Siska, pembantu itu tersenyum miring, samar. "Baru sehari sudah sok mau atur-atur rumah. Anda memang Nyonya. Tapi tidak diakui di keluarga ini. Urusan Tuan Rey, dari dulu saya yang tangani. Lebih baik jaga sikap. Jangan sampai bikin Tuan marah di awal."
Amber menatapnya lama. "Kalau kamu tidak mau kasih tahu, tidak masalah. Aku tinggal tanya langsung sama Reyvan atau Opa. Nanti biar mereka yang nilai, pembantu rumah ini melawan perintah istri sah Reyvan Kalingga. Dan asal kamu tahu, semua ini juga perintah dari mereka." Siska menegang, matanya membelalak. Senyum kecut langsung terbit, menahan geram. "Ikut saya!" Amber mengikuti Siska menuju meja kecil dekat dapur. Siska duduk lebih dulu, menyilangkan kaki, lalu mulai bicara dengan ritme cepat. "Tuan Rey suka warna gelap seperti hitam, biru navy, abu-abu tua. Bajunya harus disetrika kering, kancing dicek satu-satu. Dasi harus cocok sama warna jam tangannya, bukan bajunya. Sepatu ganti setiap hari, sesuai kegiatan. Tapi jangan pernah coba bereskan ruang kerja atau kamarnya tanpa izin. Dia benci kalau barangnya berpindah dan disentuh sembarangan." Amber hanya mengangguk kecil, menyerap semua dan mematri dalam ingatannya. "Pagi-pagi, yang bangunkan Tuan ya saya. Sarapan ringan, roti gandum, salad kecil, kopi hitam. Makan malam, kalau dia minta. Biasanya grilled salmon, beef steak, atau ayam kukus dengan butter garlic. Sayur harus segar, buah dingin, dan dia nggak suka makanan manis. Nggak ada alergi, tapi tuan paling benci kalau makanan terlalu asin atau terlalu banyak rempah. Dia orangnya presisi." Siska berhenti, menatap Amber dengan alis terangkat. "Paham?" Amber tersenyum kecil. "Sangat." Lalu Amber menatap lurus. "Mulai hari ini, selama aku ada di rumah ini, aku sendiri yang akan urus semua keperluan tuan kalian. Tidak akan merepotkan kalian." Wajah Siska langsung berubah. Perempuan 33 tahun itu berdiri mendadak. "Ya terserah! Asal jangan sampai Anda mengacaukan selera dan mood Tuan aja. Sekali tuan marah, semua bisa kena," dengkusnya ketus. Amber berdiri tenang. "Terima kasih sudah menjelaskan." Siska mendesis pelan, lalu berbalik, berjalan kembali ke arah dapur. Setelah itu, satu persatu apa yang jadi tugas Amber dilakukan. Hingga tiba saatnya dia harus membangunkan suaminya. Ini pertama kalinya dia akan masuk kamar utama suaminya. Dia mengetuk pintu dulu, tanpa menunggu jawaban, dia langsung masuk. Begitu masuk, dia menelan ludah saat melihat sosok suaminya. "Mau apa kamu di kamarku?!" Reyvan terbelalak saat melihat Amber berdiri masuk kamarnya. Amber langsung berbalik. Wajahnya memerah seketika. Saat masuk tanpa mengetuk, dia langsung disuguhi pemandangan tubuh kekar suaminya yang hanya dibalut handuk putih melilit pinggang. Otot perutnya terukir jelas, dada bidangnya tampak masih sedikit basah. Reyvan mendesis. Tatapannya tajam bak belati, lalu dia kembali membentak. "Kenapa belum pergi?!" Amber menunduk, masih posisi menyamping. "A-aku mau membangunkanmu dan menyiapkan baju." Reyvan terkekeh. "Mau membangunkanku? Tidak lihat ini jam berapa? Dan apa kamu nggak tahu, yang biasa menyiapkan baju itu pengurus rumah pria?" Amber terdiam. Barulah dia sadar kalau Siska membohonginya. Tapi dia tidak boleh mundur sekarang. Terlanjur masuk ke kamar itu, harus ada yang bisa dibalikkan. Perlahan Amber memutar tubuh, meski tatapannya tetap ke bawah. "Bukannya kamu bilang sendiri kalau aku juga harus mengurus keseharianmu? Dan bukannya menyiapkan baju termasuk urusan keseharianmu?" Reyvan mengatup matanya sebentar. Ya, dia memang mengatakan soal itu. Amber menarik napas dalam. "Mulai sekarang, aku yang akan mengatur semua soal kebutuhanmu di rumah ini. Termasuk membangunkanmu setiap pagi dan menyiapkan baju kerjamu." Reyvan tersenyum tipis. Tatapannya tajam, menyiratkan banyak hal yang tak bisa ditebak. Sungguh, dia makin penasaran dengan wanita yang menjadi istrinya itu. Beberapa saat kemudian, Reyvan berbalik, melangkah menuju walk-in closet. "Ikuti aku kalau kamu memang mau menyiapkan bajuku." Jantung Amber berdetak tak karuan. Dia sedikit gemetar. Jujur saja, selama pacaran dengan Dion dulu, dia bahkan belum pernah melihat Dion bertelanjang dada. Sampai di walk-in closet, Amber tertegun. Ruangannya tidak sempit. Rak-rak tinggi memenuhi sisi dinding, berisi jas-jas mahal dari desainer ternama, kemeja-kemeja limited edition, tak sedikit dasi dari luar negeri, dan deretan parfum pria high class. Di pojok ruangan, ada lemari kaca berisi koleksi jam tangan eksklusif dan rak sepatu formal dari kulit asli, mengkilap sempurna. "Kenapa masih diam? Suara Reyvan membuyarkan lamunan Amber. "Aku ada meeting pagi ini, dan kamu cepat ambilkan setelan jasku." "O-oh, iya!" Amber lekas bergerak. Matanya menyapu jajaran kemeja dan jas. Setelah berpikir sejenak, dia mengambil setelan jas berwarna midnight blue dengan potongan slim fit. Dia padukan dengan dasi sutra hitam bermotif garis tipis silver, dan jam tangan hitam berlapis platinum dengan desain elegan. Reyvan hanya melipat tangan, memperhatikannya dari balik cermin panjang di sisi kanan. Sudut bibirnya sedikit terangkat. Amber meletakkan jas dan kemeja pada stand hanger berdiri di sudut ruangan, sekat cermin panjang. Dasi dan jam tangan dia letakkan rapi di atas meja kaca bundar. "Kemarin kita baru menikah. Sekarang kamu sudah masuk kerja? Nggak takut jadi omongan publik?" tanya Amber lirih. "Aku tidak peduli dengan opini publik. Kamu juga bisa mulai kerja lagi besok. Jangan hari ini," balas Reyvan datar Amber mengangguk. "Baik. Kalau begitu aku akan keluar dulu." "Tunggu!" Langkah Amber terhenti. Tubuhnya mematung. Ingin menghindari tatapan Reyvan, tapi matanya masih sempat mencuri pandang. Pantas Reyvan dikagumi para wanita. Wajahnya tampan dengan garis tegas, karismanya mendominasi, tubuhnya tinggi atletis, dan suara beratnya mampu membuat detak jantung tak karuan. Belum lagi statusnya sebagai CEO muda dengan kekayaan luar biasa. Reyvan mengambil kemeja dari gantungan, lalu mulai memakainya di depan cermin. Dan detik itu juga, dia menyadari kalau tatapan Amber belum beranjak dari dirinya. Tanpa menoleh, Reyvan tersenyum tipis. "Kemari!" Amber melangkah pelan ragu. "Ada apa?" Reyvan berbalik, tubuhnya kini tepat menghadap Amber. "Kancingkan!" ucapnya pelan tapi tegas. Amber membeliak. "Apa?" "Kamu bilang mau mengurus semua keperluanku. Kenapa masih tanya? Jangan bilang mau keluar sebelum selesai melakukan tugas." Reyvan menyeringai tipis. Mata Amber masih membelalak. Jarak mereka begitu dekat. Dada bidang Reyvan dan otot perutnya yang nyaris sempurna membuat napasnya tercekat. "Mengurus bukan berarti sampai mengancingkan kemeja. Tadi aku sudah menyiapkan baju dan lainnya. Kalau ada perlu lain, silakan katakan. Tapi yang ini, tidak," gumamnya gugup. Wajah Amber kian memerah. Jantungnya juga berdetak makin kencang. Reyvan menatapnya lekat senyumnya tipis. "Kalau bukan istriku yang mengancingkan kemeja, apa aku harus panggil pembantu?" Amber menatap tajam kesal. Setelah mengancingkan baju, apalagi yang mau Reyvan lakukan?"Kenapa masih diam? Cepat kancingkan? Atau aku-" "Ya!" ketusnya. Amber menghentak napasnya. Matanya menajam. Bibirnya mengatup rapat menahan kesal. Lalu dengan cepat, tangannya meraih sisi kanan dan kiri kemeja Reyvan. Satu per satu, kancing itu dia kaitkan, sampai semua terpasang rapi. Reyvan diam. Reaksi Amber membuatnya terkejut. Ada sensasi aneh saat tangan kecil itu tanpa sengaja menyentuh dadanya. Sejenak, dia sendiri seperti kehilangan kata. Amber selesai mengancingkan semuanya. Lalu, dia menatap wajah suaminya yang masih mendadak kaku. "Sudah. Apalagi? Jangan aneh-aneh!" Reyvan menarik napas panjang. "Tunggu aku di bawah." "Hem." Amber berbalik dan keluar dengan langkah cepat. Begitu keluar dan menutup pintu kamar itu, Amber langsung menyentuh dadanya. Dia menunduk dan menghembuskan napas berat. Huufff .... Jantungnya masih berdebar. Tadi dia berusaha sekuat mungkin agar tidak goyah. Tapi, aroma tubuh Reyvan sempat membuatnya hampir kacau. "Amber!" panggil ses
Siska, pembantu itu tersenyum miring, samar. "Baru sehari sudah sok mau atur-atur rumah. Anda memang Nyonya. Tapi tidak diakui di keluarga ini. Urusan Tuan Rey, dari dulu saya yang tangani. Lebih baik jaga sikap. Jangan sampai bikin Tuan marah di awal." Amber menatapnya lama. "Kalau kamu tidak mau kasih tahu, tidak masalah. Aku tinggal tanya langsung sama Reyvan atau Opa. Nanti biar mereka yang nilai, pembantu rumah ini melawan perintah istri sah Reyvan Kalingga. Dan asal kamu tahu, semua ini juga perintah dari mereka." Siska menegang, matanya membelalak. Senyum kecut langsung terbit, menahan geram. "Ikut saya!" Amber mengikuti Siska menuju meja kecil dekat dapur. Siska duduk lebih dulu, menyilangkan kaki, lalu mulai bicara dengan ritme cepat. "Tuan Rey suka warna gelap seperti hitam, biru navy, abu-abu tua. Bajunya harus disetrika kering, kancing dicek satu-satu. Dasi harus cocok sama warna jam tangannya, bukan bajunya. Sepatu ganti setiap hari, sesuai kegiatan. Tapi jangan pernah
"Mau apa kamu memanggilku malam begini?" Reyvan menutup laptop perlahan, lalu menatap Amber sambil menegakkan tubuhnya. Tatapannya begitu tajam. "Kenapa kamu tidak makan malam? Kamu kira rumah ini kekurangan makanan hanya karena bertambah satu orang? Atau nona muda Dinata biasa dilayani bak ratu?" Senyumnya miring sinis. Amber meremas jemarinya sendiri, menahan gemuruh di dadanya. Jelas tidak ada yang memanggilnya untuk makan malam. Lalu Amber tersenyum tipis. "Aku kira rumah seorang Tuan muda yang sebesar ini tidak punya acara makan malam, jadi aku tidak keluar. Atau Tuan rumahnya terlalu sibuk untuk makan sendiri sampai lupa kalau ada penghuni baru?" Reyvan membelalak kecil, sedikit terkejut dengan jawaban itu. Namun, buru-buru menyembunyikannya dengan senyum remeh. "Selain licik, ternyata keluarga Dinata juga menurunkan bakat membual." Amber menarik napas tajam. Rasa sakit itu kembali menjalari dadanya. "Kalau ada hal penting, cepat katakan. Aku lelah. Mau tidur dan berharap
Amber tetap berdiri anggun. Sorot matanya tetap tenang. Lalu, dia menoleh pelan sambil tersenyum manis. "Sudah selesai menilainya?" Reyvan kini telah sampai di sisi Amber dan tatapannya mengintimidasi. "Kamu tahu siapa aku?" "Reyvan Kalingga. Putra mahkota Kalingga Grup." Reyvan tertawa pendek kaku. "Dan kamu? Anak tak diakui yang dipaksa berdiri di pelaminan, demi menambal aib orang kaya." Amber menahan napas, tapi dia tidak mau terprovokasi. Sejak dulu, memang belum ada yang memperlakukannya dengan baik. Dia telah terbiasa direndahkan. "Terima kasih atas pujiannya, Reyvan" Reyvan menyeringai. "Dengar baik-baik. Kamu bukan siapa-siapa. Kamu cuma alat. Dan hari ini bisa duduk di pelaminan bukan karena kamu pantas. Tapi karena kamu cukup tak berarti untuk diserahkan padaku." Amber menarik napas dalam-dalam. "Setidaknya aku tahu diri. Dan aku bukan wanita munafik yang butuh status untuk jadi bernilai. Jadi, kamu tenang saja, Rey. Aku akan paham di mana aku seharusnya menempatkan d
"Lagi, Sayang ...." Seorang wanita mematung dan membeliak kaget saat mendengar suara wanita lain di kamar calon suaminya. Dadanya berdenyut nyeri bak tersayat duri. "Dion, kamu sudah melamar anak haram itu, serius mau menikahinya?" "Aku menikahinya? Buat apa? Aku bertahan sama dia selama ini cuma buat kamu, Vio. Bukannya kamu mau lihat dia hancur? Aku buat dia jatuh cinta sampai gila, lalu aku lamar, dan setelah itu aku buang." Tawa mereka langsung menyatu di tengah deru napas panas. Desahan dua insan terdengar jelas saat wanita itu diam-diam masuk ke apartemen kekasihnya. Amber-wanita 26 tahun itu kini telah berdiri di ruang tamu apartemen kekasihnya. "Dion? Viona?" Amber tajamkan rungunya, berharap suara-suara itu hanya ilusi, tapi ternyata ... nyata. Amber membawa satu kotak cake kecil yang dia hias sendiri. Dua tahun bersama dan malam ini, sebenarnya dia ingin memberi kejutan kecil untuk kekasih yang juga bisa dibilang calon suaminya. Akan tetapi, yang menyambut bukan pel