Lampu operasi menyorot tajam ke arah tubuh Michael. Wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru, dan monitor detak jantung mulai menunjukkan tanda bahaya.“Tekanan darahnya turun cepat!” seru salah satu perawat.Rizky berdiri di sisi kiri meja operasi, sarung tangannya sudah penuh bercak darah. Matanya menatap luka terbuka di lengan Michael, jantungnya serasa diremas. Meski ia seorang dokter berpengalaman, kali ini tangannya sempat gemetar.“Fokus, Rizky. Tarik napas,” kata dokter bedah berkacamata itu dengan suara tegas, mencoba menenangkan.Rizky menelan ludah, lalu mengangguk. Tapi wajahnya tetap pucat. “Ini parah… pelurunya bersarang di tulang humerus. Ada pecahan yang menembus dekat arteri brakialis. Jika aku salah sedikit saja—”“—dia bisa mati di meja ini,” potong sahabatnya singkat. “Aku tahu. Karena itu kita harus hati-hati.”Perawat menyerahkan klem bedah. Rizky langsung menekan sumber perdarahan, tapi darah tetap mengucur deras. “Arteri brakialisnya sobek. Kalau tidak segera kita
Mobil akhirnya berhenti di depan rumah sakit. Lampu-lampu darurat berkelap-kelip, dan beberapa petugas medis sudah bersiap begitu ambulans serta mobil polisi mulai berdatangan. Samuel langsung melompat keluar dari kursi sopir dan berlari membuka pintu belakang.“Cepat! Kakak ku butuh pertolongan!” teriaknya panik.Rizky sudah bersiap. Ia membantu Michael turun dari mobil dengan hati-hati, sementara Yura memilih untuk menyingkir. Gadis kecil itu tahu bahwa saat ini kondisi Michael sangat tidak baik. Bahkan ia sampai gemetar saat melihat darah yang mengalir deras dari luka tembakan. Gadis kecil itu menangis lagi, suaranya serak karena terlalu lama terisak.“Yura… dengarkan aku,” bisik Michael dengan suara lemah. “Kau harus ikut dengan Samuel dulu. Aku… akan baik-baik saja.” Yura menggeleng keras, air matanya tak berhenti jatuh.Samuel jongkok di sampingnya, menatap adik kecil itu dengan lembut. “Yura, biar aku yang jagain kamu sebentar. Dokter Rizky harus menolong Mas Mic. Kalau kamu i
Wajah Samuel pucat, kepalanya tertunduk lemas. Ledakan sangat besar. Ia tidak menyangka bahwa pedakan akan sedasyat ini. "Aku gagal," batinnya. Tidak bisa dipungkiri, Samuel merasa gagal dengan usahanya. Ia sudah berjuang semaksimal mungkin, namun hasilnya tetap tidak bisa menyelamatkan semua orang yang berada di dalam gudang. Tangannya gemetar, keringat terus saja mengalir di pelipis keningnya.Bukan hanya Samuel, Michael juga sama. Tubuhnya langsung lemes melihat ledakan dahsyat tersebut. Sedangkan Yura, menangis histeris. Nathan bisa melihat dari rekaman CCTV yang terhubung. Bagian utama gudang tetap utuh. Tidak ada korban.“Kau sukses Sam, mereka… selamat!” teriak Nathan.Wajah Samuel yang tadi tampak pucat pasih dan tertunduk lemas, langsung mengangkat kepalanya. Ia melihat rekaman CCTV. Nathan menepuk pundaknya keras. “Kau jenius, Sam. Tanpa kau, mereka semua sudah jadi abu.”Michael menoleh pada Samuel dengan tatapan lega, meski tubuhnya masih sakit. “Terima kasih, Sam. Kau
Michael memeluk Yura erat di dalam pelukannya. Tangan kirinya yang masih kuat mengusap lembut punggung gadis kecil itu, mencoba menenangkan tangisannya yang tak kunjung reda.“Tenang, Yura… tidak apa-apa. Aku di sini bersamamu,” bisiknya pelan, meski suaranya terdengar berat menahan sakit dari luka tembaknya.Namun Yura tetap menangis, tubuhnya gemetar hebat. Air matanya jatuh deras membasahi pakaian Michael.“Aku takut kalau tempat itu diledakkan. Bagaimana dengan semua orang yang masih di dalam? Mereka… mereka bisa mati semua…”Michael terdiam sejenak, menatap wajah pucat Yura yang penuh ketakutan. Tangannya terus saja mengusap punggung Yura. Berharap gadis kecil itu bisa lebih tenang.Hatinya perih ketika mengingat ucapan salah satu anak yang tadi sempat berbicara, saat mereka masih terkurung di sel yang sama. Anak laki-laki bertubuh kurus itu tersenyum samar, meski matanya sayu karena lapar.“Aku ingin tetap hidup,” kata anak itu lirih waktu itu. “Meskipun aku tidak punya keluarga
Sementara itu, Samuel masih menatap layar laptopnya. Jemarinya mengetik cepat, mencoba menembus sistem yang memicu bom. “Aku akan coba menjinakkannya lewat jalur jarak jauh, tapi aku tidak bisa janji berhasil. Sistem mereka terlalu rumit.”Nathan menatapnya serius. “Kau punya waktu tujuh menit, Sam. Lakukan yang kau bisa.”Samuel mengangguk singkat, keringat membasahi wajahnya. “Aku akan berusaha.”Rizky dengan cepat membawa mobil keluar dari areal tersebut. Mereka harus benar-benar mencari tempat yang aman.Mobil tersebut berhenti di jarak yang cukup jauh.Michael menatap ke arah Nathan dan Samuel. “Aku tidak bisa banyak bergerak. Jadi katakan, apa yang bisa kulakukan untuk membantu?”Nathan menoleh ke arah Rizky. Tatapan matanya dalam, seolah memahami kondisi Michael. Ia tahu Michael sudah berada di ambang batas. Mereka juga tidak mungkin masuk ke dalam. Mengingat kondisi waktu yang tidak memungkinkan. Saat ini mereka hanya bisa berharap dengan Samuel.“Kau cukup jaga Yura tetap ama
Michael segera keluar dari tempat persembunyian setelah yakin suara yang datang adalah Samuel dan para polisi. Yura masih dalam gendongannya, wajahnya menempel erat di bahu Michael, seakan takut kalau Michael menghilang.“Samuel…” suara Michael bergetar, namun senyum lega merekah di wajahnya. Ia sangat senang ketika melihat Samuel selamat. Padahal ia takut jika hal buruk terjadi terhadap adiknya. Begitu juga dengan Rizky dan Nathan yang tampak baik-baik saja. Samuel berlari mendekat, matanya langsung tertuju pada luka di lengan Michael yang masih mengucurkan darah. “Astaga, kau terluka parah! Cepat letakkan Yura, biar aku membawanya, dan kau harus segera diobati.”Michael menggeleng perlahan. “Tidak, biar aku yang membawanya keluar. Aku sudah berjanji pada Yura, aku yang akan membawanya pulang.”Yura mengeratkan pelukannya, seakan takut dipisahkan. Samuel menghela napas panjang, lalu menepuk bahu kakaknya dengan lembut. “Baiklah… tapi kita harus cepat. Polisi sudah mengepung seluruh