Noah terbangun telat. Matahari sudah tinggi, dan Zora serta Dursila pasti sudah berangkat berbelanja.Namun, saat langkahnya menuju ruang tamu, matanya tertumbuk pada sosok Jasmine. Wanita itu berdiri di dekat jendela, mengenakan dress tipis yang sedikit ketat di bagian pinggang dan leher, membuat Noah terdiam. Mata Noah membelalak, seolah ada yang mengganggu dirinya.“Jasmine, apa yang kamu kenakan?!” Bentakan Noah membuat Jasmine terkejut, botol air di tangannya hampir jatuh. Wajahnya langsung memucat.“Ini hanya baju daster biasa, Noah,” jawab Jasmine cemas, mencoba menjelaskan. “Aku merasa gerah.”Tapi Noah merasa emosinya meledak. Ia tidak bisa menahan diri. Pakaian Jasmine itu, meskipun biasa, tiba-tiba membuat perasaannya kacau. “Ini tidak pantas, Jasmine!” serunya lagi, suara sedikit naik.Jasmine hanya bisa menunduk, matanya mulai berair. "Aku... aku hanya merasa tidak nyaman," jawabnya lemah, merasa bersalah. Air matanya mulai turun tanpa bisa dihentikan.Noah menatapnya den
Suara pintu kamar yang terbanting keras membuat Maria, asisten rumah tangga, segera menoleh. Ia teringat pesan Zora untuk menjaga Jasmine dengan baik.”Pasti ada sesuatu yang tidak beres.” Maria melangkah cepat menuju kamar tempat suara itu berasal, dan tiba di ruang tamu, matanya langsung tertuju pada Noah yang masih berdiri terpaku, ekspresi wajahnya datar, seolah tidak peduli pada apa yang baru saja terjadi.“Maaf, Tuan, ada yang bisa saya bantu?” tanya Maria hati-hati.Noah menoleh, menatap Maria sebentar, lalu menghela napas panjang."Mood-nya nggak enak," jawabnya datar. "Jaga dia baik-baik, ya. Kalau perlu, bawa dia ke dapur untuk makan."Maria hanya mengangguk, merasa ada ketegangan di udara. Dia melangkah menjauh, tapi tidak bisa menahan rasa penasaran. ’Apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka?’Noah melihat Maria yang sudah menjauh, lalu ia kembali berdiri di depan pintu kamar Jasmine. Ia bergeming sebentar, menatap pintu yang tertutup rapat. Dengan perlahan, ia mengetu
Jasmine melangkah keluar dari ruang kuliah, dan pandangannya langsung tertuju pada Ryan yang sedang menunggu di sudut ruangan. Sejak pertama kali bertemu, pria itu selalu membuat Jasmine merasa nyaman.Tapi kali ini, ada yang berbeda. Ryan menatapnya dengan cara yang tak biasa, seperti ada ketegangan yang tersirat di matanya.“Jas,” Ryan mulai, suaranya terdengar agak tegang, “Aku... ingin nanya sesuatu.”Jasmine mengerutkan dahi, merasa ada yang aneh dengan sikap Ryan. "Ada apa, Ry?"“Pram,” Ryan melanjutkan, suara semakin rendah. “Pram itu... siapa sebenarnya?”Jasmine terkejut mendengar pertanyaan itu. Pram? Sahabat Noah, Jasmine tidak tahu kenapa tiba-tiba Ryan bertanya tentang dia.“Kenapa tanya Pram?” tanya Jasmine, mencoba menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang meski ada rasa curiga yang muncul.Ryan menatapnya lebih dalam, seakan ingin mencari tahu lebih banyak. "Nggak ada apa-apa, cuma...? Waktu itu juga, Pram yang nganterin kamu pulang," katanya, nada suaranya sedikit cembur
Jasmine terdiam menatap layar ponselnya, jarinya dengan santai men-scroll media sosial dan pesan di aplikasi Wibu miliknya. Tidak lama kemudian, sebuah notifikasi muncul dari seseorang dengan inisial "Pm" di salah satu postingannya.Pm: "Hai, aku boleh message kamu nggak?"Jasmine mengerutkan kening, merasa bingung. Inisial itu mengingatkannya pada Pram. Setelah berpikir sejenak, dia hanya membalas dengan menekan tombol suka, mencoba bersikap netral. Namun, tidak lama kemudian, sebuah pesan masuk di ponselnya.Pram: "Jasmine, boleh tidak kapan-kapan kita jalan? Oh iya, ini jadikan pertemanan ya, biar aku mudah menghubungimu. Aku Pram."Jasmine menelan saliva, ragu untuk membalas. Saat ini, mungkin masih aman jika mereka berkomunikasi atau bertemu, tapi bagaimana nanti ketika usia kandungannya menginjak trimester ketiga atau keempat? Bentuk tubuhnya pasti akan berubah drastis. Sekarang saja, pipinya mulai tampak lebih cabi.Dengan hati-hati, Jasmine hanya membalas dengan emoticon senyu
Jasmine menatap layar ponselnya dengan perasaan yang campur aduk. Dia masih ragu apakah harus membalas pesan Pram atau mengabaikannya.Dalam pikirannya, ada konflik yang terus berputar. Jika dia membalas, itu bisa memperumit keadaan. Tapi jika dia mengabaikan, Jasmine tahu Pram pasti akan bertanya-tanya.Dengan napas panjang, Jasmine akhirnya mengetik balasan singkat.Jasmine: "Aku baru sampai rumah, Pram. Lain kali ya."Setelah mengirim pesan itu, Jasmine meletakkan ponselnya di meja dan merebahkan diri di kasur. Pikirannya masih terjebak dalam banyak hal. Keadaan dengan Noah semakin rumit, dan kehadiran Pram dalam hidupnya sekarang justru membuatnya semakin bingung.Tak lama kemudian, pintu kamarnya diketuk pelan. "Nona Jasmine, aku boleh masuk?" suara Maria terdengar dari balik pintu.Jasmine bangkit dan berjalan ke pintu, membukanya sedikit. "Ada apa, Maria?"Maria menatapnya dengan penuh perhatian. "Tuan Noah meminta saya membawakan teh untukmu. Katanya, kamu terlihat lelah."Jas
Bab. 67. Membuat Janji di Café EdelweissSetelah mendapatkan izin dari Noah, Jasmine akhirnya membuka aplikasi Wibu dan membalas pesan Pram.Jasmine: "Pram, kita bisa ketemu, tapi aku nggak bisa dijemput. Kita ketemu di Cafe Edelweiss di Palm Square aja, gimana?"Pram membalas dengan cepat, seakan takut Jasmine akan membatalkan.Pram: "Oh, oke! Yang penting kita bisa ketemu. Aku nggak masalah ke sana. Aku cuma pengen ngobrol sama kamu lebih banyak."Jasmine menatap layar ponselnya, merasa sedikit ragu. Dia tahu Pram hanya ingin lebih dekat dengannya, tapi dia sendiri tidak ingin memberi harapan yang salah. Baginya, ini hanya bentuk terima kasih karena Pram sudah membantunya, terutama saat dia flu dan membelikan vitamin.Dengan menghembuskan napas, Jasmine membalas singkat: "Oke, sampai ketemu besok."Pram terlihat senang dengan balasan itu. Dia memang hanya ingin mengenal Jasmine lebih dalam, meskipun dia menyadari ada batas yang tidak bisa dia langkahi.Bagi Jasmine, ini hanya sekada
Mereka pun berjalan menuju Funzone, pusat permainan yang terletak di lantai dua Palm Square. Begitu masuk, Pram langsung menarik tangan Jasmine ke arah mesin capit boneka.“Kita mulai dari sini!” katanya penuh semangat.Jasmine tertawa melihat Pram begitu serius. “Kamu yakin bisa dapat boneka dari sini? Aku pernah lihat orang habis banyak koin tapi nggak dapat apa-apa.”Pram menyeringai. “Itu karena mereka nggak punya skill. Lihat dan pelajari.”Dia memasukkan koin, lalu dengan penuh konsentrasi menggerakkan tuas. Jasmine mengamati dengan tangan terlipat di dada. “Oke, ayo lihat kehebat—”Jasmine masih tertawa saat Pram gagal lagi menangkap boneka dari mesin capit. Wajah frustasinya benar-benar menghibur.“Kamu yakin ini keahlianmu?” ledek Jasmine sambil melipat tangan.Pram mendengus, mengetuk kaca mesin capit. “Hei, ini bukan soal keahlian. Ini murni keberuntungan!”Jasmine terkikik. “Berapa kali nyoba?”Pram melirik layar mesin. “Baru... sepuluh kali?”Jasmine tertawa lebih keras.
Noah menegang. Matanya sedikit menyipit, jelas tidak menyukai nada menggoda dari Pram.Jasmine menahan napas, takut Noah akan bereaksi berlebihan.Pram, yang sadar telah membuat Noah kesal, malah semakin menikmati situasi. “Atau... Kak Noah takut aku bawa kabur Jasmine?” candanya dengan nada nakal.Jasmine langsung menendang kaki Pram di bawah meja. “Pram!” bisiknya tajam.Pram meringis tapi tetap tertawa. “Oke, oke, bercanda doang.”Namun, Noah tidak terlihat terhibur. Tatapannya masih dingin.“Aku hanya memastikan Jasmine aman,” kata Noah singkat.Pram mengangguk-angguk. “Iya, iya, aku ngerti. Tapi serius, Kak Noah, ini pertama kalinya aku lihat CEO besar kayak Kak Noah main di tempat kayak gini. Kalau aku tahu gini, aku pasti ngajak Kak Noah main Combatte!”Noah hanya menghela napas, seolah menahan kesabaran.Jasmine, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Noah, kamu benar-benar nyusul ke sini cuma buat ngecek aku? Tapi, semalam kak Zora dan kamu udah kasih ijin?” tanyanya
Kata-kata itu seperti menampar wajah Noah. Sakit. Bahkan lebih sakit daripada yang dia kira. Namun, di balik rasa sakit itu, ada sebuah kebenaran yang sulit dia terima. “Aku... aku takut kehilangan kamu, Jas,” jawab Noah dengan suara pelan. “Aku tahu aku nggak sempurna, dan aku juga tahu aku punya banyak kesalahan. Tapi aku nggak ingin kamu pergi.”Jasmine menarik napas, rasanya ada banyak kata yang ingin dia ucapkan, tapi bibirnya terasa terbungkam. Semua perasaan itu berkecamuk dalam hatinya. “Kamu bisa bilang itu, Noah, tapi aku nggak tahu lagi mana yang lebih nyata—kamu atau kenanganmu tentang semua yang telah terjadi sebelumnya. Kamu nggak bisa terus menghubung-hubungkan aku dengan masa lalu kamu.”Noah terdiam, rasa frustrasi merayapi dirinya. Dia sudah berusaha menjaga semuanya tetap utuh, tapi ada banyak hal yang belum dia ceritakan pada Jasmine—rahasia yang lebih dalam dari yang dia kira. Tentang Oma, tentang Harness, tentang masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang.“Apa
“Kamu nggak perlu khawatir soal dia, Jas,” kata Noah tiba-tiba.Jasmine menoleh cepat. “Aku... nggak mikirin itu.”Noah menatap lurus ke arahnya, ekspresi serius. “Aku nggak bisa ngendaliin masa lalu. Tapi aku tahu siapa yang aku mau ada di masa depan.”Hening sesaat. Hanya suara angin dari jendela yang terbuka, menggoyang tirai tipis yang menggantung setengah kusam.“Aku nggak biasa dikasih kata-kata kayak gitu,” ucap Jasmine pelan.“Ya udah, aku ubah pakai bahasa teknik.”“Oh no.”Noah tersenyum kecil. “Kalau hubungan ini ibarat mesin, kamu tuh gear paling utama. Tanpa kamu, semua sistem nggak jalan.”Jasmine menahan tawa, tapi air matanya menggenang tanpa izin. “Kamu norak banget.”“Tapi berhasil bikin kamu nangis.”Dia menghapus air mata Jasmine dengan ibu jarinya, lembut, tidak memaksa.“Aku takut semua ini terlalu indah buat nyata,” bisik Jasmine. “Kita bahagia, lalu tiba-tiba...”Noah menggenggam tangannya, erat. “Aku juga takut. Tapi kita nggak harus jadi sempurna untuk jadi n
Noah yang mulai merasa ada yang aneh dengan pembicaraan ini menatap Harness dengan serius. "Apa yang kau maksud, Harness?" tanya Noah, suaranya mulai penuh dengan kecurigaan.Harness tidak langsung menjawab, melainkan menatap mereka berdua sejenak. "Mungkin ini saat yang tepat untuk lebih banyak memahami satu sama lain," jawabnya pelan, kemudian berbalik dan berjalan keluar dari ruangan.Noah menatapnya dengan tatapan bingung. "Ada apa dengan dia?" gumamnya pelan.Jasmine hanya diam, merasa semakin tertekan dengan keadaan yang semakin membingungkan. "Aku harus pergi," katanya dengan suara pelan, berbalik menuju pintu. "Aku tidak bisa terus seperti ini."Noah hendak mengejarnya, namun Jasmine sudah lebih dulu keluar dari ruangan. Perasaannya semakin kacau, tidak tahu harus bagaimana.Jasmine keluar dan berjalan cepat menuju taman belakang, menghindari tatapan Noah yang semakin membuatnya merasa tertekan. Ia tahu, ada sesuatu yang menghalangi hubungan mereka, tapi ia juga merasa seperti
Pagi itu terasa lebih sepi dari biasanya. Jasmine duduk di ruang tamu besar, tangan terlipat di atas meja, menatap pemandangan taman yang tampak redup karena hujan yang baru saja reda. Matanya terlihat kosong, seolah tidak ada hal yang benar-benar menarik perhatiannya. Namun, dalam diamnya itu, pikirannya penuh dengan kebingungan."Kenapa aku merasa seperti ini?" gumamnya pelan, meraba perasaannya yang semakin terhimpit oleh ketegangan yang ia ciptakan sendiri.Pintu ruang tamu terbuka perlahan, dan Noah muncul di ambang pintu. Ia menatap Jasmine dengan ekspresi cemas, tampak sedikit gelisah. "Jasmine," panggilnya, suara itu lembut, penuh kekhawatiran. "Kau baik-baik saja?"Jasmine menoleh pelan, namun tidak mengatakan apa-apa. "Aku baik-baik saja." Jawabnya, namun suaranya terdengar hampa, hampir tak ada gairah.Noah berjalan mendekat, menatap wajahnya dengan penuh perhatian. "Aku tahu kau bilang baik-baik saja, tapi..." Ia berhenti sejenak, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "K
“Jasmine, kau harus mendengarku,” suara Noah terdengar serak. Ia baru saja masuk ke ruang makan setelah berbicara dengan keluarganya. Jasmine sedang duduk di meja, menatap langit lewat jendela, tampak merenung dengan wajah yang jauh.Jasmine menoleh perlahan, matanya mengisyaratkan pertanyaan tanpa kata. "Ada apa, Noah?"Noah berjalan mendekat, duduk di sebelahnya dengan ekspresi yang sulit diartikan. "Kau tampak berbeda belakangan ini. Ada yang mengganggumu?"Jasmine menghela napas, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. "Aku baik-baik saja." Ia berusaha tersenyum, meski senyum itu terasa terpaksa. "Hanya sedikit lelah."Noah menatapnya lebih dalam, merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Jasmine, jangan menutupi perasaanmu dariku. Apa yang sebenarnya terjadi?"Jasmine mengalihkan pandangannya lagi ke luar jendela, mengamati riak-riak air di kolam. "Aku cuma merasa... cemas." Suaranya terdengar pelan, hampir seperti bisikan. "Kau tahu, aku datang ke sini dengan harapan bisa menjadi ba
Di sisi lain kota, Zora berdiri di depan cermin besar berbingkai emas di kamar utama rumah Dirgantara. Cermin itu telah menjadi saksi begitu banyak perubahan dalam hidupnya—dari wanita muda ambisius, menjadi istri dari pewaris kekaisaran bisnis, hingga kini... seorang istri yang mulai kehilangan pijakan. Ia merapikan blouse satin putih yang telah ia kenakan puluhan kali, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang makin lama makin sulit ditutupi.Matanya menatap pantulan diri dengan senyum yang hambar—senyum yang ia bentuk hanya sebagai formalitas sosial. Beberapa hari terakhir, gosip dan bisik-bisik di antara sosialita dan direksi perusahaan mulai membentuk luka kecil yang lambat tapi pasti merobek hatinya.Bukan hanya Noah yang berubah. Dunia pun ikut berputar, seolah tak ada tempat lagi untuknya. Mereka bilang Jasmine adalah ibu dari pewaris masa depan keluarga Dirgantara. Mereka menyambut wanita itu seolah-olah dia satu-satunya yang pantas berdiri di sisi Noah.Zora menggigit bibirnya
Jasmine kembali terdiam, pikirannya kembali ke masa lalu. Setelah percakapan emosional itu, Jasmine dan Noah duduk di balkon rumah kecil itu. Hujan masih turun, tapi lebih ringan.“Aku tidak bisa janji semua akan mudah,” kata Noah, menatap gelap malam.“Aku tidak minta mudah,” balas Jasmine. “Aku cuma mau tahu... kamu akan ada di sini. Meski saat aku marah. Saat aku takut. Saat aku ragu.”Noah menoleh, lalu menyentuh perut Jasmine yang membulat.“Aku akan ada. Untuk kamu. Untuk dia.”Dan di bawah langit yang masih menangis, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Jasmine merasakan tenang. Bukan karena semua masalah selesai. Tapi karena ia tahu—ia tak lagi sendiri.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Jasmine menoleh. Noah muncul dari balik pintu kamar, membawa selimut tambahan dan termos susu.“Sudah tidur?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk. “Baru saja.”Noah berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. Ia menatap bayi mereka, lalu mencium kening Jasmine.“Aku suka malam h
“Waktu kadang menyembuhkan luka, tapi ada jenis luka yang justru membuat kita ingin kembali… hanya untuk memastikan bahwa semuanya memang layak diperjuangkan.”Suara rintik hujan yang menghantam jendela terdengar bagai irama pilu yang menggema di seluruh ruangan. Lampu kamar menyala temaram. Di pelukannya, seorang bayi kecil tertidur dengan damai, napasnya ringan, dadanya naik turun perlahan.Jasmine duduk di kursi goyang dekat jendela, membiarkan matanya tertumbuk pada kegelapan malam di luar sana. Tangannya membelai lembut punggung bayi itu, tapi pikirannya melayang jauh… menuju malam hujan yang sama, tujuh bulan lalu. Malam yang ia kira hanya akan berakhir sebagai luka.Tujuh bulan sebelumnya.Rumah kecil tempat ia tinggal bersama Nina untuk sementara waktu terasa terlalu sunyi malam itu. Angin mengetuk jendela loteng dengan kasar. Jasmine memegangi perutnya yang membuncit—usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh, dan setiap gerakan kecil dari dalam kandungannya menjadi pengingat ba
Sore itu, langit di atas rumah kaca menyimpan gradasi warna yang murung. Biru kelabu berbaur dengan oranye pucat, seolah alam pun ikut menyesali semua yang telah terjadi. Angin menyusup masuk lewat sela-sela jendela, membawa aroma bunga melati yang hampir layu. Jasmine berdiri di dekat balkon dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan udara terlalu dingin untuk ditahan, padahal sebenarnya yang dingin adalah hatinya.Sudah berapa lama ia terjebak dalam pusaran luka yang tak pernah benar-benar bisa ia benahi? Sejak pertama kali menerima tawaran menjadi ibu pengganti, hidupnya seperti berubah menjadi cerita yang tak ia kenali.Noah mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin mengganggu, tapi juga tak sanggup menahan keinginannya untuk bicara. Jasmine tahu dia datang—ia bisa mencium aroma parfum kayu cendana lembut yang biasa Noah pakai. Tapi ia tetap diam, masih terpaku menatap taman kecil yang mulai gelap.“Aku boleh bicara?” tanya Noah perlahan.Kepala Jasmine m