Pagi itu, Taufik berangkat lebih awal ke kantor karena ada rapat penting dengan klien dari luar negeri. Seperti biasa, sebelum pergi, ia sempat menengok kedua putranya yang sedang tertidur lelap di dalam boks bayi mereka. Ernita pun sudah bersiap dengan pekerjaannya. Hari ini tugasnya tetap sama, merawat dan menyusui bayi kembar Taufik, Asrul dan Arkaf.
Namun berbeda dari hari-hari sebelumnya, kali ini ibu Taufik, Loren, memutuskan untuk tinggal di rumah putranya sepanjang hari karena dia mendengar bahwa Tia meminta ijin libur lantaran anaknya sakit. Hal itu dijadikan kesempatan oleh Loren. Tidak sendirian, ia mengajak serta putrinya, Helen, yang merupakan adik perempuan Taufik. Keduanya sudah berencana untuk mengamati dan mencari kesalahan Ernita agar bisa mengusirnya dari rumah itu. "Ibu, kenapa kita tidak menyuruh saja Taufik mengganti wanita itu dengan perawat bayi profesional?" bisik Helen saat mereka duduk di ruang tamu sambil memperhatikan gerak-gerik Ernita dari kejauhan. Loren menyesap tehnya perlahan, lalu menatap putrinya dengan tajam. "Tidak bisa langsung seperti itu. Taufik terlalu percaya diri dengan keputusan yang dia buat. Kita harus punya alasan yang kuat agar dia sendiri yang menyingkirkan perempuan itu." Sementara itu di dalam kamar bayi, Ernita tengah menyusui Asrul. Bayi itu tampak nyaman dalam dekapannya, matanya setengah terpejam karena kenyang. Arkaf yang berada di boks sebelahnya mulai menggeliat, pertanda ia juga ingin menyusu. Ernita hendak menggeser posisi agar bisa menyusui Arkaf, tetapi sebelum sempat melakukannya, pintu kamar terbuka lebar. Loren dan Helen melangkah masuk tanpa izin, menatapnya dengan sorot mata tajam. "Astaga, jadi benar! Kau masih menyusui mereka langsung dengan ASI-mu?" seru Helen dengan nada mencemooh. "Kenapa tidak memakai botol saja? Itu lebih higienis!" Ernita mengangkat wajahnya, mencoba tetap tenang meskipun dadanya berdebar karena dipojokkan. "Tuan Taufik sendiri yang meminta saya untuk menyusui mereka secara langsung. Bayi-bayi ini menolak susu formula, dan mereka lebih nyaman dengan ASI." Loren melipat tangan di dadanya, berjalan mendekat dengan langkah anggun namun penuh tekanan. "Kau ini siapa sebenarnya? Aku masih belum percaya dengan cerita yang kau buat. Suamimu meninggal, bayimu meninggal, dan tiba-tiba kau ada di sini, menyusui cucu-cucuku? Itu terdengar terlalu dramatis untuk menjadi kenyataan." Ernita menggigit bibirnya, menahan air mata yang hampir tumpah. "Saya tidak punya alasan untuk berbohong, Nyonya. Saya hanya seorang wanita yang butuh pekerjaan untuk bertahan hidup." Helen mendengus sinis. "Bertahan hidup dengan cara menempel pada kakakku? Jangan-jangan kau berharap bisa menggantikan almarhumah Fatma dan menjadi istri kakakku?" Ernita terkesiap mendengar tuduhan itu. Wajahnya langsung memerah karena merasa sangat direndahkan. "Saya tidak pernah berpikir seperti itu! Saya di sini hanya untuk bekerja dan merawat bayi-bayi ini." Loren menyeringai, merasa puas melihat Ernita dalam posisi terpojok. "Aku tidak percaya dengan wanita seperti kamu. Kau mungkin bisa memperdaya Taufik, tapi tidak denganku. Awas saja, aku akan menemukan kesalahanmu dan memastikan kau tidak bertahan lama di rumah ini." Ernita hanya bisa diam, menundukkan kepala sambil berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Ia tahu, mulai hari ini hidupnya di rumah ini akan semakin sulit. **** Seharian Loren di rumah Taufik bersama Helen. Mereka berusaha mencari-cari kesalahan Ernita untuk bahan bulian. Loren sudah mengawasi setiap gerak-gerik Ernita dengan tatapan penuh curiga. "Kau benar-benar bekerja di sini atau hanya berpura-pura?" tanyanya dengan nada tajam saat Ernita sedang mencuci botol susu bayi kembar. Ernita berusaha tetap tenang. "Saya hanya ingin melakukan tugas saya dengan baik, Bu," jawabnya lembut. Helen yang sejak tadi memperhatikan langsung menimpali, "Ibu, lihat itu! Dia bahkan tidak memakai celemek saat mencuci botol. Bagaimana kalau botolnya tidak steril?" Loren mengangguk setuju. "Kamu ini ceroboh. Jangan sampai cucu-cucuku sakit gara-gara ketidakbecusanmu!" Ernita menggigit bibirnya, menahan gejolak di hatinya. Namun ia tetap fokus pada pekerjaannya. Beberapa saat kemudian, bayi kembar mulai menangis. Ernita dengan sigap menggendong salah satu bayi dan mulai menyusui. Loren langsung mendekat dan mengawasi dengan wajah sinis. "Kenapa kamu tampak begitu nyaman menyusui cucuku? Jangan berpikir kamu bisa mengambil tempat Fatma di sini!" Ernita tersentak, tetapi ia tidak membalas. Helen tertawa kecil, menikmati situasi itu. "Mungkin dia sengaja, Bu. Mana tahu dia ingin jadi bagian dari keluarga ini." "Tidak akan pernah!" Loren menegaskan. "Kau hanya pekerja di sini. Jangan pernah bermimpi lebih!" Hari itu berlalu dengan tekanan dan ejekan dari Loren dan Helen. Namun Ernita tetap bertahan. Ia tahu dirinya ada di sini untuk Asrul dan Arkaf, bukan untuk membalas kebencian mereka. "Lihat saja caranya menyusui, seperti perempuan murahan saja," bisik Helen pada Loren. "Aku masih tidak mengerti kenapa Taufik memilih wanita seperti dia untuk merawat cucuku," timpal Loren dengan nada ketus. Saat Ernita hendak membawa bayi ke kamar, Helen sengaja menabraknya hingga Ernita hampir terjatuh. "Astaga! Apa kau buta? Hati-hati dong!" bentak Helen. Ernita hanya menunduk menahan perasaan. Dia tidak ingin memperkeruh suasana. Namun Loren malah menambahkan. "Kalau kau tidak bisa menjaga keseimbangan, lebih baik pergi dari rumah ini. Aku tidak mau cucuku terluka gara-gara kamu." Siang harinya, Ernita mencoba mengabaikan sikap keduanya dan tetap bekerja seperti biasa. Namun Loren dan Helen tidak berhenti mencari masalah. Mereka sengaja meninggalkan tumpukan cucian piring kotor di dapur lalu memanggil Ernita dengan suara keras. "Hei, kau! Kenapa piringnya belum dicuci? Apa kau pikir hanya tugasmu menyusui saja di sini?" Ernita terkejut dan melihat tumpukan piring yang tidak ada sebelumnya. Meski hatinya terluka, dia tetap melangkah ke arah wastafel dan mulai mencuci tanpa berkata apa-apa. Namun saat itu, Loren menyenggol gelas hingga jatuh dan pecah. "Astaga, kau ceroboh sekali! Aku sudah tahu kau ini pembawa sial," sindir Loren dengan nada puas. Ernita menghela napas dalam-dalam, menahan air matanya. Dia sadar, apapun yang dia lakukan tidak akan pernah benar di mata mereka. Tetapi demi Asrul dan Arkaf, dia harus bertahan. Saat sore menjelang, Helen kembali mencari kesalahan Ernita. Kali ini dia menumpahkan segelas jus di lantai ruang tamu, lalu berteriak memanggil Ernita. "Lihat! Lantai ini kotor! Bersihkan sekarang juga!" Ernita datang dengan kain pel dan mulai membersihkan lantai. Namun, saat dia membungkuk, Helen sengaja menjatuhkan tisu ke lantai dan menginjak tangan Ernita tanpa sengaja. "Ups, maaf! Kakiku terpeleset," katanya dengan nada mengejek. Ernita menggigit bibirnya, menahan sakit. Dia tidak ingin membalas, karena tahu itu hanya akan memperburuk keadaan. Saat malam tiba, Taufik pulang dari kantor dan melihat Ernita terlihat lelah. Dia juga melihat ibunya dan Helen yang tampak puas setelah seharian mengganggu Ernita. "Ada apa ini?" tanya Taufik, melihat wajah Ernita yang pucat. "Tidak ada, aku hanya sedikit lelah," jawab Ernita pelan. Taufik menatap tajam ke arah Loren dan Helen, seolah mencurigai sesuatu. Namun sebelum dia sempat bertanya lebih lanjut, Loren tersenyum dan berkata .... "Kami hanya memastikan bahwa wanita ini benar-benar bekerja dengan baik, Taufik. Kau tahu, aku hanya ingin yang terbaik untuk cucu-cucuku." Taufik tidak menjawab, tetapi dalam hatinya, dia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Malam itu dia memutuskan untuk mengawasi apa yang sebenarnya terjadi di rumahnya.Sudah beberapa bulan berlalu sejak Arkaf dan Asrul ikut bersama Maria dan Sanjaya tinggal di Swiss. Di awal-awal kepergian mereka, dua bocah kembar itu sempat mengalami homesick. Mereka beberapa kali terdiam menatap jendela, seolah menanti seseorang datang menjemput. Namun, hari demi hari mereka mulai terbiasa dengan kehidupan di negeri dingin itu.Maria adalah sosok nenek yang penuh perhatian. Setiap pagi, ia menyiapkan sarapan bergizi untuk cucu angkatnya, membangunkan mereka dengan ciuman lembut di kening dan menyelipkan jaket tebal ke tubuh mungil mereka. Sementara Sanjaya, meski tak terlalu banyak bicara, selalu menjadi sosok pelindung yang hangat. Ia sering mengajak keduanya berjalan-jalan di taman dekat rumah, atau sekadar bermain salju di halaman belakang."Nek, kapan salju turunnya lebat lagi? Aku mau bikin manusia salju yang lebih besar dari kemarin," tanya Arkaf suatu pagi sambil menatap keluar jendela.Maria tersenyum. "Sebentar lagi, sayang. Musim salju tahun ini memang a
Sore itu, cuaca begitu bersahabat. Langit tampak bersih dan matahari sore menyinari dengan hangat, menyelinap masuk melalui jendela besar rumah megah milik Reza. Pintu utama rumah tiba-tiba terbuka perlahan dan masuklah sepasang suami istri paruh baya dengan penampilan rapi dan elegan. Wajah mereka penuh senyum bahagia. Koper-koper tertata rapi di belakang, dibawa oleh supir yang setia melayani mereka sejak dari bandara."Halo!" seru wanita itu dengan nada ceria.Reza yang tengah duduk di ruang tamu, nyaris tersedak kopi sore yang baru saja ia teguk. Ia cepat-cepat berdiri, matanya melebar tak percaya. "Mama? Papa?"Maria, wanita anggun berambut sebahu itu tersenyum lebar dan langsung memeluk putranya."Lho, mama sama papa pulang nggak ngabarin dulu," ujar Reza masih setengah kaget.Sanjaya, sang ayah yang berdiri di samping Maria, hanya tertawa kecil. "Kita mau kasih kejutan, Rez," ujarnya tenang."Iya benar, kalau kita ngabarin dulu, namanya bukan kejutan," sambung Maria sambil tert
Di sebuah rumah, suasana sore itu terasa hangat. Si kembar, Asrul dan Arkaf, tengah duduk santai di ruang tengah bersama Reza. Pria itu sudah mengganti pakaiannya dengan kaos oblong dan celana pendek, sementara si kembar tampak nyaman mengenakan baju baru pemberian Reza. Di atas meja, beberapa bungkus es krim yang sudah habis masih berserakan, bukti betapa mereka menikmatinya.Reza menatap kedua anak itu dengan ekspresi lembut, tapi dalam hatinya, ia dipenuhi tanda tanya. Siapa sebenarnya mereka? Ia mencoba untuk menggalinya secara perlahan."Apa kalian masih ingat sekolah kalian di mana?" tanya Reza hati-hati sambil duduk bersila di depan mereka.Asrul dan Arkaf saling berpandangan sejenak, seolah mencari jawaban di mata satu sama lain. Namun akhirnya mereka menggelengkan kepala bersamaan."Nggak tau, Om," ujar Asrul."Iya, Om, aku juga nggak inget," sambung Arkaf.Reza tersenyum tipis, berusaha tak memperlihatkan rasa kecewanya. "Atau gini aja, nama sekolah kalian apa? Mungkin masih
Sore itu, cuaca terlihat cerah, langit biru tak berawan membentang indah di atas kota yang sibuk. Setelah seharian bekerja, Taufik akhirnya sampai di rumah. Tubuhnya memang lelah, tetapi pikirannya tak kunjung tenang. Seperti hari-hari sebelumnya, wajah si kembar masih terus menghantui benaknya. Namun kali ini, Ernita menyambutnya dengan ajakan yang sedikit berbeda."Mas, ayo kita keluar sebentar, keliling kota, siapa tahu kita bisa nemu petunjuk apa pun soal anak-anak," ajak Ernita dengan raut yang sudah sedikit lebih segar. Rupanya, ia mencoba untuk tidak larut dalam kesedihan.Taufik sempat ragu. "Sekarang? Kamu yakin nggak capek, Nit?""Justru aku makin gelisah kalau cuma duduk di rumah. Kita keliling saja, mungkin takdir lagi baik hati sama kita hari ini."Melihat tekad di wajah istrinya, Taufik akhirnya mengangguk. "Oke. Aku mandi dulu, habis itu kita berangkat."Tak lama, mereka sudah berada di dalam mobil, menyusuri jalanan kota. Suara mesin mobil terdengar lembut, menyatu den
Di tempat lain, Gudel tampak berjalan mondar-mandir di dalam ruang kerjanya yang sepi dan dipenuhi oleh aroma kopi yang sudah dingin. Wajahnya terlihat gelisah. Kerutan di dahinya semakin dalam, dan tangannya beberapa kali mengepal kuat. Rasa tak tenang menggeliat di dadanya seperti ular yang mencari jalan keluar."Ke mana sebenarnya anak-anak itu?" gumamnya pelan, namun penuh kemarahan dan kekhawatiran.Ia berhenti sejenak di depan jendela besar ruangannya. Menatap keluar, tetapi pikirannya tak benar-benar melihat apa pun. Semua hanya bayangan samar dalam pikirannya. Dua wajah kecil itu, Asrul dan Arkaf terus muncul di benaknya."Kalau mereka sudah pulang ke rumah, pasti Taufik nggak akan sempat-sempatnya datang menanyakan mereka ke kantorku. Dia bahkan berani mengobrak-abrik ruanganku, berarti jelas dia belum nemu anak-anaknya," lanjut Gudel berbicara pada dirinya sendiri.Ia menepuk dahinya keras. "Tapi kalau bukan di rumah Taufik, terus ke mana mereka? Apa mungkin ada orang lain y
Sore itu, langit tampak merona jingga ketika Helen tiba di rumah kakaknya, Taufik. Ia turun dari mobil sambil membawa sekotak kue yang baru saja dibelinya di toko langganan. Setibanya di depan pintu, ia disambut ramah oleh Tia yang mengenakan apron dengan noda saus di bagian bawahnya."Selamat sore, Mbak Helen. Ayo, silakan masuk. Nyonya Ernita ada di ruang tamu," ujar Tia sopan sambil membukakan pintu.Helen mengangguk, masuk dengan langkah ringan. Di ruang tamu, Ernita duduk di sofa sambil memegang cangkir teh hangat. Senyuman merekah saat melihat kedatangan adik iparnya."Wah, Helen, tumben mampir?" sapa Ernita."Iya, aku lagi pengen ngobrol aja, Mbak. Di rumah sendirian tuh rasanya kayak sumpek," ucap Helen sembari meletakkan kotak kue di atas meja.Mereka pun duduk dan mulai berbincang ringan tentang berbagai hal, mulai dari pekerjaan Helen sebagai bendahara perusahaan, sampai resep masakan yang baru dipelajari Tia dari internet.Beberapa saat kemudian, Taufik muncul dari dalam r