Beberapa hari kemudian, keadaan Hanifa semakin membaik dan sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Bedanya, perempuan itu sama sekali tak diperbolehkan untuk menyentuh peralatan dapur. Alhasil, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Maya. Di mulai dari bersih-bersih dan juga memasak. Semua di lakukan oleh wanita yang usianya beberapa tahun di atas Hanifa. "Pak Pati, ini saya sudah masak sayur asem sama ikan goreng spesial buat Bapak!" ujar Maya dengan centilnya ketika Respati baru saja memasuki area dapur. Sang empu hanya mengangguk dan mulai sibuk membuka pintu kulkas. Maya yang merasa dicueki pun lekas mendekat ke arah sang empu dan menjawil lengannya."Pak Pati cari apa?"Respati terkejut bukan main dan sontak saja menjauh dari sosok Maya. Bisa gawat nanti jika Hanifa melihat, sudah pasti akan salah paham. "Mbak tolong jangan dekat-dekat seperti ini! Takutnya istri saya salah paham nantinya!" tegur Respati yang seketika membuat Maya memutar bola mata dengan malas. "Istri
Setiap hari ada saja tingkah Maya yang selalu memancing emosi Hanifa. Seperti sekarang ini, Maya keluar dari kamar yang di khususkan untuk asisten rumah tangga dengan menggunakan baju milik Hanifa. Pantas saja wanita hamil itu tak menemukan baju kesayangannya, ternyata justru sudah dipakai oleh Maya."Mbak, itu bajuku kok dipakai? Mbak kok terlalu lancang?" Tegur Hanifa yang merasa tak suka dengan sikap Maya yang selalu seenaknya seperti ini.Maya yang di tegur seperti itu malah menaikkan sebelah alisnya. Dia menatap aneh ke arah Hanifa"Loh, kok Mbak Nifa malah bilang kayak gini? Ini loh bajunya saya! Memangnya cuma Mbak saja yang bisa beli?" tantang Maya, padahal jelas-jelas ini baju memang milik Hanifa, tapi mana mau pembantu itu mengaku?Sementara di sisi lain, Hanifa sudah menatap garang pada pembantu satu itu. "Mbak Maya jangan macam-macam, ya. Aku loh tau kalau Mbak ini yang nata baju aku buat di bawa ke lantai bawah. Jadi, ya, kemungkinan besar dan itu memang baju aku. Aku
Malam harinya, seperti biasa, Maya selalu saja mencari kesempatan dalam kesempitan. Seperti malam-malam sebelumnya, wanita itu ikut makan di meja makan. Hanifa sudah tidak mood. Apalagi Respati juga tidak menegur asisten rumah tangga itu dan terkesan membiarkan saja. "Pak Pati mau makan pakai apa?" tanya Maya yang mulai melancarkan aksinya. "Biar saja ambil sendiri—""Sudah, sini saya ambilkan saja, Pak!" Maya gegas menuangkan nasi ke dalam piring kosong milik Respati. Wajah Hanifa sudah tidak bisa di kondisikan lagi. Wanita itu menatap datar pemandangan yang tentu saja membuat hatinya bergejolak ingin mencekik perempuan bernama Maya itu. Sialan sekali. "Mas. Aku mau makan di luar. Nggak mood makan di sini!" ujar Hanifa."Tapi nanti mubazir loh, Dek. Dia sudah masak banyak!" balas Respati.Terkadang, Hanifa itu heran sekali. Respati terkesan selalu membela Maya. Padahal yang sebenarnya tidak begitu. Wanita hamil itu hanya sedang mengalami masa-masa sensitif dalam segi perasaan m
Pagi-pagi sekali Maya pergi begitu saja dari kediaman Respati untuk menemui seseorang. Tadinya dia mengatakan jika hendak pergi membeli sayur di pasar dan Hanifa yang memang sejak awal tak menyukai keberadaan Maya pun membiarkan saja. Di sinilah Maya berada. Di pinggir jalan sembari duduk memainkan ponsel. Beberapa saat kemudian, seseorang datang menghampiri dengan raut datarnya. "Gimana? Ada perkembangan apa?" tanya orang itu yang tak lain adalah Santi.Ya, Ibu dari almarhum Abimana itu memang dalang di balik semuanya. Bahkan, dia sengaja mengawasi gerak gerik keluarga Respati dari sebulan yang lalu. Sampai suatu ketika, Respati dan keluarganya sepakat mencari ART. Dari sanalah rencana di mulai. Dia bertemu dengan Maya yang saat itu baru tiba di kota hendak mencari pekerjaan. Sayangnya, saat itu Maya sudah sangat frustasi lantaran tak ada yang menerima lamaran pekerjaannya. Alhasil, Santi mempengaruhi wanita itu dan pada akhirnya mereka bekerja sama dengan iming-iming Maya bisa
Nenek Laksmi dan Hanifa sudah tiba di kediaman mewah milik Respati. Mereka pun langsung melihat sosok Maya yang sedang bersantai ria di ruang tamu bak seorang majikan. Ehem ...Deheman dari Nenek Laksmi sukses membuat Maya terkejut bukan main. Apalagi ia tau betul jika Nenek Laksmi itu cerewetnya minta ampun. Bisa mampus dia nanti jika wanita tua itu bertindakWalau begitu, Maya tetap selalu memprioritaskan keanggunan. Siapa tau nenek dari lelaki yang dia taksir ini mau merestui dia dan Respati bersatu."Eh, ada Nenek—""Panggil saya nyonya, saya bukan nenek kamu!" balas Nenek Laksmi memotong ucapan dari Maya.Sang empu kesal bukan main. Sedangkan Hanifa hanya bisa meringis pelan. Dia memang sangat kesal pada pembantunya itu. Hanya saja, istri dari Respati ini bukan juga orang yang gila hormat. Walau begitu, dia akui jika nenek suaminya ini memang sangat keras."Maaf, Nyonya. Saya kira boleh pakai embel-embel Nek kayak Mas Pati!" Mas? Apa Hanifa tidak salah dengar? Medusa satu ini
"Masak apa kamu itu?" tegur Nenek Laksmi ketika melihat Maya mengeluarkan nasi sisa kemarin."Nasi goreng!" Walau sekesal apapun si Maya, dia akan tetap menjawab segala pertanyaan yang bersumber dari mulut wanita tua itu."Pakai nasi sisa kemarin? Astaga, jangan nasi goreng. Tidak baik untuk kesehatan janinnya Hanifa. Masak sup ayam saja. Itu nasi kemarin jangan dipakai, takutnya basi!"Maya menghela napas. Baru kemarin loh ada wanita tua itu, tapi rasanya seperti membuat Maya menyerah saja. "Jangan lupa juga kupaskan buah segar lalu dicuci. Takutnya nanti Hanifa butuh buat nyemil!"Hanifa, Hanifa dan Hanifa. Maya sampai muak dengarnya. Walau begitu, dia tetap mengangguk sebagai jawaban.Diam-diam, Nenek Laksmi tersenyum miring. Sangat bahagia bisa membuat Maya tersiksa dengan kecerewetannya. Beberapa saat kemudian, Hanifa dan Respati pun masuk ke dalam dapur. Maya yang tadinya tampak cemberut pun seketika wajahnya berbinar dengan sangat cerah. Ia pun berjalan mendekat dan lekas me
"Kapan kamu bisa kasih saya cucu? Sudah satu tahun menikah dengan anak saya, tapi kamu belum bisa kasih keturunan!" Ini bukan kali pertamanya Hanifa mendengar pertanyaan ketus yang dilontarkan oleh Ibu mertuanya. Wanita, ah tidak! Ia masih seorang gadis yang tak pernah disentuh oleh suaminya selama satu tahun pernikahan. Alasannya cukup klise, dia sama sekali tidak menarik dan bukan tipe suaminya. Lantas, jika tidak menarik, kenapa mereka bisa menikah? Jawabannya sederhana, mereka menikah karena permintaan terakhir dari almarhum Kakek Abimana sebelum wafat."Kalau ditanya itu tolong dijawab, ya! Bukan justru masih sibuk ngunyah makanan! Pantas saja badan gembrot macam gajah, kerjaan kamu makan terus!" sentak sang mertua dengan kerasnya."Aku mau jawab apa? Sedangkan Mas Abi saja—""Hanifa. Masuk kamar!" Belum juga Hanifa menyelesaikan ucapannya, tapi suara bariton milik Abimana langsung menggelegar di sepenjuru ruangan. "Tapi, Mas ...,""Kalau saya bilang masuk, ya, masuk. Jangan
"kamu mau menyenangkan saya, Nifa?" Hanifa mengangguk penuh harap ketika mendengar penuturan dari Abimana. Abimana tersenyum miring seraya mengusap dagu. "Kamu tunggu satu minggu lagi. Saya akan berikan kado paling istimewa untuk kamu. Sekarang, ganti baju dulu. Takutnya nanti kamu masuk angin. Kamu boleh sentuh saya sepuasmu seminggu lagi. Mau?" Hanifa kembali mengangguk dengan senyum tertahan. Dia seolah mendapatkan angin segar dan berharap jika ini adalah awal yang baik untuk kehidupan pernikahannya bersama dengan Abimana. Selama seminggu belakangan ini sikap Abimana sangat baik pada Hanifa hingga membuat sang empu terlena. Bahkan, saking bahagianya, Hanifa sampai melingkari tanggal di kalender dan tepat pada hari ini terhitung tujuh hari sudah. Itu artinya, sebentar lagi Abimana akan memberi dirinya kejutan. "Itu seperti suara mobilnya Mas Abi! Ya ampun, aku deg-degan sekali. Untung saja aku sudah mandi dan pakai banyak sabun biar wangi." Hanifa cekikikan dan berjalan dengan
"Masak apa kamu itu?" tegur Nenek Laksmi ketika melihat Maya mengeluarkan nasi sisa kemarin."Nasi goreng!" Walau sekesal apapun si Maya, dia akan tetap menjawab segala pertanyaan yang bersumber dari mulut wanita tua itu."Pakai nasi sisa kemarin? Astaga, jangan nasi goreng. Tidak baik untuk kesehatan janinnya Hanifa. Masak sup ayam saja. Itu nasi kemarin jangan dipakai, takutnya basi!"Maya menghela napas. Baru kemarin loh ada wanita tua itu, tapi rasanya seperti membuat Maya menyerah saja. "Jangan lupa juga kupaskan buah segar lalu dicuci. Takutnya nanti Hanifa butuh buat nyemil!"Hanifa, Hanifa dan Hanifa. Maya sampai muak dengarnya. Walau begitu, dia tetap mengangguk sebagai jawaban.Diam-diam, Nenek Laksmi tersenyum miring. Sangat bahagia bisa membuat Maya tersiksa dengan kecerewetannya. Beberapa saat kemudian, Hanifa dan Respati pun masuk ke dalam dapur. Maya yang tadinya tampak cemberut pun seketika wajahnya berbinar dengan sangat cerah. Ia pun berjalan mendekat dan lekas me
Nenek Laksmi dan Hanifa sudah tiba di kediaman mewah milik Respati. Mereka pun langsung melihat sosok Maya yang sedang bersantai ria di ruang tamu bak seorang majikan. Ehem ...Deheman dari Nenek Laksmi sukses membuat Maya terkejut bukan main. Apalagi ia tau betul jika Nenek Laksmi itu cerewetnya minta ampun. Bisa mampus dia nanti jika wanita tua itu bertindakWalau begitu, Maya tetap selalu memprioritaskan keanggunan. Siapa tau nenek dari lelaki yang dia taksir ini mau merestui dia dan Respati bersatu."Eh, ada Nenek—""Panggil saya nyonya, saya bukan nenek kamu!" balas Nenek Laksmi memotong ucapan dari Maya.Sang empu kesal bukan main. Sedangkan Hanifa hanya bisa meringis pelan. Dia memang sangat kesal pada pembantunya itu. Hanya saja, istri dari Respati ini bukan juga orang yang gila hormat. Walau begitu, dia akui jika nenek suaminya ini memang sangat keras."Maaf, Nyonya. Saya kira boleh pakai embel-embel Nek kayak Mas Pati!" Mas? Apa Hanifa tidak salah dengar? Medusa satu ini
Pagi-pagi sekali Maya pergi begitu saja dari kediaman Respati untuk menemui seseorang. Tadinya dia mengatakan jika hendak pergi membeli sayur di pasar dan Hanifa yang memang sejak awal tak menyukai keberadaan Maya pun membiarkan saja. Di sinilah Maya berada. Di pinggir jalan sembari duduk memainkan ponsel. Beberapa saat kemudian, seseorang datang menghampiri dengan raut datarnya. "Gimana? Ada perkembangan apa?" tanya orang itu yang tak lain adalah Santi.Ya, Ibu dari almarhum Abimana itu memang dalang di balik semuanya. Bahkan, dia sengaja mengawasi gerak gerik keluarga Respati dari sebulan yang lalu. Sampai suatu ketika, Respati dan keluarganya sepakat mencari ART. Dari sanalah rencana di mulai. Dia bertemu dengan Maya yang saat itu baru tiba di kota hendak mencari pekerjaan. Sayangnya, saat itu Maya sudah sangat frustasi lantaran tak ada yang menerima lamaran pekerjaannya. Alhasil, Santi mempengaruhi wanita itu dan pada akhirnya mereka bekerja sama dengan iming-iming Maya bisa
Malam harinya, seperti biasa, Maya selalu saja mencari kesempatan dalam kesempitan. Seperti malam-malam sebelumnya, wanita itu ikut makan di meja makan. Hanifa sudah tidak mood. Apalagi Respati juga tidak menegur asisten rumah tangga itu dan terkesan membiarkan saja. "Pak Pati mau makan pakai apa?" tanya Maya yang mulai melancarkan aksinya. "Biar saja ambil sendiri—""Sudah, sini saya ambilkan saja, Pak!" Maya gegas menuangkan nasi ke dalam piring kosong milik Respati. Wajah Hanifa sudah tidak bisa di kondisikan lagi. Wanita itu menatap datar pemandangan yang tentu saja membuat hatinya bergejolak ingin mencekik perempuan bernama Maya itu. Sialan sekali. "Mas. Aku mau makan di luar. Nggak mood makan di sini!" ujar Hanifa."Tapi nanti mubazir loh, Dek. Dia sudah masak banyak!" balas Respati.Terkadang, Hanifa itu heran sekali. Respati terkesan selalu membela Maya. Padahal yang sebenarnya tidak begitu. Wanita hamil itu hanya sedang mengalami masa-masa sensitif dalam segi perasaan m
Setiap hari ada saja tingkah Maya yang selalu memancing emosi Hanifa. Seperti sekarang ini, Maya keluar dari kamar yang di khususkan untuk asisten rumah tangga dengan menggunakan baju milik Hanifa. Pantas saja wanita hamil itu tak menemukan baju kesayangannya, ternyata justru sudah dipakai oleh Maya."Mbak, itu bajuku kok dipakai? Mbak kok terlalu lancang?" Tegur Hanifa yang merasa tak suka dengan sikap Maya yang selalu seenaknya seperti ini.Maya yang di tegur seperti itu malah menaikkan sebelah alisnya. Dia menatap aneh ke arah Hanifa"Loh, kok Mbak Nifa malah bilang kayak gini? Ini loh bajunya saya! Memangnya cuma Mbak saja yang bisa beli?" tantang Maya, padahal jelas-jelas ini baju memang milik Hanifa, tapi mana mau pembantu itu mengaku?Sementara di sisi lain, Hanifa sudah menatap garang pada pembantu satu itu. "Mbak Maya jangan macam-macam, ya. Aku loh tau kalau Mbak ini yang nata baju aku buat di bawa ke lantai bawah. Jadi, ya, kemungkinan besar dan itu memang baju aku. Aku
Beberapa hari kemudian, keadaan Hanifa semakin membaik dan sudah bisa beraktivitas seperti sedia kala. Bedanya, perempuan itu sama sekali tak diperbolehkan untuk menyentuh peralatan dapur. Alhasil, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh Maya. Di mulai dari bersih-bersih dan juga memasak. Semua di lakukan oleh wanita yang usianya beberapa tahun di atas Hanifa. "Pak Pati, ini saya sudah masak sayur asem sama ikan goreng spesial buat Bapak!" ujar Maya dengan centilnya ketika Respati baru saja memasuki area dapur. Sang empu hanya mengangguk dan mulai sibuk membuka pintu kulkas. Maya yang merasa dicueki pun lekas mendekat ke arah sang empu dan menjawil lengannya."Pak Pati cari apa?"Respati terkejut bukan main dan sontak saja menjauh dari sosok Maya. Bisa gawat nanti jika Hanifa melihat, sudah pasti akan salah paham. "Mbak tolong jangan dekat-dekat seperti ini! Takutnya istri saya salah paham nantinya!" tegur Respati yang seketika membuat Maya memutar bola mata dengan malas. "Istri
Hampir dua minggu lamanya Hanifa di rawat di rumah sakit dan syukurnya hari ini sudah diperbolehkan pulang. Respati sangat kelelahan lantaran sibuk bolak balik rumah sakit sekaligus memantau pekerjaan. Walau begitu, ia sama sekali tak pernah mengeluh lantaran semua ini dia lakukan demi keluarga kecilnya yang sebentar lagi akan bertambah dalam beberapa bulan kedepan. "Semua barang-barang sudah dipacking?" tanya Handoko. Anisa tidak ikut lantaran sibuk mengurus Kusuma yang beberapa waktu lalu sudah lahiran dan sekarang anak bayinya sedang demam dan rewel. Alhasil, Kusuma membutuhkan bantuan sang Mama."Sudah, Pa. Biaya administrasi juga sudah Pati lunasi!" balas Respati dengan lesu. Bukan karena sedih tapi karena lelaki itu benar-benar butuh istirahat. Handoko mengangguk dan mulai membantu mengeluarkan semua barang bawaan yang dua minggu ini di bawa ke rumah sakit. Sekitar lima belas menit perjalanan menuju ke rumah, pada akhirnya mereka tiba juga dan sudah di sambut oleh satu ART
Hanifa keluar dengan wajah sendu. Bibirnya bahkan sudah melengkung ke bawah. Respati yang melihat semua itu tentu saja langsung menghela napas. Ia gegas mendekat dan merangkul bahu sang istri untuk menenangkan. Lewat ekspresi Hanifa saja Respati bisa menebak hasilnya seperti apa. Mungkin saja memang tak seperti harapan mereka saat ini, tapi Respati tidak mempermasalahkan hal tersebut. "Jangan sedih, kita bisa coba lagi nanti. Masih ada banyak waktu. Ayo dong senyum!" hibur Respati.Nenek Laksmi yang melihat itu terharu bukan main. Dia tak menyangka jika cucu lelakinya yang satu ini sangat dewasa dalam segi pikiran."Maaf—""Kenapa minta maaf, sih, Sayang? Mas tidak masalah, loh! Itu artinya, kita kurang berusaha selama ini. Mas santai begini, kok. Tidak masalah ini!"Hanifa menghela napas. Padahal dia belum selesai bicara, tapi suaminya terus menerus mengoceh seperti ini. "Mas, aku belum selesai bicara, loh. Astaga, coba lihat ini hasilnya!" Hanifa melepas paksa pelukan dari Respat
Hanifa jatuh sakit setelah kemarin mendapati teror di rumahnya sendiri. Respati bahkan sampai menambah satpam untuk berjaga di halaman rumah lantaran takut sekali jika sampai ada kiriman teror lagi. "Mas, aku takut!" keluh Hanifa seraya menggenggam erat tangan sang suami. Keduanya sekarang ini berada di dalam kamar. Respati terpaksa menempelkan kompres instan di kening istrinya, lantaran terlampau khawatir. Pasalnya saja, Hanifa sama sekali tak mau di bawa ke rumah sakit. Minum obat pun juga harus ekstra dipaksa. Walau begitu, Hanifa masih belum mau minum obat lantaran mulutnya terasa pahit."Takut apa, Sayang? Mas di sini sama kamu. Di luar juga ada lima satpam yang berjaga. Percaya sama Mas, selama Mas masih ada di samping kamu, semuanya baik-baik saja. Oke?" Respati dengan lembut memberi pengertian kepada istrinya.Dengan terpaksa, Hanifa mengangguk pelan sebagai jawaban. Ia takut, tapi tetap harus yakin jika semuanya akan baik-baik saja seperti apa yang barusan di ucapkan oleh s