Pram mengernyit, merasa semakin penasaran, tapi ia tahu bahwa Noah tidak akan mudah membuka diri begitu saja."Yaudah, nanti aja. Kamu pasti punya alasan sendiri," kata Pram, kembali menatap makanan di depannya, walaupun pikirannya masih terpecah antara rasa penasaran dan kebingungannya tentang apa yang sebenarnya ada di balik permintaan Noah.Sementara itu, Noah hanya diam, merasa ada sesuatu yang tidak bisa ia ungkapkan sepenuhnya kepada Pram. Dalam hati, ia tahu kalau keputusan yang ia ambil, terkait dengan Jasmine, Oma Dursila, dan berbagai hal yang terhubung dengan keduanya akan membawa dampak yang jauh lebih besar daripada yang bisa dibayangkan oleh siapa pun.Malam itu, Noah memutuskan untuk pulang ke Mansion Dirgantara lebih awal. Dia merasa tak ingin lagi membuat keributan di antara perasaan Jasmine yang semakin pelik, terlebih dengan sikapnya yang selalu bertolak belakang.Noah tahu, meski berusaha menjaga jarak, ada hal-hal yang tak bisa dihindari dan perlu dihadapi. Sebelu
Jasmine mengangkat wajahnya, senyum manis terukir di bibirnya. "Aku rasa ini adalah nasi goreng seafood terbaik yang pernah aku makan," ujarnya, tanpa tahu betapa banyak perasaan yang bersembunyi di balik kebahagiaan yang tampak sederhana itu.Setelah menemani Jasmine makan nasi goreng seafood, Noah dan kedua wanita itu duduk bersama di ruang tamu, menikmati serial televisi yang tengah diputar.Kedua wanita itu tampak begitu rileks, seolah semua beban sejenak terlupakan. Noah duduk di antara mereka, matanya sesekali melirik ke arah Jasmine yang tampak begitu bahagia dengan makanan yang dibawakan, sementara Zora yang duduk di sebelahnya tampak tenang dan penuh perhatian.Tidak lama kemudian, suara napas tenang menggantikan suara televisi. Jasmine tertidur lebih dulu, kepalanya bersandar ringan pada bahu Noah, sementara Zora, meski berusaha tetap terjaga, perlahan mulai terlelap juga.Di bawah cahaya lampu yang redup, suasana di ruang tamu terasa hangat dan damai, namun di dalam hati No
Beberapa hari kemudian, Noah duduk di ruang meeting Dirgantara Corp, menatap Francis yang duduk di seberangnya dengan ekspresi tenang, tetapi sorot matanya menyiratkan sesuatu yang serius."Jadi, kau ingin Jasmine yang memegang proposal pemasaran proyek ini?" tanya Noah.Francis tersenyum santai, tetapi nada suaranya jelas menekan. "Ya. Aku sudah melihat beberapa hasil kerjanya sebelum ini. Dia memiliki insting pemasaran yang tajam, dan aku menyukai pendekatannya yang sederhana tetapi efektif. Selain itu, aku percaya dia bisa membawa sentuhan baru pada proyek ini."Noah menghela napas, melipat tangan di atas meja. "Kau tahu kondisinya sekarang, bukan? Dia sudah tidak lagi bekerja untuk Dirgantara Corp."Francis mengangkat alis, menyesap kopinya dengan santai."Aku tahu. Tapi aku tetap ingin dia yang menangani ini. Lagipula, aku tidak meminta sesuatu yang berlebihan. Aku hanya ingin dia mengerjakan proposal, bukan menjadi bagian penuh dari perusahaan lagi."Noah menatap Francis tajam, m
Pram terbelalak kaget. "Apa? Tapi... kenapa aku tidak pernah dengar?"Mendengar pernyataan Noah, membuat Pram seperti, tersambar petir di siang bolong. Akhirnya dia tau mengapa Noah melarangnya terlalu serus dengan Jasmine.Noah menghela napas panjang sebelum melanjutkan kebohongannya. "Suaminya sedang bertugas di daerah perang. Itu sebabnya dia jarang disebut-sebut. Tapi, Jasmine tetap istri seseorang, Pram. Jadi, jangan terlalu berharap banyak."Wajah Pram berubah muram, tetapi dia mencoba tetap tersenyum. "Ah, ya... Aku mengerti... Tapi kalau begitu, aku masih bisa menjadi temannya, bukan? Aku bisa tetap mendampingi dan membantunya dalam pekerjaan ini."Noah menatapnya sesaat, lalu mengangguk. "Tentu. Sebagai teman."Dalam hati, Noah tahu bahwa kebohongan ini hanya akan menambah rumit keadaan di masa depan. Tetapi untuk saat ini, itu adalah satu-satunya jalan untuk menghindari konflik yang lebih besar.Suasana di ruang kerja Noah dipenuhi ketegangan. Setelah perdebatan panjang, akh
’Kenapa Noah terlihat terlalu melindungi Jasmine?’ pikir Pram.Tatapan Noah kepada Jasmine tidak biasa, seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar kepedulian profesional. Zora pun berubah—biasanya dominan di hadapan Noah, kini justru lebih lembut saat berurusan dengan Jasmine.Pram menyipitkan mata, mendesah pelan. "Ada sesuatu yang mereka sembunyikan... dan aku akan mencari tahu."Suatu malam, Pram memutuskan untuk mendekati Jasmine di rumahnya. Ia ingin berbicara empat mata, berharap bisa memahami lebih jauh apa yang sebenarnya terjadi.“Jasmine, bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanya Pram dengan nada hati-hati.Jasmine menatapnya, sedikit terkejut. “Tentu, ada apa, Pram?”Pram menghela napas sebelum akhirnya berkata, “Kenapa kamu mau terlibat dalam bisnis Dirgantara? Aku tahu kamu ingin mandiri, tetapi aku merasa ada sesuatu yang lebih besar yang sedang kamu sembunyikan.”\Jasmine terdiam sejenak. Ia tidak bisa begitu saja mengungkapkan segalanya kepada Pram. Ia tahu bahwa jika rah
Jasmine berjalan pelan keluar dari ruang rapat, tangannya refleks memijat tengkuknya yang terasa kaku. Tubuhnya semakin lelah, seakan tenaga yang tersisa terkuras habis."Hanya satu laporan lagi... Aku pasti bisa menyelesaikannya," batinnya, meski kepalanya mulai berdenyut hebat.Minggu-minggu terakhir ini, proyek Hanaka menyita seluruh waktunya. Ia terus bekerja keras, menekan dirinya hingga batas. Ditambah cuaca yang tak menentu, tubuhnya mulai memberontak. Rasa mual menyerang lebih sering, pusing tak kunjung reda, tapi ia tetap memaksakan diri.Ia menyentuh perutnya yang semakin membesar. Kehamilan ini menambah beban fisiknya, membuatnya lebih cepat lelah. Punggungnya sering terasa nyeri, tapi Jasmine menolak menunjukkan kelemahan di hadapan Noah atau rekan-rekannya."Aku tidak boleh terlihat lemah. Aku harus tetap kuat,” gumam Jasmine.Namun, malam itu, tubuhnya akhirnya menyerah. Duduk di depan laptop, matanya yang lelah menelusuri laporan pemasaran.Huruf-huruf di layar mulai te
Noah berdiri di depan ruang rapat, menatap sekeliling dengan tatapan penuh tekad. Di hadapannya, semua staf pemasaran, termasuk Pak Raka, Tania, dan Pram, sudah berkumpul.Semua orang tahu betapa pentingnya proyek ini, dan meskipun Jasmine sedang dirawat di rumah sakit, tugas mereka untuk melanjutkan pekerjaan harus tetap berjalan.Noah menghela napas dan mulai berbicara, suaranya lebih tenang daripada yang ia rasakan. “Kondisi Jasmine saat ini membutuhkan perhatian penuh. Kami harus melanjutkan proyek ini, dan saya tahu semua sudah bekerja keras. Tapi sekarang, kita harus melangkah maju. Apa yang sudah dia rencanakan, kita lanjutkan.”Pak Raka mengangguk, sementara Tania terlihat serius, mencatat dengan seksama.Pram, yang duduk di pojok ruangan, terlihat tak tenang. Ia merutuki dirinya sendiri, menyalahkan diri atas keadaan Jasmine yang kini terbaring di rumah sakit."Aku seharusnya lebih memperhatikan dia," gumam Pram pada diri sendiri.Noah melanjutkan, “Jasmine telah bekerja kera
Suasana di dalam kamar VIP Anggrek Hitam terasa begitu sesak meskipun ruangannya luas dan nyaman. Udara di dalamnya terasa lebih berat dari biasanya, seakan dipenuhi oleh ketegangan yang tak terlihat.Jasmine duduk bersandar di tempat tidurnya, tubuhnya masih lemah, namun pikirannya penuh dengan kecemasan.Di sekelilingnya, beberapa pria yang pernah hadir dalam hidupnya kini berkumpul di satu ruangan—Noah, Ryan, Francis, dan dokter Juan.Tatapan mereka saling mengamati satu sama lain, seolah masing-masing ingin menegaskan keberadaannya di sana. Pram yang berdiri agak jauh di dekat jendela hanya bisa menghela napas dalam diam, merasa canggung di tengah suasana yang semakin tidak nyaman.Noah masih duduk di sofa dengan postur angkuh dan tatapan tajam, menilai satu per satu orang yang hadir di ruangan itu. Ia tidak menyukai keberadaan dokter Juan, terlebih lagi Ryan dan Francis yang tampaknya terlalu peduli pada Jasmine.Meskipun Noah sadar bahwa mereka semua memiliki perannya masing-mas
Jasmine kembali terdiam, pikirannya kembali ke masa lalu. Setelah percakapan emosional itu, Jasmine dan Noah duduk di balkon rumah kecil itu. Hujan masih turun, tapi lebih ringan.“Aku tidak bisa janji semua akan mudah,” kata Noah, menatap gelap malam.“Aku tidak minta mudah,” balas Jasmine. “Aku cuma mau tahu... kamu akan ada di sini. Meski saat aku marah. Saat aku takut. Saat aku ragu.”Noah menoleh, lalu menyentuh perut Jasmine yang membulat.“Aku akan ada. Untuk kamu. Untuk dia.”Dan di bawah langit yang masih menangis, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Jasmine merasakan tenang. Bukan karena semua masalah selesai. Tapi karena ia tahu—ia tak lagi sendiri.Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Jasmine menoleh. Noah muncul dari balik pintu kamar, membawa selimut tambahan dan termos susu.“Sudah tidur?” tanyanya pelan.Jasmine mengangguk. “Baru saja.”Noah berjalan pelan, lalu duduk di sampingnya. Ia menatap bayi mereka, lalu mencium kening Jasmine.“Aku suka malam h
“Waktu kadang menyembuhkan luka, tapi ada jenis luka yang justru membuat kita ingin kembali… hanya untuk memastikan bahwa semuanya memang layak diperjuangkan.”Suara rintik hujan yang menghantam jendela terdengar bagai irama pilu yang menggema di seluruh ruangan. Lampu kamar menyala temaram. Di pelukannya, seorang bayi kecil tertidur dengan damai, napasnya ringan, dadanya naik turun perlahan.Jasmine duduk di kursi goyang dekat jendela, membiarkan matanya tertumbuk pada kegelapan malam di luar sana. Tangannya membelai lembut punggung bayi itu, tapi pikirannya melayang jauh… menuju malam hujan yang sama, tujuh bulan lalu. Malam yang ia kira hanya akan berakhir sebagai luka.Tujuh bulan sebelumnya.Rumah kecil tempat ia tinggal bersama Nina untuk sementara waktu terasa terlalu sunyi malam itu. Angin mengetuk jendela loteng dengan kasar. Jasmine memegangi perutnya yang membuncit—usia kehamilannya memasuki bulan ketujuh, dan setiap gerakan kecil dari dalam kandungannya menjadi pengingat ba
Sore itu, langit di atas rumah kaca menyimpan gradasi warna yang murung. Biru kelabu berbaur dengan oranye pucat, seolah alam pun ikut menyesali semua yang telah terjadi. Angin menyusup masuk lewat sela-sela jendela, membawa aroma bunga melati yang hampir layu. Jasmine berdiri di dekat balkon dengan tangan memeluk tubuhnya sendiri, seakan udara terlalu dingin untuk ditahan, padahal sebenarnya yang dingin adalah hatinya.Sudah berapa lama ia terjebak dalam pusaran luka yang tak pernah benar-benar bisa ia benahi? Sejak pertama kali menerima tawaran menjadi ibu pengganti, hidupnya seperti berubah menjadi cerita yang tak ia kenali.Noah mendekat perlahan, langkahnya nyaris tanpa suara. Ia tidak ingin mengganggu, tapi juga tak sanggup menahan keinginannya untuk bicara. Jasmine tahu dia datang—ia bisa mencium aroma parfum kayu cendana lembut yang biasa Noah pakai. Tapi ia tetap diam, masih terpaku menatap taman kecil yang mulai gelap.“Aku boleh bicara?” tanya Noah perlahan.Kepala Jasmine m
Langit Arenia berwarna keperakan pagi itu, menyelimuti kota dalam cahaya mendung yang lembut. Gedung pusat kebijakan internasional yang menjulang di jantung distrik Saphira tampak megah. Di dalamnya, ratusan kursi telah tertata rapi, mikrofon disiapkan, dan layar besar menampilkan satu kalimat: Forum Etika Global untuk Ibu Pengganti dan Hak Anak.Di kursi utama, Jasmine duduk tenang mengenakan setelan biru tua dengan aksen perak. Tak ada perhiasan mencolok, hanya liontin kecil yang tergantung di lehernya—hadiah terakhir dari ibunya, Sylvia. Di sampingnya, Noah dan Kiara mempersiapkan presentasi utama, sedangkan Evan memantau keamanan data dan jaringan digital.Forum ini bukan sekadar acara simbolik. Jasmine—dengan dukungan penuh dari Project Axis—berinisiatif mengadakan forum ini setelah tekanan internasional terhadap praktik kontrak ibu pengganti yang tidak adil mulai meningkat, menyusul pengakuannya dan penyelidikan terhadap Levara Group.“Sepuluh negara sudah mengirim delegasi,” la
Noah menoleh pada Jasmine. “Apa kamu siap jika Leonhart muncul kembali?”Jasmine menjawab pelan, tapi tegas, “Aku siap. Karena aku tidak lagi melawannya sendirian.”Dan hari itu, suara seorang ibu menggetarkan kota Arenia. Bukan dengan amarah. Tapi dengan keberanian yang lahir dari kasih.Hanya dua hari setelah pidato Jasmine mengguncang Arenia, dampaknya terasa seperti ombak besar yang menyapu seluruh jagat media. Hashtag #IbuUntukZai telah menembus tren global. Wawancara dari pakar hukum, aktivis perempuan, hingga influencer keluarga membanjiri lini masa dengan satu suara: Jasmine layak mendapatkan keadilan.Tapi di tengah dukungan itu, ada kekuatan yang bergerak diam-diam. Di ruang pertemuan bawah tanah sebuah kantor legal internasional di Kairo, seorang pria berambut perak duduk di ujung meja panjang. Ia mengenakan jas gelap yang pas, dan di tangan kirinya ada cincin berlambang burung hitam bersayap patah.Leonhart.“Jadi, gadis kecil itu sekarang memanfaatkan simpati publik?” uca
Matahari Arenia naik perlahan, memantulkan sinarnya pada jendela-jendela kaca yang berbaris rapi di gedung-gedung pusat kota. Tapi pagi itu, sorotan media bukan tertuju pada kemegahan bangunan atau kecanggihan teknologi kota modern tersebut. Fokus mereka adalah satu wanita muda yang berdiri di balik podium sederhana—Jasmine Ayu Kartika.Dalam balutan blazer putih yang elegan namun sederhana, Jasmine berdiri dengan tegak, wajahnya tenang. Di hadapannya, puluhan kamera dari berbagai media siap menangkap setiap kata yang keluar dari mulutnya. Suasana di luar gedung forum publik Arenia benar-benar hening untuk sesaat.“Terima kasih telah datang. Hari ini, saya berdiri bukan sebagai tokoh besar, bukan sebagai pemegang saham, bukan pula sebagai pion dalam perang kekuasaan,” ucap Jasmine membuka pidatonya. “Saya berdiri sebagai seorang ibu.”Beberapa wartawan langsung mengambil gambar, beberapa lainnya menunduk menulis cepat. Kata-kata Jasmine tajam, sederhana, dan langsung menancap ke hati
“Saya tidak berdiri di sini sebagai wanita sempurna,” ucapnya. “Saya bukan pahlawan. Tapi saya tahu, saya adalah seorang ibu. Dan tidak ada kontrak, manipulasi, atau rekayasa hukum yang bisa menghapus cinta seorang ibu dari hatinya.”Ia menatap langsung ke hakim. “Saya tidak meminta apa pun selain kesempatan untuk memeluk anak saya... dan membesarkannya tanpa harus bersembunyi.”Hening menyelimuti ruangan.Hakim mengangguk. “Saya akan memberi putusan sore ini.”Sore itu, seluruh ruangan kembali berkumpul. Cahaya matahari mulai menguning, menandai hari yang panjang akan segera berakhir.Hakim berdiri, membawa map berisi keputusan.“Setelah mempertimbangkan bukti tertulis, kesaksian di bawah sumpah, serta laporan psikologis anak... pengadilan menyatakan bahwa hak asuh penuh atas anak dengan inisial ZJ diberikan kepada Ny. Jasmine Jorse.”Terdengar isakan tertahan dari sisi pendukung Jasmine.Hakim melanjutkan, “Dengan supervisi kunjungan yang diatur terhadap pihak Ny. Zora Dirgantara, s
“Apakah Anda menyangkal bahwa Anda memalsukan keterangan medis Jasmine pasca melahirkan?” tanya hakim tegas.Zora tidak menjawab. Ia hanya menunduk.Noah akhirnya berdiri. “Yang Mulia, saya juga ingin berbicara. Saya sudah cukup lama diam. Tapi hari ini, saya berdiri bukan hanya sebagai ayah, tapi sebagai pria yang menyaksikan semua ketidakadilan ini.”Ia menatap Jasmine sebentar, lalu melanjutkan. “Anak saya... tidak boleh tumbuh besar dalam kebohongan. Ia berhak tahu siapa ibunya. Ia berhak dipeluk dan dicintai tanpa batas. Saya mendukung Jasmine. Bukan karena kami pernah mencintai. Tapi karena... tidak ada ibu yang lebih layak.”Ketika sidang diskors untuk makan siang, kabar dari dalam pengadilan sudah bocor ke media. Tagar #JusticeForJasmine dan #HakAsuhZai mulai trending di media sosial.Di luar gedung, para pendukung mulai berkumpul. Beberapa bahkan membawa papan bertuliskan “Seorang Ibu Adalah Ibu” dan “Zai Berhak Tahu Kebenaran.”Zora keluar lewat pintu samping, wajahnya ditut
“Sebagai tergugat, kami setuju,” ujar Jasmine. “Karena anak kecil bisa berbohong... tapi hati mereka tidak.”Noah, yang duduk mendampingi Jasmine, menambahkan, “Saya ingin masuk sebagai saksi. Dan sebagai ayah biologis, saya mengajukan revisi hak asuh bersama.”Zora menoleh cepat, matanya membelalak. “Noah?! Kau di pihaknya sekarang?”Noah menatapnya tanpa ampun. “Sudah lama aku bukan di pihakmu.”Sepulang dari pengadilan, Jasmine merasa tubuhnya seperti diseret waktu. Namun saat ia membuka pintu kamar hotel, suara kecil menyambutnya dari balik ruang tamu.“Ibu Jas?”Jasmine membeku. Tubuh kecil itu berlari dan memeluknya dari belakang. “Ibu Jas! Aku mimpikan Ibu tadi malam! Ibu peluk aku kayak waktu kita tinggal di rumah yang banyak bunga!”Jasmine membalik tubuhnya, dan Zai menatapnya dengan mata berbinar.“Kamu di sini?” bisik Jasmine, air matanya mengalir.Noah masuk dari belakang. “Dia... memaksa ikut. Aku tak bisa menolaknya. Dia ingin bertemu kamu. Hanya kamu.”Zai menempelkan