang putih, dengan gamis warna senada, dan sandal itu, melintasi lorong demi lorong rumah sakit dengan tergesa.Seseorang mungkin akan pergi hari ini, dan ia tak akan pernah kembali lagi. Setiap harinya memang begitu, bahwa jika ada yang lahir, maka akan ada yang mati, dan itu terjadi di belahan dunia mana pun. Tapi Laiba tidak siap, ia tidak siap jika itu untuk lelaki itu. Ia tak ingin kehilangan lelaki itu. Perempuan itu berhenti tepat di depan ruang ICU, dan seorang lelaki paruh baya tengah berdiri tepat di depan pintu ruangan, menatap ke arah dalam dengan ekspresi wajah gelisah, dahinya berkerut-kerut, lingkaran di bawah matanya tampak jelas, bibirnya bergerak-gerak, terus mengucapkan kalimat demi kalimat, sebuah doa agar seseorang yang berada dalam ruang
Setelah berbincang cukup lama dengan Azizeh, dan perempuan berusia 59 tahun itu pamit hendak melakukan pekerjaannya yang lain, jadi ku pikir aku bisa kembali ke kamar segera.Langkahku justru tiba-tiba berhenti di depan gudang, karena aku kembali mengingat kejadian saat Naqib kejang-kejang di depan pintu ini, dan Jon saat itu baru saja bersamanya. Entah apa yang sebenarnya pernah terjadi di gudang ini, Naqib seperti memiliki memori kelam, sehingga membuatnya mengalami kejang.Aku mendekati pintu itu, dan mencoba membukanya. Tak ku sangka pintunya tak dikunci, perlahan aku masuk ke gudang yang cukup gelap itu, tetapi sedikit cahaya masih tampak, membuatku dengan mudan menemukan saklar lampu.Seketika semua benda yang ada di gudang mulai terlihat, dan aku terkejut ketika menyadari bahwa gudang ini tampak tak seperti gudang pada umumnya, maksudku, tempat ini cukup bersih untuk disebut gudang, hanya saja memang beberapa benda ada yang tak tertumpuk rapi, juga sebuah ranjang yang ditutupi
Sudah dua minggu lamanya, Naqib terbaring koma di brankar rumah sakit, matanya masih betah memejam, dan ventilator masih ada di mulutnya, begitupun selang infus di tangan kirinya, bahkan tiga hari lalu, dokter memasang kabel-kabel kecil di kedua pelipis Naqib, aku tak tahu apa fungsinya, tapi aku tahu alat itu telah menggambarkan bahwa Naqib dalam kondisi yang semakin buruk.Pagi ini sekitar pukul sembilan pagi, aku mendatangi mushola di rumah sakit, mengambil wudhu lalu melaksanakan sholat dhuha, berdoa pada-Nya agar melindungi lelaki itu, menjaga Naqib, membuat kondisinya membaik, dan segera sadarkan diri.Ini kali pertama aku merasakan gelisah yang tiada akhirnya, menunggu lelaki itu membuka mata, dan kembali mengucapkan sepatah kata walau ucapan pedas sekalipun.Aku tak ingat kapan Yazan sampai di rumah sakit ini, duduk di sampingku, entahlah mungkin karena ia bahkan tak mengatakan sepatah kata pun sejak tadi, dan hanya ada keheningan di antara kami."Bagaimana keadaan Kakak ipar?
Hari semakin siang, dan kali ini waktu telah menunjukkan pukul 10. Paman Qasim memintaku untuk berkeliling rumah sakit saja, atau pergi ke taman depan rumah sakit untuk menenangkan diri, sementara ia akan menunggui Naqib di depan ruang ICU. Aku segera menganggukkan kepala, dan setuju atas pinta lelaki paruh baya itu.Di sepanjang koridor, aroma menyengat obat lah yang memenuhi rongga hidungku, kadang aku juga berpapasan dengan seorang pasien yang hendak dipindahkan ruangannya, atau dengan para perawat yang mendorong brankar, di atasnya terbaring seorang pasien berlumuran darah, kadang pula brankar didorong dengan perempuan, yang perutnya membuncit, peluh mengiringinya, ia hendak melahirkan, dan terakhir aku menyaksikan, seorang anak lelaki mungkin berusia sekitar 5 tahunan, yang mulutnya dipasangi ventilator, matanya terpejam damai, tangannya dililit selang infus, kepalanya diperban, dan sepanjang brankar itu melaju ke arah ruang operasi, suara tangisan perempuan yang ku pikir Ibunya