Sore itu, semua media besar berkumpul di aula konferensi Dirgantara Corp. Para jurnalis sudah menyiapkan kamera dan alat perekam mereka. Suasana tegang menyelimuti ruangan, semua orang menunggu sosok yang akan berbicara di depan publik.
Saat akhirnya pintu terbuka, Oma Dursilla melangkah masuk dengan langkah tegap dan wajah penuh wibawa.
Para wartawan langsung menyerbu dengan berbagai pertanyaan. Namun, Dursilla mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka diam. Dengan tenang, ia berdiri di depan mikrofon dan mulai berbicara.
"Saya adalah Dursilla Dirgantara, dan hari ini saya akan mengungkapkan kebenaran yang selama ini tersembunyi."
Ruangan langsung hening. Semua mata tertuju pada wanita tua yang penuh kharisma itu.
"Selama ini, saya membiarkan beberapa hal terjadi karena saya ingin melihat bagaimana mereka bertindak. Namun, kini sudah waktunya kebenaran terungkap. Zora tidak pernah men
Oma Dursilla duduk di ruang konferensi pers dengan ekspresi tenang namun berwibawa. Di hadapannya, puluhan wartawan dari berbagai media bersiap dengan kamera dan alat rekam.Hari ini, kebenaran yang selama ini tersimpan rapat akan diungkapkan ke publik.Sementara itu, di kediaman Dirgantara, Noah dan Jasmine duduk di depan layar televisi, menyaksikan siaran langsung yang akan mengubah segalanya. Ketegangan terasa di antara mereka, tetapi ada kepercayaan yang kuat bahwa ini adalah langkah yang harus diambil.“Para hadirin sekalian, saya Dursilla Dirgantara, akan memberikan klarifikasi terkait polemik yang selama ini beredar,” ujar Oma Dursilla dengan nada mantap. “Selama bertahun-tahun, keluarga Dirgantara menyembunyikan kebenaran mengenai pernikahan cucu saya, Noah Dirgantara, dengan Zora.”Para wartawan langsung berbisik-bisik, beberapa bahkan mulai mencatat dengan cepat.Oma Dursil
Suasana di kediaman Dirgantara kembali memanas setelah konferensi pers yang dilakukan oleh Oma Dursilla. Pengungkapan besar-besaran itu membuat media geger, publik heboh, dan yang paling terpukul adalah Zora. Wanita itu kini berada dalam pusaran masalah yang semakin sulit ia kendalikan.Zora berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya, tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Pikirannya berputar cepat, mencoba mencari jalan keluar dari kekacauan yang kini menelannya."Tidak! Ini tidak boleh terjadi!" gumamnya dengan suara bergetar. Ia mengangkat ponselnya dan menekan nomor Juan. "Kau harus membantuku, Juan. Kita harus membalikkan keadaan sebelum semuanya terlambat."Juan yang berada di apartemennya hanya mendengus kecil. "Zora, aku sudah memperingatkanmu sejak awal. Kau bermain terlalu jauh, dan sekarang, kau mulai kehilangan kendali.""Aku tidak peduli!" Zora berteriak frustrasi. "Aku
Noah menatap layar ponselnya dengan rahang mengeras. Berita tentang pernyataan pers yang dibuat oleh Oma Dursilla telah menyebar dengan cepat. Media menggempur keluarga Dirgantara dengan berbagai pertanyaan. Tak hanya itu, berbagai spekulasi mulai bermunculan mengenai kebenaran hubungan Noah dan Jasmine."Kita harus segera bertindak," ucap Noah tegas, meletakkan ponselnya di meja.Jasmine yang duduk di sampingnya menatapnya dengan cemas. "Apa yang bisa kita lakukan sekarang?""Kita perlu memperkuat posisi kita di hadapan media. Oma Dursilla sudah mengambil langkah besar dengan mengungkapkan semuanya, sekarang tugas kita adalah memastikan publik tahu siapa yang sebenarnya berbohong."Jasmine mengangguk, meski di dalam hatinya ada sedikit kekhawatiran. Semua ini terasa terlalu cepat dan mendadak. Namun, ia sadar bahwa tidak ada jalan lain selain maju ke depan.Di tempat lain, Zora
“Kau pikir ini sudah berakhir, Jasmine?” bisiknya sambil meraih ponselnya.Ia mengetik sebuah pesan singkat dan mengirimnya ke nomor misterius. Beberapa detik kemudian, ponselnya bergetar, dan sebuah balasan muncul."Target dikunci. Siap eksekusi kapan saja." Zora menatap layar dengan senyum penuh kemenangan.Pertarungan ini baru saja dimulai, dan kali ini, ia akan memastikan Jasmine tidak punya tempat untuk bersembunyi.Malam telah larut ketika Jasmine duduk di tepi ranjangnya, menatap layar ponselnya dengan tatapan kosong. Berita mengenai konferensi pers Noah masih terus menjadi sorotan utama di berbagai media. Reaksi publik mulai terpecah; ada yang mulai memahami situasi sebenarnya, tetapi tak sedikit pula yang masih memihak Zora.Noah masuk ke kamar dengan ekspresi serius. Ia meletakkan jasnya di sandaran kursi lalu mendekati Jasmine. “Kau harus tidur, Jas.
Di tempat lain, seseorang duduk di dalam mobil hitam yang terparkir di seberang kediaman Noah dan Jasmine. Orang itu menyalakan ponselnya, membuka sebuah pesan dari Zora."Pastikan mereka tidak bisa bernapas lega."Orang itu tersenyum samar sebelum mengetik balasan. "Segera."Beberapa detik kemudian, ponselnya kembali bergetar. Kali ini, sebuah instruksi tambahan muncul. "Kita buat mereka takut dulu. Aku ingin mereka tahu bahwa mereka tidak akan pernah bisa hidup tenang."Pria itu mengangkat kamera kecilnya, mengarahkannya ke rumah Noah dan Jasmine, lalu menekan tombol rekam. Dengan wajah tanpa ekspresi, ia mengirimkan video itu langsung ke nomor Zora.Zora menerima video itu dan tersenyum puas. Ia menatap layar dengan mata penuh kelicikan, lalu menekan tombol play. Video itu menampilkan Jasmine yang sedang menimang anaknya di ruang tamu, sementara Noah tampak berbicara dengan seseorang di telepon.Zora memiringkan kepala, jemarinya menelusuri layar ponselnya perlahan. “Lihat betapa b
"Jasmine, kau yakin tidak ingin beristirahat lebih lama?" suara Noah terdengar lembut, tetapi ada nada kekhawatiran yang jelas dalam nada bicaranya. Ia berdiri di ambang pintu kamar mereka, melihat Jasmine yang tengah mengayun-ayunkan bayi mereka di dalam dekapan.Jasmine tersenyum kecil, tetapi ada sedikit kelelahan di matanya. "Aku baik-baik saja, Noah. Aku hanya ingin memastikan dia tidur nyenyak."Noah mendekat, duduk di sisi Jasmine di tepi tempat tidur. Matanya mengamati bayinya yang perlahan-lahan terpejam dengan napas tenang. Tangannya terulur, menyentuh lembut punggung Jasmine sebelum beralih ke kepala bayi mereka. "Aku hanya tidak ingin kau terlalu lelah. Kau baru saja melalui begitu banyak hal."Jasmine menghela napas, menyandarkan kepalanya ke bahu Noah. "Aku tahu. Tapi aku merasa lebih tenang kalau berada di dekatnya."Noah tidak membantah. Sebagai seorang ayah, ia pun merasakan hal yang
Malam semakin larut, tetapi kediaman Noah dan Jasmine masih terang benderang. Jasmine duduk di sofa ruang tamu, menatap layar ponselnya dengan perasaan tak menentu. Sejak ancaman yang mereka terima, perasaannya menjadi tidak tenang. Sesekali ia melirik ke arah bayi mereka yang tertidur lelap di dalam boks, wajah mungilnya begitu damai seakan tidak menyadari kekacauan yang sedang terjadi di sekitar mereka.Noah yang berdiri di dekat jendela menatap ke luar dengan sorot mata tajam. Sistem keamanan rumah ini sudah diperketat sejak insiden kemarin, tetapi firasatnya tetap tidak bisa tenang. Ia tahu Zora tidak akan berhenti begitu saja, dan itu membuatnya semakin waspada."Kau masih memikirkan ancaman itu?" tanya Noah, berjalan mendekati Jasmine dan duduk di sampingnya.Jasmine mengangguk pelan. "Aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja, Noah. Aku merasa mereka mengawasi kita setiap saat."Noah menghela
Malam telah larut ketika Noah akhirnya tiba di rumah setelah seharian berkutat dengan pekerjaan di perusahaan. Cahaya lampu di ruang tamu masih menyala, memberikan suasana hangat yang menyambutnya. Langkah kakinya ringan ketika ia melepas jas dan menggantungnya di dekat pintu. Keheningan di rumah itu hanya ditemani oleh suara jam dinding yang berdetak pelan.Jasmine sedang duduk di sofa dengan secangkir teh di tangannya. Matanya yang semula fokus pada layar ponsel segera beralih begitu melihat Noah berjalan mendekat. Wajahnya masih menyiratkan kelelahan, tetapi ada kehangatan dalam tatapannya."Kau pulang lebih larut dari biasanya," ucap Jasmine pelan.Noah menghela napas dan duduk di sampingnya. "Ada beberapa laporan yang harus kuselesaikan. Aku ingin memastikan semuanya beres sebelum akhir pekan."Jasmine tersenyum kecil, kemudian menyandarkan kepalanya ke bahu Noah. "Jangan terlalu memaksakan diri
Di sisi lain kota, Zora berdiri di depan cermin besar berbingkai emas di kamar utama rumah Dirgantara. Cermin itu telah menjadi saksi begitu banyak perubahan dalam hidupnya—dari wanita muda ambisius, menjadi istri dari pewaris kekaisaran bisnis, hingga kini... seorang istri yang mulai kehilangan pijakan. Ia merapikan blouse satin putih yang telah ia kenakan puluhan kali, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang makin lama makin sulit ditutupi.Matanya menatap pantulan diri dengan senyum yang hambar—senyum yang ia bentuk hanya sebagai formalitas sosial. Beberapa hari terakhir, gosip dan bisik-bisik di antara sosialita dan direksi perusahaan mulai membentuk luka kecil yang lambat tapi pasti merobek hatinya.Bukan hanya Noah yang berubah. Dunia pun ikut berputar, seolah tak ada tempat lagi untuknya. Mereka bilang Jasmine adalah ibu dari pewaris masa depan keluarga Dirgantara. Mereka menyambut wanita itu seolah-olah dia satu-satunya yang pantas berdiri di sisi Noah.Zora menggigit bibirnya
Jasmine kembali terdiam, pikirannya kembali ke masa lalu. Setelah percakapan emosional itu, Jasmine dan Noah duduk di balkon rumah kecil itu. Hujan masih turun, tapi lebih ringan.“Aku tidak bisa janji semua akan mudah,” kata Noah, menatap gelap malam.“Aku tidak minta mudah,” balas Jasmine. “Aku cuma mau tahu... kamu akan ada di sini. Meski saat aku marah. Saat aku takut. Saat aku ragu.”Noah menoleh, lalu menyentuh perut Jasmine yang membulat.“Aku akan ada. Untuk kamu. Untuk dia.”Dan di bawah langit yang masih menangis, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Jasmine merasakan tenang. Bukan karena semua masalah selesai. Tapi karena ia tahu—ia tak lagi sendiri.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Jasmine menoleh. Noah muncul dari balik pintu kamar, membawa selimut tambahan dan termos susu.“Sudah tidur?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk. “Baru saja.”Noah berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. Ia menatap bayi mereka, lalu mencium kening Jasmine.“Aku suka malam h
“Waktu kadang menyembuhkan luka, tapi ada jenis luka yang justru membuat kita ingin kembali… hanya untuk memastikan bahwa semuanya memang layak diperjuangkan.”Suara rintik hujan yang menghantam jendela terdengar bagai irama pilu yang menggema di seluruh ruangan. Lampu kamar menyala temaram. Di pelukannya, seorang bayi kecil tertidur dengan damai, napasnya ringan, dadanya naik turun perlahan.Jasmine duduk di kursi goyang dekat jendela, membiarkan matanya tertumbuk pada kegelapan malam di luar sana. Tangannya membelai lembut punggung bayi itu, tapi pikirannya melayang jauh… menuju malam hujan yang sama, tujuh bulan lalu. Malam yang ia kira hanya akan berakhir sebagai luka.Tujuh bulan sebelumnya.Rumah kecil tempat ia tinggal bersama Nina untuk sementara waktu terasa terlalu sunyi malam itu. Angin mengetuk jendela loteng dengan kasar. Jasmine memegangi perutnya yang membuncit—usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh, dan setiap gerakan kecil dari dalam kandungannya menjadi pengingat ba
Sore itu, langit di atas rumah kaca menyimpan gradasi warna yang murung. Biru kelabu berbaur dengan oranye pucat, seolah alam pun ikut menyesali semua yang telah terjadi. Angin menyusup masuk lewat sela-sela jendela, membawa aroma bunga melati yang hampir layu. Jasmine berdiri di dekat balkon dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan udara terlalu dingin untuk ditahan, padahal sebenarnya yang dingin adalah hatinya.Sudah berapa lama ia terjebak dalam pusaran luka yang tak pernah benar-benar bisa ia benahi? Sejak pertama kali menerima tawaran menjadi ibu pengganti, hidupnya seperti berubah menjadi cerita yang tak ia kenali.Noah mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin mengganggu, tapi juga tak sanggup menahan keinginannya untuk bicara. Jasmine tahu dia datang—ia bisa mencium aroma parfum kayu cendana lembut yang biasa Noah pakai. Tapi ia tetap diam, masih terpaku menatap taman kecil yang mulai gelap.“Aku boleh bicara?” tanya Noah perlahan.Kepala Jasmine m
Langit Arenia berwarna keperakan pagi itu, menyelimuti kota dalam cahaya mendung yang lembut. Gedung pusat kebijakan internasional yang menjulang di jantung distrik Saphira tampak megah. Di dalamnya, ratusan kursi telah tertata rapi, mikrofon disiapkan, dan layar besar menampilkan satu kalimat: Forum Etika Global untuk Ibu Pengganti dan Hak Anak.Di kursi utama, Jasmine duduk tenang mengenakan setelan biru tua dengan aksen perak. Tak ada perhiasan mencolok, hanya liontin kecil yang tergantung di lehernya—hadiah terakhir dari ibunya, Sylvia. Di sampingnya, Noah dan Kiara mempersiapkan presentasi utama, sedangkan Evan memantau keamanan data dan jaringan digital.Forum ini bukan sekadar acara simbolik. Jasmine—dengan dukungan penuh dari Project Axis—berinisiatif mengadakan forum ini setelah tekanan internasional terhadap praktik kontrak ibu pengganti yang tidak adil mulai meningkat, menyusul pengakuannya dan penyelidikan terhadap Levara Group.“Sepuluh negara sudah mengirim delegasi,” la
Noah menoleh pada Jasmine. “Apa kamu siap jika Leonhart muncul kembali?”Jasmine menjawab pelan, tapi tegas, “Aku siap. Karena aku tidak lagi melawannya sendirian.”Dan hari itu, suara seorang ibu menggetarkan kota Arenia. Bukan dengan amarah. Tapi dengan keberanian yang lahir dari kasih.Hanya dua hari setelah pidato Jasmine mengguncang Arenia, dampaknya terasa seperti ombak besar yang menyapu seluruh jagat media. Hashtag #IbuUntukZai telah menembus tren global. Wawancara dari pakar hukum, aktivis perempuan, hingga influencer keluarga membanjiri lini masa dengan satu suara: Jasmine layak mendapatkan keadilan.Tapi di tengah dukungan itu, ada kekuatan yang bergerak diam-diam. Di ruang pertemuan bawah tanah sebuah kantor legal internasional di Kairo, seorang pria berambut perak duduk di ujung meja panjang. Ia mengenakan jas gelap yang pas, dan di tangan kirinya ada cincin berlambang burung hitam bersayap patah.Leonhart.“Jadi, gadis kecil itu sekarang memanfaatkan simpati publik?” uca
Matahari Arenia naik perlahan, memantulkan sinarnya pada jendela-jendela kaca yang berbaris rapi di gedung-gedung pusat kota. Tapi pagi itu, sorotan media bukan tertuju pada kemegahan bangunan atau kecanggihan teknologi kota modern tersebut. Fokus mereka adalah satu wanita muda yang berdiri di balik podium sederhana—Jasmine Ayu Kartika.Dalam balutan blazer putih yang elegan namun sederhana, Jasmine berdiri dengan tegak, wajahnya tenang. Di hadapannya, puluhan kamera dari berbagai media siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulutnya. Suasana di luar gedung forum publik Arenia benar-benar hening untuk sesaat.“Terima kasih telah datang. Hari ini, saya berdiri bukan sebagai tokoh besar, bukan sebagai pemegang saham, bukan pula sebagai pion dalam perang kekuasaan,” ucap Jasmine membuka pidatonya. “Saya berdiri sebagai seorang ibu.”Beberapa wartawan langsung mengambil gambar, beberapa lainnya menunduk menulis cepat. Kata-kata Jasmine tajam, sederhana, dan langsung menancap ke hati
“Saya tidak berdiri di sini sebagai wanita sempurna,” ucapnya. “Saya bukan pahlawan. Tapi saya tahu, saya adalah seorang ibu. Dan tidak ada kontrak, manipulasi, atau rekayasa hukum yang bisa menghapus cinta seorang ibu dari hatinya.”Ia menatap langsung ke hakim. “Saya tidak meminta apa pun selain kesempatan untuk memeluk anak saya... dan membesarkannya tanpa harus bersembunyi.”Hening menyelimuti ruangan.Hakim mengangguk. “Saya akan memberi putusan sore ini.”Sore itu, seluruh ruangan kembali berkumpul. Cahaya matahari mulai menguning, menandai hari yang panjang akan segera berakhir.Hakim berdiri, membawa map berisi keputusan.“Setelah mempertimbangkan bukti tertulis, kesaksian di bawah sumpah, serta laporan psikologis anak... pengadilan menyatakan bahwa hak asuh penuh atas anak dengan inisial ZJ diberikan kepada Ny. Jasmine Jorse.”Terdengar isakan tertahan dari sisi pendukung Jasmine.Hakim melanjutkan, “Dengan supervisi kunjungan yang diatur terhadap pihak Ny. Zora Dirgantara, s
“Apakah Anda menyangkal bahwa Anda memalsukan keterangan medis Jasmine pasca melahirkan?” tanya hakim tegas.Zora tidak menjawab. Ia hanya menunduk.Noah akhirnya berdiri. “Yang Mulia, saya juga ingin berbicara. Saya sudah cukup lama diam. Tapi hari ini, saya berdiri bukan hanya sebagai ayah, tapi sebagai pria yang menyaksikan semua ketidakadilan ini.”Ia menatap Jasmine sebentar, lalu melanjutkan. “Anak saya... tidak boleh tumbuh besar dalam kebohongan. Ia berhak tahu siapa ibunya. Ia berhak dipeluk dan dicintai tanpa batas. Saya mendukung Jasmine. Bukan karena kami pernah mencintai. Tapi karena... tidak ada ibu yang lebih layak.”Ketika sidang diskors untuk makan siang, kabar dari dalam pengadilan sudah bocor ke media. Tagar #JusticeForJasmine dan #HakAsuhZai mulai trending di media sosial.Di luar gedung, para pendukung mulai berkumpul. Beberapa bahkan membawa papan bertuliskan “Seorang Ibu Adalah Ibu” dan “Zai Berhak Tahu Kebenaran.”Zora keluar lewat pintu samping, wajahnya ditut