Malam datang lebih cepat dari biasanya. Langit mendung menutup remang senja, seolah menandai bahwa sesuatu yang besar akan terjadi. Di ruang kerja keluarga Dirgantara, suasana terasa seperti di ujung pisau. Sunyi, namun penuh ketegangan yang menggantung di udara.Noah duduk di sisi kanan meja panjang, sementara Jasmine berdiri di dekat jendela, kedua tangannya saling menggenggam erat. Di antara mereka, sebuah amplop cokelat besar dengan segel laboratorium tergeletak di atas meja—hasil tes DNA yang diminta Noah secara diam-diam dengan perantara seorang dokter kenalan Bibi Ayu.Mata mereka sama-sama tertuju pada amplop itu. Tak ada satu pun yang bicara, seolah kalimat apa pun akan jadi pemicu kehancuran.“Aku bisa buka sendiri kalau kamu belum siap,” suara Noah pelan tapi berat.Jasmine menggeleng. “Aku mau tahu juga. Kita harus tahu bersama. Apa pun hasilnya... kita hadapi bareng.”Noah mengangguk, lalu dengan tangan sedikit gemetar, ia merobek segel amplop itu dan mengeluarkan lembara
Pagi menyelimuti rumah keluarga Dirgantara dengan kesunyian yang tak biasa. Udara sejuk terasa lebih dingin, atau mungkin hanya karena suasana hati Noah yang kini tengah terombang-ambing antara tekad dan kebingungan. Ia berdiri di beranda, menatap taman belakang tempat Jasmine sering menyendiri. Pikirannya masih tertambat pada satu nama: Ayunda.Ia tahu jika ingin mengakhiri semua dugaan dan bisik-bisik, ia harus menggali lebih dalam. Tapi untuk itu, ia butuh sesuatu yang lebih dari sekadar cerita Pak Hartawan atau kilasan foto tua. Ia butuh bukti. Fakta.Saat ia berbalik untuk masuk ke dalam rumah, langkahnya terhenti ketika melihat seseorang yang tidak ia duga berdiri di dekat pintu ruang tamu.“Bibi Ayu?” gumamnya, nyaris tidak percaya.Wanita paruh baya dengan mata tajam dan aura tenang itu tersenyum kecil. “Sudah lama, Noah.”Noah cepat-cepat melangkah menghampiri. “Kenapa... kenapa Bibi datang tanpa memberi kabar? Apa Bibi tahu soal Ayunda?”Bibi Ayu mengangguk pelan. “Itulah ke
Langit mendung menaungi siang itu, seolah menyerap seluruh kegelisahan yang memenuhi rumah besar keluarga Dirgantara. Jasmine duduk di kamar, memandangi ponselnya yang tak kunjung memberi kabar. Ia tahu Noah sedang menemui seseorang di luar—katanya, untuk mencari kejelasan soal masa lalu yang terus menghantui mereka. Tapi kenapa hatinya terus merasa gelisah?Pintu kamar diketuk. Jasmine bangkit, membuka perlahan. Oma Dursila berdiri di ambang pintu dengan raut wajah netral, hampir datar. Jasmine menegakkan tubuhnya, bersikap sopan meski dadanya berdegup cepat.“Boleh aku masuk?” tanya Oma, tanpa banyak basa-basi.“Tentu, Oma. Silakan duduk,” jawab Jasmine, sedikit kaku.Oma melangkah masuk, duduk di kursi dekat jendela. “Kita jarang bicara empat mata, ya, Jasmine?”Jasmine menelan ludah. “Mungkin... karena suasananya tidak pernah benar-benar nyaman untuk itu.”Senyum tipis muncul di wajah Oma, namun matanya tetap tajam. “Kamu wanita pintar. Dan kamu tahu, Jasmine... aku hanya ingin me
Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Jasmine berdiri di teras rumah, memandang taman yang masih diselimuti embun. Di tangannya, secangkir teh hangat yang sesekali ia teguk untuk mengusir gundah. Semalaman ia tidak bisa tidur nyenyak. Pikirannya masih berputar-putar memikirkan perkataan Noah semalam.Langkah Noah terdengar mendekat. Jasmine menoleh dan mendapati suaminya berdiri di belakangnya dengan senyum samar.“Pagi,” sapa Noah pelan.Jasmine mengangguk kecil. “Pagi...”Noah berjalan mendekat, menempatkan dirinya di samping Jasmine. “Masih kepikiran soal Oma?”Jasmine menghela napas panjang. “Bukan cuma soal Oma... tapi semua yang kamu bilang semalam. Tentang dugaan itu...”Noah mengusap tengkuknya dengan gelisah. “Jas, aku tahu ini berat buat kamu. Aku juga masih nggak percaya Oma bisa berpikir sejauh itu. Tapi... aku nggak akan biarkan ada yang memisahkan kita.”Jasmine menunduk, menatap teh yang mulai mendingin. “Aku nggak ngerti... kenapa Oma bisa punya pikiran se
Malam itu, Jasmine duduk di kamar sambil memandangi jendela. Pikirannya terus berkecamuk sejak Noah kembali dari berbicara dengan Oma. Perasaan tidak nyaman seolah menyelimuti seluruh tubuhnya.Ada apa dengan Noah? pikirnya.Suara pintu terbuka perlahan. Noah masuk dengan langkah berat, wajahnya tampak lesu. Jasmine segera menoleh.“Kamu udah makan malam?” tanya Jasmine dengan suara pelan.Noah hanya mengangguk. “Udah, tadi di ruang makan.”Keheningan menggantung di antara mereka. Jasmine merasa ada jarak yang makin lebar sejak kedatangan Harness tadi pagi.“Noah...” Jasmine mencoba membuka percakapan. “Kamu masih mikirin omongan Harness?”Noah duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan Jasmine dengan erat. “Sedikit. Bukan soal omongannya, tapi... kenapa Oma bisa punya pikiran seperti itu?”Jasmine menatap suaminya dengan cemas. “Maksudmu apa? Apa yang sebenarnya Oma pikirkan tentang aku?”Noah menghela napas panjang. “Oma bilang... dia takut aku jatuh ke dalam kesalahan yang sama sepe
Pagi itu, Noah duduk di ruang tamu sambil memijat pelipisnya. Pikirannya masih bergelut dengan kata-kata Harness tadi.Kenapa Oma tiba-tiba mencurigai Jasmine? Apa yang sebenarnya dia ketahui?Ketika Noah masih larut dalam pikirannya, suara ketukan pelan terdengar dari arah pintu. Jasmine muncul, wajahnya masih sedikit pucat setelah percakapan tegang dengan Harness tadi.“Noah... kamu nggak apa-apa?” tanya Jasmine, suaranya pelan namun penuh perhatian.Noah tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Aku baik-baik aja, Jas. Hanya masih mikirin omongan Harness tadi.”Jasmine duduk di sebelah Noah, matanya menatap tajam seolah mencoba mencari kebenaran dalam ekspresi suaminya. “Aku nggak ngerti kenapa dia tiba-tiba datang dan ngomong begitu. Apa dia nggak suka aku ada di hidupmu?”Noah menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan Jasmine. “Bukan itu, sayang. Harness memang selalu khawatir sama aku, apalagi setelah aku menikah denganmu. Mungkin dia merasa harus melindung
Pagi itu, Noah duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang sudah mendingin. Matanya terpaku pada pintu ruang tengah, berharap Jasmine akan muncul dari kamar dengan senyum yang selama ini dirindukannya. Semalam adalah langkah kecil, tapi cukup untuk memberi secercah harapan dalam hatinya.Suara langkah lembut terdengar, dan tak lama kemudian Jasmine muncul dengan rambut masih tergerai. Noah meneguk kopinya, berusaha menahan debaran jantungnya."Pagi," sapa Jasmine, mencoba terdengar biasa."Pagi," balas Noah, suaranya sedikit serak. "Tidurmu nyenyak?"Jasmine mengangguk sambil duduk di kursi berhadapan dengannya. "Cukup... lebih baik dari malam-malam sebelumnya."Noah tersenyum tipis. "Syukurlah. Aku... khawatir kalau semalam terlalu banyak yang kita bahas."Jasmine menghela napas. "Aku justru merasa lega. Akhirnya kita bicara. Meski belum semuanya jelas... tapi aku merasa sedikit lebih tenang."Sejenak keheningan menyelimuti mereka. Noah melirik tangan Jasmine yang tergeletak di at
Jasmine duduk di kursi, mengulurkan tangannya untuk mengambil surat itu. Ia membuka lipatannya perlahan, membaca kata-kata yang tertulis di sana. Setiap kalimat seolah menyentuh hatinya, membawa kembali kenangan-kenangan indah yang pernah mereka miliki. Namun, seiring dengan itu, ada perasaan lain yang mulai menguasai dirinya—perasaan yang lebih dalam, perasaan yang sulit dijelaskan. Rasa takut, rasa bingung, dan rasa kehilangan.Setelah selesai membaca surat itu, Jasmine terdiam. Matanya mulai memanas, dan air mata perlahan mulai mengalir di pipinya. Surat itu—kata-kata yang ditulis Noah—memang menggetarkan hatinya. Tetapi ia juga tahu bahwa kata-kata itu tidak cukup untuk mengubah apa yang telah terjadi di antara mereka. Surat itu tak bisa menghapus semua luka yang telah tercipta, tak bisa mengembalikan waktu yang telah hilang.Noah duduk di ruang kerjanya, matanya kosong menatap jendela yang menghadap ke taman. Cuaca sore itu terasa lebih mendung d
Kenangan yang tak terhitung jumlahnya, tapi juga potongan-potongan yang mengarah padanya. Sebuah pertanyaan tak terucap: apakah ia benar-benar ingin tahu semua itu?“Aku harus tahu,” ia berkata dengan suara tegas, menguatkan dirinya. “Aku tidak bisa hanya tinggal diam.”Ia menutup kotak itu dengan hati-hati, lalu menyimpannya kembali ke tempat semula. Sebelum keluar dari kamar, ia menatap dirinya sendiri di cermin. Wajahnya tegang, namun matanya penuh dengan tekad. Setiap inci dari tubuhnya dipenuhi dengan perasaan gelisah yang tak bisa ia hilangkan.“Tak ada jalan mundur sekarang,” kata Jasmine pelan, seolah memberikan semangat pada dirinya sendiri. "Aku harus tahu kebenarannya."Dia meraih telepon genggamnya. Tangan yang sedikit gemetar, ia membuka kontak dan mencari nomor yang sudah lama tak ia hubungi. Setelah beberapa detik, sebuah suara hangat terdengar di ujung telepon.“Halo, Jasmine? Ada apa, sayan