"Kenapa masih diam? Cepat kancingkan? Atau aku-"
"Ya!" ketusnya. Amber menghentak napasnya. Matanya menajam. Bibirnya mengatup rapat menahan kesal. Lalu dengan cepat, tangannya meraih sisi kanan dan kiri kemeja Reyvan. Satu per satu, kancing itu dia kaitkan, sampai semua terpasang rapi. Reyvan diam. Reaksi Amber membuatnya terkejut. Ada sensasi aneh saat tangan kecil itu tanpa sengaja menyentuh dadanya. Sejenak, dia sendiri seperti kehilangan kata. Amber selesai mengancingkan semuanya. Lalu, dia menatap wajah suaminya yang masih mendadak kaku. "Sudah. Apalagi? Jangan aneh-aneh!" Reyvan menarik napas panjang. "Tunggu aku di bawah." "Hem." Amber berbalik dan keluar dengan langkah cepat. Begitu keluar dan menutup pintu kamar itu, Amber langsung menyentuh dadanya. Dia menunduk dan menghembuskan napas berat. Huufff .... Jantungnya masih berdebar. Tadi dia berusaha sekuat mungkin agar tidak goyah. Tapi, aroma tubuh Reyvan sempat membuatnya hampir kacau. "Amber!" panggil seseorang dari arah sana Amber menoleh cepat. Tubuhnya jadi menegang. "Mama ...." Dia Tania, ibunya Reyvan. Wanita itu berjalan angkuh mendekat. Langkahnya anggun, tubuhnya dilapisi busana branded warna nude, dengan rambut disanggul elegan dan kakinya ditopang sepatu hak tinggi. Tania berdiri di depan Amber. "Sebenarnya kamu nggak pantas memanggilku Mama. Tapi, aku nggak punya pilihan lain dan harus tetap mendengar panggilan itu saat ini." Amber menunduk, tangannya saling meremas. "Reyvan di mana?" tanya Tania dingin. "Sedang bersiap untuk meeting pagi ini," jawab Amber pelan. Tania tersenyum miring, sorot matanya menyiratkan penghinaan. Dia menatap Amber dari ujung ke ujung. "Bagus. Sekarang ikut aku." Amber berjalan di belakangnya, menuju balkon di lantai itu. Di balkon itu, Tania berdiri tegak, memandangi taman belakang yang luas. Amber berdiri satu langkah di sampingnya, menjaga jarak. "Kamu tahu kenapa bisa berada di rumah ini?" Amber menarik napas perlahan. "Karena jadi istri Reyvan." Tania mendengkus pelan. "Tepatnya, jadi istri sementara. Sampai media bosan membicarakan kalian. Setelah itu, kamu harus bercerai. Keluarga kami tidak akan pernah menerima anak buangan, yang bahkan dulu sempat tidak diakui ayahnya sendiri." Amber menelan ludah. Dadanya terasa nyeri. Tapi wajahnya tetap tenang. Dia menatap lurus ke taman. "Baik. Aku paham, Ma. Mama tidak perlu khawatir. Pernikahan ini pun bukan sesuatu yang aku inginkan." Tania berbalik, menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. "Kamu lumayan pintar. Ingat baik-baik yang kamu katakan tadi. Tinggalkan Reyvan nanti. Dan selama kamu jadi istrinya, jangan berani menggodanya, apalagi berani naik ke ranjangnya." Amber mengangguk. Tania melangkah pergi, tapi baru satu langkah, dia kembali menoleh. "Satu lagi. Jangan coba-coba memanfaatkan kebaikan Opa hanya karena kemarin beliau merestui kalian." Amber tersenyum tipis. "Baik, Ma. Terima kasih atas peringatannya." Tania pergi dan tak selang lama, Reyvan keluar dari kamarnya. Di lantai bawah. Reyvan menatap dari lantai atas. "Dia. Bukannya dia Viona? Yang seharusnya jadi mempelai wanitanya? Kenapa dia muncul di rumahku sekarang?" Dan di lantai bawah itu. Amber berdiri di depan Viona. "Bagaimana rasanya tidur dengan pria yang seharusnya jadi suamiku, Amber? Aku yakin, kamu pasti belum pernah merasakan sentuhannya. Reyvan nggak akan berselera dengan wanita licik sepertimu. Apalagi dengan caramu merebut kursi pelaminanku." Amber menatap datar Viona yang tersenyum sinis dengan kekehan remeh. Drama baru Viona! Kemarin, Viona pergi menghilang tanpa jejak. Sekarang pagi-pagi malah muncul di rumah Reyvan. Permainan apa yang direncanakannya? Hanya dalam waktu singkat, setelah pernikahannya dengan Reyvan, Amber langsung mendapat predikat buruk. Dan semua itu ramai di postingan media sosial yang mengomentari pernikahannya. [Amber mencelakai mempelai wanitanya, sampai tidak bisa hadir di pernikahan.] [Dia anak haram tak tahu diri yang merebut calon suami sodaranya.] [Amber berambisi menikah dengan tuan Reyvan karena ingin menguasai hartanya saja. Dia menghalalkan segala cara agar bisa naik ke ranjang tuan Reyvan.] Ya, semua itu yang dikatakan orang-orang pada seorang Amber. Dia bak pemeran antagonis di tengah ketegangan dua keluarga besar. Namun, wanita itu malah membisu, tak mencoba menyanggah ocehan publik. Bahkan seorang Reyvan pun tidak peduli dengan persepsi publik soal dirinya. Tidak ada yang membantunya untuk mengklarifikasi atau menyanggah. Amber menghentakkan heels 5 sentinya, mengikis jarak pada Viona. "Viona, mau tahu gimana rasanya sentuhan Reyvan? Tanyakan sendiri pada suamiku. Kenapa malah tanya padaku. Kebetulan, darah perawan di malam pertama kami masih ada. Dan yang pasti Dion-mu itu tak sebanding Reyvan-ku. Oh, kamu mau lihat darah perawanku?" Rahang Viona mengerat dengan mata melebar tegang. Napasnya kian berat memburu. Dia juga mencengkram dua kepalan tangannya. "Diam, Jalang murahan! Aku nggak akan percaya omong kosongmu itu. Reyvan nggak mungkin mau menyentuhmu. Mana dia sekarang?! Dia harus tahu seperti apa wanita yang jadi istrinya saat ini!" teriak Viona geram. Dia tak terima kalau Reyvan menerima Amber. Amber tersenyum tipis. "Terserah apa yang kamu pikirkan, Vio. Salahmu sendiri pergi di hari pernikahan. Dan bukan salahku Reyvan jadi milikku. Jadi, sekarang silahkan pergi dari rumah ini sebelum aku bilang pada publik seperti apa kelakuanmu sebenarnya!" Matanya menajam. "Berani kamu mengancam dan mengusirku. Siapa kamu, hah?! Memangnya Reyvan mau percaya sama ocehanmu?!" sentak Viona dengan mata nyalang. Dagu Amber sedikit diangkat. "Siapa aku? Kamu masih tanya siapa aku? Aku istri sah Reyvan Kalingga yang pernikahannya disaksikan banyak tamu undangan!" lantangnya. Emosi Viona makin menjadi-jadi. Dia tak terima dengan pengakuan Amber. Dadanya bergemuruh panas. "Sejak kedatanganmu ke rumahku, aku seperti dapat kutukan sial." Tangan Viona cepat melayang dan mendarat di pipi Amber. "Akh!" Amber sampai memalingkan wajahnya karena terlalu keras. Viona tersenyum tipis menatap tangannya yang juga terasa panas. Rasanya puas sekali bisa menampar Amber . "Jangan lupa dimana posisimu, Amber. Kamu cuma anak haram pembawa sial yang disuruh papa untuk jadi pengantin penggantiku. Dan cuma sementara!" Viona menunjuk wajah Amber . Napas Amber makin berat. Dia menatap tajam Viona sambil tertawa merutuki dirinya. Sejak dulu, dia terbiasa diperlakukan buruk oleh orang di sekitarnya. "Posisi? Kamu yang harusnya sadar pada posisimu, Vio. Di rumah ini, aku nyonya dan kamu cuma-" "Viona?" Suara bariton memecah perdebatan. Amber dan Viona cepat menoleh ke arah tangga. Di sana, Reyvan melangkah tegas dengan mata nyalangnya. "Reyvan." Viona tersenyum pada pria itu. Amber hanya membolakan matanya. Sedang Reyvan, tetap dingin tak peduli. "Mau apa kamu datang kemari? Bukankah pesta pernikahannya sudah kemarin? Dan kamu telah melewatkannya." Mata Viona mendadak berkaca-kaca. "Maaf, semuanya jadi kacau, Rey. Aku terlambat. Tapi itu bukan kesalahanku." Tangis Viona pun pecah. Reyvan masih diam menatap tangisan Viona. Lalu, tatapan tajamnya beralih pada Amber yang hanya diam saja dengan wajah jengah. Viona mengusap air matanya. "Semuanya gara-gara Amber dan ibunya, Reyvan. Aku nggak rela dia yang berdiri di pelaminan menggantikanku." Amber membelalak tajam. Gara-gara dia? Bagaimana ceritanya?David berdiri ragu sejenak, lalu mendekat dan berkata lembut, "Aku lega kamu sudah membaik. Apa kamu belum mengingat sesuatu? Masih belum ingat aku?" Amber menggeleng perlahan. "Maaf… aku belum mengingatmu."Namun, senyum David tak luntur. Justru makin lembut. "Nggak masalah. Melihatmu seperti ini saja aku sudah senang. Yang penting kamu baik-baik saja, dan cepat sembuh." Tatapannya tulus, seolah ingin menyampaikan bahwa cintanya tak butuh balasan—cukup melihat Amber hidup bahagia, itu sudah cukup baginya.Amber menatapnya sendu. "Jangan ambil risiko seperti ini lagi hanya untukku. Reyvan pasti tidak akan melepaskanmu begitu saja. Kamu dokter dan pria terhormat, kenapa sampai melakukan hal seperti ini? Pakai seragam petugas kebersihan hanya untuk bisa masuk ke ruangan ini?"David tersenyum, tapi sorot matanya dalam. "Aku bisa melakukan lebih dari ini hanya untuk melihatmu, Amber. Aku pasti akan cari cara apa pun untuk membebaskanmu dari pria seperti Reyvan. Aku nggak bisa melihatmu m
"Pura-pura amnesia? Sungguh? Kamu berani menipu kami? Mau jual kesedihan atau main trik buat rencana jahatmu selanjutnya?" Tania melotot tajam pada Amber.Opa menarik napas dalam-dalam. Dia menyentak napasnya lirih. 'Kapan aku bisa tenang. Punya banyak uang, nggak bisa beli ketenangan. Anak cucu nggak banyak, tapi mereka buat masalah terus,' batinnya.Arsen memicingkan matanya pada Amber. Dia sedang bertanya pada dirinya sendiri apa sudah melewatkan sesuatu? Benarkah Amber cuma pura-pura amnesia?Reyvan memang sempat terkejut dan geram, tapi cepat tenang. Lalu, dia tersenyum sinis. "Tante Olla, apa buktinya kalau istriku pura-pura amnesia? Bagaimana kalau kita banding bukti dengan laporan medis? Kalau perlu aku akan panggilkan tim dokter yang menangani istriku? Mungkin bisa sedikit mencerahkan otak keruh Tante."Olla sontak mendelik dan menunjuk wajah Reyvan. "Begitu caramu bicara sama orang tua? Lancang! Otakmu yang kotor karena terkontaminasi sama anak haram!"Amber menggeram dalam
Tania mendekat. "Opa sudah bisa merespon? Wanita ini cukup berguna juga. Nggak sia-sia dia masih hidup." Dia berjalan angkuh.Olla tersenyum miring dengan tatapan tajam. "Papa, anak haram pembawa sial yang Papa inginkan sudah datang. Papa cepat bangun. Dan semoga dia tidak mengacau lagi."Arsen menghampiri Amber. "Amber, kamu sudah membaik? Maaf, aku belum sempat menjengukmu. Aku punya banyak pekerjaan yang nggak bisa ditinggal." Dia tersenyum tipis. Tapi, Amber tak merespon apapun. Dia tetap berperan seolah ada di tengah orang asing. Tatapannya datar dan terus mengarah pada Opa.Sedang Reyvan hanya menatap wajah Arsen dengan mencoba tetap tenang. Karena kalau tidak, saat ini tangannya sudah mengepal kuat dan siap melayang. Andai tak ingat kata Opa, dia sudah mau melempar Arsen sekarang juga.Lalu, Opa menatap Amber dan Reyvan. "Di mana cicitku? Kenapa nggak kalian bawa? Aku sudah merindukan mereka." Wajahnya bak kakek-kakek yang merana menahan rindu.Semua saling pandang. Bingung. K
'Hilang ingatan? Cucu mantuku hilang ingatan. Berarti dia lupa padaku? Benarkah? Bukannya kemarin asistenku bilang Amber aman-aman saja? Akan kupastikan sendiri. Aku bukan anak ingusan yang tak tahu politik dan trik. Tapi jika Amber memang terlalu menderita dan sampai membuat keputusan kritis seperti itu, aku pasti akan melindunginya,' batin Opa.---Reyvan sendiri yang menjemput istrinya. Kini, dia mendorong Amber ke menuju ruangan Opa."Opa selalu menyebut namamu. Dulu kamu menantu kesayangan Opa. Dan kali ini Opa drop karena ada kekacauan perusahaan dan berita bohong soal perceraian kita. Jadi jangan mengecewakan Opa. Bilang kalau kita tidak akan bercerai dan akan secepatnya punya anak. Karena itu yang Opa nantikan di sisa hidupnya. Mungkin itu akan memberi pengaruh positif padanya." Reyvan tersenyum tipis sambil mendorong.Kali ini, Reyvan jadi sangat cerewet di depan Amber. Meski jauh dari style-nya yang biasanya dingin dan sarkas, tapi demi tuntutan skenario yang sedang dia main
"Reyvan?" David bersembunyi di balik tembok saat hampir berpapasan dengan Reyvan. Dia mengusap kasar wajahnya karena begitu letih mendapat banyak kerjaan. "Oh, ya Pram. Setelah bawa Amber ketemu Opa. Aku mau meeting sama dokter yang menangani istriku. Rasanya nggak tenang kalau tetap stay di rumah sakit. Apalagi di rumah sakit ini ada dokter gadungan yang sok pintar ini. Untung saja dia sudah aku buat nggak bisa bergerak. Memangnya siapa dia mau melawanku. Sekarang terima akibatnya kalau mau sok berlagak di depanku!" Reyvan tersenyum miring membayangkan David yang sedang sibuk sampai lemas."Berarti si bedebah gila itu yang membuatku seperti ini? Sial! Awas, kamu Reyvan! Pasti akan aku malas nanti!" David mendengkus lirih. Dia menajamkan sorot matanya, meski Reyvan tak melihatnya. "Dan Amber memang dipindah di rumah sakit ini? Akh! Amber pasti menderita selama ini bersama pria kejam itu!""Kalau bisa, mau aku segera bawa pulang saja. Dan bawa perawat ke rumah," ucap Reyvan didengar D
Prama menatap lekat wajah atasannya dengan dahi berkerut cemas. "Pak, apa ada sesuatu lagi soal Amber? Apa yang Nyonya Tania lakukan tadi? Tapi ... kenapa Anda malah tersenyum?" Antara cemas dan bingung. Seketika itu juga, Reyvan sontak mengerutkan lengkungan bibirnya dan merubah ekspresi wajahnya jadi datar. Tatapannya langsung tajam, tajam sekali. "Ehem! Jangan ngelantur. Kita bahas soal kerjaan!" Langsung berubah dingin. Prama mengangguk, meski bibirnya terlihat menahan sesuatu. Matanya sempat melirik atasannya sekilas, lalu menatap lurus ke depan lagi. "Ehm, sepertinya Anda harus masuk kantor, Pak. Saya sudah tidak bisa menahan lagi. Pak Robin (ayah Reyvan) juga sudah marah-marah terus dan tidak peduli lagi jika Anda diserang yang lain." "Biarkan saja. Asal hasil kerjaku memuaskan, mereka hanya berani bicara di belakangku. Besok aku akan masuk kantor," jawab Reyvan santai. Ya, meski perusahaan kacau, dan Amber seperti itu. Tapi bukan berarti Reyvan lengah. Dia tahu kalau ada y