Satu minggu berlalu, dan mereka—anggota keluarga Kamandhana yang lain baru pulang sekarang. Nenek dan Paman Qasim meminta kami untuk datang ke rumah Keluarga Kamandhana.
Ketika hari pernikahanku yang amat sederhana itu, tak ada satu pun dari mereka yang hadir, kecuali Nenek dan Paman Qasim. Pagi ini Nenek langsung menuju ke kamarnya, dibantu oleh seorang asisten rumah tangga senior di rumah ini, namanya Azizeh. Dan, aku tak bertanya mengingat Nenek pasti sangat kelelahan setelah pergi berlibur. "Aku mau pulang!" Kami baru datang dan lelaki ini sudah mulai rewel. Aku sungguh ingin mencubit perutnya, agar ia bisa diam barang sejenak saja, dan tak terus-terusan meminta pulang. Iya, bahkan tadi saat baru sampai di depan gerbang ia sudah langsung meminta pulang. "Kita baru datang, tak mungkin langsung pulang begitu saja," ucapku sedikit membungkuk agar dekat dengan telinganya. Tentu saja aku harus berbisik, agar anggota keluarga yang lain tak mendengarnya. Tak enak bukan jika didengar mereka? "Kalau begitu pesankan aku taksi, aku bisa pulang sendiri," Ketusnya membuatku harus mengelus dada sabar. Mengapa aku harus bertemu dengan lelaki serewel ini? Tapi sekali lagi aku harus sabar. Aku kembali membungkuk, berbisik padanya, "aku tak mungkin membiarkanmu pulang seorang diri." Tapi lelaki itu memang selalu keras kepala. Ia langsung melajukan kursi roda canggihnya, meninggalkan ruang tamu. Aku tentu tak bisa membiarkannya begitu saja, segera ku kejar lelaki itu, yang rupanya berhenti di depan sebuah kamar dengan pintu dicat cokelat gelap, sangat berbeda dengan pintu kamar lain di rumah ini, yang dicat warna cokelat terang. "Apa ada sesuatu di kamar ini?" Begitu sampai di dekatnya, aku langsung bertanya, berharap lelaki ini mau sedikit terbuka padaku. Tapi ia hanya diam saja, seolah aku tak pernah ada dan menanyakan sesuatu padanya. Lagi dan lagi aku harus bersabar. Aku berjalan ke sisi kirinya, dan kini berjongkok, ikut mengamati pintu kamar yang seolah amat menarik di mata lelaki ini. Aku tak mengerti, sorot matanya berubah, seperti ada nyala kehidupan di sana, dan seperti menampung kesedihan yang tiada tara, lalu perlahan aku juga menyaksikan bagaimana mata dengan sorot redup itu mulai berkilau, berkaca-kaca. Aku menundukkan kepala, mengerti kalau kebanyakan lelaki memang seperti Naqib, menahan tangisan mereka untuk diri sendiri, menahannya hanya karena merasa malu untuk mengeluarkan barang setetes air mata saja. "Apa ini kamarmu dulu?" Kuharap kali ini ia mau bereaksi, tak apa walau hanya anggukkan kepala saja. Ia tak mengangguk, tapi justru menoleh menatapku. "Mengapa kau menanyakannya?" Memangnya tak boleh kalau aku penasaran? Aku tersenyum. "Aku hanya penasaran saja," sahutku masih memasang senyum, mataku juga masih menatap lelaki ini. Helaan napas terdengar dari mulutnya yang kering, mengeripik, dan berwarna cokelat gelap itu. Ia tak lagi menatapku, tetapi aku masih menatapnya, semakin hari tiap kali aku menatapnya, semakin aku ingin menangis. Aku mulai menyadari betapa susahnya menerima dirinya sendiri, tapi kalau aku jadi ia mungkin aku juga sama—tak lagi ingin hidup. "Kalau begitu kau simpan saja rasa penasaranmu sampai mati!" Ucapannya sungguh pedas dan menyebalkan. Tapi, kali ini aku akan membiasakan untuk membalasnya dengan senyuman, ya aku harus mulai belajar banyak tersenyum. "Ya, baiklah. Dan, bagaimana kalau kita masuk?" Aku mengalihkan topik, berharap ia mau mengiyakan. "Untuk apa?" Kembali ku angkat bibirku ke atas, menciptakan senyum, yang tak ia lihat lantaran lelaki ini terus-terusan menatap pintu. "Melihat-lihat saja," balasku singkat. Aku sangat berharap ia menganggukkan kepala, karena sejujurnya aku sangat penasaran. Dan, mungkin kami bisa sedikit akrab, setelah mulai mengenal satu sama lain sedikit demi sedikit. Tak kusangka ia sungguhan menganggukkan kepala. Ia melajukan kursi rodanya sedikit lebih dekat pada pintu, menekan beberapa angka, dan aku memilih menundukkan kepala. "Kau boleh melihatnya, lagi pula tak ada apa-apa di dalam sana," Katanya membuatku mendongak, dan tersenyum tipis sembari menganggukkan kepala. Kuharap ini suatu kemajuan untuk hubungan aneh kami berdua. Hubungan aneh yang tak pernah kubayangkan sebelumnya akan terjadi dalam hidupku. Naqib Kamandhana, aku tak pernah sekali pun bermimpi mengenalnya, jangankan mengenalnya menatap wajahnya saja aku tak pernah. Tapi, kali ini setiap hari, setiap malam, bahkan setiap detik napasku berembus, aku selalu menatap wajahnya, selalu berada di sekitarannya. Tangan kiri Naqib memegang knop pintu, yang sepertinya susah untuk dibuka. Sejak tadi aku mengamati wajahnya, dan ekspresinya berubah sedikit kesal setelah pintu tak bisa ia buka. "Sepertinya sudah diganti!" Ya, tentu yang ia maksud adalah sandi dari pintu canggih di hadapan kami ini. "Kita bisa menanyakannya pada Azizeh bukan?" Aku menyahut, mencoba berinisiatif, karena kulihat nyala hidup di matanya kembali hilang, yang ada justru sorot mata redup, yang senantiasa kulihat sejak aku pertama kali bertemu dengannya hingga hari ini. "Tidak perlu!" Ia langsung melajukan kursi rodanya, meninggalkan aku yang masih berdiri di depan pintu kamar itu. Dan, aku segera bangkit berdiri, masih menatap pintu yang sejak tadi Naqib tatap dengan sorot matanya yang seperti mulai muncul harapan untuk hidup. Aku menghela napas. Ingin sekali aku membantunya, membuat sorot mata redup itu kembali menyala hidup, ingin membuat senyuman sehangat mentari pagi itu kembali menghiasi wajahnya. Kuharap aku bisa melakukannya, tetapi sangat sulit untuk meyakinkan Naqib bahwa ia bisa percaya padaku, ia bisa menceritakan hal-hal yang membuatnya kehilangan nyala hidup di matanya, yang juga menjadi penyebab mengudaranya senyuman sehangat mentari pagi itu. "Nyonya Besar memintaku mengganti sandinya," Aku menoleh, dan menemukan Azizeh yang mengenakan kerudung hitamnya berdiri di sebelahku. "Mengapa?" Azizeh menggelengkan kepalanya, tetapi berikutnya perempuan berusia 59 tahun itu menekan beberapa angka di dekat knop pintu, dan terbuka lah kamar yang begitu gelap. "Aku sejak tadi melihatmu dan Tuan Muda Naqib memandangi pintu kamar ini," Ucapnya lalu meninggalkanku pergi begitu saja, seolah membiarkanku untuk masuk ke kamar ini. Aku ragu untuk masuk, tetapi karena rasa penasaran yang lebih besar, akhirnya aku masuk, dan hanya ada kegelapan. Aku tak tahu di mana tepatnya saklar lampu. Tiba-tiba lampu sudah menyala, menerangi kamar yang tak terlalu luas ini. Aku menoleh ke belakang dan menemukan Azizeh di sana, tengah menatapku sambil tersenyum tipis. "Ini adalah kamar Tuan Naqib dari kecil hingga usianya 17 tahun," Ia berkata dan mulai melangkah mendekati tirai, yang menutupi jendela besar. Aku mengikutinya, lalu perempuan berusia 59 tahun itu berhenti di depan jendela besar. Ia memegang cukup lama tirainya, dan aku berdiri di sampingnya, mengamati ekspresi yang muncul di wajahnya. "Jadi, Naqib menghabiskan masa kecilnya di sini?" Azizeh menganggukkan kepalanya, ia lalu menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. Aku tak tahu apa yang membuatnya demikian. "Lalu setelah 17 tahun, Naqib ke mana? Apa kamarnya pindah?" Ia tak menjawab, justru malah memelukku. Aku terkejut mendapati tiba-tiba dipeluk olehnya, tetapi segera aku membalas pelukkannya walau ragu-ragu. Makin lama pelukkannya makin erat, dan tiba-tiba suara tangisnya terdengar. Aku membalasnya makin erat, mengusap punggungnya, mencoba menenangkannya. "Kuharap Tuan Muda Naqib akan bahagia bersamamu, aku sangat berharap," Azizeh melepas pelukkannya, dan mengatakan hal barusan padaku. Aku tak tahu harus mengatakan apa, tapi sebisa mungkin aku mengiyakannya, menganggukkan kepala dan menampilkan senyum. Aku bahkan tak yakin bisa mengembalikan senyuman Naqib, apalagi membuatnya bahagia. Kuharap aku bisa, dan kuharap aku mampu melakukannya. Setelahnya aku berjalan mendekati meja di samping single bad milik Naqib, beberapa buku tertata rapi di sana. Salah satunya buku berjudul "Laila Majnun" karya Nizami Ginjavi. Aku mengambilnya dan mengusap sampulnya yang kupikir akan berdebu karena tak lagi dibaca oleh si pemilik, tapi rupanya tidak. Sampulnya masih halus, tak ada debu yang menempel satu pun. "Aku selalu membersihkan kamar ini, siapa tahu Nyonya besar dan Nyonya Zulaina mengizinkan Tuan Muda Naqib untuk kembali ke sini," Ucap Azizeh membuatku menatapnya. "Jadi mereka melarang Naqib untuk—" "Ah, tidak-tidak. Aku hanya, aku hanya salah bicara. Baiklah, kau sudah selesai melihat-lihatnya 'kan? Ayo kita keluar, sebelum Nyonya besar dan Nyonya Zulaina mengetahuinya," Perempuan paruh baya itu langsung memotong ucapanku, dan aku hanya bisa pasrah ketika ia menarikku keluar dari kamar ini. Pintu itu kembali tertutup, dan sebuah buku masih ada di tanganku. Sejak tertutupnya pintu itu, aku semakin merasa bahwa segala hal tentang Naqib memang lah penuh rahasia, dan misterius. Ku harap aku tahu sedikit rahasiamu, Naqib Kamandhana. Bersambung.Aku sudah selesai mengobati lukanya, dengan menempelkan plester di telapak tangan lelaki ini."Assalamualaikum!" Kami berdua menoleh bersamaan, dan menemukan Paman Qasim tengah tersenyum lebar di dekat pot bunga besar, yang dihuni oleh bunga kamboja."Waalaikumsalam!" Aku dan Naqib menyahut bersamaan. Ku kira aku bisa sedikit melihat senyuman di wajah lelaki ini karena Paman Qasim sudah pulang, tetapi aku salah. Karena ekspresi di wajahnya tak berubah. Hanya saja sorot matanya, sedikit tampak ada nyala hidup di sana.Lelaki paruh baya yang mengenakan setelan jas formal warna biru gelap, segera melangkah kan kakinya yang bersepatu pantofel mengkilat hitam, mendekat pada kami, atau mungkin lebih tepatnya pada Naqib.Paman Qasim berjongkok di hadapan Naqib, keponakan yang ku tahu amat ia sayangi."Bagaimana kondisimu, Nak? Sudah lebih baik?" Aku mengamati ekspresi di wajah Naqib, dan bisa ku temukan nyala hidup di matanya perlahan-lahan mulai penuh, di sana aku menemukan Naqib yang masih
Sudah dua hari lamanya aku dan Naqib tinggal di kediaman Keluarga Kamandhana. Ku pikir, aku mulai menyadari adanya semacam sekat di antara mereka dengan Naqib. Seperti hanya Paman Qasim lah yang peduli pada lelaki itu di rumah ini.Nenek? Sudahlah jangan menanyakannya. Perempuan baya itu, tak pernah ku sangka, bahwa ia tampak tak menyukai Naqib. Sangat berbeda dari sikapnya saat kali pertama datang ke rumahku, untuk mengajukan lamaran Naqib padaku.Sekarang sudah pukul sembilan pagi. Kami sudah sarapan walau hanya di kamar, karena Naqib menolak untuk makan bersama di ruang makan. Aku mencoba menanyakan alasannya, dan tentu saja ia tak akan mau repot-repot menjawab, lelaki itu justru pergi dengan kursi roda canggihnya, meninggalkanku di kamar seorang diri.Sudah satu jam lamanya Naqib keluar, apa lelaki itu baik-baik saja? Atau di mana kah ia sekarang? Sepertinya aku harus segera mencarinya, takut sesuatu terjadi padanya. Bagaimana kalau nanti ia kejang lagi?Aku keluar kamar, mengenak
Kami berdua tiba di kediaman Keluarga Kamandhana sekitar pukul setengah sebelas siang, dan tak ada yang menyambut, ya apa yang ku harapkan memangnya? Mereka mungkin akan datang menyambut kalau ada Paman Qasim, tapi karena paman belum kembali dari luar kota, jadi lah kami seperti orang asing di kediaman ini. Maksudku, mereka seperti tak menganggap Naqib ada. Setidaknya jika mereka menganggapku asing tak apa, karena jika aku tak menikah dengan Naqib, aku memang hanya orang asing bagi mereka. Tapi, Naqib? Mengapa mereka melakukan ini? Bukankah Naqib bagian dari keluarga ini? Sungguh aku tak nengerti.Kali ini kami sudah di kamar Naqib yang dulu, kamar yang dicat biru muda, dengan langit-langit di cat biru gelap, dihiasi bintang-bintang juga bulan. Kemarin aku tak mengamati dengan benar, dan kali ini aku benar-benar terpukau, kamar lelaki ini sangat indah, se-indah matanya yang ber-iris cokelat itu.Sejak kembali, Naqib sudah terbaring di single bednya, aku menyelimutinya tadi, dan ia sud
Tiga puluh menit lamanya kami berdua menunggu, tetapi taksi yang ku pesan tak kunjung datang. Aku bahkan sudah berulang kali jongkok, berdiri lalu jongkok lagi, atau terkadang menengok ke arah kanan-kiri, menanti taksi itu datang menjemput kami.Bunyi notifikasi di ponsel membuatku segera mengeceknya, dan aku menatap Naqib. Ingin mengatakan padanya kalau si pengemudi rupanya menolak kami, tapi melihat wajahnya yang sudah lelah dan tampak pucat, membuatku jadi tak tega.Sekarang kami harus bagaimana? Tak mungkin aku jalan kaki, mendorong Naqib di kursi rodanya, dengan barang bawaan sebanyak ini.Aku berjongkok lagi, menghadap lelaki ini. "Kenapa?" Aku tersenyum padanya. Ku pikir ia sudah tidur."Kau bisa tidur dulu," Kataku masih dengan tersenyum.Helaan napas terdengar dari mulutnya. "Pengemudinya menolak datang?" Aku menganggukkan kepala, dan setelahnya ia menghela napas lagi, lalu memejamkan mata.Ku harap ia betulan tertidur, dan aku akan mengusahakan bagaimana pun caranya agar ka
"Rumah itu sudah ku jual! Jadi, kalian harus tinggal di Rumah Besar Kamandhana mulai sekarang!" Panggilan itu seketika diputuskan secara sepihak. Dan, aku sungguh terkejut mendapati sikap Nenek yang sangat berbeda. Rupanya segala hal tentang Naqib, dan Keluarga Kamandhana memang menyimpan banyak keanehan juga rahasia. Aku segera memasukkan kembali ponsel ke saku.Aku menghela napas, menatap Naqib yang duduk dengan tenang di kursi roda canggihnya. Kami berdua pulang ke rumah, dan sayangnya ketika mencoba mengetuk pagar, seseorang keluar dari sana, menjelaskan bahwa ia adalah pemilik baru rumah kami.Aku berjongkok di samping lelaki ini, mengamati rumah yang cukup besar yang beberapa minggu telah kami tempati. Rumahnya nyaman, asri, dan menyenangkan tinggal di sini. Sayangnya Nenek malah menjualnya, maka mau tak mau seperti yang Nenek katakan di panggilan tadi, kami harus tinggal di kediaman Kamandhana, lebih tepatnya rumah besar."Aku tidak mau kembali ke sana!" Ucapan Naqib sungguh me
Melihatnya sudah membuka mata, dan sedikit berbicara membuatku semakin lega. Aku senang ia bangun lagi, dan senang setelah Dokter Kahil datang mengatakan, kalau Naqib memiliki kemungkinan untuk berjalan lagi, tapi ia harus rajin meminum obatnya juga mulai mengikuti terapi.Aku mulai bertanya-tanya, apakah selama ini Naqib tak meminum obatnya dengan rajin? Maksudku sebelum kami menikah? Dan, terapi? Benarkah tak ada yang mampu memaksanya untuk ikut terapi? Aku yakin Paman Qasim pasti sudah membujuk lelaki ini, dan lelaki ini tentu menolaknya, sehingga membuat terapi tak kunjung dilakukan padanya.Setelah Dokter Kahil pergi, aku duduk di samping kanan brankar Naqib lagi, lantaran saat Dokter Kahil datang tadi aku duduk di sofa. Mendengarkan penjelasannya mengenai keadaan kaki Naqib, dan kemungkinan lelaki itu untuk bisa kembali berjalan."Kau sudah tahu kau masih bisa berjalan lagi kalau ikut terapi?" Ku harap ia tidak mengiyakan, karena aku sangat kesal jika sampai ia mengiyakan.Tapi