Noah menarik tubuh Jasmine mendekat, bibirnya menekan lembut tetapi penuh emosi di atas bibir Jasmine.Jasmine ingin menolak, tetapi tubuhnya membeku, tangannya masih terkunci dalam genggaman kuat pria itu. Jantungnya berdegup kencang, bukan hanya karena kejutan, tetapi juga karena kebingungan yang melanda hatinya.Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Noah akhirnya melepaskan genggamannya dan menatapnya dalam-dalam. "Jangan biarkan dia datang lagi," suaranya dalam, nyaris seperti bisikan yang berat.Jasmine menggigit bibirnya, menahan ribuan kata yang ingin ia ucapkan. Namun, sebelum ia bisa menjawab, Noah sudah melangkah pergi, meninggalkannya dalam kekacauan emosi yang semakin dalam.***Hari-hari berlalu dengan cepat. Kehamilan Jasmine memasuki bulan ketujuh, perutnya semakin membesar, tetapi pikirannya justru semakin kacau.Setiap langkahnya terasa berat, bukan hanya karena kehamilannya tetapi juga karena ketegangan yang menggantung di antara dirinya, Noah, dan Zo
Satu minggu telah berlalu sejak Jasmine melahirkan, tetapi dia masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Tubuhnya masih terasa nyeri, tetapi yang lebih menyakitkan adalah kenyataan bahwa dia harus menyerahkan anaknya sendiri kepada Zora.Dia tahu sejak awal bahwa ini akan terjadi, tetapi tidak ada yang bisa mempersiapkan hati seorang ibu untuk perpisahan semacam ini. Hatinya hancur berkeping-keping saat melihat Dursilla menggendong bayi itu dengan penuh kebanggaan, tidak menyadari bahwa bayi itu bukanlah anak Zora.“Anak ini benar-benar mukjizat,” ucap Dursilla dengan suara bahagia. “Aku tahu Zora akan berhasil memberikan keturunan untuk keluarga Dirgantara.”Jasmine mengepalkan selimutnya erat-erat. Dia ingin mengatakan sesuatu, ingin berteriak bahwa itu adalah darah dagingnya sendiri, tetapi dia hanya bisa menahan air matanya. Ini bagian dari kesepakatan. Dia sudah menandatangani kontrak ini sejak awal.“Kau lihat, Jasmine?” Zora menyeringai sambil menepuk lengan Jasmine dengan
Jasmine duduk di tepi ranjang rumah sakit, menatap keluar jendela dengan pandangan kosong. Sudah beberapa hari sejak ia melahirkan, dan dalam beberapa jam lagi, ia akan meninggalkan tempat ini. Seharusnya ini adalah momen di mana seorang ibu membawa pulang bayinya, tapi bagi Jasmine, ini adalah momen di mana ia harus benar-benar melepaskan.Pintu kamar terbuka, dan seorang perawat masuk. “Nona Jasmine, ini dokumen kepulangan Anda. Anda sudah diperbolehkan pulang hari ini.”Jasmine mengambil dokumen itu dengan tangan gemetar. Ia mengangguk, berusaha tersenyum, meskipun hatinya terasa remuk. “Terima kasih.”Begitu perawat keluar, pintu kembali terbuka. Kali ini, Zora masuk dengan ekspresi puas. “Waktunya pergi, Jasmine.”Jasmine menarik napas panjang. “Aku tahu.”Zora tersenyum sinis. “Jangan terlalu sedih. Aku akan menjaga bayi
Jasmine menggenggam erat mantel di tubuhnya, menatap kosong ke arah rumah besar keluarga Dirgantara yang masih dipenuhi tamu-tamu pesta. Dari luar, suara tawa dan musik masih terdengar. Mereka merayakan sesuatu yang menurut dunia adalah kebahagiaan, tetapi bagi Jasmine, itu adalah awal dari penderitaannya.Tubuhnya masih lemah pascapersalinan, namun ia tidak punya pilihan lain. Udara dingin menusuk kulitnya, seolah ingin mengingatkannya bahwa dia sekarang sendirian. Tidak ada lagi tempat yang bisa ia sebut rumah.Tidak ada lagi keluarga yang bisa ia andalkan. Satu-satunya yang ia miliki hanyalah kesepakatan yang mengikatnya dalam kebisuan.Pikirannya masih melayang ketika tiba-tiba sebuah suara memecah keheningan."Jasmine?" Jasmine menoleh dan melihat Juan berdiri beberapa meter darinya. Pria itu menatapnya dengan alis berkerut, ekspresi penuh keheranan bercampur kekhawatiran.&
Jasmine berdiri di depan gerbang megah rumah keluarga Dirgantara, hatinya berdebar hebat. Sudah beberapa minggu sejak ia terakhir kali berada di tempat ini, dan kini ia kembali bukan sebagai bagian dari keluarga, tetapi sebagai seseorang yang dibutuhkan hanya untuk menyusui anaknya. Atau lebih tepatnya, anak yang sekarang diakui oleh dunia sebagai milik Zora.Tangannya menggenggam erat tali tas kecilnya, mencoba menguatkan dirinya. Ia tahu, kembali ke rumah ini berarti kembali menghadapi Zora, Dursilla, dan terutama, Noah.Gerbang besar terbuka secara otomatis, seolah menyambutnya. Namun, Jasmine tahu betul bahwa tidak ada sambutan hangat yang menunggunya di dalam.Begitu langkah kakinya memasuki pekarangan, seorang pelayan menyambutnya dengan kaku. "Silakan masuk, Nona Jasmine. Nyonya Zora sudah menunggu di dalam."Jasmine mengangguk pelan dan mengikuti pelayan itu. Setiap langkah terasa berat, seakan dirinya mel
Jasmine duduk di kursi di dalam kamar bayi, menggendong anaknya yang sedang menyusu dengan tenang. Setiap detik yang berlalu terasa berharga, karena dia tahu, momen-momen seperti ini akan selalu direnggut darinya begitu sesi menyusui selesai. Seharusnya, dialah yang merawat bayi ini, tetapi dunia tidak mengizinkannya.Pintu kamar terbuka tiba-tiba, dan suara langkah kaki cepat menggema di dalam ruangan."Apa-apaan ini?!" Suara Dursilla terdengar tajam, memotong keheningan.Jasmine tersentak, hampir saja refleks menarik bayinya dari pelukannya. Ia menoleh dan melihat wanita tua itu berdiri di ambang pintu dengan wajah penuh kemarahan. Dursilla berjalan mendekat, matanya menatap tajam ke arah Jasmine dan bayi yang sedang menyusu di pelukannya.“Kenapa dia yang menyusui bayi ini?” Dursilla melontarkan pertanyaan dengan nada dingin, matanya menyipit penuh kecurigaan.Zora
Malam di rumah keluarga Dirgantara terasa sunyi, tetapi tidak bagi Jasmine. Ia berjalan mondar-mandir di kamar yang diberikan kepadanya, pikirannya penuh dengan segala hal yang telah terjadi.Dursilla telah mencurigai sesuatu, meskipun Zora berhasil meyakinkannya untuk sementara. Namun, Jasmine tahu bahwa kebohongan ini tidak akan bertahan selamanya.Ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. Dengan ragu, Jasmine membuka pintu dan mendapati seorang pelayan berdiri di sana dengan ekspresi tegang.“Nona Jasmine, bayi sedang rewel. Nyonya Zora meminta Anda untuk datang segera.”Jasmine menahan napas, lalu mengangguk. “Baik, aku akan ke sana.”Hatinya mencelos setiap kali ia harus menghadapi anaknya sendiri tetapi dalam status yang begitu menyakitkan. Ia tahu bahwa bayi itu merindukannya, dan itu adalah satu-satunya alasan mengapa ia terus bertahan di tempat ini.&nb
Dursilla duduk di ruang tamu dengan ekspresi penuh pikir. Tangannya memegang secangkir teh yang kini sudah mendingin. Pikirannya masih tertuju pada kejadian pagi tadi saat melihat bagaimana bayi itu begitu nyaman dalam pelukan Jasmine, sementara Zora terlihat canggung.Ada sesuatu yang janggal. Nalurinya sebagai seorang wanita yang telah melalui banyak hal dalam hidupnya mengatakan bahwa ada kebohongan besar yang sedang dimainkan di dalam rumah ini.Dursilla meletakkan cangkirnya dengan sedikit kasar di atas meja, menarik perhatian Zora yang sedang duduk di seberangnya. "Aku ingin kau jujur padaku, Zora."Zora menegang, jari-jarinya yang menggenggam sendok sedikit gemetar. "Tentu saja, Oma. Tentang apa?"Dursilla menyipitkan mata. "Tentang bayi ini. Aku ingin jawaban jujur darimu."Ruangan mendadak terasa sunyi. Zora bisa merasakan detak jantungnya meningkat tajam. Ia tahu bahwa
Noah menghela napas panjang, merasa bahwa setiap kata yang dia ucapkan kini terasa seperti beban yang tak bisa dilepaskan. “Jas, kamu harus tahu bahwa aku nggak ingin kamu merasa terjebak di dalam ini. Aku berjanji aku akan menceritakan semuanya.”Jasmine menunduk, matanya terpejam untuk menenangkan diri. “Aku nggak tahu, Noah. Aku... aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya.”Noah merasakan hatinya hancur melihat Jasmine seperti itu. Tidak ada kata-kata yang bisa menghibur hatinya yang terluka. Apa yang bisa dia lakukan? Dia sudah berusaha, tapi kenyataannya selalu saja menghalanginya.“Jas,” Noah berkata pelan, hampir berbisik. “Aku akan melakukan apapun untuk kita. Aku janji.”Jasmine hanya mengangguk lemah, tak mampu berkata apa-apa lagi.Sore itu, keduanya terdiam, terjebak dalam perasaan yang tak bisa diungkapkan. Jasmine merasa hatinya terperangkap dalam labirin perasaan yang tak jelas arah tu
Hari itu terasa begitu berat bagi Jasmine. Setiap langkah yang diambil seolah terhenti oleh pikiran yang terus berputar dalam benaknya—semua yang baru saja dia dengar dari Harness. Kebenaran yang mengerikan itu seakan-akan merobek setiap potongan kenyamanan yang selama ini dia percayai. Bahwa dia—Jasmine Ayu Kartika—mungkin bukan siapa-siapa dalam dunia yang begitu besar dan rumit ini, hanya menjadi bagian dari sebuah rahasia yang lebih besar daripada dirinya sendiri.Dia mencoba untuk menenangkan diri, mengatur napas, namun setiap detik yang berlalu hanya menambah beban di dadanya. Ketika akhirnya dia sampai di rumah, rasanya seperti langkahnya terhambat oleh sesuatu yang tak terlihat. Rumah itu, yang biasanya memberikan rasa aman, kini terasa penuh dengan ketegangan. Semua kenyamanan itu hilang begitu saja setelah apa yang dia ketahui.Noah sedang duduk di ruang tamu, seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda di wajahnya. Ekspresi gelisah yang t
Harness: "Ada yang ingin kamu bicarakan, Jas?"Jasmine menarik napas panjang, berpikir sejenak sebelum akhirnya mengetik balasan.Jasmine: "Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Noah? Kenapa kamu selalu ada di sekitar dia, bahkan sampai sekarang?"Beberapa detik berlalu, lalu balasan datang dengan cepat.Harness: "Kamu harus siap untuk mendengarnya. Ada banyak yang nggak kamu ketahui, Jas."Jasmine menelan ludah, merasakan kekhawatiran yang semakin mendalam. Dia bisa merasakan bahwa ini bukan hanya sekedar pertanyaan sederhana. Ada rahasia yang jauh lebih besar di balik semua itu—rahasia yang bisa mengubah segalanya.Tanpa memberi tahu Noah, Jasmine memutuskan untuk bertemu dengan Harness, merasakan sebuah dorongan kuat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi antara mereka.Sore itu, Jasmine berjalan menyusuri jalan setapak menuju kafe yang sering digunakan oleh Harness untuk bertemu denga
Kata-kata itu seperti menampar wajah Noah. Sakit. Bahkan lebih sakit daripada yang dia kira. Namun, di balik rasa sakit itu, ada sebuah kebenaran yang sulit dia terima. “Aku... aku takut kehilangan kamu, Jas,” jawab Noah dengan suara pelan. “Aku tahu aku nggak sempurna, dan aku juga tahu aku punya banyak kesalahan. Tapi aku nggak ingin kamu pergi.”Jasmine menarik napas, rasanya ada banyak kata yang ingin dia ucapkan, tapi bibirnya terasa terbungkam. Semua perasaan itu berkecamuk dalam hatinya. “Kamu bisa bilang itu, Noah, tapi aku nggak tahu lagi mana yang lebih nyata—kamu atau kenanganmu tentang semua yang telah terjadi sebelumnya. Kamu nggak bisa terus menghubung-hubungkan aku dengan masa lalu kamu.”Noah terdiam, rasa frustrasi merayapi dirinya. Dia sudah berusaha menjaga semuanya tetap utuh, tapi ada banyak hal yang belum dia ceritakan pada Jasmine—rahasia yang lebih dalam dari yang dia kira. Tentang Oma, tentang Harness, tentang masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang.“Apa
“Kamu nggak perlu khawatir soal dia, Jas,” kata Noah tiba-tiba.Jasmine menoleh cepat. “Aku... nggak mikirin itu.”Noah menatap lurus ke arahnya, ekspresi serius. “Aku nggak bisa ngendaliin masa lalu. Tapi aku tahu siapa yang aku mau ada di masa depan.”Hening sesaat. Hanya suara angin dari jendela yang terbuka, menggoyang tirai tipis yang menggantung setengah kusam.“Aku nggak biasa dikasih kata-kata kayak gitu,” ucap Jasmine pelan.“Ya udah, aku ubah pakai bahasa teknik.”“Oh no.”Noah tersenyum kecil. “Kalau hubungan ini ibarat mesin, kamu tuh gear paling utama. Tanpa kamu, semua sistem nggak jalan.”Jasmine menahan tawa, tapi air matanya menggenang tanpa izin. “Kamu norak banget.”“Tapi berhasil bikin kamu nangis.”Dia menghapus air mata Jasmine dengan ibu jarinya, lembut, tidak memaksa.“Aku takut semua ini terlalu indah buat nyata,” bisik Jasmine. “Kita bahagia, lalu tiba-tiba...”Noah menggenggam tangannya, erat. “Aku juga takut. Tapi kita nggak harus jadi sempurna untuk jadi n
Noah yang mulai merasa ada yang aneh dengan pembicaraan ini menatap Harness dengan serius. "Apa yang kau maksud, Harness?" tanya Noah, suaranya mulai penuh dengan kecurigaan.Harness tidak langsung menjawab, melainkan menatap mereka berdua sejenak. "Mungkin ini saat yang tepat untuk lebih banyak memahami satu sama lain," jawabnya pelan, kemudian berbalik dan berjalan keluar dari ruangan.Noah menatapnya dengan tatapan bingung. "Ada apa dengan dia?" gumamnya pelan.Jasmine hanya diam, merasa semakin tertekan dengan keadaan yang semakin membingungkan. "Aku harus pergi," katanya dengan suara pelan, berbalik menuju pintu. "Aku tidak bisa terus seperti ini."Noah hendak mengejarnya, namun Jasmine sudah lebih dulu keluar dari ruangan. Perasaannya semakin kacau, tidak tahu harus bagaimana.Jasmine keluar dan berjalan cepat menuju taman belakang, menghindari tatapan Noah yang semakin membuatnya merasa tertekan. Ia tahu, ada sesuatu yang menghalangi hubungan mereka, tapi ia juga merasa seperti
Pagi itu terasa lebih sepi dari biasanya. Jasmine duduk di ruang tamu besar, tangan terlipat di atas meja, menatap pemandangan taman yang tampak redup karena hujan yang baru saja reda. Matanya terlihat kosong, seolah tidak ada hal yang benar-benar menarik perhatiannya. Namun, dalam diamnya itu, pikirannya penuh dengan kebingungan."Kenapa aku merasa seperti ini?" gumamnya pelan, meraba perasaannya yang semakin terhimpit oleh ketegangan yang ia ciptakan sendiri.Pintu ruang tamu terbuka perlahan, dan Noah muncul di ambang pintu. Ia menatap Jasmine dengan ekspresi cemas, tampak sedikit gelisah. "Jasmine," panggilnya, suara itu lembut, penuh kekhawatiran. "Kau baik-baik saja?"Jasmine menoleh pelan, namun tidak mengatakan apa-apa. "Aku baik-baik saja." Jawabnya, namun suaranya terdengar hampa, hampir tak ada gairah.Noah berjalan mendekat, menatap wajahnya dengan penuh perhatian. "Aku tahu kau bilang baik-baik saja, tapi..." Ia berhenti sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "K
“Jasmine, kau harus mendengarku,” suara Noah terdengar serak. Ia baru saja masuk ke ruang makan setelah berbicara dengan keluarganya. Jasmine sedang duduk di meja, menatap langit lewat jendela, tampak merenung dengan wajah yang jauh.Jasmine menoleh perlahan, matanya mengisyaratkan pertanyaan tanpa kata. "Ada apa, Noah?"Noah berjalan mendekat, duduk di sebelahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kau tampak berbeda belakangan ini. Ada yang mengganggumu?"Jasmine menghela napas, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku baik-baik saja." Ia berusaha tersenyum, meski senyum itu terasa terpaksa. "Hanya sedikit lelah."Noah menatapnya lebih dalam, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Jasmine, jangan menutupi perasaanmu dariku. Apa yang sebenarnya terjadi?"Jasmine mengalihkan pandangannya lagi ke luar jendela, mengamati riak-riak air di kolam. "Aku cuma merasa... cemas." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. "Kau tahu, aku datang ke sini dengan harapan bisa menjadi ba
Di sisi lain kota, Zora berdiri di depan cermin besar berbingkai emas di kamar utama rumah Dirgantara. Cermin itu telah menjadi saksi begitu banyak perubahan dalam hidupnya—dari wanita muda ambisius, menjadi istri dari pewaris kekaisaran bisnis, hingga kini... seorang istri yang mulai kehilangan pijakan. Ia merapikan blouse satin putih yang telah ia kenakan puluhan kali, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang makin lama makin sulit ditutupi.Matanya menatap pantulan diri dengan senyum yang hambar—senyum yang ia bentuk hanya sebagai formalitas sosial. Beberapa hari terakhir, gosip dan bisik-bisik di antara sosialita dan direksi perusahaan mulai membentuk luka kecil yang lambat tapi pasti merobek hatinya.Bukan hanya Noah yang berubah. Dunia pun ikut berputar, seolah tak ada tempat lagi untuknya. Mereka bilang Jasmine adalah ibu dari pewaris masa depan keluarga Dirgantara. Mereka menyambut wanita itu seolah-olah dia satu-satunya yang pantas berdiri di sisi Noah.Zora menggigit bibirnya