Share

Kenapa jadi Begini?

Aga menghembuskan napas berat, koper-koper Alina dia bawa ke satu-satunya kamar yang ada di rumah petak itu.

Ya, Bu Rumi menyuruh mereka pindah dengan alasan yang menurut Aga sangat tidak masuk akal. Dia kembali merutuk diri, kenapa dia harus masuk ke kamar gadis itu malam tadi?

"Untuk sementara, kalian tinggal di sini dulu." Suara Bu Rumi_ibu kos mereka terdengar tegas. Wajahnya tidak ramah, sangat berbeda dengan hari-hari biasa yang penuh canda setiap berhadapan dengan para anak kos-nya.

"Hubungi keluargamu untuk mempertanggungjawabkan semua ini." Bu Rumi melotot kepada Aga. Ibu kos yang sudah seperti ibu ke dua baginya itu terlihat sangat kesal.

"Tapi, Bu ...."

"Kamu mau masih mau membantah?" Bu Rumi langsung menarik telinga Aga sebelum sanggahan terucap dari bibir pemuda tampan itu.

"Aduh, aduh. Ampun Bu," Aga meringis sembari mengusap telingannya berulang kali setelah Ibu kos-nya itu melepaskan jeweran.

"Selama ini, bukannya Ibu nggak tahu, ya. Kamu sering bawa perempuan nginap ...." Suara Bu Rumi meninggi, wajahnya memerah menahan marah. Dadanya naik turun, berusaha mengendalikan emosi yang kembali menguasai.

"Tapi, beneran Bu ...."

"Nggak ada tapi- tapi. Kalau kamu nggak berani, biar Ibu yang menghubungi mereka," putus Bu Rumi.

Aga memelas, pandangan memohon dia tujukan pada Alina, gadis yang telah memporak porandakan hidupnya hanya dalam waktu satu malam. Tetapi, sepertinya dia harus berhenti berharap, karena sejak tadi perempuan itu seperti tak acuh dan memilih fokus meng-asi-hi bayinya sambil duduk di sofa, seolah tidak terpengaruh dengan keributan yang nyata di depan matanya.

"Dengar, ya, Ga. Ibu akan bantu kamu mengurus surat-surat. Kalian harus segera menikah. Ini bukan sebuah negosiasi." Wanita paruh baya dengan dandanan ala anak muda itu menghela napas panjang, kedua tangannya kini bertengger di pinggang, persis seorang ibu yang sedang memarahi anaknya yang sedang ketahuan mencuri, dan Bu Rumi memang seperhatian itu dengan anak-anak kosnya.

"Ibu beri kamu waktu satu minggu, selesaikan masalah ini sebagai pria dewasa."

Aga memberikan tatapan memohon dengan wajah yang semakin pucat. Dia tidak tahu lagi harus berkata apa. Bagaimana mungkin dia harus bertanggung jawab atas apa yang tidak pernah dia lakukan. Menikah? Apa-apaan? Apa yang akan dia katakan kepada Selvi nanti?

Namun, tatapan itu perlahan berubah pasrah, dia bisa apa kalau Bu Rumi sudah memutuskan? Tidak akan ada yang percaya sanggahannya. Pada akhirnya, dia hanya bisa terduduk lemas saat Bu Rumi meninggalkan kontrakan baru mereka.

Dia mengacak rambutnya berulang kali. Dia bangkit dan pandangannya tertuju pada Alina yang telah selesai menyusui bayinya.

Bergegas, dia menghampiri. "Kenapa kau tidak menjelaskan apa pun?!" Bentakan Aga membuat bayi yang baru saja tertidur itu sontak menjerit.

Alina hanya memandang pria di depannya sekejap, lalu dia kembali fokus menenangkan bayinya.

"Aaaagggrrrh!" Aga mengacak rambutnya frustasi.

"Kamu ngomong dong! Jangan biarkan semua orang jadi salah paham gini!" ujar Aga berusaha menekan suaranya, khawatir kalau bayi merah itu kembali menjerit. Namun, karena tidak ada respon dari wanita di depannya, dia menjadi semakin kesal.

Bukannya menjawab, perempuan itu malah bangkit dan masuk ke kamar.

"Aku sedang bicara, kau telah mengacaukan hidupku!" Tanpa sadar, Aga kembali menaikkan nada suaranya.

"Berhentilah berteriak, kau membuat anakku kaget." Alina menatap tajam.

"Kau ...."

"Pergilah ...." Alina menarik napas dalam-dalam.

"Aku minta maaf. Sekarang pergilah," tambahnya lagi.

"Kau telah mengacaukan semuanya. Kau kira akan semudah itu? Bu Rumi kenal baik dengan orang tuaku.

Aku yakin, dalam waktu dekat berita ini akan sampai ke telinga mereka."

"Maaf."

"Kenapa tidak dari awal kau jelaskan semuanya.?

"Maaf...

"Bisakah kau mengatakan sesuatu selain maaf"

"Maaf, eh maksudku."

"Sudahlah! Aku rasa aku akan gila sebentar lagi." Aga mengacak rambutnya dengan kasar, frustasi dengan semua yang terjadi. Dia bergegas keluar karena merasa tidak ada yang bisa dilakukannya di sini.

"Mau ke mana kamu? Istri baru lahiran kok di tinggal sendiri?" Suara wanita yang sedari tadi berkeliaran di kepala Aga, kini kembali mengisi indra pendengaran saat dia baru saja akan men-starter motor, terpaksa dia mengurungkan niat

"A-anu ...." Aga mengurungkan niatnya sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Melihat tatapan mengintimidasi dari Bu Rumi, membuatnya salah tingkah.

"Anu apa?" sentak Bu Rumi. Ini, berikan kepada istrimu, dia butuh banyak makan agar Asinya tetap lancar." Bu Rumi mengangsurkan sebuah kantong plastik.

"Aku harus ke kantor, Bu. Ibu saja yang memberikan," jawab Aga keberatan.

"Kamu, ya, nggak tahu diri. Alina itu jadi begini karena kamu, ya," cecarnya lagi.

Alina? Oh, jadi namanya Alina. Aga membatin, bagaimana mungkin dia memiliki anak dari seseorang yang baru saja dia ketahui namanya?

"Oke, baiklah. Terima kasih, Bu." Aga mengalah. Toh, dia tidak akan menang melawan perempuan bicara.

Sesampai di depan pintu kamar, Aga berhenti. Dia ragu untuk melanjutkan langkah.

"Ada apa?"

Tanpa dia sadari, ternyata Alina sudah berdiri di depannya. Aga melemparkan pandang pada bayi yang tertidur pulas di atas kasur.

"Kita harus bicara." Dia menatap Alina dengan intens. Tanpa menunggu jawaban, dia menarik wanita itu keluar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status