Share

Bab 4

Author: Cancer Girl
last update Last Updated: 2025-02-18 19:58:58

Malam hari, suasana rumah Taufik begitu hening, hanya terdengar suara langkah kaki di lantai marmer rumah mewah Taufik. Saat itu, Ernita sedang membersihkan ruang tamu karena Tia sudah pulang. Ia hanya bekerja pagi sampai sore saja lantaran memiliki anak dan suami di rumahnya.

Ernya tak menyangka bahwa malam itu Loren, ibu Taufik, datang lagi. Taufik sudah tiba di rumah setelah hari yang panjang, dan Loren segera mendekatinya.

"Taufik, ayo kita makan malam bersama di restoran. Aku ingin kamu beristirahat setelah seharian bekerja," ajak Loren dengan suara lembut, namun nada perintahnya tak bisa disembunyikan.

Taufik terlihat lelah namun tetap mengangguk. "Baik, Mah. Tapi, aku ingin berbicara sebentar denganmu tentang Ernita."

Loren memutar bola matanya. "Apa lagi yang perlu dibicarakan tentang perempuan itu? Bukankah kamu sudah memutuskan segala sesuatunya?" tanyanya, masih dengan nada yang penuh kecurigaan.

Malam itu, Ernita yang sedang merapikan beberapa barang di ruang tamu mendengar percakapan mereka dengan jelas. Ia tahu bahwa pembicaraan itu tentang dirinya. Penasaran dan merasa sedikit cemas, Ernita memilih untuk mendekat secara diam-diam, bersembunyi di balik pintu yang sedikit terbuka. Dengan hati-hati, ia mendengarkan percakapan antara Taufik dan ibunya.

"Mah, aku tahu kamu tidak suka dengan keputusan ini, tapi ada alasan kenapa aku memutuskan untuk menyuruh Ernita menyusui anak-anak kembar kita," Taufik mulai menjelaskan dengan suara berat, seperti berusaha meyakinkan ibunya.

Loren mengangkat alisnya. "Alasan? Apa alasanmu, Taufik? Kita sudah punya pembantu di rumah ini, kenapa harus perempuan asing itu yang menyusui cucuku?" Suaranya terdengar kecewa.

Taufik menarik napas panjang, lalu berkata dengan hati-hati. "Nita ... dia memiliki banyak kesamaan dengan Fatma. Aku tidak tahu bagaimana menjelaskannya, Bu, tapi dia sangat mirip dengan istriku. Aku ingin anak-anak merasa aman, merasa ada yang mengasuh mereka dengan penuh kasih sayang. Tidak hanya sebagai ibu susu, tetapi juga sebagai pengganti Fatma yang tiba-tiba pergi begitu saja."

Loren terdiam sejenak mendengarkan penjelasan Taufik dengan penuh perhatian, meskipun wajahnya terlihat terkejut. Ia tahu betul betapa besar kehilangan Taufik setelah istrinya, Fatma, meninggal pasca melahirkan bayi kembar mereka, Asrul dan Arkaf. Kehilangan itu menghancurkan hati Taufik, dan Loren tahu betul betapa beratnya Taufik menjalani hidup tanpa Fatma.

"Jadi, kamu berpikir Nita bisa menggantikan tempat Fatma? Ini bukan hal yang mudah, Taufik. Kamu tahu kan, aku tidak suka ada orang asing terlalu dekat dengan cucu-cucuku. Aku merasa tidak nyaman dengan hal ini." Loren menjawab dengan nada yang lebih lembut, meskipun masih ada rasa ketidaksetujuan yang tersisa.

Taufik menatap ibunya dengan penuh perhatian. "Aku tahu ini sulit, Mah. Tapi Ernita sudah membantu kami lebih dari yang bisa aku jelaskan. Dia sudah menjadi ibu susu untuk anak-anak, dan mereka menerima kasih sayangnya. Aku hanya ingin mereka tumbuh dengan cinta yang tulus, bahkan jika itu bukan dari ibu kandung mereka."

Loren terdiam. Ia tahu Taufik benar-benar berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Namun ada rasa cemas yang masih menghantuinya. Apakah ini benar-benar keputusan yang tepat? Apakah Ernita benar-benar bisa menggantikan tempat Fatma dalam hidup mereka?

Di sisi lain, Ernita yang mendengarkan percakapan itu merasa campur aduk. Perasaan cemas dan terharu bercampur dalam hatinya. Ia tahu bahwa dirinya hanyalah ibu susu, namun di balik itu ada perasaan yang lebih dalam. Ia merasakan ikatan yang tumbuh dengan anak-anak Taufik, bahkan jika itu hanya sementara. Namun ia juga tidak ingin terjebak dalam perasaan yang lebih besar, yang mungkin tidak bisa ia hindari.

Loren akhirnya menghela napas panjang, tampak menerima penjelasan Taufik, meskipun ada ketegangan yang masih terasa. "Baiklah, Taufik. Aku akan mencoba memahami keputusanmu. Tapi aku ingin kamu hati-hati dengan Nita. Jangan biarkan dirimu terlalu terikat padanya," kata Loren masih dengan nada khawatir.

Taufik tersenyum kecil, seolah lega karena ibunya mulai menerima situasi ini. "Aku janji, Mah. Aku akan berhati-hati."

Ernita yang mendengar semua itu merasa lega, namun juga tertekan. Ia tidak tahu bagaimana harus bertindak selanjutnya, apakah ia harus terus menjadi bagian dari kehidupan Taufik dan anak-anaknya ataukah ia harus segera mengundurkan diri agar tidak menambah beban mereka. Namun, satu hal yang pasti, perasaan yang ia miliki terhadap bayi-bayi itu semakin dalam, dan itu membuatnya merasa terhubung dengan mereka lebih dari yang ia bayangkan.

Taufik dan Loren akhirnya pergi ke restoran untuk makan malam, sementara Ernita kembali ke ruang tamu, memikirkan percakapan yang baru saja ia dengar. Ia tahu bahwa keputusannya untuk tetap tinggal di rumah itu, menyusui bayi kembar Taufik, adalah langkah yang penuh risiko. Namun ia tidak bisa lagi mundur begitu saja. Ia harus menjalani peran barunya dengan sepenuh hati.

Ernita duduk terdiam di ruang tamu, matanya menatap kosong ke arah bayi kembar yang tertidur lelap di buaian mereka. Walaupun tubuh mereka tenang, hatinya tetap bergejolak. Dia tidak bisa menahan rasa cemas yang semakin menggerogoti pikirannya. Mengingat percakapan tadi, dia merasa berada di tengah antara dua dunia yang berbeda. Di satu sisi, dia merasa terhormat karena bisa memberi kasih sayang kepada bayi-bayi itu, yang kini menganggapnya sebagai sosok ibu pengganti. Namun, di sisi lain, Ernita merasa terperangkap dalam peran yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Ia teringat akan kehidupannya dulu, sebelum kehilangan bayinya yang pertama, sebelum hidupnya dihancurkan oleh caci maki suami dan mertuanya. Dulu, ia memiliki impian untuk membesarkan keluarganya dengan bahagia untuk menjadi ibu yang penuh kasih sayang bagi anak-anaknya. Namun sekarang, impian itu terasa jauh dan tak terjangkau. Kini ia hanya bisa menjalani hidup dengan seadanya, bertahan dengan pekerjaan yang tak pernah ia duga.

Namun Ernita tidak bisa memungkiri bahwa rasa sayang kepada anak-anak Taufik tumbuh setiap hari. Meskipun mereka bukan darah dagingnya, ia merasa seolah-olah mereka adalah bagian dari dirinya. Bayi-bayi itu membutuhkan ASI, dan dia dengan senang hati memberikannya, meskipun hatinya terkadang terasa perih karena mengingat kehilangan bayinya. Ernita merasa seperti seorang ibu yang tak berdaya, terperangkap dalam situasi yang rumit. Ia tahu dirinya hanyalah ibu susu sementara, tapi perasaan sayang itu sulit ditahan.

Di luar, hujan mulai turun perlahan, membawa ketenangan yang terasa kontras dengan kekhawatiran yang ada di dalam hati Ernita. Dia menyadari bahwa kehidupannya telah berubah begitu cepat. Sekarang, ia hanya ingin menjalani hari-harinya dengan tenang dan memberi yang terbaik untuk anak-anak Taufik. Namun dia tahu bahwa masa depan masih penuh dengan ketidakpastian, dan hubungan mereka belum sepenuhnya jelas. Ernita merasa bingung, apakah dia harus terus bertahan dalam peran ini, ataukah ada jalan lain yang bisa membawanya ke arah yang lebih baik.

"Semoga aku kuat ...," lirihnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Menjadi Ibu Susu untuk Bayi Kembar Sang Presdir   Bab 99

    Sudah beberapa bulan berlalu sejak Arkaf dan Asrul ikut bersama Maria dan Sanjaya tinggal di Swiss. Di awal-awal kepergian mereka, dua bocah kembar itu sempat mengalami homesick. Mereka beberapa kali terdiam menatap jendela, seolah menanti seseorang datang menjemput. Namun, hari demi hari mereka mulai terbiasa dengan kehidupan di negeri dingin itu.Maria adalah sosok nenek yang penuh perhatian. Setiap pagi, ia menyiapkan sarapan bergizi untuk cucu angkatnya, membangunkan mereka dengan ciuman lembut di kening dan menyelipkan jaket tebal ke tubuh mungil mereka. Sementara Sanjaya, meski tak terlalu banyak bicara, selalu menjadi sosok pelindung yang hangat. Ia sering mengajak keduanya berjalan-jalan di taman dekat rumah, atau sekadar bermain salju di halaman belakang."Nek, kapan salju turunnya lebat lagi? Aku mau bikin manusia salju yang lebih besar dari kemarin," tanya Arkaf suatu pagi sambil menatap keluar jendela.Maria tersenyum. "Sebentar lagi, sayang. Musim salju tahun ini memang a

  • Menjadi Ibu Susu untuk Bayi Kembar Sang Presdir   Bab 98

    Sore itu, cuaca begitu bersahabat. Langit tampak bersih dan matahari sore menyinari dengan hangat, menyelinap masuk melalui jendela besar rumah megah milik Reza. Pintu utama rumah tiba-tiba terbuka perlahan dan masuklah sepasang suami istri paruh baya dengan penampilan rapi dan elegan. Wajah mereka penuh senyum bahagia. Koper-koper tertata rapi di belakang, dibawa oleh supir yang setia melayani mereka sejak dari bandara."Halo!" seru wanita itu dengan nada ceria.Reza yang tengah duduk di ruang tamu, nyaris tersedak kopi sore yang baru saja ia teguk. Ia cepat-cepat berdiri, matanya melebar tak percaya. "Mama? Papa?"Maria, wanita anggun berambut sebahu itu tersenyum lebar dan langsung memeluk putranya."Lho, mama sama papa pulang nggak ngabarin dulu," ujar Reza masih setengah kaget.Sanjaya, sang ayah yang berdiri di samping Maria, hanya tertawa kecil. "Kita mau kasih kejutan, Rez," ujarnya tenang."Iya benar, kalau kita ngabarin dulu, namanya bukan kejutan," sambung Maria sambil tert

  • Menjadi Ibu Susu untuk Bayi Kembar Sang Presdir   Bab 97

    Di sebuah rumah, suasana sore itu terasa hangat. Si kembar, Asrul dan Arkaf, tengah duduk santai di ruang tengah bersama Reza. Pria itu sudah mengganti pakaiannya dengan kaos oblong dan celana pendek, sementara si kembar tampak nyaman mengenakan baju baru pemberian Reza. Di atas meja, beberapa bungkus es krim yang sudah habis masih berserakan, bukti betapa mereka menikmatinya.Reza menatap kedua anak itu dengan ekspresi lembut, tapi dalam hatinya, ia dipenuhi tanda tanya. Siapa sebenarnya mereka? Ia mencoba untuk menggalinya secara perlahan."Apa kalian masih ingat sekolah kalian di mana?" tanya Reza hati-hati sambil duduk bersila di depan mereka.Asrul dan Arkaf saling berpandangan sejenak, seolah mencari jawaban di mata satu sama lain. Namun akhirnya mereka menggelengkan kepala bersamaan."Nggak tau, Om," ujar Asrul."Iya, Om, aku juga nggak inget," sambung Arkaf.Reza tersenyum tipis, berusaha tak memperlihatkan rasa kecewanya. "Atau gini aja, nama sekolah kalian apa? Mungkin masih

  • Menjadi Ibu Susu untuk Bayi Kembar Sang Presdir   Bab 96

    Sore itu, cuaca terlihat cerah, langit biru tak berawan membentang indah di atas kota yang sibuk. Setelah seharian bekerja, Taufik akhirnya sampai di rumah. Tubuhnya memang lelah, tetapi pikirannya tak kunjung tenang. Seperti hari-hari sebelumnya, wajah si kembar masih terus menghantui benaknya. Namun kali ini, Ernita menyambutnya dengan ajakan yang sedikit berbeda."Mas, ayo kita keluar sebentar, keliling kota, siapa tahu kita bisa nemu petunjuk apa pun soal anak-anak," ajak Ernita dengan raut yang sudah sedikit lebih segar. Rupanya, ia mencoba untuk tidak larut dalam kesedihan.Taufik sempat ragu. "Sekarang? Kamu yakin nggak capek, Nit?""Justru aku makin gelisah kalau cuma duduk di rumah. Kita keliling saja, mungkin takdir lagi baik hati sama kita hari ini."Melihat tekad di wajah istrinya, Taufik akhirnya mengangguk. "Oke. Aku mandi dulu, habis itu kita berangkat."Tak lama, mereka sudah berada di dalam mobil, menyusuri jalanan kota. Suara mesin mobil terdengar lembut, menyatu den

  • Menjadi Ibu Susu untuk Bayi Kembar Sang Presdir   Bab 95

    Di tempat lain, Gudel tampak berjalan mondar-mandir di dalam ruang kerjanya yang sepi dan dipenuhi oleh aroma kopi yang sudah dingin. Wajahnya terlihat gelisah. Kerutan di dahinya semakin dalam, dan tangannya beberapa kali mengepal kuat. Rasa tak tenang menggeliat di dadanya seperti ular yang mencari jalan keluar."Ke mana sebenarnya anak-anak itu?" gumamnya pelan, namun penuh kemarahan dan kekhawatiran.Ia berhenti sejenak di depan jendela besar ruangannya. Menatap keluar, tetapi pikirannya tak benar-benar melihat apa pun. Semua hanya bayangan samar dalam pikirannya. Dua wajah kecil itu, Asrul dan Arkaf terus muncul di benaknya."Kalau mereka sudah pulang ke rumah, pasti Taufik nggak akan sempat-sempatnya datang menanyakan mereka ke kantorku. Dia bahkan berani mengobrak-abrik ruanganku, berarti jelas dia belum nemu anak-anaknya," lanjut Gudel berbicara pada dirinya sendiri.Ia menepuk dahinya keras. "Tapi kalau bukan di rumah Taufik, terus ke mana mereka? Apa mungkin ada orang lain y

  • Menjadi Ibu Susu untuk Bayi Kembar Sang Presdir   Bab 94

    Sore itu, langit tampak merona jingga ketika Helen tiba di rumah kakaknya, Taufik. Ia turun dari mobil sambil membawa sekotak kue yang baru saja dibelinya di toko langganan. Setibanya di depan pintu, ia disambut ramah oleh Tia yang mengenakan apron dengan noda saus di bagian bawahnya."Selamat sore, Mbak Helen. Ayo, silakan masuk. Nyonya Ernita ada di ruang tamu," ujar Tia sopan sambil membukakan pintu.Helen mengangguk, masuk dengan langkah ringan. Di ruang tamu, Ernita duduk di sofa sambil memegang cangkir teh hangat. Senyuman merekah saat melihat kedatangan adik iparnya."Wah, Helen, tumben mampir?" sapa Ernita."Iya, aku lagi pengen ngobrol aja, Mbak. Di rumah sendirian tuh rasanya kayak sumpek," ucap Helen sembari meletakkan kotak kue di atas meja.Mereka pun duduk dan mulai berbincang ringan tentang berbagai hal, mulai dari pekerjaan Helen sebagai bendahara perusahaan, sampai resep masakan yang baru dipelajari Tia dari internet.Beberapa saat kemudian, Taufik muncul dari dalam r

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status