Sementara itu, Bram merasakan kebahagiaan baru dengan wanita pilihannya. Setelah kepergian Winda, Bram sama sekali tidak mengingat lagi mantan istrinya itu. Hatinya sudah di penuhi oleh kehadiran Laras.
Apalagi kini Laras telah mengandung, buah cinta mereka. Bagaimana tidak bahagia, selama dua tahun berumah tangga, tidak nampak tanda-tanda sedikitpun Winda hamil. Namun, baru jalan dua bulan dengan Laras, wanita itu malah hamil.
Bram pun tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, alasan itu pula yang membuat Bram mantap menceraikan Winda. Tanpa Bram selidiki dulu benarkah anak yang di kandung Laras itu memang anaknya. Akan tetapi, emosi dan nafsu sesaat sudah membutakan mata dan hati Bram.
Setelah menalak Winda, hari itu juga Bram menikahi Laras. Roman bahagia terpancar dari mata keduanya, saat menghadap penghulu dengan mantap Bram mengucapkan ijab qobul. Kini resmilah mereka menjadi sepasang suami istri.
Kebahagiaan itu juga turut di ras
Ibu hanya menatap tajam kearah Bram, tidak menyangka Bram mengabulkan permintaan istrinya. Ibu takut uang Bram akan diselewengkan Laras, mengingat baru sehari jadi menantu tapi sudah berani protes.Bram juga terpaksa melakukan itu, dia tidak mau rumah tangganya terus ribut dan berakhir perceraian. Dia tidak ingin berpisah dengan Laras, sebab kini Laras bahkan sudah mengandung anaknya.*****Bram terus memohon pada ibunya agar mengabulkan permintaan istrinya. Sejahat apapun seorang ibu tetap menyayangi anaknya, melihat Bram terus merengek dengan berat hati ibu menyetujui tapi dengan syarat Laras mesti melakukan semua pekerjaan rumah.Bram sumringah, begitu juga Laras. Senyum kemenangan tersungging di bibirnya. Dia tidak menyangka semudah itu membujuk suami dan mertuanya. Bram dan ibunya tidak tau bahwa kebaikan dan kelemahan mereka akan dimanfaatkan oleh Laras.Setelah menyelesaikan pekerjaan, sesuai janji Bram akan men
Ting!!Gawai Laras berbunyi, ternyata Bram sudah tiba di bawah. "Gawat, cepat kamu pergi! Suamiku udah sampai di bawah. Kamu menginap lah di kamar sebelah dan berpura-pura menjadi teman yang akan ku titipkan mobil," titah Laras.Pria itu mengangguk, kemudian setelah berpakaian secepatnya keluar dan masuk ke kamar sebelah. Saat itu Bram baru keluar dari pintu lift, sementara Laras membersihkan ranjang dan menyemprotkan parfum ke seluruh ruangan, agar bau pria itu tak terendus Bram.Lalu Laras mandi dan berpura-pura habis muntah hingga Bram yang baru masuk khawatir. "Ras, kenapa? Kamu sakit?" tanya Bram cemas sembari mengetuk pintu kamar mandi.Pintu terbuka dan Laras memasang ekspresi lesu, Bram segera memapah di ranjang. "Kamu sakit, Ras?" tanya Bram sembari menyentuh dahi Laras. Tidak panas, tapi mengapa muntah.Bram mengendus heran, kamar begitu wangi, seperti habis di semprot pewangi ruangan. Apakah karena terlalu w
Didalam pesawat Bram mencari nomer kursi sesuai di tiket. Nomer kursi 15 dan 16, pramugari segera mengarahkan mereka ke kursi penumpang.Penumpang hari ini lumayan ramai, masih banyak penumpang yang naik dan mencari kursi. Terlihat antrian di dalam pesawat. Dari jauh Bram seperti melihat seorang wanita yang di kenalnya. Dan saat melewati kursinya, Bram terkejut."Winda ... ?"Aku menoleh ke arah suara yang memanggilku dan kaget. Ternyata dia mantan suamiku, "Mas Bram?"Dia hanya melongo memandangiku, mungkin dia tak tak percaya kalo aku yang miskin bisa naik pesawat. Atau dia pangling melihat penampilan ku.Wanita yang di samping Bram juga ikut terpana, dia menoleh saat Bram menyebut namaku. Mereka berdua tidak menyangka akan bertemu dan satu pesawat denganku.Aku masa' bodoh saja dan terus melewati mereka. Kulihat sekilas Laras menatap sinis ke arahku, ku balas tatapannya dengan sombong. Tunggulah beberap
Mbok menghambur di bawah kaki wanita itu. "Nyonya, maafkan aku. Aku Sri nyonya, yang dulu kerja di sini dan membawa putri nyonya," ucap Mbok sesenggukan.Wanita anggun itu mengangguk dan membantu Mbok berdiri. "Bangun Mbok Sri, aku masih inget kamu. Bagaimana aku melupakanmu. Kamu telah berjasa melindungi anakku," ucapnya tegas tapi lembut."Lalu dimana anakku, Mbok? Apa dia masih hidup?" tanyanya merasa bersalah.Mbok memanggilku agar mendekat, "Winda, kemari Nak. Inilah ibu kandungmu, ayo salim tangannya," titah Mbok.Mataku berkaca-kaca, entah aku harus sedih atau bahagia. Dari kecil hingga sekarang aku belum tau yang namanya orang tua kandung. Aku masih terasa asing dan segan.Wanita anggun itu menatapku, memperhatikan dari ujung rambut sampai bawah kaki dari matanya kulihat berembun. Dan sejurus kemudian dia berlari ke arahku dan mendekap ku. "Anakku, maafkan Mama sudah membuang mu. Mama berdosa, ya Allah," katany
Selesai makan bersama keluarga besar, Mama mengajakku ke kamar. Sebelumnya Mama telah menyuruh agar art membersihkan kamar yang akan kami tempati.Aku ingin Mbok bisa sekamar denganku, tetapi Mbok tidak mau. Mbok mengerti posisi dirinya dan tidak ingin membuat Mama cemburu karna aku lebih dekat pada Mbok.Kamarku berada di lantai atas di tengah-tengah kamar Mama Papa dan juga Haris. Sedangkan kamar yang di tempati Mbok berada dibawah berdampingan kamar art. Walaupun cuma dapat kamar di bawah, asal masih bisa bersamaku Mbok sudah sangat senang.Saat pintu kamar terbuka, aku tercengang melihat dalamnya. Sungguh sebuah kamar yang besar, ranjang dan lemari besar, apalagi jendela juga berukuran tinggi di hias dengan gorden yang cantik."Ayo, masuk! Kok malah bengong anak Mama," ajak Mama sembari menarik tanganku."Benar ini kamar Winda, Ma?" tanyaku tak percaya. Mama tertawa memamerkan giginya yang masih utuh.
Pintu lift terbuka saat tiba di lantai dua, Mama menarik tanganku dan mengajakku masuk butik langganan. Saat menuju butik, beberapa meter di depanku terlihat dua insan yang ku kenal sedang jalan berpelukan sambil menenteng tas.Aku berpura-pura tidak melihatnya, akan tetapi si lelaki sepertinya mengenalku dan terus memperhatikanku yang sedang berjalan di apit wanita bergaya sosialita.Dan saat berada tepat beberapa langkah di depan, lelaki itu memanggil ku nyaring. "Winda ...?"Aku dan Mama berhenti dan menoleh ke arah suara, ah sial gerutu ku. Mengapa kami harus bertemu di saat yang tak tepat.Bram dan Laras berjalan mendekatiku. "Ini kamu, Winda kan?" selidiknya."Siapa, Nak? Kamu kenal?" tanya Mama sembari menautkan alisnya.Aku memicingkan mata dan berpura-pura asing pada mereka berdua. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk memberitahu mereka, tunggu setelah aku sudah memegang jabatan penting di perusa
Hari yang di tunggu pun tiba, sesuai jadwal aku beserta seluruh keluarga akan terbang ke Abu Dhabi. Penerbangan dengan pesawat Garuda Indonesia, dengan layanan First Class.Penerbangan dari bandara Adi Sucipto, transit sebentar di Jakarta. Lalu dari Jakarta pesawat menuju ke Abu Dhabi. Butuh sekitar 8 jam 20 menit untuk tiba di sana.Sembari menunggu, di pesawat terdapat banyak layanan. Sungguh nyaman sekali, bahkan kursi bisa di jadikan tempat tidur yang bisa di luruskan. Makanannya juga enak dan mewah, seumur hidup baru kali ini aku menikmati kenikmatan di pesawat.Delapan jam lebih telah berlalu, terdengar operator pesawat yang memberitahu penumpang agar mengencangkan safety belt. Pesawat akan landing.Alhamdulillah, akhirnya tiba juga di Abu Dhabi Internasional Airport. Setelah pesawat berhenti, penumpang antri untuk turun. Pramugari segera membuka pintu keluar pesawat. Aku dan keluargaku beriringan keluar bersama penumpang lai
Sejurus kemudian, tuan Abbas tersenyum setelah melihat anaknya. "Sayid Muhammad bin Abbas, kemari!" panggilnya.Aku terkejut saat tuan Abbas memanggil nama anaknya, dan hatiku berdebar saat seorang pria muda menoleh ke arah ayahnya.Wah .... !"Aku terpesona, benarkah itu manusia atau malaikat? Pria muda itu berjalan mendekati ayahnya dengan tersenyum.Masya Allah, senyumnya telah menggoda hatiku. Wajah yang sangat tampan dengan hidung mancung dan kulit putih bersih. Perawakannya juga tinggi ditunjang body berotot, prepect."Ada apa Ayah?" tanyanya begitu sudah berdiri di samping ayahnya."Perkenalkan ini sahabat ayah, Mr Hartono dari Indonesia," jawab Mr Abbas sembari menunjuk Papa. "Assalamualaikum Mr Hartono!" sapa pria muda itu sembari menjabat tangan Papa."Wa'alaikumussalam, ya Sayid. Apa kabarmu?" sambut Papa menyebut nama pria itu."Alhamdulillah, seperti yan