Share

Menjadi Cinderella Kaya Raya Setelah Dicerai
Menjadi Cinderella Kaya Raya Setelah Dicerai
Penulis: Rini Annisa

Upik abu

 Tin Tin Tin .... 

Bunyi klakson mengagetkan aku yang sedang berjalan. Mobil itu berhenti tepat di sampingku, mobil Mas Bram. Sengaja dia ingin meledekku yang cuma bisa berjalan kaki ke pasar. 

"Ma, Papa pergi dulu ya! Nikmati jalan kakinya ke pasar, sambil olahraga biar hilang tuh lemak. Hahahaha," ketawanya jahat. Kemudian tanpa memperdulikan ku melajukan mobilnya dengan kencang. 

"Brengs*k, awas kau Mas. Lihat aja nanti, keadaan akan terbalik," gerutuku kesal sembari melempar sendal ke mobilnya. 

Sepagi ini, aku sudah harus berjalan jauh ke pasar.  Mas Bram--suamiku tidak sudi mengantarku, banyak alasan yang dikatakannya. Sudah terlambatlah, jauhlah, di pasar bau lah seakan sangat sayang mobil bagusnya kotor oleh aroma pasar. 

Aku mesti jalan kaki itu karena Mas Bram juga tidak memberi ongkos, pun untuk belanja sudah di jatah mertua. Aku hanya belanja sesuai daftar yang dibuatnya. Bahkan untuk jajan saja uangnya selalu pas, terpaksa sering menelan saliva saat melewati rak tempat lapak kue digelar. 

Sampai di pasar keadaan sudah ramai banget, cepat-cepat menuju lapak sayur langganan mertua. Si empunya lapak sampai hafal diriku, sudah wajib seminggu sekali mertua akan menyuruhku belanja. 

"Eh, Neng Winda. Belanja ya!" tegur mamang sayur. 

"Iya, Mang. Seperti biasa ini daftar belanja ibu," ku sodorkan kertas bertulis daftar belanja. 

Mamang menerimanya sambil tersenyum, kemudian dengan gesit membungkusnya. Sedangkan aku hanya duduk mengawasi mamang, terkadang aku ingin juga punya usaha seperti mamang ini. Jadi tidak melulu bergantung pada suami. Mas Bram juga perhitungan memberi uang, jatahku hanya di beri 100 ribu sebulan. Sedangkan semua uang gajian Mas Bram dipegang mertua. 

Jatah yang diberi Mas Bram juga tidak cukup untuk kebutuhanku sendiri, jadi aku berfikir keras. Bagaimana caranya agar bisa menghasilkan uang sendiri, sempat terfikir untuk jualan online akan tetapi usaha itu pasti ketahuan Mas Bram dan ibunya. Kalau sudah begitu, aku tidak akan dapat jatah lagi. 

"Neng, ini sudah mamang siapkan semua!"

"Oke Mang, makasih ya ini uangnya!" jawabku menyodorkan dua lembar kertas merah yang diterima mamang dengan senang.  Kemudian aku pamit pulang, bergegas menuju pintu keluar. 

Kelelahan membawa barang belanja banyak itu yang selalu ku alami. Aku bisa saja naik ojek dengan uang simpanan, tetapi jika naik ojek aku tak bisa membeli kebutuhan lain. Untuk beli bedak saja tidak cukup, sehari-hari aku jarang pake hingga wajahku kusam. Daster yang ku kenakan juga banyak yang bolong, bolak balik ditambal. Jika aku minta uang pada Mas Bram untuk membeli daster, pasti akan di bentaknya. 

"Halah, di rumah aja ngapain cantik. Kerja cuma makan, dapur sama sumur. Sayang baju cantik dipake untuk masak, bau minyak dan kotor," jawab Mas Bram mengelak. 

Sindiran yang kerap kudapatkan dari Mas Bram masih belum cukup, kini mertua juga ikutan. "Winda, kamu tuh seharusnya bersyukur. Anakku yang mapan itu mau menikahimu, gak lihat apa! kamu itu udah miskin gendut lagi. Jadi kamu jangan banyak menuntut. Tugasmu itu patuh pada suami." 

Suara mereka seperti koor bersahutan bila sudah mengomel. Bukan tidak berani melawan mereka, akan tetapi sekarang belum waktunya. Tunggu aku punya kuasa dan harta, jangankan melawan bahkan akan kubuat mereka bertekuk lutut sekalipun. 

***** 

Peluh membasahi wajahku, dengan nafas ngos-ngosan segera ku letakkan belanjaan di dapur. Bukannya terima kasih ibu malah memarahiku, "Winda, ya ampun sudah jam berapa baru pulang. Ngapain aja kerjamu di pasar hah?" hardik ibu. 

"Tadi di pasar agak ramai pembeli, Bu. Sampai antri menunggu giliran." 

"Dasar gerakanmu aja yang lamban, makanya tuh lemak di kurusin. Jangan bisanya cuma makan," teriak ibu. 

Aku kesal selalu saja lemakku yang di permasalahkan. Padahal beratku enam puluh kilo itu sudah termasuk bohay, ibu dan Mas Bram saja yang tidak bisa melihat. Menurut mereka berat empat lima baru dikatakan aduhai, tapi kesannya malah terlihat kurus. 

Aku pusing sekali hari ini, sudah kehausan dari tadi belum sempat minum ibu sudah merepet. Dari pagi perut juga belum terisi, gimana mau sarapan. Ibu sudah mendesak saja menyuruhku ke pasar. Katanya kalo siang-siang nanti  dapat sayurnya yang jelek. 

Mas Bram juga tidak peduli, menyesal aku punya suami seperti Mas Bram yang hanya tunduk perintah pada ibunya. Walaupun anak itu wajib taat pada orang tuanya tapi juga tidak boleh dzolim pada istrinya. Bukankah Rasulullah Saw bersabda : "bahwa sebaik-baik lelaki adalah yang paling sayang terhadap keluarganya". Namun, itu tidak ku dapatkan pada diri Mas Bram. 

Lelaki yang sudah dua tahun menikahiku hanya peduli uang. Aku tidak mengetahui berapa gaji yang dia dapatkan dari kantor. Mas Bram tidak pernah memberitahu, cukup terima saja jatahmu katanya dulu. Jika dulu Mas Bram memberi 300 ribu perbulan, akan tetapi semenjak tinggal bersama ibunya, jatah bulanan ku di pangkas menjadi 100 ribu. 

Ya dulu saat baru menikah, kami mengontrak rumah. Tujuannya supaya kami mandiri, tinggal di rumah sendiri itu seperti dunia hanya milik berdua. Apalagi aku bisa bebas mau masak apa dan rebahan jam berapa tanpa ada yang mengomel. Namun, kenikmatan itu hanya sebentar ku lalui. Ibu semenjak awal tidak setuju kami mengontrak, kemudian membuat alasan yang tidak bisa kami tolak. 

Ibu berpura-pura sakit dan tidak ada yang menjaga. Jadi Mas Bram merasa kasihan, "Ma, sebaiknya kita pindah kerumah ibu saja. Kasihan ibu tidak ada yang menemani. Lagian kalo tinggal disana kita bisa lebih hemat tidak perlu bayar kontrakan tiap bulan," rayu Mas Bram hingga membuatku luluh saat itu. 

"Winda, kok bengong? Ayo masak sana," titah ibu. 

"Aku pusing, Bu. Suruh Eka aja yang masak kenapa! Lagian Eka juga tidak ada kerjaan, aku mau istirahat dulu capek!"  ujarku sembari mengambil piring kemudian menyendok nasi goreng yang ku masak tadi pagi. 

"Aku gak bisa, Mbak! Aku baru siap luluran, ntar bau bawang lagi dong," sahutnya dari dalam kamar. 

Aku kesal mendengarnya, anak itu di rumah sangat malas. Pergi hanya kuliah saja, selebihnya selalu di kamar bermain HP. Bahkan pakaian kotornya ditumpuk begitu saja di keranjang. Untuk mencuci pakaiannya sendiripun malas. 

Eka adalah keponakan Mas Bram, dia tinggal disini baru beberapa bulan. Asal dari kampung tapi gayanya berlagak orang kota. Ibu juga yang beralasan supaya Eka tinggal di sini sambil kuliah. Uang kuliah siapa lagi kalau bukan Mas Bram yang bayar. 

Lama-lama aku jengah tinggal di rumah ini, tidak ada lagi kebahagiaan dan kehangatan yang kurasakan seperti baru menikah. Mas Bram juga berubah, jika dulu dia perhatian dan baik tapi semenjak tinggal di rumah ibunya, kelakuannya sudah mulai nampak. Apalagi saat ini jabatan Manager sudah di genggamnya, sikapnya makin keterlaluan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status