Jasmine tertawa kecil. “Kenapa kau begitu penasaran?”
Juan menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Karena aku mengenalmu, Jasmine. Dan aku tahu, ada sesuatu yang kau sembunyikan.”
Jasmine mengangkat bahu, lalu menjawab dengan nada santai, “Seperti yang orang tahu, suamiku berada di daerah konflik. Dia sedang bertugas.”
Juan memperhatikan ekspresi Jasmine dengan seksama, mencoba mencari kebohongan di sana. Tetapi Jasmine tetap tenang, tidak menunjukkan sedikit pun keraguan dalam kata-katanya.
Juan menghela napas panjang. “Baiklah. Aku tidak akan memaksamu untuk memberitahuku jika kau tidak ingin.”
Jasmine hanya tersenyum, menyesap jusnya dengan santai.
Juan menatapnya sejenak sebelum berbicara lagi. “Tapi Jasmine… apa kau bahagia?”
Pertanyaan itu membuat Jasmine terdiam. Ia menata
Noah menghela napas panjang, jemarinya sedikit menegang di atas tangan Jasmine. “Aku tidak akan berbohong padamu, Jasmine. Aku dan Zora punya sejarah panjang. Tapi aku ingin kau tahu bahwa aku tidak berpura-pura saat bersamamu.”Hati Jasmine bergetar. Ia tidak tahu harus mengatakan apa.Lalu tiba-tiba, Noah bergerak lebih dekat, wajahnya hanya berjarak beberapa inci darinya. Jasmine bisa merasakan napas pria itu menyapu pipinya, menciptakan sensasi menggelitik yang membuat jantungnya berdebar lebih cepat.“Noah…” Suara jasmine terdengar lirih.“Bolehkah aku menciummu?” Noah bertanya dengan suara lembut, seolah memberi Jasmine kesempatan untuk menolak.Jasmine menatap matanya, dan dalam sekejap, semua logika runtuh. Tanpa menjawab, ia mengangguk pelan.Noah tidak menunggu lebih lama. Bibirnya menyentuh bibir Jasmine d
Noah menarik napas dalam, menatapnya penuh intensitas. “Aku mencintaimu, Jasmine.”Jantung Jasmine seakan berhenti berdetak. Kata-kata itu, tidak seharusnya terucap. Namun sebelum ia sempat mencerna semuanya, Noah sudah kembali mencium bibirnya, kali ini lebih dalam, lebih menuntut.Jasmine mengerang pelan saat sentuhan pria itu semakin menjelajahi setiap sudut tubuhnya. Noah tidak terburu-buru. Gerakannya tenang, seolah menikmati setiap reaksi yang Jasmine tunjukkan. Jemarinya menelusuri lekuk tubuh wanita itu dengan lembut, sementara napas mereka berbaur dalam kehangatan malam.Gerakan Noah semakin intens—maju dan mundur, menciptakan irama yang membuat Jasmine menggigit bibirnya, menahan gejolak yang kian membuncah. Sesekali, Noah menatap wajahnya, menikmati ekspresi Jasmine yang tenggelam dalam permainannya.Di luar, ombak terus bergulung-gulung, menciptakan simfoni alami yang mengiringi malam
Jasmine ingin marah, tetapi otaknya sudah tidak bisa berpikir jernih. Noah terlalu mendominasi, terlalu menguasainya dengan cara yang tidak bisa ia lawan."Noah…" lirihnya.Noah menatapnya dalam sebelum membisikkan sesuatu di telinganya. "Sedikit lagi,Jasmine…"Dan saat itu, suara erangan tertahan akhirnya memenuhi ruangan.Noah sengaja menahan dirinya, mempermainkan ritme mereka hingga Jasmine benar-benar tidak bisa lagi mengendalikan tubuhnya sendiri. Sensasi itu seperti aliran listrik yang mengalir deras ke seluruh sarafnya, membuatnya kehilangan kendali.”Noah rasanya geli sekali,” eluh Jasmine.Noah menikmati kelakuan Jasmine, bahakn saat Ajsmine mengeluh rasa- rasa aneh yang dia ucapkan.Jasmine menenggelamkan wajahnya di bahu Noah, merasakan tubuhnya bergetar hebat karena sesuatu yang begitu intens
Pagi itu, Jasmine membuka matanya perlahan. Cahaya matahari yang menerobos melalui jendela besar menyinari kamar dengan lembut, membiaskan rona keemasan yang menenangkan. Ia merasakan kehangatan di sisinya, dan saat ia menoleh, matanya langsung bertemu dengan wajah Noah yang masih terlelap.’Kamu selalu mengalihkan duniaku, Noah,’ ucapnya dalam hati.Wajah pria itu begitu tenang dalam tidurnya. Napasnya teratur, bibirnya sedikit terbuka, dan rambut hitamnya berantakan di atas bantal. Jasmine mengamati Noah dalam diam, membiarkan jemarinya dengan lembut menyentuh garis rahang pria itu.Lalu Jasmine mengecup bibir it, dalam mata terpejam Noah masih bisa menikmati bibirnya yang lembut.”Dasar lucu, kamu masih bisa melakukan hal ini saat terpejam,” gumam Jasmine tersenyum.Jasmine tidak pernah membayangkan akan berada dalam situasi seperti ini. Terikat dalam pernik
Jasmine menghela napas, tetapi akhirnya menurut. Ia berjalan ke dalam kamar, mencari pakaian renang yang dimaksud Noah. Ternyata, pria itu memang sudah menyiapkan segalanya. Ia menemukan satu set pakaian renang berwarna hitam dengan desain simpel tetapi tetap elegan.”Mungkin akan terlihat seperti badut,” gumam Jasmine, terkekeh melihat pakaian renang itu.Jasmine menatap perutnya di cermin. Perutnya memang sudah mulai membesar, tetapi bentuk tubuhnya masih tetap terlihat proporsional.”Akan segera aku kenakan, nanti Noah kelamaan menunggu,’ gumamnya .Entah pikirannya kembali berselancar. Bahkan kali ini dia yang mula liar, Jasmine membayangkan Noah mengajaknya bermain di kolam renang.Jasmine lalu mengetuk jidatnya sendiri. 'Sadar Jasmine, dia milik Zora. Tapi mungkin tidak masalah kamu menikmatinya saat ini. Setelah kontrak selesai, kamu tidak akan merasakan sentuhannya lagi.'Mel
Jasmine menatap deburan ombak dari tepi kolam renang, menikmati angin pagi yang sejuk. Air di kolam memantulkan sinar matahari yang mulai meninggi, menciptakan kilauan indah yang menari di permukaannya.Tanpa disadari, Noah yang semula berada di sampingnya kini bergerak kembali ke belakang dan melingkarkan kedua lengannya di sekitar pinggang Jasmine. Pria itu menundukkan kepalanya, berbisik lembut di telinganya, suaranya terdengar dalam dan menggoda.“Mau bermain di dalam air?” tanyanya dengan nada penuh godaan.Jasmine tertawa kecil, menggelengkan kepalanya. “Tidak, cukup berenang saja.”Tapi Noah tahu, Jasmine tidak benar-benar menolak. Ada kilatan kecil di matanya yang mengatakan bahwa wanita itu juga menginginkannya.Tanpa peringatan, sesuatu menyentuh bagian belakang tubuhnya, tepat di bokongnya. Jasmine tersentak, napasnya tertahan.
Pagi yang hangat di Bulgaret Hotel berubah menjadi sesuatu yang lebih panas ketika tubuh mereka kembali menyatu. Noah tidak terburu-buru kali ini, ia menikmati setiap inci tubuh Jasmine dengan perlahan. Bibirnya mengecap lembut kulit wanita itu, meninggalkan jejak-jejak merah yang semakin banyak di tubuhnya.”Noah... Argh!” Suara Jasmine membuat napas Noah makinmemburu.Jasmine terengah, tubuhnya menggeliat dalam kenikmatan yang semakin dalam. Namun, di tengah permainan mereka, suara dering ponsel tiba-tiba memecah suasana.Jasmine mengerjap, mencoba mengatur napasnya. Tangannya meraba-raba meja samping tempat tidur dan mengambil ponselnya. Nama ”Dr. Juan” terpampang di layar.”Sebentar aku mau menjawab panggilan ini,” ujar Jasmine.Noah hanya melirik sekilas tetapi tetap melanjutkan permainannya, mengecup sudut tubuh Jasmine dengan gerakan per
Jasmine terbaring dengan tubuh masih melekat pada Noah. Dadanya naik turun dengan napas yang masih tersengal, sementara Noah menatapnya dengan mata yang penuh gairah.Namun, di tengah keintiman itu, Jasmine mengingat sesuatu.“Noah, kita harus berhenti….” Katanya dengan suara lirih.Noah mengangkat alis, masih enggan melepaskan Jasmine dari pelukannya. “Kenapa?”“Kita harus ingat pesan dokter,” lanjutnya, tangannya yang mungil menyentuh wajah Noah, berusaha mengingatkannya. “Aku hamil lima bulan, Noah. Kita tidak bisa terlalu sering….”Noah menghela napas, lalu mengangguk. “Aku tahu… Aku juga ingin bayi kita sehat.”Namun, sejujurnya, Noah merasa tersiksa. Setiap kali berada di dekat Jasmine, tubuhnya selalu bereaksi. Ada sesuatu yang berbeda dengan wanita ini. Sesuatu yang tak pernah ia rasak
Noah menghela napas panjang, merasa bahwa setiap kata yang dia ucapkan kini terasa seperti beban yang tak bisa dilepaskan. “Jas, kamu harus tahu bahwa aku nggak ingin kamu merasa terjebak di dalam ini. Aku berjanji aku akan menceritakan semuanya.”Jasmine menunduk, matanya terpejam untuk menenangkan diri. “Aku nggak tahu, Noah. Aku... aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya.”Noah merasakan hatinya hancur melihat Jasmine seperti itu. Tidak ada kata-kata yang bisa menghibur hatinya yang terluka. Apa yang bisa dia lakukan? Dia sudah berusaha, tapi kenyataannya selalu saja menghalanginya.“Jas,” Noah berkata pelan, hampir berbisik. “Aku akan melakukan apapun untuk kita. Aku janji.”Jasmine hanya mengangguk lemah, tak mampu berkata apa-apa lagi.Sore itu, keduanya terdiam, terjebak dalam perasaan yang tak bisa diungkapkan. Jasmine merasa hatinya terperangkap dalam labirin perasaan yang tak jelas arah tu
Hari itu terasa begitu berat bagi Jasmine. Setiap langkah yang diambil seolah terhenti oleh pikiran yang terus berputar dalam benaknya—semua yang baru saja dia dengar dari Harness. Kebenaran yang mengerikan itu seakan-akan merobek setiap potongan kenyamanan yang selama ini dia percayai. Bahwa dia—Jasmine Ayu Kartika—mungkin bukan siapa-siapa dalam dunia yang begitu besar dan rumit ini, hanya menjadi bagian dari sebuah rahasia yang lebih besar daripada dirinya sendiri.Dia mencoba untuk menenangkan diri, mengatur napas, namun setiap detik yang berlalu hanya menambah beban di dadanya. Ketika akhirnya dia sampai di rumah, rasanya seperti langkahnya terhambat oleh sesuatu yang tak terlihat. Rumah itu, yang biasanya memberikan rasa aman, kini terasa penuh dengan ketegangan. Semua kenyamanan itu hilang begitu saja setelah apa yang dia ketahui.Noah sedang duduk di ruang tamu, seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda di wajahnya. Ekspresi gelisah yang t
Harness: "Ada yang ingin kamu bicarakan, Jas?"Jasmine menarik napas panjang, berpikir sejenak sebelum akhirnya mengetik balasan.Jasmine: "Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Noah? Kenapa kamu selalu ada di sekitar dia, bahkan sampai sekarang?"Beberapa detik berlalu, lalu balasan datang dengan cepat.Harness: "Kamu harus siap untuk mendengarnya. Ada banyak yang nggak kamu ketahui, Jas."Jasmine menelan ludah, merasakan kekhawatiran yang semakin mendalam. Dia bisa merasakan bahwa ini bukan hanya sekedar pertanyaan sederhana. Ada rahasia yang jauh lebih besar di balik semua itu—rahasia yang bisa mengubah segalanya.Tanpa memberi tahu Noah, Jasmine memutuskan untuk bertemu dengan Harness, merasakan sebuah dorongan kuat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi antara mereka.Sore itu, Jasmine berjalan menyusuri jalan setapak menuju kafe yang sering digunakan oleh Harness untuk bertemu denga
Kata-kata itu seperti menampar wajah Noah. Sakit. Bahkan lebih sakit daripada yang dia kira. Namun, di balik rasa sakit itu, ada sebuah kebenaran yang sulit dia terima. “Aku... aku takut kehilangan kamu, Jas,” jawab Noah dengan suara pelan. “Aku tahu aku nggak sempurna, dan aku juga tahu aku punya banyak kesalahan. Tapi aku nggak ingin kamu pergi.”Jasmine menarik napas, rasanya ada banyak kata yang ingin dia ucapkan, tapi bibirnya terasa terbungkam. Semua perasaan itu berkecamuk dalam hatinya. “Kamu bisa bilang itu, Noah, tapi aku nggak tahu lagi mana yang lebih nyata—kamu atau kenanganmu tentang semua yang telah terjadi sebelumnya. Kamu nggak bisa terus menghubung-hubungkan aku dengan masa lalu kamu.”Noah terdiam, rasa frustrasi merayapi dirinya. Dia sudah berusaha menjaga semuanya tetap utuh, tapi ada banyak hal yang belum dia ceritakan pada Jasmine—rahasia yang lebih dalam dari yang dia kira. Tentang Oma, tentang Harness, tentang masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang.“Apa
“Kamu nggak perlu khawatir soal dia, Jas,” kata Noah tiba-tiba.Jasmine menoleh cepat. “Aku... nggak mikirin itu.”Noah menatap lurus ke arahnya, ekspresi serius. “Aku nggak bisa ngendaliin masa lalu. Tapi aku tahu siapa yang aku mau ada di masa depan.”Hening sesaat. Hanya suara angin dari jendela yang terbuka, menggoyang tirai tipis yang menggantung setengah kusam.“Aku nggak biasa dikasih kata-kata kayak gitu,” ucap Jasmine pelan.“Ya udah, aku ubah pakai bahasa teknik.”“Oh no.”Noah tersenyum kecil. “Kalau hubungan ini ibarat mesin, kamu tuh gear paling utama. Tanpa kamu, semua sistem nggak jalan.”Jasmine menahan tawa, tapi air matanya menggenang tanpa izin. “Kamu norak banget.”“Tapi berhasil bikin kamu nangis.”Dia menghapus air mata Jasmine dengan ibu jarinya, lembut, tidak memaksa.“Aku takut semua ini terlalu indah buat nyata,” bisik Jasmine. “Kita bahagia, lalu tiba-tiba...”Noah menggenggam tangannya, erat. “Aku juga takut. Tapi kita nggak harus jadi sempurna untuk jadi n
Noah yang mulai merasa ada yang aneh dengan pembicaraan ini menatap Harness dengan serius. "Apa yang kau maksud, Harness?" tanya Noah, suaranya mulai penuh dengan kecurigaan.Harness tidak langsung menjawab, melainkan menatap mereka berdua sejenak. "Mungkin ini saat yang tepat untuk lebih banyak memahami satu sama lain," jawabnya pelan, kemudian berbalik dan berjalan keluar dari ruangan.Noah menatapnya dengan tatapan bingung. "Ada apa dengan dia?" gumamnya pelan.Jasmine hanya diam, merasa semakin tertekan dengan keadaan yang semakin membingungkan. "Aku harus pergi," katanya dengan suara pelan, berbalik menuju pintu. "Aku tidak bisa terus seperti ini."Noah hendak mengejarnya, namun Jasmine sudah lebih dulu keluar dari ruangan. Perasaannya semakin kacau, tidak tahu harus bagaimana.Jasmine keluar dan berjalan cepat menuju taman belakang, menghindari tatapan Noah yang semakin membuatnya merasa tertekan. Ia tahu, ada sesuatu yang menghalangi hubungan mereka, tapi ia juga merasa seperti
Pagi itu terasa lebih sepi dari biasanya. Jasmine duduk di ruang tamu besar, tangan terlipat di atas meja, menatap pemandangan taman yang tampak redup karena hujan yang baru saja reda. Matanya terlihat kosong, seolah tidak ada hal yang benar-benar menarik perhatiannya. Namun, dalam diamnya itu, pikirannya penuh dengan kebingungan."Kenapa aku merasa seperti ini?" gumamnya pelan, meraba perasaannya yang semakin terhimpit oleh ketegangan yang ia ciptakan sendiri.Pintu ruang tamu terbuka perlahan, dan Noah muncul di ambang pintu. Ia menatap Jasmine dengan ekspresi cemas, tampak sedikit gelisah. "Jasmine," panggilnya, suara itu lembut, penuh kekhawatiran. "Kau baik-baik saja?"Jasmine menoleh pelan, namun tidak mengatakan apa-apa. "Aku baik-baik saja." Jawabnya, namun suaranya terdengar hampa, hampir tak ada gairah.Noah berjalan mendekat, menatap wajahnya dengan penuh perhatian. "Aku tahu kau bilang baik-baik saja, tapi..." Ia berhenti sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "K
“Jasmine, kau harus mendengarku,” suara Noah terdengar serak. Ia baru saja masuk ke ruang makan setelah berbicara dengan keluarganya. Jasmine sedang duduk di meja, menatap langit lewat jendela, tampak merenung dengan wajah yang jauh.Jasmine menoleh perlahan, matanya mengisyaratkan pertanyaan tanpa kata. "Ada apa, Noah?"Noah berjalan mendekat, duduk di sebelahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kau tampak berbeda belakangan ini. Ada yang mengganggumu?"Jasmine menghela napas, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku baik-baik saja." Ia berusaha tersenyum, meski senyum itu terasa terpaksa. "Hanya sedikit lelah."Noah menatapnya lebih dalam, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Jasmine, jangan menutupi perasaanmu dariku. Apa yang sebenarnya terjadi?"Jasmine mengalihkan pandangannya lagi ke luar jendela, mengamati riak-riak air di kolam. "Aku cuma merasa... cemas." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. "Kau tahu, aku datang ke sini dengan harapan bisa menjadi ba
Di sisi lain kota, Zora berdiri di depan cermin besar berbingkai emas di kamar utama rumah Dirgantara. Cermin itu telah menjadi saksi begitu banyak perubahan dalam hidupnya—dari wanita muda ambisius, menjadi istri dari pewaris kekaisaran bisnis, hingga kini... seorang istri yang mulai kehilangan pijakan. Ia merapikan blouse satin putih yang telah ia kenakan puluhan kali, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang makin lama makin sulit ditutupi.Matanya menatap pantulan diri dengan senyum yang hambar—senyum yang ia bentuk hanya sebagai formalitas sosial. Beberapa hari terakhir, gosip dan bisik-bisik di antara sosialita dan direksi perusahaan mulai membentuk luka kecil yang lambat tapi pasti merobek hatinya.Bukan hanya Noah yang berubah. Dunia pun ikut berputar, seolah tak ada tempat lagi untuknya. Mereka bilang Jasmine adalah ibu dari pewaris masa depan keluarga Dirgantara. Mereka menyambut wanita itu seolah-olah dia satu-satunya yang pantas berdiri di sisi Noah.Zora menggigit bibirnya