Mag-log in"Vio, jangan omong kosong. Siapa juga yang mau menggantikanmu jadi pengantin wanita dari seorang seperti Reyvan. Memangnya Reyvan punya apa sampai aku mau merebutnya darimu?"
Amber mendecih malas. Dia heran dengan apa yang dikatakan Viona. Jelas dia korban yang dipaksa jadi pengantin pengganti, tapi kenapa jadi tersangka? Napasnya tercekat menahan gejolak dadanya yang mendidih. Cepat Reyvan menoleh. Dia merasa Amber sudah merendahkan harga dirinya. Lalu menatap tajam Viona dengan senyum tipis. "Jelaskan apa maksudmu?" Viona menghapus air mata. Wajahnya sendu, tapi sorot matanya tajam melirik Amber. "Aku baru saja berhasil lepas dari jebakan licik Amber dan ibunya. Mereka yang membuatku menghilang di hari pernikahan kita. Mereka jahat banget, Rey. Apa salahku sama mereka sampai tega melakukan ini padaku? Mereka merebut papaku, sekarang merebutmu dariku. Amber wanita licik dan nggak mungkin mau ngaku begitu saja. Aku sangat hafal sama dia. Pura-pura lemah dan selalu pakai wajah lembut, tapi aslinya dia seperti rubah!" Viona kembali tersedu. Amber maju selangkah. Dia bahkan tidak paham sedikit pun apa yang dimaksud Viona. "Jangan bicara sembarangan! Memangnya apa yang aku lakukan, Vio?" teriak Amber. Viona gegas mengeluarkan ponselnya. Lalu, dia membuka sebuah rekaman dan menyodorkannya pada Reyvan . "Reyvan, lihat. Malam itu aku nggak bisa tidur. Aku gugup banget karena mau menikah paginya. Lalu, mamanya Amber masuk ke kamarku, membawa jus dingin. Katanya sih dari papa. Karena itu kemauan papa, makanya aku minum tanpa curiga. Tak lama setelah itu, aku nggak sadarkan diri. Saat bangun, aku sudah ada di gudang tua. Aku butuh waktu dan perjuangan buat lolos dan kembali. Tapi semuanya sudah terlambat. Aku terlambat, Reyvan. Kamu sudah menikah sama Amber." Viona menatap sendu dengan deraian air matanya. Amber menggeleng. "Gudang tua? Kalau kamu tidur di apartemen pria aku percaya. Lagian, mamaku nggak mungkin–" "Lihat, Amber!" Viona menyodorkan ponselnya pada Amber. Dadanya bergemuruh hebat, dia gugup. Dalam hati takut Amber mengatakan soal malam itu pada Reyvan. Amber terdiam. Rekaman itu memang jelas. Ibunya membawa gelas jus masuk ke kamar Viona. Tapi, tunggu dulu. Amber tidak akan percaya begitu saja. "Itu bukan bukti yang bisa mengatakan aku dan mama bersalah." "Tidak bersalah? Kamu harus lihat ini, Reyvan." Viona cepat menyerahkan amplop putih pada Reyvan . Amber menunggu akan ada apalagi yang dilakukan Viona. "Itu hasil laboratorium. Setelah kembali dan tahu aku terlambat, aku langsung ambil sisa jus dan membawa ke lab. Hasilnya ada di kertas itu. Ada obat tidur dosis tinggi di dalam jus," ucap Viona. Reyvan terkekeh menatap Amber. "Ternyata keluarga Dinata selucu ini." "Dia nggak pantas bahagia jadi istrimu, Rey. Ceraikan saja secepatnya. Buat dia jadi janda yang tidak diinginkan pria mana pun lagi. Karena dia sudah berani mengacaukan pernikahan keluarga Kalingga." Viona tersenyum tipis di sela tangis. Amber terkekeh merutuki dirinya. "Ide bagus, tinggal bercerai saja. Aku juga muak sama pernikahan ini." Sedang Reyvan menatap tajam Amber. Tatapannya intens dan hanya dia sendiri yang tahu apa yang ada di pikirannya. "Bercerai?" Dia malah terkekeh. Amber membuang pandangannya ke arah lain. Dadanya bergemuruh hebat dengan desiran halus tak karuan. Viona mengusap air matanya. Dia yakin rencananya kali ini akan berhasil. Selain membuat Reyvan berpihak dan percaya padanya, dia ingin membuat Reyvan sangat membenci Amber. Reyvan menghentakkan kakinya mengikis jarak pada Amber. "Bercerai? Mudah sekali kamu mengatakannya setelah berani masuk ke rumah ini. Berani menjadi pengantinku, jangan berharap bisa lepas dengan mudah. Aku pasti akan membuangmu setelah bosan!" Amber membelalak. "Tapi buat apa mempertahankan pernikahan yang nggak jelas ini. Lagian kita sama-sama tidak menginginkan. Mending kita cerai dan kamu cari istri yang kamu sukai. Beres!" Sedang Viona tak kalah kaget. Jawaban Reyvan di luar dugaannya. "Tapi, Rey. Amber nggak pantas jadi istrimu. Dia cuma anak haram. Apa kata orang kalau kamu terus memeliharanya." Reyvan terkekeh kecil menatap Viona. "Sejak kapan kamu berani mencampuri urusanku?" Viona jadi terdiam. Amber mengangguk-angguk kecil. "Benar yang dikatakan Viona. Aku cuma anak haram dan nggak pantas buat kamu." Reyvan terkekeh kesal. "Menurutmu, aku membiarkanmu tetap di rumah ini karena aku menginginkanmu? Jangan terlalu percaya diri. Aku cuma mau buat kamu menerima ganjaran karena telah mengacaukan hidupku!" Seulas senyum kini terbit di bibir Viona. 'Bagus kalau Reyvan mau membuat Amber menderita dulu. Amber ... Amber, kamu tetap nggak bisa melawanku!' batinnya. Amber menghembus napasnya dari mulut sambil memalingkan muka jenggah. "Terserah maumu, Tuan angkuh!" Reyvan tersenyum miring kesal, menatap geram Amber. Lalu, langkah tegas menapaki ruangan itu. "Amber, apa salahku sampai kamu tega menikah sama pria lain. Apa karena aku bukan orang kaya? Kita pacaran dua sudah tahun dan aku bahkan sudah melamarmu. Tapi kamu bahkan tidak memberitahuku kalau mau menikah dengan orang lain." Amber menatap arah pintu, sosok yang dihindarinya kini malah datang di tengah perdebatan sengit. Reyvan mengerutkan keningnya. Siapa pria ini, dan apa hubungannya dengan Amber? Sedang Viona tersenyum culas. 'Habis kamu, Amber!' batinnya. Reyvan menatap tajam pria asing itu. "Siapa kamu dan apa maksudmu datang ke rumahku?" Dion tersenyum tipis, menatap langsung ke arah Amber. "Aku calon suami Amber. Aku datang untuk meminta penjelasan padanya." Amber terkekeh dan tersenyum tipis. "Kamu calon suamiku? Jangan ngaku-ngaku, Dion. Yang benar, kamu pecundang yang aku buang setelah tidur dengan calon iparmu." Viona menjerit cepat, wajahnya memerah. "Jangan mulai lagi, Amber! Setelah kamu menjebakku hingga aku nggak bisa datang ke pernikahan sendiri, sekarang kamu menuduhku yang tidak-tidak dengan Dion. Aku nggak serendah dirimu, Amber!" Reyvan berdiri dengan satu tangan dimasukkan ke saku celananya. Tatapannya datar mengamati mereka satu per satu. Lalu, sudut bibirnya terangkat tipis. "Menarik." Amber menatap Viona dengan senyum getir. "Menuduh? Oh, aku tahu. Aku memang selalu kalah licik sama kalian. Kalah pintar soal playing victim. Silakan saja karang cerita seperti apa pun untuk menutupi kebusukan kalian. Toh aku nggak butuh pembelaan apapun di depan Reyvan. Diceraikan secepatnya malah menyenangkan." Reyvan mengepalkan tangannya kuat. Ada amarah aneh yang menghangat di dadanya saat mendengar kata-kata Amber. Dion perlahan mendekati Amber. "Sayang, aku menerimamu, meski kamu cuma anak haram. Aku serahkan semua hidupku padamu. Kita sudah banyak melewati malam bersama, kenapa kamu tega menikah sama pria lain begitu saja?"Victor tidak terima dengan status level yang diberikan David. "Apa kamu bilang? Level menengah? Hey, jangan sembarangan bicara. Aku juga CEO. Tapi masih CEO. Sedang kamu? Mantan CEO. Ya, memang masuk dokter. Tapi hartaku nggak akan habis untuk membeli rumah sakitmu. "Vid! Vic! Kalian-" Irish jadi serba salah. Dia ingin membela David karena gengsi, tapi juga ingin memarahi David karena datang datang langsung buat ulah. Dia ingin Victor pergi, tapi juga ingin tahu, David marah karena cemburu atau karena gengsinya. "David!" Sorot matanya Irish menajam sambil mengangguk kecil, berharap suaminya itu paham. Jangan buat situasi makin rumit. David menatap sorot mata yang malah tampak menggemaskan itu. Apalagi rahang Irish yang ditekan malah membuat dua pipi wanita itu menggembung. "Kamu sedang merayuku? Kebiasaan. Lihat, masih ada orang. Nanti saja kalau kita di kamar berdua." Langsung saja, wajah Irish jadi lemas. Percuma! Pokoknya percuma membuat bahasa mimik muka dengan suaminya itu. D
"Aku tidak memintamu menjawabku hari ini. Cuma ingin kamu tahu. Aku tidak akan pernah menyerah pada keinginan hatiku. Dan aku akan selalu menunggumu di pelabuhan cinta kita. Tolong kamu simpan cincin ini, Irish." Lalu, Victor meletakkan cincin itu tepat di dekat Irish. Irish menatap kotak itu, hatinya mencelos. Dia sangat menyesalkan momen ini. Dia sangat menyukai Victor, tapi sebagai sahabat. Lalu, Irish mendorong kotak cincin itu. "Aku sungguh minta maaf, Victor. Aku nggak bisa. Cincin ini lebih pantas dipakai oleh wanita lain yang bisa memberimu seluruh hatinya. Bukan aku." Victor menatapnya lekat. "Irish, entah kenapa aku sangat meragukan pernikahanmu dengan David. Aku melihat foto-foto pertunangannya di media sosial. Dia tidak terlihat mencintaimu, Irish. Apa kamu yakin dia peduli padamu?" Irish terdiam. Rasanya sakit mendengar keraguan Victor, karena dia sendiri meragukannya. Tapi tiba-tiba, dia teringat sesuatu. Dia mengambil ponselnya, membuka pesan terakhir dari David, da
'Hah?' batinnya. Mata Irish melebar tegang. Tak ada hujan tak ada badai, tapi tiba-tiba saja mendapat pesan yang isinya emoji LOVE besar. Seketika dia malah merinding. 'Apa maksudnya? Dia nggak salah pencet, kan? Atau lagi salah makan obat? Atau udah sadar? Menakutkan,' batin Irish lagi.Saat menerima pesan itu, Irish juga sudah duduk bersama Victor.Lalu, pria yang duduk di depannya itu mengetuk-ngetuk meja. "Irish? Hay, Irish? Kamu baik-baik saja?" Dia mengerutkan dahi karena sedari tadi bicara panjang lebar tapi wanita di depannya itu malah tersenyum-senyum sendiri menata ponsel. "Hah?" Mulut Irish terbuka melongo dan buru-buru out dari aplikasi obrolan hijau itu."O-oh, maaf, Victor. Tadi, apa yang kamu katakan?" Irish mengusap lehernya dengan ringisan kaku.Victor tersenyum lebar kaku. Lalu, mereka kembali berbincang.Hingga, sekian saat. Tanpa Irish tahu di depan sana sudah ada mobil suaminya.Irish duduk gelisah dan Victor menatap ragu Irish. "Jadi, sekarang kamu sudah tahu,
"Katakan dengan jelas siapa saja yang menyuruhmu, atau kupatahkan semua rusukmu di hadapan mereka?" sentak David. Supir itu tidak tahan lagi. Rasa takut pada David jauh lebih besar daripada kesetiaan pada bosnya. "Ampun. Bos saya ... dia yang menyuruh. Dan karena pesanan dari pria itu!" Mata supir itu melirik pada sekretaris Henry. Henry menatap sekretarisnya heran. Dia memang membenci istrinya David, tapi dia sungguh belum menyuruh sejauh penculikan itu. Hanya sedang terlintas dalam benaknya. Semua anggota keluarga terbengong ngeri, menatap David yang kini dianggap benar-benar kejam dan tak berperasaan. David kembali menatap semua orang, dan tatapannya berhenti pada Sekretaris itu. "Sekarang kalian dengar baik-baik. Kalau kakinya tidak Papa berikan padaku, maka aku akan pulang, hanya membawa kepalanya." Deg! Ancaman itu meresap sampai tulang sektretaris itu. Ancaman David terasa menakutkan. Semua orang tersentak. "Kamu memang monster, David. Kamu benar-benar nggak punya hati!
David menunjuk ke arah sekretaris Henry, dengan sorot mata merah tajam. "Berikan aku kakinya!"Deg!Ruangan hening seketika. Semua tercengang, tatapan mereka bergerak lambat dari David yang tampak seperti malaikat pencabut nyawa, dan beralih pada sekretaris Henry. Lalu, pandangan mereka bergulir ngeri menatap mantan supir yang terkapar berlumur darah di lantai.'Akh, sial! Kenapa semua jadi begini? Semua gara-gara Irish, wanita rendahan itu malah masih hidup! Tapi, bagaimana dia bisa selamat? Bahkan ketua gangster itu saja tapi bisa aku hubungi lagi,' batinnya. Sekretaris Henry berkeringat dingin, tangan kanannya refleks mengusap lehernya. Jantungnya berdetak kencang seperti genderang perang. Dia juga berusaha menyembunyikan getaran di kakinya."Kenapa masih diam saja? Heran, kenapa aku bisa menangkap kaki tanganmu?" David tertawa sinis."Maaf, Tuan. Saya sungguh tidak paham dengan ucapan Tuan David." Sekretaris itu pura-pura tidak memahami maksud dari kata-kata David.Henry mendecih
"Tidak ada kamus pria sejati menangis karena terjatuh. Yang ada, kamu langsung bangun dan kejar siapa yang jahat padamu. Lampaui mereka!" -- Mungkin secara tak langsung, David sedang menasehati dirinya sendiri. Anak itu hanya terdiam. David mengambil antiseptik dan kassa. Tangan yang beberapa menit lalu digunakan untuk mematahkan sendi lawan, kini dia gunakan untuk membersihkan luka dengan sangat hati-hati. Sebuah bukti bahwa David memang punya sisi jiwa dokter yang kental. "Auww! Sakit, Om." "Sakit itu, kalau kamu tidak bisa membalas mereka dengan prestasimu. Paham?" Selesai mengobati, David berdiri, lalu mengulurkan tangannya pada anak itu. "Ingat! Pria sejati tidak boleh menangis hanya karena jatuh atau ditinggal temannya!" Anak itu mengangguk pelan, matanya masih berkaca-kaca menatap David. Lalu, David mengambil permen dan memberikannya pada anak itu. "Janji!" David mengepalkan tangan kanannya dan mengangkatnya. "Janji, Om!" Anak itu ikut mengepalkan tangannya dan mengang







