Jasmine duduk di sofa rumah Vina, matanya masih terlihat lelah, namun ada secercah harapan yang mulai muncul.Vina yang duduk di sampingnya, sudah menyiapkan beberapa hal untuk membantu Jasmine menghadapi situasi yang semakin rumit.Setelah beberapa saat berlalu, Vina memutuskan untuk segera menghubungi Ryan.“Aku akan berbicara dengannya. Aku rasa ini adalah saat yang tepat untuk dia mendengarkan versi dari kamu sendiri, Jasmine,” ujar Vina dengan tegas.Jasmine mengangguk, meskipun hatinya masih terasa berat. "Aku hanya ingin ini semua selesai. Aku tidak ingin ada yang merasa tersakiti, tapi aku juga tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan."Vina mengangkat telepon dan menekan nomor Ryan. Saat Ryan menjawab, Vina langsung berbicara, “Ryan, ini Vina. Bisa kamu datang ke rumahku? Ada beberapa hal yang perlu dijelaskan kepada kamu. Jasmine ingin berbicara denganmu secara langsung."Di ujung telepon, Ryan tampak sedikit bingung. "Tapi, Vina… aku tidak tahu apakah aku bisa mendengarka
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Jasmine mengenakan toga wisuda dengan pita emas, wajahnya memancarkan kebahagiaan dan rasa bangga.“Akhirnya aku bisa menuntaskan ini seperti targetku,” gumam Jasmine di depan cermin.Meski hatinya penuh kecemasan, dia tahu ini adalah salah satu pencapaian terbesar dalam hidupnya. Setelah berjuang dengan segala rintangan, akhirnya dia sampai di titik ini.Ryan dan Vina berada di sisinya, menyemangatinya sepanjang hari. Vina tersenyum lebar melihat Jasmine, sementara Ryan tampak serius, meskipun matanya tak bisa menyembunyikan rasa bangga."Aku nggak percaya ini akhirnya terjadi," kata Vina, memeluk Jasmine. "Kamu bisa melakukannya, Jasmine."Jasmine menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. "Terima kasih, Vina. Tanpa kamu, aku nggak tahu apa yang akan terjadi padaku."Ryan hanya mengangguk. Meski hatinya sedikit hancur, dia tahu ini bukan waktunya untuk mencurahkan perasaannya. Jasmine butuh mereka, dan itu yang paling penting.“Ryan, aku gugup,” uc
Jasmine terbangun dengan mata yang masih berat, merasakan beban yang semakin menekan di dadanya.Masih di rumah Vina, dia merenung sejenak, mengingatkan dirinya sendiri akan banyak hal yang perlu diselesaikan. Namun, pagi itu, Zora yang lebih dulu menghubunginya."Pagi, Jasmine," sapa Zora melalui pesan singkat di ponsel. "Aku cuma mau nanya, kamu pulang ke Raflesia Hill nanti? Sepulang wisuda kemarin, aku ngecek ke Raflesia kamu tidak ada."Jasmine merasakan perasaan campur aduk. Dia tahu Zora ingin dia pulang, namun situasinya terasa semakin rumit. Entah kenapa, Jasmine merasa seakan ada jarak antara dirinya dan Zora. Semua yang terjadi, semua perasaan yang tumpah, membuatnya takut untuk kembali ke sana.Setelah beberapa detik, Jasmine akhirnya membalas pesan itu: "Kak Zora, aku... aku ingin tinggal di sini dulu. Aku masih butuh waktu untuk menenangkan diri."Zora membalas dengan cepat: "Kamu pasti tahu apa yang terbaik untuk dirimu sendiri, Jasmine. Jangan ragu untuk bilang kalau
Jasmine merasa gugup, jantungnya berdebar semakin cepat. Keputusan untuk ikut terasa penuh risiko, membuatnya cemas dan canggung. Dia takut terlihat lemah di hadapan Noah, apalagi dengan emosinya yang tidak stabil selama hamil.’Apakah Noah benar-benar menginginkannya ikut atau ini hanya keputusan impulsif?’ Pertanyaan itu terus menghantui Jasmine.Di depan cermin, Jasmine menatap dirinya. Dengan pakaian sederhana dan tas ransel kecil, dia siap berangkat tanpa banyak persiapan. Entah apa yang menantinya, tapi dia tidak ingin menyusahkan Noah.Vina yang duduk di sofa ruang tamu tiba-tiba bersuara, memecah kesunyian di kamar."Jasmine, kenapa sih kamu gitu? Kalau mau ikut, ya ikut aja, jangan ribet," katanya sambil tertawa kecil. "Ini kan cuma ke luar kota, bukan jadi istri kedua Noah."Jasmine menoleh dengan mata sedikit melotot, lalu ikut tertawa kecil. "Aku tahu, Vi, cuma... ya ampun, deg-degan banget," ujarnya sambil menyentuh perutnya yang mulai membesar. "Rasanya kayak naik rolle
Noah akhirnya membuka suara setelah beberapa menit berlalu. "Jasmine," katanya, suara berat dan penuh perhatian. "Kamu serius hanya membawa tas ranselmu itu? Tidak ada barang lainnya?"Jasmine hanya mengangguk, merasakan kekakuan dalam tubuhnya. "Iya, cuma ini saja," jawabnya singkat, merasa tidak perlu membawa barang berlebihan.Noah mengangguk pelan, lalu ada sedikit tawa di ujung kalimatnya. "Baiklah. Kalau kamu merasa nyaman seperti itu."Jasmine hanya tersenyum kecil, sedikit merasa lega mendengar Noah menerima keputusannya.Beberapa menit kemudian, Jasmine memecah keheningan, dengan nada sedikit malu, "Di sini sudah ada satu stel pakaian kasual," katanya dengan lembut.Noah tertawa pelan, suaranya sedikit menghibur suasana hati Jasmine yang masih canggung. "Baiklah, kalau begitu." Suaranya tenang, tidak ada nada kecewa atau bahkan ketidaksenangan dalam ucapan itu.Jasmine menarik napas pelan, berusaha meredam kegelisahannya. Di dalam mobil, dia mencuri pandang ke arah Noah yang d
Setelah menerima boarding pass dari petugas, Noah dan Jasmine berjalan menuju ruang tunggu VIP. Ruangan itu luas, elegan, dan jauh lebih tenang dibandingkan keramaian di luar.Sofa-sofa empuk berjejer rapi, sementara jendela besar memperlihatkan pemandangan pesawat yang bersiap di landasan.Jasmine duduk di salah satu sofa dan menarik napas lega. Dia merasa perjalanan ini semakin nyata. Namun, sebelum bisa larut dalam pikirannya sendiri, Noah datang dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman."Makan dulu," katanya sambil meletakkan nampan di meja kecil di depannya.Jasmine melirik isi nampan itu. Ada sandwich, croissant, dan segelas jus jeruk."Kamu tahu aja aku lapar," gumamnya dengan mata berbinar.Noah duduk di sampingnya, menyandarkan punggung ke sofa dengan santai. "Nggak perlu jadi jenius untuk tahu itu, perutmu sudah kasih pengumuman sejak di mobil."Jasmine mendengus kecil, tapi pipinya merona malu. "Kamu denger?""Jelas. Masa kamu lupa, aku tadi bertanya, Aku kira ada g
Pesawat melaju lancar di atas awan, membawa Jasmine dan Noah menjelajahi langit, meninggalkan Arthaloka menuju Bulgarion.Jasmine masih merasa kagum dengan pengalaman baru ini. Dari ruang VIP bandara yang mewah hingga kini berada di dalam pesawat pribadi, semuanya terasa seperti mimpi yang menjadi kenyataan.Selama penerbangan, Noah tampak sangat santai, hampir tidak ada ekspresi terkejut atau terkesan di wajahnya. Sebaliknya, Jasmine tidak bisa berhenti terpesona.Setiap detil dalam pesawat ini dari kursi kulit yang mewah hingga pencahayaan lembut, yang menambah nuansa eksklusif, membuatnya merasa seperti seorang bangsawan."Wow, ini luar biasa," gumam Jasmine, memandangi ruang kabin yang luas. "Aku nggak pernah bayangin bakal terbang dengan pesawat pribadi."Noah hanya meliriknya dan tersenyum kecil. "Biasa aja kok, ini hanya pesawat."Jasmine menatapnya sejenak, tak percaya. "Biasa aja? Kamu nggak ngerasa ini luar biasa?" tanyanya, merasa segala hal tentang perjalanan ini terasa sa
Penerbangan yang terasa begitu cepat akhirnya memasuki fase akhir. Suasana dalam kabin mulai berubah, dengan petunjuk dan pengumuman dari kru pesawat yang menandakan bahwa pesawat akan segera mendarat. Jasmine masih terlelap, tak menyadari perubahan yang terjadi di sekitarnya.Noah menatapnya dengan lembut, merasa tertarik untuk membangunkannya dengan cara yang sedikit berbeda. Dia perlahan mengulurkan tangan, menyentuh bahu Jasmine dengan lembut."Jasmine," katanya dengan suara pelan, berusaha tidak mengejutkannya.Namun, Jasmine tetap tidak bergerak. Melihatnya begitu tenang membuat Noah merasa sedikit gemas. Dia mendekat, menatap wajah cantik Jasmine yang tampak begitu damai.“Jasmine, kita hampir mendarat,” katanya dengan suara lebih keras, kali ini menyentuh lembut pipinya.Jasmine mengerjap, matanya membuka perlahan seiring dengan suara itu. Selalu ada rasa bingung ketika seseorang baru terbangun, dan Jasmine kini merasa seperti terbangun di rumahnya, bukan di pesawat. Menggerak
Noah menghela napas panjang, merasa bahwa setiap kata yang dia ucapkan kini terasa seperti beban yang tak bisa dilepaskan. “Jas, kamu harus tahu bahwa aku nggak ingin kamu merasa terjebak di dalam ini. Aku berjanji aku akan menceritakan semuanya.”Jasmine menunduk, matanya terpejam untuk menenangkan diri. “Aku nggak tahu, Noah. Aku... aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya.”Noah merasakan hatinya hancur melihat Jasmine seperti itu. Tidak ada kata-kata yang bisa menghibur hatinya yang terluka. Apa yang bisa dia lakukan? Dia sudah berusaha, tapi kenyataannya selalu saja menghalanginya.“Jas,” Noah berkata pelan, hampir berbisik. “Aku akan melakukan apapun untuk kita. Aku janji.”Jasmine hanya mengangguk lemah, tak mampu berkata apa-apa lagi.Sore itu, keduanya terdiam, terjebak dalam perasaan yang tak bisa diungkapkan. Jasmine merasa hatinya terperangkap dalam labirin perasaan yang tak jelas arah tu
Hari itu terasa begitu berat bagi Jasmine. Setiap langkah yang diambil seolah terhenti oleh pikiran yang terus berputar dalam benaknya—semua yang baru saja dia dengar dari Harness. Kebenaran yang mengerikan itu seakan-akan merobek setiap potongan kenyamanan yang selama ini dia percayai. Bahwa dia—Jasmine Ayu Kartika—mungkin bukan siapa-siapa dalam dunia yang begitu besar dan rumit ini, hanya menjadi bagian dari sebuah rahasia yang lebih besar daripada dirinya sendiri.Dia mencoba untuk menenangkan diri, mengatur napas, namun setiap detik yang berlalu hanya menambah beban di dadanya. Ketika akhirnya dia sampai di rumah, rasanya seperti langkahnya terhambat oleh sesuatu yang tak terlihat. Rumah itu, yang biasanya memberikan rasa aman, kini terasa penuh dengan ketegangan. Semua kenyamanan itu hilang begitu saja setelah apa yang dia ketahui.Noah sedang duduk di ruang tamu, seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda di wajahnya. Ekspresi gelisah yang t
Harness: "Ada yang ingin kamu bicarakan, Jas?"Jasmine menarik napas panjang, berpikir sejenak sebelum akhirnya mengetik balasan.Jasmine: "Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Noah? Kenapa kamu selalu ada di sekitar dia, bahkan sampai sekarang?"Beberapa detik berlalu, lalu balasan datang dengan cepat.Harness: "Kamu harus siap untuk mendengarnya. Ada banyak yang nggak kamu ketahui, Jas."Jasmine menelan ludah, merasakan kekhawatiran yang semakin mendalam. Dia bisa merasakan bahwa ini bukan hanya sekedar pertanyaan sederhana. Ada rahasia yang jauh lebih besar di balik semua itu—rahasia yang bisa mengubah segalanya.Tanpa memberi tahu Noah, Jasmine memutuskan untuk bertemu dengan Harness, merasakan sebuah dorongan kuat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi antara mereka.Sore itu, Jasmine berjalan menyusuri jalan setapak menuju kafe yang sering digunakan oleh Harness untuk bertemu denga
Kata-kata itu seperti menampar wajah Noah. Sakit. Bahkan lebih sakit daripada yang dia kira. Namun, di balik rasa sakit itu, ada sebuah kebenaran yang sulit dia terima. “Aku... aku takut kehilangan kamu, Jas,” jawab Noah dengan suara pelan. “Aku tahu aku nggak sempurna, dan aku juga tahu aku punya banyak kesalahan. Tapi aku nggak ingin kamu pergi.”Jasmine menarik napas, rasanya ada banyak kata yang ingin dia ucapkan, tapi bibirnya terasa terbungkam. Semua perasaan itu berkecamuk dalam hatinya. “Kamu bisa bilang itu, Noah, tapi aku nggak tahu lagi mana yang lebih nyata—kamu atau kenanganmu tentang semua yang telah terjadi sebelumnya. Kamu nggak bisa terus menghubung-hubungkan aku dengan masa lalu kamu.”Noah terdiam, rasa frustrasi merayapi dirinya. Dia sudah berusaha menjaga semuanya tetap utuh, tapi ada banyak hal yang belum dia ceritakan pada Jasmine—rahasia yang lebih dalam dari yang dia kira. Tentang Oma, tentang Harness, tentang masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang.“Apa
“Kamu nggak perlu khawatir soal dia, Jas,” kata Noah tiba-tiba.Jasmine menoleh cepat. “Aku... nggak mikirin itu.”Noah menatap lurus ke arahnya, ekspresi serius. “Aku nggak bisa ngendaliin masa lalu. Tapi aku tahu siapa yang aku mau ada di masa depan.”Hening sesaat. Hanya suara angin dari jendela yang terbuka, menggoyang tirai tipis yang menggantung setengah kusam.“Aku nggak biasa dikasih kata-kata kayak gitu,” ucap Jasmine pelan.“Ya udah, aku ubah pakai bahasa teknik.”“Oh no.”Noah tersenyum kecil. “Kalau hubungan ini ibarat mesin, kamu tuh gear paling utama. Tanpa kamu, semua sistem nggak jalan.”Jasmine menahan tawa, tapi air matanya menggenang tanpa izin. “Kamu norak banget.”“Tapi berhasil bikin kamu nangis.”Dia menghapus air mata Jasmine dengan ibu jarinya, lembut, tidak memaksa.“Aku takut semua ini terlalu indah buat nyata,” bisik Jasmine. “Kita bahagia, lalu tiba-tiba...”Noah menggenggam tangannya, erat. “Aku juga takut. Tapi kita nggak harus jadi sempurna untuk jadi n
Noah yang mulai merasa ada yang aneh dengan pembicaraan ini menatap Harness dengan serius. "Apa yang kau maksud, Harness?" tanya Noah, suaranya mulai penuh dengan kecurigaan.Harness tidak langsung menjawab, melainkan menatap mereka berdua sejenak. "Mungkin ini saat yang tepat untuk lebih banyak memahami satu sama lain," jawabnya pelan, kemudian berbalik dan berjalan keluar dari ruangan.Noah menatapnya dengan tatapan bingung. "Ada apa dengan dia?" gumamnya pelan.Jasmine hanya diam, merasa semakin tertekan dengan keadaan yang semakin membingungkan. "Aku harus pergi," katanya dengan suara pelan, berbalik menuju pintu. "Aku tidak bisa terus seperti ini."Noah hendak mengejarnya, namun Jasmine sudah lebih dulu keluar dari ruangan. Perasaannya semakin kacau, tidak tahu harus bagaimana.Jasmine keluar dan berjalan cepat menuju taman belakang, menghindari tatapan Noah yang semakin membuatnya merasa tertekan. Ia tahu, ada sesuatu yang menghalangi hubungan mereka, tapi ia juga merasa seperti
Pagi itu terasa lebih sepi dari biasanya. Jasmine duduk di ruang tamu besar, tangan terlipat di atas meja, menatap pemandangan taman yang tampak redup karena hujan yang baru saja reda. Matanya terlihat kosong, seolah tidak ada hal yang benar-benar menarik perhatiannya. Namun, dalam diamnya itu, pikirannya penuh dengan kebingungan."Kenapa aku merasa seperti ini?" gumamnya pelan, meraba perasaannya yang semakin terhimpit oleh ketegangan yang ia ciptakan sendiri.Pintu ruang tamu terbuka perlahan, dan Noah muncul di ambang pintu. Ia menatap Jasmine dengan ekspresi cemas, tampak sedikit gelisah. "Jasmine," panggilnya, suara itu lembut, penuh kekhawatiran. "Kau baik-baik saja?"Jasmine menoleh pelan, namun tidak mengatakan apa-apa. "Aku baik-baik saja." Jawabnya, namun suaranya terdengar hampa, hampir tak ada gairah.Noah berjalan mendekat, menatap wajahnya dengan penuh perhatian. "Aku tahu kau bilang baik-baik saja, tapi..." Ia berhenti sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "K
“Jasmine, kau harus mendengarku,” suara Noah terdengar serak. Ia baru saja masuk ke ruang makan setelah berbicara dengan keluarganya. Jasmine sedang duduk di meja, menatap langit lewat jendela, tampak merenung dengan wajah yang jauh.Jasmine menoleh perlahan, matanya mengisyaratkan pertanyaan tanpa kata. "Ada apa, Noah?"Noah berjalan mendekat, duduk di sebelahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kau tampak berbeda belakangan ini. Ada yang mengganggumu?"Jasmine menghela napas, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku baik-baik saja." Ia berusaha tersenyum, meski senyum itu terasa terpaksa. "Hanya sedikit lelah."Noah menatapnya lebih dalam, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Jasmine, jangan menutupi perasaanmu dariku. Apa yang sebenarnya terjadi?"Jasmine mengalihkan pandangannya lagi ke luar jendela, mengamati riak-riak air di kolam. "Aku cuma merasa... cemas." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. "Kau tahu, aku datang ke sini dengan harapan bisa menjadi ba
Di sisi lain kota, Zora berdiri di depan cermin besar berbingkai emas di kamar utama rumah Dirgantara. Cermin itu telah menjadi saksi begitu banyak perubahan dalam hidupnya—dari wanita muda ambisius, menjadi istri dari pewaris kekaisaran bisnis, hingga kini... seorang istri yang mulai kehilangan pijakan. Ia merapikan blouse satin putih yang telah ia kenakan puluhan kali, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang makin lama makin sulit ditutupi.Matanya menatap pantulan diri dengan senyum yang hambar—senyum yang ia bentuk hanya sebagai formalitas sosial. Beberapa hari terakhir, gosip dan bisik-bisik di antara sosialita dan direksi perusahaan mulai membentuk luka kecil yang lambat tapi pasti merobek hatinya.Bukan hanya Noah yang berubah. Dunia pun ikut berputar, seolah tak ada tempat lagi untuknya. Mereka bilang Jasmine adalah ibu dari pewaris masa depan keluarga Dirgantara. Mereka menyambut wanita itu seolah-olah dia satu-satunya yang pantas berdiri di sisi Noah.Zora menggigit bibirnya