Sebuah tangan kekar terulur ke arah Rania. Rania menoleh ke atas, menatap seorang pria yang kini siap menawarkan bantuan.
Rania membalas uluran tangan itu. Sang pria menarik tangan Rania dengan lembut hingga kini berdiri tepat di sampingnya.
“Apa yang sudah kamu lakukan terhadap Rania?” tanya Farel. Sorot matanya sangat tajam menoleh ke arah Inaya. Ia sangat marah.
“Saya tidak sengaja, Pak. Tadi ketika saya lewat, Rania juga tiba-tiba lewat,” bohong Inaya.
“Jangan bohong kamu, Inaya. Saya melihat jelas apa yang sudah kamu lakukan pada Rania.” Farel berjalan mendekat. Pria itu tidak mampu menyembunyikan kemarahannya dari Inaya.
“M-maafkan saya, Pak. Sa—saya.” Inaya gugup.
“Ini peringatan terakhir buat kamu, Inaya. Kalau sampai nanti kamu menyakiti Rania lagi, saya tidak akan segan-segan memberikan surat peringatan untuk kamu. Saya bisa melaporkan kamu ke pak Bastian atas perbuatan buruk kamu pada karyawan lain. Kamu bisa dapat masalah nanti,” ancam Farel.
Inaya sedikit gemetar. Tanpa mengatakan apa pun, ia segera meninggalkan Rania dan Farel di sana.
“Mas, terima kasih sudah membantuku,” ucap Rania. Ia menyentuh bokongnya. Bokong itu terasa sakit sebab terhempas keras ke lantai ketika Inaya mendorong tubuhnya.
Farel tersenyum, “Mau aku antar pulang?” tawarnya.
Rania menggeleng, “Aku naik taksi saja.”
“Ini adalah perintah, jadi kamu tidak boleh menolaknya,” ucap Farel.
“Aku nggak mau ngerepotin, Mas,” ucap Rania.
“Justru aku akan tersinggung kalau kamu menolaknya.” Farel tetap memaksa.
“Tapi nanti ada yang marah lo.” Rania terkekeh ringan.
“Siapa?” tanya Farel.
“Fansnya kamu, Mas. Yang selama ini menaruh hati sama kamu, tapi sayangnya selalu kamu cuekin,” jawab Rania.
“Inaya?” Farel mengernyit.
Rania mengangguk.
“Sudah berapa kali aku katakan kalau aku nggak suka sama dia. Kenapa sih dia ngotot banget. Kayak nggak ada laki-laki lain saja.” Farel berdecak.
“Namanya udah cinta, mau gimana lagi, Mas. Tapi kenapa sih kamu nggak mau sama Inaya, Mas. Inaya’kan cantik lo. Seksi lagi,” ucap Rania.
“Itu karena aku maunya sama kamu saja. Nggak mau sama yang lainnya.” Farel meraih tangan kanan Rania. Ia kembali menggenggam tangan itu dengan lembut.
“Kamu ini, Mas. Udah ah, pulang yuk.” Rania melepaskan tangannya dari genggaman Farel lalu berjalan mendekat ke arah meja kerja dan meraih tas selempang masih terletak di atas meja.
“Sebelum pulang, aku mau ajak kamu makan malam dulu,” ajak Farel.
“Tapi ini masih sore, Mas. Lagian aku juga masih kenyang.” Rania berusaha menolak.
“Kalau gitu kita ngopi aja dulu sembari menunggu waktu makan malam.” Farel masih berusaha membujuk agar Rania mau menerima ajakannya.
“Tapi aku capek, Mas. Lain kali saja ya.” Rania masih berusaha menolak.
“Baiklah, kali ini aku tidak akan memaksa. Tapi aku akan beli makanan buat kamu untuk kamu makan malam nanti,” ucap Farel.
“Nggak usah, Mas. Lagian aku jarang makan malam.” Lagi-lagi Rania masih menolak.
“Kali ini aku tidak menerima penolakan,” tegas Farel.
Rania menghela napas, “Baiklah ... Bisa kita pulang sekarang?”
Farel mengangguk. Kembali ia raih tangan kanan Rania lalu ia genggam dengan lembut.
Rania berusaha melepaskan genggaman tangan itu, namun sayangnya Farel menahannya hingga pada akhirnya Rania membiarkan Farel menggandengnya seraya meninggalkan kantor salah satu hotel bintang lima di Jakarta.
Sepeninggal Farel dan Rania, seseorang kini berdiri tepat di tempat Rania tersungkur tadi. Ia memerhatikan gerak langkah kaki Farel dan Rania dengan perasaan kesal dan marah.
***
Kota Jakarta, kediaman Maya.
Inaya turun dari taksi, lalu melangkah masuk ke gerbang rumah Maya. Rumah yang sangat megah dan mewah. Berlantai tiga dengan eksterior modern dan halaman yang sangat luas.
Setelah mendapatkan izin dari satpam yang menjaga rumah Maya, Inaya pun masuk ke dalam rumah. Ia dudukkan bokongnya di salah satu sofa mewah yang terdapat di ruang tamu rumah itu.
“Mau apa kamu menemuiku malam-malam begini, Inaya?” tanya Maya. Wanita yang kini mengenakan dress mini tanpa lengan itu duduk bersilang kaki di atas sebuah sofa di ruang tamu rumahnya.
“Bu, saya mau minta tolong,” ucap Inaya tanpa basa basi.
“Memangnya apa yang kamu inginkan?” tanya Maya.
“Bu, saya ingin ibu memecat Rania dari kantor,” ucap Inaya.
“Kenapa saya harus melakukan hal itu?” tanya Maya.
“Itu karena Rania sudah merebut Farel dari saya. Hubungan Rania dan Farel semakin dekat. Saya cemburu, Bu,” jujur Inaya.
“Hubungannya dengan saya apa?” tanya Maya.
“I—itu ....” Inaya tergagap.
“Inaya, tolong jangan bawa-bawa urusan pribadi ke pekerjaan. Kalau kamu memang suka sama Farel, rebut dong. Jangan malah memerintah saya. Saya ini adalah calon pemilik The Lion Hotel, jadi tidak pantas kamu memerintah saya untuk memecat seseorang yang tidak ada urusannya dengan saya,” tegas Maya.
“Tapi Ibu’kan juga nggak suka sama Rania? Lalu kenapa ibu masih mempertahankan dia di kantor?” Inaya kembali percaya diri.
“Itu urusan saya, bukan urusan kamu. Jadi kamu jangan terlalu ikut campur. Jangan mentang-mentang kamu jadi suruhan saya, lalu kamu seenaknya memerintah saya.” Maya meluruskan ke dua kakinya. Ia ambil gelas berisi minuman dingin di atas meja lalu ia tenggak minuman itu dengan nikmat.
Inaya kembali tertunduk, “Ma—maaf’kan saya, Bu. Saya tidak bermaksud demikian.”
“Apa ada lagi yang ingin kamu sampaikan? Kalau tidak ada, sebaiknya kamu pergi sekarang. Saya masih ada urusan.” Maya berdiri lalu pergi begitu saja meninggalkan Inaya yang masih duduk dengan sopan di salah satu sofa menuju taman belakang rumahnya.
Inaya terdiam sesaat. Keluar kata umpatan dari mulutnya dengan suara tertahan. Merasa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan di sana, Inaya pun menekan langkah meninggalkan kediaman Maya. Rencananya untuk menyingkirkan Rania gagal total.
“Mau apa wanita itu ke sini?” tanya Ami.
“Dia memintaku memecat Rania,” jawab Maya.
“Memangnya siapa wanita tadi? Kenapa dia memintamu memecat Rania?” Ami begitu penasaran dengan pernyataan sang anak.
“Dia itu hanya karyawan Bastian, Mi. Sepertinya Farel suka sama Rania, jadi dia cemburu.” Maya berdecak.
“Farel? Farel anaknya Baskoro? Dia itu’kan sepupunya Bastian?” Tanya Ami.
“Iya ... Sepupu kampungan yang sudah dipungut dari desa dan di sekolahkan di sini sama mami dan papinya Bastian. Tapi bagus juga sih kalau Farel suka sama Rania. Mereka berdua memang cocok. Sama-sama kampungan. Sama-sama berasal dari keluarga rendahan.” Maya mendudukkan bokongnya di salah satu kursi santai tepat di depan kolam renang.
Tiba-tiba saja, ponsel Maya berdering. Ada panggilan suara dari Nora—ibunda Bastian. Dengan senyum sumringah, Maya langsung mengangkat panggilan suara itu.
“Selamat malam, Mami cantik,” ucap Maya lembut.
“Malam, Sayang ... Kamu sibuk nggak?” tanya Nora dari balik panggilan suara.
“Nggak, memangnya kenapa, Mi?” tanya Maya.
“Mami mau ajakin kamu ke butiknya Haslen. Mami mau fitting baju untuk acara pernikahan kamu dan Bastian nanti. Bastian katanya sibuk, nggak bisa temani mami. Papi juga sedang di luar kota. Kamu bisa nggak temani mami malam ini?” tanya Nora.
“Bisa. Sebentar ya, Mi. Aku mau ganti baju dulu.” Maya menyanggupi ajakan sang calon ibu mertua.
“Iya, Sayang ... Mami tunggu lo. Nanti kalau kamu sudah selesai, kabari saja. Biar mami yang menjemput ke sana,” ucap Nora.
“Iya, Mi. Aku siap-siap dulu ya,” ucap Maya.
“Iya, Sayang. Mami matiin dulu ya. Nanti kalau kamu sudah selesai, kabari mami. Selamat malam, Sayang ....” Nora mengakhiri percakapannya.
“Malam, Mami,” balas Maya dan panggilan suara itu pun terputus. Kembali senyum sumringah terpatri di bibir wanita dua puluh enam tahun itu.
“Mi, aku mau ke atas dulu ya. Maminya Bastian ngajakin aku ke butiknya Haslen, katanya mau fitting baju. Jadi aku mau siap-siap dulu.” Maya pamit pada sang ibu.
“Iya, Sayang ... Kamu memang harus merebut hati dan perhatiannya orang tua Bastian agar mereka mau mewariskan seluruh kekayaan Pramudista padamu,” ucap Ami dengan senyum miringnya.
“Tentu dong, Mi. Aku mau siap-siap dulu ya, Mi. Selamat malam.” Maya mendekati sang ibu, memeluknya lalu mendaratkan pipi kanan dan pipi kirinya ke kedua pipi sang ibu.
“Malam, Sayang.” Ami membalas.
Hallo ^_^ Makasih ya sudah mampir. Mohon supportnya dengan cara like dan komen cerita ini, terus follow juga akun aku ya. Insyaa Allah nanti aku akan adakan GIVE AWAY ketika bab cerita ini sudah mecapai 10 atau 15 bab. So, ikuti aku ya agar nggak ketinggalan info terbarunya. Insyaa Allah update SETIAP HARI antara jam 9 pagi sampai jam 12 siang. Makasih, KISS ^_^
Beberapa minggu terakhir yang ia habiskan bersama Bastian, justru membuat malam ini terasa begitu canggung bagi Rania. Ia menatap putranya yang sudah terlelap di atas ranjang besar miliknya. Rania memang enggan berpisah dengan Bintang, sebab itu ia memutuskan agar anak semata wayangnya itu tetap tidur di kamar pribadinya malam ini.Perlahan, Rania merebahkan tubuh di samping sang buah hati. Ia mencoba memejamkan mata, berharap bisa ikut terlelap. Namun sayangnya, kelopak matanya seolah menolak untuk tertutup. Ada perasaan ganjil, sebuah rindu yang tak bisa ia ungkapkan dengan kata.Akhirnya, ia bangkit. Melangkah pelan menuju dinding kaca di sisi kamar. Ia membuka pintu geser itu, lalu keluar ke balkon. Berdiri menyandarkan kedua tangannya di pagar besi, seraya memandangi taman belakang rumahnya yang terlihat tenang dan indah diterpa cahaya lampu taman.Kenapa Mama tidak menikah saja dengan Papa?Pertanyaan Bintang yang terlontar di rumah sakit beberapa hari lalu kembali terngiang di
“Selamat pagi, Bintang…” Dengan senyum merekah, Nora dan Prakas datang dengan sebuah buket bunga berukuran besar. Mereka sengaja memesan buket khusus untuk cucu mereka yang kini kondisinya sudah jauh lebih baik.“Terima kasih, Oma,” balas Bintang.“Bintang sekarang sudah segar ya, sudah ganteng. Hari ini, kita akan pulang ke rumah. Tapi oma sedih deh, karena nggak akan bisa bebas lagi bertemu dengan Bintang.” Nora sedikit cemberut. Namun manyun itu malah membuat Bintang tertawa.“Siapa bilang jeng Nora dan mas Prakas tidak bisa bebas datang ke rumah. Kalian bisa datang kapan pun untuk bertemu dengan Bintang. Selama di rumah sakit, kami sadar kalau ikatan darah tidak dapat dipisahkan begitu saja,” ucap Rita.“Iya, Tante. Tante dan om boleh kok datang kapan saja dan bertemu dengan Bintang.” Rania menggenggam lembut tangan kanan Nora.Nora tersenyum lembut. Ia belai pipi Rania sekali, lalu ia pun kembali mengalihkan pandangan ke arah Bintang. “Terima kasih, Rania. Kamu memang sangat baik
Setelah beberapa jam berada di ruang observasi pascaoperasi, Bastian dan Bintang akhirnya dipindahkan ke ruang rawat inap. Mereka ditempatkan di satu ruangan yang sama, kamar VVIP terbaik di rumah sakit itu, yang telah disiapkan sebelumnya oleh keluarga mereka. Meski keduanya sudah sadar, kondisi mereka masih sangat lemah. Namun, Bastian terlihat lebih baik dibandingkan dengan Bintang yang masih tampak pucat dan lemah.Rania duduk di samping tempat tidur Bintang, menggenggam tangan kecil putranya dengan lembut. Matanya berkaca-kaca melihat kondisi anaknya yang masih begitu rapuh. Sesekali, ia mengusap rambut Bintang dengan penuh kasih sayang. Di tempat tidur sebelah, Bastian menatap ke arah mereka dengan senyum tipis. Meski tubuhnya masih terasa nyeri akibat operasi, hatinya terasa lebih ringan karena telah melakukan yang terbaik untuk menyelamatkan putranya.“Bagaimana perasaanmu?” tanya Rania lirih, suaranya penuh perhatian.Bastian mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja. Jangan khaw
“Hasilnya..." dokter berhenti sejenak, melihat ekspresi cemas mereka. Semua orang yang ada di ruangan itu menahan napas, menunggu kelanjutan dari kalimat dokter."Bastian cocok menjadi donor untuk Bintang."Ruangan itu seketika dipenuhi helaan napas lega. Rania menutup wajahnya dengan tangan, menangis tanpa suara. Bastian mengangguk mantap, matanya berkaca-kaca. Namun, dokter belum selesai. "Namun, ada beberapa hal yang perlu kita diskusikan lebih lanjut. Operasi ini harus dilakukan secepat mungkin."Rania menghapus air matanya dengan cepat. "Secepat mungkin? Seberapa cepat, Dok?""Idealnya, dalam 24 jam ke depan. Kondisi Bintang semakin melemah. Jika kita menunda lebih lama, risiko kegagalan akan semakin besar. Kami akan segera menyiapkan jadwal operasi dan memastikan semua persiapan berjalan lancar."Bastian langsung mengangguk. "Saya siap, Dok. Kapan pun operasi akan dilakukan, saya siap."Dokter tersenyum tipis. "Baik. Kami akan segera mempersiapkan ruang operasi dan tim bedah. Un
Di dalam ruangan dokter, suasana terasa begitu tegang. Rania menggenggam jemarinya sendiri, sementara Bastian duduk dengan wajah serius menatap dokter ahli yang akan menangani transplantasi hati Bintang."Sebelum kita melanjutkan ke tahap pemeriksaan, saya ingin menjelaskan terlebih dahulu risiko yang mungkin terjadi dalam operasi ini," ujar dokter dengan nada hati-hati.Bastian mengangguk mantap. "Tolong jelaskan, Dok. Saya ingin tahu semua risikonya."Dokter menarik napas sejenak sebelum mulai berbicara. "Pertama, operasi transplantasi hati merupakan prosedur besar yang memiliki risiko komplikasi. Bagi pasien penerima, dalam hal ini Bintang, ada kemungkinan tubuhnya menolak organ baru meskipun sudah cocok secara medis. Jika ini terjadi, kita harus segera mengambil langkah medis tambahan untuk mengatasinya."Rania menelan ludah, hatinya semakin gelisah. "Lalu bagaimana dengan risiko untuk pendonor? Maksud saya... untuk Bastian?"Dokter menatap keduanya dengan tenang. "Sebagai pendono
Ruangan rumah sakit dipenuhi keheningan yang mencekam. Jam dinding menunjukkan pukul dua siang ketika pintu kamar terbuka dan seorang dokter spesialis masuk dengan raut wajah serius. Semua mata langsung tertuju padanya.Dokter itu berjalan mendekati ranjang tempat Bintang terbaring lemah. Ia memeriksa kondisi bocah itu dengan seksama, mencatat beberapa hal di berkasnya sebelum akhirnya menatap seluruh keluarga yang berkumpul di dalam ruangan.“Saya ingin membicarakan hasil pemeriksaan terbaru Bintang,” kata dokter dengan suara tenang namun tegas.Rania menggenggam tangan kecil putranya yang terasa dingin. Hatinya berdebar kencang. Begitu pula dengan Rita, Boby, Nora, Prakas, dan tentu saja Bastian yang berdiri dengan wajah tegang di sudut ruangan.Dokter menarik napas dalam, lalu berkata, “Hasil menunjukkan bahwa Bintang mengalami gagal hati akut. Kondisinya cukup serius, dan kami harus bertindak cepat untuk menyelamatkannya.”Ruangan kembali sunyi. Pernyataan itu seperti petir di sia