Sehabis sarapan, seperti biasa aku akan mencuci piring. Hatiku sebal setiap kali melihat tumpukan piring kotor, Ibu maupun Eka tidak mau mencuci sekedar bekas yang mereka pakai.
Belanjaan yang baru ku beli di pasar juga masih teronggok di meja, Ibu bahkan tidak menyentuhnya. Ibu tidak pernah mau membantu menaruhnya di lemari dan kulkas. Semua pekerjaan rumah aku yang mengerjakan, biar lemak hilang begitu alasan yang selalu dibilang Ibu.
Apa mau dikata dari dulu aku memang sudah bohay, bahkan saat Mas Bram melamar. Dia tidak mempermasalahkan tubuhku, asal aku cantik dan rajin saja sudah cukup baginya. Namun, tidak dengan Ibu dari awal bertemu Ibu sudah tidak suka melihatku. Beliau memandang sinis kearah tubuhku sewaktu Mas Bram membawaku ke rumahnya.
Walaupun bohay tapi gerakan ku gesit, semua pekerjaan dalam tengah hari selesai. Seberat dan secapek apapun tubuhku tetap tidak bisa langsing, bisa dibilang termasuk subur. Padahal makan juga sedikit, biarlah toh aku juga sehat-sehat saja.
"Masak apa, Mbak? tanya Eka yang tiba-tiba membuatku kaget.
"Belum masak, sana kamu cuci sayur bayam itu!" jawabku ketus.
"Ogah, ntar tangan mulus ku jadi kasar," tolak Eka sembari ngeloyor pergi.
Idih, ini anak sekali-kali ingin ku jitak kepalanya. Geram banget aku beud, lihat saja nanti aku akan mengerjainya. Lepas cuci piring aku segera masak, sengaja aku masak sayurnya sedikit tapi garamnya ku taruh agak banyak. Ingin melihat respon penghuni rumah yang arogan itu.
Bau aroma bawang goreng menguar, Mas Bram menyukai sayur bayam yang ditaburi bawang goreng, enak katanya. Kulihat Eka ngintip di kamarnya, mungkin perutnya ikut merontah mencium bawang goreng yang lezat. Aku pun berpura-pura tidak melihatnya, dan bereaksi seperti chef. "Wah harumnya, pasti nikmat ini. Apalagi di taburi bawang, dijamin mak nyos rasanya," kataku sambil terkekeh dalam hati.
Selesai masak meletakkan semua lauk di atas meja dan ditutup tudung saji. Badan terasa penat dan ingin rebahan. Setelah mandi dan berwudhu sekalian, aku masuk ke kamar. Sengaja pintu ku kunci, karena tau Ibu akan menggedor kamarku setelah makan.
Benar saja, baru selesai salat Dzuhur terdengar gedoran pintu. "Winda, kemari kamu. Ini apa yang kamu masak, asin banget," teriak Ibu diluar.
Aku pun cekikan di kamar tak menggubris panggilan Ibu. Kudengar juga suara Eka memuntahkan sayurnya. "Wek, asin banget sayurnya, Bude."
Ah, capek sekali hari ini ditambah keributan mereka semua lebih baik aku tidur saja. Sembari rebahan di kasur ku ku aktifkan gawai dan ku scroll aplikasi hijau. Banyak pesan masuk digrup, "Sosialita istri Bos", nama grup yang aneh tapi begitulah nyatanya.
Aku baru saja dimasukkan Nina, istri dari teman kerja Mas Bram. Suami Nina yang menjabat sebagai wakil Manager, satu kantor dengan suamiku. Terlihat ada sekitar 20 anggota di grup itu, semua pasti wanita tajir. Banyak dari mereka yang mengirim foto dirinya, ada yang sedang berlibur di Paris, berlayar di atas kapal feri dan memamerkan perhiasan berlian.
Jiwa miskin ku merontah-rontah beud, jangankan berlian perhiasan emas saja aku tak punya. Baju juga tak seberapa, Mas Bram tidak mau membelikan. Baju di lemari sudah banyak yang kusam, itupun baju sebelum aku nikah.
Ting !!
Terlihat digrup ada yang mengirim pesan dari Angelina Lee, dari namanya pasti seorang Bos besar.
[Selamat siang semua, jangan lupa hari Minggu depan saya ingin mengundang anda semua datang meramaikan ulang tahun saya]
[Wah, selamat ya Bu Bos. Dimana acaranya di adakan?] pesan dari Ratna istri CEO
[Kali acara cuma diadakan di rumah saya, di taman belakang] balas Angelina
[ Pasti rame ini, kira-kira Bu Bos ngundang sapa aja] pesan dari Marissa
[Banyak tamu penting yang datang, pak Bos juga akan mengundang koleganya] jawab Angelina
[Wah, kalo gitu kita mesti dandan cantik ini. Memakai gaun mahal dan berlian]
Begitulah seterusnya chattingan mereka, aku tak membacanya sampai habis karena ngantuk. Namun, obrolan tadi sampai terbawa mimpi. Tiba-tiba aku seperti ada di istana, memakai gaun yang cantik juga sepatu kaca. Seorang pria memakai topeng mengajakku berdansa.
Aku terkesiap melihat wajah rupawan di depanku, sambil malu-malu ku terima uluran tangannya. Musik mengalun merdu dan pria tampan itu mulai menggerakkan tangannya melingkar dan memutar tubuhku. Kami berdansa dengan mesra, sesekali hadirin bertepuk tangan.
Pria tampan itu memelukku dan saat aku sudah mendekat tubuhnya tercium aroma wangi semerbak. "Kamu ratuku, permaisuri ku," bisiknya ditelinga ku.
Ku alihkan pandangan ke wajahnya, penasaran wajah dibalik topeng itu. Dengan tangan gemetar aku membuka topengnya, akan tetapi sebelum jelas melihat wajahnya aku terbangun dari tidur karena kaget.
"Winda ... Bangun. Angkat jemuran mau hujan," teriak Ibu menggedor pintu.
Aku menghela nafas sebentar sembari menguap lalu membuka pintu. "Apa sih, Bu? Dari tadi berisik aja."
"Berisik-berisik, lihat Sono tuh udah mendung. Angkat jemuran ntar keburu hujan," ngedumel Ibu.
"Ya Allah, Ibu kan bisa angkat sebentar."
"Kalo disuruh jangan membantah, lekas diangkat," hardik Ibu.
Dengan perasaan dongkol, aku kebelakang mengangkat jemuran. Baru saja keluar pintu, hujan turun deras. Cepat-cepat ku berlari, untung saja pakaian tidak basah. Pasti Ibu akan terus mengomel jika pakaiannya kembali basah.
*****
Sore itu, Mas Bram pulang kerja. Setelah melepas sepatunya lalu duduk di sofa, aku mengambil minum untuknya. Kemudian saat akan duduk disebelahnya, Mas Bram menghalauku. "Sana, duduk yang jauh. Mama bau bawang," refleknya menutup hidung."Mama udah mandi, Pa. Lihat daster udah ganti," ucapku kaget melihat sikap suamiku.
Aku tidak menyangka Mas Bram semakin menjauhiku. Walaupun aku tidak berdandan, tapi aku rajin mandi dan bersih. Akan tetapi, hal itu tetap tidak membuat Mas Bram mau menyentuhku. Entah kenapa, semenjak tinggal di rumah Ibu, Mas Bram seolah-olah menjadi asing padaku.
"Pa, aku ikut ya ke acara ulang tahun Bu Bos Angelina Lee," rayuku pada Mas Bram.
"Dari mana Mama tau kalo Bu Bos ulang tahun," selidiknya.
"Dari grup W******p, katanya Bu Bos mengundang kita semua Minggu depan," jawabku.
"Mama jangan mengada-ada, gak mungkin Papa mau bawa Mama," desis Mas Bram.
"Loh, memangnya kenapa, Pa? Apa Mama gak boleh ikut?" tanyaku heran.
"Ya iyalah, Mama itu gendut, kusam, udah gitu pakaian aja gak ada yang cantik," sindir Mas Bram yang membuatku geram.
"Seharusnya itu udah kewajiban Papa, membelikan Mama kosmetik dan baju. Ini sebulan aja Mama cuma dikasih 100 ribu, mau dapet apa uang segitu," kataku meradang.
Mas Bram terdiam, tidak menyangka aku berani berkata keras di depannya. Aku masa bodoh saja melihatnya dan tidak ingin menjadi istri yang lemah. Seperti di sinetron, istri yang cuma bisa menangis dan pasrah. Aku bukan orang seperti itu.
"Winda, kamu udah kurang ajar sekarang ya! Berani melawan suami, dasar menantu miskin!" hardik Ibu tiba-tiba keluar setelah mendengar suaraku yang kencang tadi.
Aku melengos ke arah Ibu, menatap manik matanya yang menyorot kebencian. Wanita yang seumuran orang tuaku itu tak ubahnya seperti singa ganas, yang siap menerkam mangsanya. Namun, aku tidak takut. Selama aku benar, aku akan menuntut hak ku.
"Bram, lebih baik kamu ceraikan saja istrimu. Ibu tidak suka menantu seperti dia, sudah dinikahi tetap gak tau diri. Masak pun keasinan, tuh Ibu tadi gak jadi makan karena sayur yang dimasak istrimu asin," ucap Ibu mendelik.
Aku terkejut yang mendengar kata cerai, segera mengalihkan pandangan ke Mas Bram. Kulihat dia juga garuk-garuk kepala, ah dasar suami manja. Untuk urusan satu ini pun tetap tak bisa memutuskan sendiri. Kita lihat saja Mas, kalo kamu sampai menceraikan ku akan kubuat Mas menyesal, gumam ku dalam hati
Selesai mandi, aku dan Sayid siap-siap sholat berjamaah. Dalam doa aku meminta pada pencipta agar menguatkan cinta kami dan kekal dalam rumah tangga selamanya. Hati terasa tenang sudah mengadu kepadaNYA.Sayid mengajakku turun usai sholat, karena ingin melihat sekeliling rumah. Ya rumah yang Papa bangun ini lumayan besar dan megah. Untuk sementara kami tinggal disini dulu.Aku menemani Sayid berkeliling, sore ini udara sudah terasa dingin. "Kamu kedinginan humairo?" tanya Sayid kemudian melepaskan jaketnya dan memakainya di bahuku."Iya, Mas! Sepertinya sudah mulai turun salju ya!" jawabku sambil mendongak ke atas."Iya, memasuki musim dingin disini. Kalo kamu nggak tahan didalam rumah aja, biar Mas sendiri yang berkeliling," ujarnya sambil memelukku."Nggak apa-apa, Mas! Sekali ini aja, lagian baru sekarang aku kemari bareng suami. Mas masih ingat perkenalan kita dulu?" tanyaku bernostalgia.Sayid mengang
Kami tiba di bandara Internasional tepat waktu, satu jam sebelum keberangkatan. Setelah mengecek semua barang lalu menunggu di bagian maskapai. Selama satu hari kondisi tubuhku harus fit. Sebelum terbang juga sudah memeriksa kandungan. Dokter menyatakan sehat dan boleh naik pesawat.Sayid terus memegang dan menjagaku agar nyaman. Akhirnya pesawat yang ditunggu tiba, terdengar dari pengeras suara agar penumpang segera naik kedalam pesawat. Mencari nomer kursi, seorang pramugari membantu kami.Setelah penumpang masuk dan penuh, seorang pramugari sedang memberi arahan bagaimana bila pesawat dalam keadaan darurat. Ada keasyikan sendiri memandang pramugari, selain cantik juga dituntut berani untuk memberi layanan yang nyaman bagi penumpang.Selama di pesawat aku habiskan untuk tidur, sesekali Sayid mengajak ngobrol. Wajahnya begitu senang karena bisa mengajakku tinggal di Abu Dhabi. Namun, aku masih perlu menyesuaikan diri disana. Lagian kami akan t
Ustad berhenti bicara untuk menunggu keputusan Bu Ningsih. "Gimana, Bu?"Bu Ningsih terdiam, matanya melirik amplop tebal di atas meja kemudian menatap kami satu persatu. Mungkin masih bimbang antara menerima atau menolak."Kalo Ibu merasa kurang bisa kami tambah tapi maaf nggak bisa lebih dari sepuluh milyar," ucap Papa tegas.Bu Ningsih terlihat menelan saliva mendengar nominal yang disebut Papa. Baginya uang segitu tidak akan bisa didapat seumur hidupnya. Kemudian dengan mengangguk pelan, Bu Ningsih setuju."Baik, karena Ibu sudah setuju kita tanda tangan di surat bermaterai ini. Dengan begitu jika kedepannya ada masalah lagi, surat ini bisa jadi rujukan," ujar Papa sambil menyerahkan kertas dan pulpen.Papa bertanda tangan dulu baru menyerahkan pada Bu Ningsih. Dengan tangan gemetar Bu Ningsih membubuhkan tandatangan. Bu Ningsih meminta tambahan dua milyar untuk merenovasi rumah agar kokoh hingga cucunya dewasa.&nb
"Tadi malam, pas tengah malam Winda teriak ketakutan karena di kamar kalian ada hantunya. Awalnya kami nggak percaya, lalu melihat ada bekas cakaran di jendela kami berjaga dan tidur bareng. Papa pun inisiatif memanggil ustad untuk melihat," tutur Mama berhenti sebentar mengambil napas."Apa? Hantu, Ma?" tanya Sayid kaget."Iya, setelah ustad periksa bukan hantu melainkan kiriman orang untuk menakuti Winda," jelas Mama.Sayid mengernyitkan dahi lalu menggenggam tanganku. "Kamu nggak apa-apa, kan humairo?" tanya Sayid cemas.Aku menggeleng dan tersenyum, Mama menggeleng lega dan Papa hanya melengos. "Sayid, itu karena Winda nggak patuh sama Papa. Udah dilarang keluar tapi masih aja ngeyel, akhirnya terjadi seperti ini."Sayid menatapku meminta penjelasan. Aku pun menceritakan dari awal, Sayid mengangguk mendengarkan. Tiba-tiba dia tersenyum lalu mengatakan hal yang mengejutkan."Pa, Ma, gimana kalo Winda Sa
"Win, bagaimana kalo kamu tinggal di Abu Dhabi aja? Mungkin disana lebih aman dan nyaman buat kamu," cetus Mbok tiba-tiba dapat ide."Apa, Mbok?" tanyaku kaget takut salah dengar. Mbok tersenyum lalu mengulang lagi perkataannya. "Mbok bilang kamu tinggal aja dengan mertua di Abu Dhabi. Pasti disana nggak ada orang yang akan membuat hidupmu sulit.""Mbok yakin?" tanyaku tak percaya."Dulu, sewaktu Den Sayid melamar kamu Mbok dengar kalian akan tinggal disana dan kamu setuju saat itu kan?" Kata Mbok balik bertanya."Iya, Mbok! Tapi, semua keluarga Winda disini, Mbok pasti nggak mau kan kalo Winda ajak kesana?""Mbok disini aja, udah tua! Nanti merepotkan besan disana, lagian Mbok nggak terbiasa tinggal di luar negeri. Nanti Bapakmu mencari Mbok kalo Mbok tinggal jauh," ujar Mbok tertawa.Aku pun tersenyum dan menepuk tangan Mbok, ada-ada saja Mbok ini. Namun, jika dipikirkan apa yang dikatakan
"Bagaimana, Pak Ustad?" tanya Papa penasaran.Kami semua menanti apa yang akan disampaikan Pak Ustad. Apa memang benar hantu atau manusia, bila hantu toh rumah selama ini dalam keadaan aman. Namun, bila manusia sepertinya kurang kerjaan karena kamarku terletak diatas jadi siapa yang melakukannya."Kamar siapa yang diganggu tadi malam?" tanya Ustad menyelidik."Kamar putri saya, Winda," jawab Papa sambil menunjuk diriku.Pak Ustad memandangku tajam, lalu mengangguk. "Apa ananda Winda ada menyakiti seseorang?" tanya Pak Ustad padaku.Semua orang di ruangan menatapku, pertanyaan Pak Ustad membuat semuanya bingung. Tak terkecuali aku yang merasa tak pernah sekalipun mengganggu atau menyakiti orang lain.Aku menggeleng, kemudian balik bertanya pada Pak Ustad. "Memang kenapa, Pak Ustad?""Gangguan tadi malam adalah kiriman seseorang untuk menakuti kamu. Namun, dibalik itu ada dendam didalamnya. Mung