Zora berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya, ponselnya masih tergenggam erat di tangan. Wajahnya tegang, dan matanya menatap layar dengan penuh kecemasan.
Noah duduk di sofa, tangannya bertaut di depan wajah, berusaha tetap tenang meskipun suasana di ruangan itu sudah begitu penuh tekanan.
"Ayah mengatakan perusahaan mengalami krisis likuiditas," kata Zora akhirnya, suaranya bergetar. "Ada kesalahan besar dalam pembukuan keuangan, dan sekarang investor mulai mempertanyakan kestabilan perusahaan."
Noah menatapnya dengan tajam. "Apa maksudnya ada kesalahan dalam pembukuan? Apakah ini sesuatu yang bisa diperbaiki, atau ini lebih buruk dari yang kita kira?"
Zora menggeleng frustasi. "Aku tidak tahu. Tapi jika ayah meneleponku langsung, itu artinya situasinya benar-benar gawat."
Noah menarik napas dalam. "Berapa besar kerugiannya?"
Zora menggigit bibirnya, lalu
Malam menjelang dengan langit yang gelap pekat, awan mendung bergulung di atas kediaman keluarga Dirgantara. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah yang basah setelah gerimis sore.Jasmine berdiri di balkon kamarnya, menatap lampu-lampu kota di kejauhan, pikirannya masih penuh dengan apa yang dikatakan Noah tadi siang.Perusahaan yang selama ini dianggap sebagai warisan keluarga Zora ternyata dulunya milik ayahnya. Fakta itu masih sulit ia cerna. Jika benar, maka keluarganya telah dirampas dari hak mereka, dan kini ia mengerti mengapa begitu banyak hal terasa tidak adil selama ini.Langkah kaki berat terdengar mendekat. Jasmine menoleh, dan di ambang pintu, Noah berdiri dengan ekspresi penuh pertimbangan. Hujan mulai turun perlahan, butiran-butiran air jatuh ke lantai balkon, menciptakan ritme tenang di malam yang penuh ketegangan.“Noah?” panggil Jasmine pelan, melihat pria itu tetap
Malam itu, suasana di kediaman Dirgantara terasa lebih sunyi dari biasanya. Hujan yang mengguyur sejak sore masih menyisakan rintik gerimis yang membasahi halaman luas rumah megah itu. Di dalam, Jasmine duduk di ruang tamu, memandangi jendela besar yang menampilkan bayangan lampu-lampu taman yang berkilauan di permukaan tanah yang basah.Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian beberapa hari terakhir. Fakta bahwa perusahaan yang selama ini dikuasai keluarga Zora sebenarnya adalah warisan ayahnya masih sulit ia terima. Sejak kepergian Dursilla ke Beverly Hills, ketegangan di rumah ini belum mereda.Zora masih berusaha mempertahankan kebohongan, sementara Noah semakin menunjukkan keraguannya.Langkah kaki terdengar mendekat. Jasmine menoleh dan mendapati Noah berdiri di ambang pintu, mengenakan kemeja putih yang lengannya tergulung hingga siku. Tatapan pria itu tajam, tetapi ada sesuatu yang berbeda—seolah ada banya
Di rumah Dirgantara, Jasmine duduk di tepi ranjang, menatap dokumen yang berhasil ia sembunyikan dari perpustakaan. Ini adalah bukti pertama yang mengarah pada kebenaran tentang perusahaan ayahnya.Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka, dan Noah masuk tanpa mengetuk. Jasmine mendongak, sedikit terkejut."Ada apa?" tanyanya.Noah berjalan mendekat, lalu duduk di sebelahnya. "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja."Jasmine tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja, Noah. Tapi aku tahu badai akan segera datang."Noah menatapnya lama, lalu menghela napas dan meraih tangannya. "Apapun yang terjadi, aku tidak akan membiarkanmu menghadapi ini sendirian."Jasmine menatap tangan Noah yang menggenggam tangannya erat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada seseorang yang benar-benar ada untuknya.Tapi mereka tidak tahu bahwa di luar sana, Zora d
Malam itu, Jasmine duduk di dalam kamarnya, menatap kosong ke arah langit-langit. Perasaannya masih tidak tenagng pasca penculikan, dia tetap tinggal di rumah keluarga Dirgantara untuk menyusui bayinya.Namun, suasana di rumah ini semakin tegang. Zora semakin menunjukkan sikap bermusuhan, sementara Noah mulai bersikap lebih protektif terhadapnya. Tapi, di balik semua ini, Jasmine tahu satu hal, Zora tidak akan tinggal diam.Di luar kamar, langkah kaki terdengar. Noah muncul di ambang pintu dengan ekspresi serius. "Kau baik-baik saja?"Jasmine menoleh ke arahnya. "Untuk sekarang, ya. Tapi aku tahu ini tidak akan bertahan lama."Noah masuk dan menutup pintu di belakangnya. "Aku baru saja mendapat informasi dari orang kepercayaanku. Zora sedang merencanakan sesuatu."Jasmine mengerutkan keningnya. "Apa maksudmu?"Noah menghela napas panjang. "Aku belum tahu past
Malam terasa lebih dingin dari biasanya. Jasmine duduk di kursi kamarnya, menatap kosong pada secarik kertas berisi catatan transaksi lama yang diberikan Noah padanya. Fakta bahwa perusahaan Jorse Corp, yang seharusnya menjadi warisan ayahnya, telah berpindah tangan secara ilegal membuatnya sulit tidur.Pintu kamar diketuk. Noah masuk dengan ekspresi serius, membawa berkas tambahan yang baru saja ia dapatkan dari tim penyelidiknya."Aku menemukan sesuatu lagi," ucapnya sambil meletakkan berkas di atas meja.Jasmine menatap Noah dengan waspada. "Apa itu?"Noah menarik napas panjang sebelum menjelaskan, "Ada seseorang yang bisa menjadi saksi kunci. Dia adalah mantan asisten pribadi ayahmu, seseorang yang dulu sangat dekat dengannya sebelum semua ini terjadi."Jasmine mengerutkan kening. "Mantan asisten? Siapa namanya?"Noah membuka berkas itu dan menunjukkan se
Malam itu, hujan turun dengan deras, menciptakan suara gemuruh yang menggema di sepanjang jalanan kota. Di dalam rumah keluarga Dirgantara, suasana lebih sunyi dari biasanya.Jasmine duduk di kamarnya, menatap kosong pada dokumen yang diberikan oleh Sudrajat siang tadi. Tangannya menggenggam lembaran itu erat, seakan takut jika ia melepaskannya, kebenaran yang baru ia temukan akan lenyap begitu saja.Noah berdiri di dekat jendela, matanya menatap ke luar dengan ekspresi dingin yang sulit ditebak. “Aku sudah menghubungi tim investigasiku. Mereka akan mulai menelusuri lebih dalam tentang bagaimana perusahaan ayahmu berpindah tangan.”Jasmine mengangguk pelan, tetapi pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. “Aku masih sulit menerima semuanya, Noah. Fakta bahwa Roberto bukan hanya merebut perusahaan, tapi juga mungkin terlibat dalam kematian orang tuaku...”Noah mendekat, duduk di si
Hujan masih mengguyur deras saat Jasmine dan Noah berdiri di dalam gudang tua di pelabuhan. Di hadapan mereka, Sudrajat tampak lelah, tetapi matanya masih tajam, penuh dengan ketegangan dan ketakutan. Amplop cokelat yang ia serahkan kepada Jasmine terasa begitu berat di tangannya, seolah mengandung seluruh beban masa lalu yang selama ini tersembunyi.“Kalian harus pergi sekarang,” desis Sudrajat dengan suara tertahan. “Mereka pasti sudah tahu kalian ada di sini.”Noah mengangguk, tetapi sebelum mereka bisa bergerak, suara langkah kaki terdengar di luar gudang. Jasmine menahan napas, tangannya menggenggam amplop itu semakin erat. Noah meraih lengannya, memberi isyarat agar tetap diam.“Kita dikepung,” bisik Noah. “Jangan panik.”Sudrajat mundur perlahan, wajahnya semakin tegang. “Mereka pasti dikirim oleh Zora atau Roberto. Kita harus mencari jalan keluar lain.”Jasmine melirik sekeliling gudang yang mulai terasa semakin pengap. Jendela kecil di sudut ruangan tampak bisa menjadi jalan k
Hujan deras yang mengguyur kota sejak sore belum juga mereda. Gemericik air yang jatuh di jendela besar kamar Jasmine menciptakan ritme tenang yang kontras dengan gejolak di dalam hatinya. Setelah kejadian di pelabuhan, ia masih sulit untuk memejamkan mata. Pikiran tentang bukti yang kini berada di tangannya terus menghantui.Suara langkah kaki terdengar mendekat. Jasmine menoleh, dan di ambang pintu, Noah berdiri dengan tatapan tajam. Kemeja putihnya sedikit basah, rambutnya masih lembab akibat hujan.Ada sesuatu dalam sorot matanya yang berbeda malam ini—sesuatu yang lebih dalam dan sulit dijelaskan.“Kau masih terjaga,” gumam Noah seraya melangkah masuk.Jasmine mengangguk, menarik selimutnya lebih erat. “Aku tidak bisa tidur.”Noah menutup pintu, berjalan mendekat lalu duduk di sisi ranjang. “Aku juga.”Sejenak, hanya suara hujan yang mengisi keheningan di antara mereka. Jasmine menatap ke luar jendela, pikirannya masih berkecamuk. Tapi begitu Noah menyentuh tangannya, kehangatan
Noah menghela napas panjang, merasa bahwa setiap kata yang dia ucapkan kini terasa seperti beban yang tak bisa dilepaskan. “Jas, kamu harus tahu bahwa aku nggak ingin kamu merasa terjebak di dalam ini. Aku berjanji aku akan menceritakan semuanya.”Jasmine menunduk, matanya terpejam untuk menenangkan diri. “Aku nggak tahu, Noah. Aku... aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya.”Noah merasakan hatinya hancur melihat Jasmine seperti itu. Tidak ada kata-kata yang bisa menghibur hatinya yang terluka. Apa yang bisa dia lakukan? Dia sudah berusaha, tapi kenyataannya selalu saja menghalanginya.“Jas,” Noah berkata pelan, hampir berbisik. “Aku akan melakukan apapun untuk kita. Aku janji.”Jasmine hanya mengangguk lemah, tak mampu berkata apa-apa lagi.Sore itu, keduanya terdiam, terjebak dalam perasaan yang tak bisa diungkapkan. Jasmine merasa hatinya terperangkap dalam labirin perasaan yang tak jelas arah tu
Hari itu terasa begitu berat bagi Jasmine. Setiap langkah yang diambil seolah terhenti oleh pikiran yang terus berputar dalam benaknya—semua yang baru saja dia dengar dari Harness. Kebenaran yang mengerikan itu seakan-akan merobek setiap potongan kenyamanan yang selama ini dia percayai. Bahwa dia—Jasmine Ayu Kartika—mungkin bukan siapa-siapa dalam dunia yang begitu besar dan rumit ini, hanya menjadi bagian dari sebuah rahasia yang lebih besar daripada dirinya sendiri.Dia mencoba untuk menenangkan diri, mengatur napas, namun setiap detik yang berlalu hanya menambah beban di dadanya. Ketika akhirnya dia sampai di rumah, rasanya seperti langkahnya terhambat oleh sesuatu yang tak terlihat. Rumah itu, yang biasanya memberikan rasa aman, kini terasa penuh dengan ketegangan. Semua kenyamanan itu hilang begitu saja setelah apa yang dia ketahui.Noah sedang duduk di ruang tamu, seperti biasa, namun ada sesuatu yang berbeda di wajahnya. Ekspresi gelisah yang t
Harness: "Ada yang ingin kamu bicarakan, Jas?"Jasmine menarik napas panjang, berpikir sejenak sebelum akhirnya mengetik balasan.Jasmine: "Apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Noah? Kenapa kamu selalu ada di sekitar dia, bahkan sampai sekarang?"Beberapa detik berlalu, lalu balasan datang dengan cepat.Harness: "Kamu harus siap untuk mendengarnya. Ada banyak yang nggak kamu ketahui, Jas."Jasmine menelan ludah, merasakan kekhawatiran yang semakin mendalam. Dia bisa merasakan bahwa ini bukan hanya sekedar pertanyaan sederhana. Ada rahasia yang jauh lebih besar di balik semua itu—rahasia yang bisa mengubah segalanya.Tanpa memberi tahu Noah, Jasmine memutuskan untuk bertemu dengan Harness, merasakan sebuah dorongan kuat untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi antara mereka.Sore itu, Jasmine berjalan menyusuri jalan setapak menuju kafe yang sering digunakan oleh Harness untuk bertemu denga
Kata-kata itu seperti menampar wajah Noah. Sakit. Bahkan lebih sakit daripada yang dia kira. Namun, di balik rasa sakit itu, ada sebuah kebenaran yang sulit dia terima. “Aku... aku takut kehilangan kamu, Jas,” jawab Noah dengan suara pelan. “Aku tahu aku nggak sempurna, dan aku juga tahu aku punya banyak kesalahan. Tapi aku nggak ingin kamu pergi.”Jasmine menarik napas, rasanya ada banyak kata yang ingin dia ucapkan, tapi bibirnya terasa terbungkam. Semua perasaan itu berkecamuk dalam hatinya. “Kamu bisa bilang itu, Noah, tapi aku nggak tahu lagi mana yang lebih nyata—kamu atau kenanganmu tentang semua yang telah terjadi sebelumnya. Kamu nggak bisa terus menghubung-hubungkan aku dengan masa lalu kamu.”Noah terdiam, rasa frustrasi merayapi dirinya. Dia sudah berusaha menjaga semuanya tetap utuh, tapi ada banyak hal yang belum dia ceritakan pada Jasmine—rahasia yang lebih dalam dari yang dia kira. Tentang Oma, tentang Harness, tentang masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang.“Apa
“Kamu nggak perlu khawatir soal dia, Jas,” kata Noah tiba-tiba.Jasmine menoleh cepat. “Aku... nggak mikirin itu.”Noah menatap lurus ke arahnya, ekspresi serius. “Aku nggak bisa ngendaliin masa lalu. Tapi aku tahu siapa yang aku mau ada di masa depan.”Hening sesaat. Hanya suara angin dari jendela yang terbuka, menggoyang tirai tipis yang menggantung setengah kusam.“Aku nggak biasa dikasih kata-kata kayak gitu,” ucap Jasmine pelan.“Ya udah, aku ubah pakai bahasa teknik.”“Oh no.”Noah tersenyum kecil. “Kalau hubungan ini ibarat mesin, kamu tuh gear paling utama. Tanpa kamu, semua sistem nggak jalan.”Jasmine menahan tawa, tapi air matanya menggenang tanpa izin. “Kamu norak banget.”“Tapi berhasil bikin kamu nangis.”Dia menghapus air mata Jasmine dengan ibu jarinya, lembut, tidak memaksa.“Aku takut semua ini terlalu indah buat nyata,” bisik Jasmine. “Kita bahagia, lalu tiba-tiba...”Noah menggenggam tangannya, erat. “Aku juga takut. Tapi kita nggak harus jadi sempurna untuk jadi n
Noah yang mulai merasa ada yang aneh dengan pembicaraan ini menatap Harness dengan serius. "Apa yang kau maksud, Harness?" tanya Noah, suaranya mulai penuh dengan kecurigaan.Harness tidak langsung menjawab, melainkan menatap mereka berdua sejenak. "Mungkin ini saat yang tepat untuk lebih banyak memahami satu sama lain," jawabnya pelan, kemudian berbalik dan berjalan keluar dari ruangan.Noah menatapnya dengan tatapan bingung. "Ada apa dengan dia?" gumamnya pelan.Jasmine hanya diam, merasa semakin tertekan dengan keadaan yang semakin membingungkan. "Aku harus pergi," katanya dengan suara pelan, berbalik menuju pintu. "Aku tidak bisa terus seperti ini."Noah hendak mengejarnya, namun Jasmine sudah lebih dulu keluar dari ruangan. Perasaannya semakin kacau, tidak tahu harus bagaimana.Jasmine keluar dan berjalan cepat menuju taman belakang, menghindari tatapan Noah yang semakin membuatnya merasa tertekan. Ia tahu, ada sesuatu yang menghalangi hubungan mereka, tapi ia juga merasa seperti
Pagi itu terasa lebih sepi dari biasanya. Jasmine duduk di ruang tamu besar, tangan terlipat di atas meja, menatap pemandangan taman yang tampak redup karena hujan yang baru saja reda. Matanya terlihat kosong, seolah tidak ada hal yang benar-benar menarik perhatiannya. Namun, dalam diamnya itu, pikirannya penuh dengan kebingungan."Kenapa aku merasa seperti ini?" gumamnya pelan, meraba perasaannya yang semakin terhimpit oleh ketegangan yang ia ciptakan sendiri.Pintu ruang tamu terbuka perlahan, dan Noah muncul di ambang pintu. Ia menatap Jasmine dengan ekspresi cemas, tampak sedikit gelisah. "Jasmine," panggilnya, suara itu lembut, penuh kekhawatiran. "Kau baik-baik saja?"Jasmine menoleh pelan, namun tidak mengatakan apa-apa. "Aku baik-baik saja." Jawabnya, namun suaranya terdengar hampa, hampir tak ada gairah.Noah berjalan mendekat, menatap wajahnya dengan penuh perhatian. "Aku tahu kau bilang baik-baik saja, tapi..." Ia berhenti sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "K
“Jasmine, kau harus mendengarku,” suara Noah terdengar serak. Ia baru saja masuk ke ruang makan setelah berbicara dengan keluarganya. Jasmine sedang duduk di meja, menatap langit lewat jendela, tampak merenung dengan wajah yang jauh.Jasmine menoleh perlahan, matanya mengisyaratkan pertanyaan tanpa kata. "Ada apa, Noah?"Noah berjalan mendekat, duduk di sebelahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kau tampak berbeda belakangan ini. Ada yang mengganggumu?"Jasmine menghela napas, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku baik-baik saja." Ia berusaha tersenyum, meski senyum itu terasa terpaksa. "Hanya sedikit lelah."Noah menatapnya lebih dalam, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Jasmine, jangan menutupi perasaanmu dariku. Apa yang sebenarnya terjadi?"Jasmine mengalihkan pandangannya lagi ke luar jendela, mengamati riak-riak air di kolam. "Aku cuma merasa... cemas." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. "Kau tahu, aku datang ke sini dengan harapan bisa menjadi ba
Di sisi lain kota, Zora berdiri di depan cermin besar berbingkai emas di kamar utama rumah Dirgantara. Cermin itu telah menjadi saksi begitu banyak perubahan dalam hidupnya—dari wanita muda ambisius, menjadi istri dari pewaris kekaisaran bisnis, hingga kini... seorang istri yang mulai kehilangan pijakan. Ia merapikan blouse satin putih yang telah ia kenakan puluhan kali, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang makin lama makin sulit ditutupi.Matanya menatap pantulan diri dengan senyum yang hambar—senyum yang ia bentuk hanya sebagai formalitas sosial. Beberapa hari terakhir, gosip dan bisik-bisik di antara sosialita dan direksi perusahaan mulai membentuk luka kecil yang lambat tapi pasti merobek hatinya.Bukan hanya Noah yang berubah. Dunia pun ikut berputar, seolah tak ada tempat lagi untuknya. Mereka bilang Jasmine adalah ibu dari pewaris masa depan keluarga Dirgantara. Mereka menyambut wanita itu seolah-olah dia satu-satunya yang pantas berdiri di sisi Noah.Zora menggigit bibirnya