Aga menarik napas panjang setelah mendudukkan dirinya dengan sempurna di sofa ruang tengah. sedangkan wanita yang duduk berhadapan dengannya tampak menunggu kalimat yang akan keluar dari bibirnya.
"Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?" Aga terlihat kesal, perempuan ini sungguh tidak peka, pikirnya."Tentang?" Alina menautkan kedua alisnya."Tentang semua ini," Aga mengacak rambutnya frustasi. Apakah wanita ini begitu tolol?"Kau tidak ingin memberikan penjelasan tentang mengapa kau membuatku terperangkap dalam masalahmu?! Atau, kau memang sengaja ingin menjebakku." Aga menatap Alina dengan tajam, wajah tampannya menyimpan amarah yang siap untuk dimuntahkan. Akan tetapi, dia masih berusaha untuk menahannya."Maaf...." Alina menunduk, tidak sanggup menatap lawan bicaranya. Sebenarnya, di juga tidak ingin melibatkan siapa pun dalam hal ini."Berhenti menggunakan kata itu." Aga memotong ucapan wanita didepannya, tidak mau menunggu kalimat itu tuntas terucap."Maksudku...." Alina menganhkat kepalanya dan memberanikan diri bersitatap dengan lelaki di depannya."Maksudmu apa?!""Bisakah kau berhenti menyela." Alina mendengkus, dia pun mulai hilang kesabaran. Wanita itu sadar, semua ini sepenuhnya salahnya. Akan tetapi, untuk sekarang ini, dia benar-benar bingung harus berbuat apa.Aga menghembuskan napas kasar, tatapannya melunak, "Bicaralah," ujarnya datar. Bagaimana pun juga, mau tidak mau, dia sudah terlibat sejauh ini."Aku minta meminta maaf." Lagi, Aga menghela napas. Maaf lagi?"Aku tidak berniat untuk menjebakmu....""Tapi, kau sudah melakukannya....""Kau bilang tidak akan menyela." Alina menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya dalam satu tarikan. Sebenarnya dia sangat lelah, andai saja lelaki ini tidak terus mengusik dan membiarkannya meneruskan hidup, tentu semuanya tidak akan terasa rumit."Baiklah, lanjutkan," ujar Aga seolah tak peduli dengan protes wanita di depannya."Kau bisa pergi sekarang dan aku akan melanjutkan hidup.""Kau kira akan semudah itu? Bu Rumi akan segera menghubungi keluargaku dan memaksaku untuk menikahimu.Begini saja, kau beritahu siapa ayah bayi ini, aku akan memaksanya untuk mengakui perbuatannya." Aga berucap sungguh-sungguh."Tidak bisa," ujar Alina lirih. Dia menautkan jari-jemarinya, menimbang. Apakah dia harus mengatakan hal kepada lelaki ini?"Kenapa? Apakah dia sengaja membuangmu?" Aga tersenyum remeh. Dia mulai menduga kenapa Alina bisa menjalani kehamilannya sendirian."Dia bukan lelaki yang seperti itu," bantah Alina. Aga mengernyit. "Lalu?""Dia di penjara." Alina menelan ludah sambil menatap Aga, menunggu tanggapan lelaki itu. Dia tidak ingin lelaki yang telah dia libatkan ini berpikiran buruk tentang ayah bayinya.Aga sempat tersentak. Namun, dia tidak mengucapkan sepatah kata pun. Seketika, hening menguasai mereka."Tolong, jangan tanyakan apa pun lagi. Aku ingin tenang mengurus anakku." Alina kembali memohon."Tenang kau bilang? Lalu, bagaimana denganku?!" berang Aga. Setelah membuatnya terseret sejauh ini, Alina malah bersikap masa bodoh. Bagaimana harus menjelaskan semua ini kepada kedua orang tuanya nanti?"Pergilah, tinggalkan kami di sini. Aku akan mengatakan bahwa kau bukan ayah dari anakku." Mata Alina berkaca-kaca. Sungguh, dia tidak berniat melibatkan siapa pun.Alina bangkit saat mendengar suara bayinya merengek. Dengan langkah pelan, dia melangkah ke kamar tanpa mengucapkan sepatah kata pun lagi."Sial!" Aga memukul udara, sekedar melepaskan kekesalan yang bercokol di dada, bisa-bisanya hidupnya terjungkir balik dalam semalam. Lagi-lagi dia merutuk diri, kenapa sampai tergoda untuk memasuki kamar Alina malam tadi.Baru saja bangkit dari duduk, ponsel Aga berdering. Wajahnya betubah tegang saat melihat nama yang tertera di layar."Halo....""......""Aku mendapatkan masalah, mungkin aku akan mengajukan cuti untuk beberapa hari ke depan."".....""Baiklah, terima kasih." Aga menghela napas panjang, dia harus segera mendapatkan jalan keluar dari situasi ini, sebelum semuanya bertambah rumit.Baru akan memasukkan kembali ponsel ke kantong celana, benda persegi panjang itu kembali berdering. Lagi-lagi wajah Aga menegang. Namun, tak urung dia menggeser tombol berwarna hijau di layar.[Jemput aku di bandara]Belum sempat mengucapkan sepatah kata, seseorang di seberang sana sudah memberikan perintah. Suara yang sebenarnya dia rindukan beberapa hari ini. Tetapi....[Yang?! Kamu dengar nggak sih] Nada kesal sangat jelas terdengar di telinga Aga.Lelaki berkulit putih itu menggelengkan kepala berulang saat tersadar bahwa lawan bicaranya masih menunggu tanggapannya."Kamu pulang hari ini?" Sebuah senyum terbit di wajahnya, terbayang akan dapat menenangkan pikiran barang sejenak. Semangatnya tiba-tiba saja menggebu.[Pesawatnya mendarat jam 14.00]Suara gadis di seberang sana membuat senyum Aga enggan memudar."Baiklah, aku akan menjemputmu."Hampir pukul 15.00 saat Aga sampai di tempat parkir bandara. Namun, setelah mengecek ponsel, belum ada pesan apa pun dari sang kekasih. Mungkin benar, pesawat mengalami delay."Apakah kau bosan menunggu?" Seorang gadis dengan dress berwarna peach berdiri di depan Aga duduk. Senyum lebar yang menghias bibirnya membuat sesuatu bergejolak di dada lelaki itu."Aku baru saja akan memesan kopi untuk yang ke empat kalinya." Aga membalas senyuman gadis cantik dengan rambut digerai itu penuh arti. Meskipun, dia enggan bangkit dati duduknya dan malah memberikan kode agar sang gadis ikuy duduk di kursi seberangnya, "Ingin memesan sesuatu?""Tidak, aku ingin segera pulang. Aku sangat lelah. Kecuali, kau masih betah di sini," sindirnya."Aku akan betah berada dimana pun kau berada.""Kau masih suka membual, seperti biasa.""Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.""Baiklah, sekarang bantu aku membawa koper ini.""My pleasure" Aga langsung bangkit, tentu saja dia sudah tidak sabar untuk memadu kasih dengan sang pujaan hati.Aga berdecak saat nada getaran ponselnya kembali terasa. Wajahnya berubah pias saat melihat nama "Mama" tertera di layar."Siapa?" tanya gadis di sampingnya karena melihat wajah kekasihnya tampak pucat. Aga pun seperti tidak berniat menjawab panggilan di ponselnya.Setelah beberapa saat, dia hanya menatap wajah sang kekasih dengan lekat. "Ada yang ingin aku bicarakan denganmu," ujarnya. Membuat gadisnya mengernyit.“Percayalah, Alina. Kau tidak akan menyesal, Ervan yang sekarang sudah sangat jauh berbeda.” Sandi melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Pria berkepala plontos itu cukup senang karena tidak ada drama lagi untuk membawa pergi Alina dari rumah itu. Bahkan, kekasih Ervan ini dengan sukarela memintanya untuk menjemput.“Apa kau punya kekasih, Sandi?” Wanita bergaun kuning gading yang duduk samping kemudi itu seolah tidak mempedulikan ucapan Sandi tadi. Dia melempar pandangan keluar jendela sejak pertama memasuki mobil, tidak sedikit pun menoleh pada pria kekar di sebelahnya. “Kenapa kau menanyakan hal itu?” Alis pria itu bertaut, menoleh sebentar, kemudian kembali fokus pada jalanan di depan.“Kau jawab saja.”“Tidak.”“Pantas saja.” Alina tersenyum miris sambil memperbaiki duduknya, pandangannya beralih ke depan.“Apa kau tidak ingin memiliki seorang pendamping?” “Kenapa kau bertanya hal seperti itu?”“Agar kau mengerti bahwa perihal hati tidak bisa dipaksakan.”“Apakah ini tentang
Alina membersihkan luka di sekujur tubuh Aga dengan air mata berlinang. Hati-hati sekali dia mengusap setiap bagian yang luka dan memar dengan kain lap yang sudah diperas setelah dicelupkan ke air hangat. Suaminya hanya bisa meringis karena bibirnya sedikit robek, jadi tidak ada sepatah kata pun yang terucap dari bibir yang hampir setiap pagi mengecup lembut dahi Alina.Sepanjang malam Alina terjaga dengan menatap langit-langit kamar. Sesekali dia memperhatikan Aga yang memejam. Entah suaminya itu benar-benar tertidur atau hanya sedang berusaha menghindari kontak mata dengannya.Air mata Alina kembali menggenang saat mengingat putranya, dia yakin bahwa Ervan tidak akan melukai Langit. Namun, sebagai seorang ibu yang 24 jam selalu menemani sang putra, tentu saja tetap khawatir karena Langit pasti akan menangis saat menyadari ibunya tidak berada di dekatnya.***“Pergilah.” Aga duduk dengan menyandar ke kepala tempat tidur. Menatap Alina sepanjang hari ini dengan menghabiskan waktu di d
"Apa kelebihan dia dibanding aku?" Wajah Ervan merah padam. Bagaimana tidak, sang kekasih yang hampir setengah gila dicarinya selama ini, dengan mudahnya menolak merajut kembali impian mereka dulu. Sungguh sebuah penantian sia-sia dan sangat menyakitkan."Jawab, Alina!" Suara lantang kembali menggelegar, menggema ke seluruh ruang yang tidak terlalu luas itu. Alina semakin mengeratkan pelukan saat Langit kembali menjerit, terkejut dengan suara besar lelaki yang menjadi lawan bicara ibunya."Tidak ada." Alina menelan ludah. Tidak pernah dia melihat Ervan semengerikan ini. Meskipun tubuh tinggi kekarnya membuat banyak orang merasa takut, pria itu selalu memperlakukannya dengan lembut. Perlakuan yang membuat dirinya menyerahkan diri sepenuhnya lepada pria yqng memiliki tatapan setajam elang itu."Maaf. Aku tahu, aku yang bersalah di sini." Alina menjawab dengan gugup. "Tapi, apa kau tahu, bagaimana rasanya melahirkan sendirian? Tidak mengenal siapa pun yang bisa dimintai tolong. Sedangka
"Maaf." Aga duduk di tepi ranjang menatap tubuh telungkup Alina yang sesenggukan. Sedangkan Langit, ikut menangis sambil memeluk leher sang bunda. Seakan paham bahwa wanita yang melahirkannya itu sedang tidak baik-baik saja.Hampir 5 menit Aga menunggu, namun Alina belum juga merespon. Dia menyesal karena sudah keterlaluan memperlakukan istrinya."Alina ...." Pria itu sedikit memelas, membuat wanita yang sudah dua tahun membersamainya itu akhirnya duduk. Membawa Langit ke pangkuan, seolah melarang sang putra menghampiri sang Ayah."Aku yang seharusnya minta maaf." Alina mengusap kasar wajahnya dengan sebelah tangan dan memeluk Langit, sulit untuk bersikap baik-baik saja di saat dia tidak tahu kenapa dia harus disalahkan, "Aku tidak akan menemuinya," tegasnya lagi, sebelum Aga mengucapkan sesuatu kembali.Aga bergeming. Di satu sisi, dia merasa senang karena itu berarti Alina tidak ingin kembali bersama mantan kekasihnya. Namun, di sisi lain? Sebagai seorang ayah, dia tentu tidak bisa
"Jadi, kau menghilang karena pria itu?" Tatapan dingin Sandi membuat wajah Alina memucat. Dengan tangan yang saling menggenggam di pangkuan, wanita dengan dres rumahan itu duduk dengan gelisah, menyesalkan sikap sang suami yang memenuhi permintaan pria berkulit sawo matang di sampingnya ini agar mereka bisa bicara berdua saja.Angin malam yang bertiup kencang, membuat tubuhnya semakin menggigil, mereka memang duduk di bangku teras yang terbuka. Entah kenapa, Aga tidak membiarkan mereka untuk berbicara di dalam saja, apa sebenarnya yang sedang di pikirkan suaminya itu?"Bukan aku yang menghilang, dia yang meninggalkan aku." Alina menjawab pertanyaan itu dengan suara bergetar, dia ketakutan. Sangat ketakutan. Dan saat seperti ini, dia sangat mengharapkan Aga berada di sisinya untuk menenangkan, namun tidak ada tanda-tanda pria itu akan menyusulnya ke sini. Dan itu membuat Alina sangat kecewa. Berbagai pikiran buruk mulai mengganggu pikirannya."Kau tahu, kan? Dia sedang berusaha agar
Hari demi hari berjalan dengan begitu cepatnya. Tanpa terasa, Aga dan Alina telah menjalani biduk rumah hampir tiga tahun lamanya tanpa halangan yang berarti.Aga menjadi suami dan ayah yang bertanggung jawab serta perhatian membuat Alina begitu bersyukur karena takdir telah mempertemukan mereka. Tidak ada lagi pembicaraan tentang masa lalu, semuanya terkubur bersama kebahagiaan yang mereka nikmati bersama, meski bobot tubuh Alina merosot drastis karena Langit yang semakin aktif.Sore itu, Alina sedang menemani Langit untuk bermain di pekarangan sambil menyiram beberapa tanaman bunga. Sampai akhirnya, wanita berambut panjang itu merasa bahwa ada seseorang di balik pohon yang tumbuh di seberang jalan seperti memperhatikan mereka.Ini bukan kali pertama, dia juga sudah menyampaikan hal ini kepada sang suami, namun, tanggapan Aga tidak seperti yang diharapkan, pria itu beranggapan bahwa itu hanyalah pemulung yang biasa berkeliaran di sekitaran komplek.Alina masih ingin mendebat sebenar