Reyvan refleks berdiri. 'Mau apa kamu datang, hah?!"David seperti tuli, tak peduli. Matanya menatap nanar wajah Amber. Tangannya mengambang di atas pipi Amber. Rasanya ingin merangkup wajah wanita yang dicintainya, tapi ragu. "Maafkan aku. Harusnya saat itu aku yang mengantarmu langsung. Harusnya tidak seperti ini." David menghela sesal. Dia menunduk dengan mencengkram sisi brankar.Membuat Reyvan makin meradang. Ada pria lain yang menangisi istrinya. Apalagi David menganggap seolah dirinya tak ada. Lalu, Reyvan melangkah mendekat pada David. "Pergi! Istriku tidak membutuhkanmu!" bentaknya.Sebenarnya Reyvan sudah siap ingin menarik David agar menjauh dari sisi istrinya, tapi-Tapi Reyvan kalah cepat dengan David yang menghampirinya dan--BUG! Satu pukulan mendarat di wajah Reyvan."Kamulah yang mencelakai Amber! Kamu sumber penderitaannya!" pekik David dengan napas tersengal berat. Matanya nyalang tak ada takutnya pada Reyvan."Pak!"Prama hendak maju, tapi satu tangan Reyvan tera
"Urusanku sudah selesai. Sekarang aku mau menuruti kalian pergi dari negara ini. Tapi, Papa harus jamin kalau keberadaanku sama sekali tidak terlacak oleh siapa saja untuk beberapa tahun ke depan. Aku butuh sendiri dan tenang."Papanya Grace menatap intens wajah anaknya yang sudah berubah normal, lalu mengangguk. "Ok, Papa janji. Tapi kamu juga harus janji jangan pulang ke negara ini sebelum situasi tenang dan publik melupakan segalanya. Tugasmu untuk bersenang-senang saja di sana. Papa akan transfer uang jajan tiap bulan yang banyak. Jangan sedih lagi. Lupakan Reyvan. Masih banyak pria tampan dan gaya di luar sana yang lebih dari dia."Grace memainkan kukunya dengan tatapan angkuh. "Tentu saja, Pa. Kalian tenang saja. Aku tidak akan menangisi Reyvan lagi." Senyum iblis mengembang di bibirnya.Lalu, Mamanya Grace memeluk anaknya. "Mama senang kamu sudah cepat dulu lagi. Pokoknya apapun yang membuat kamu senang, lakukan saja. Mama nggak bisa lihat kami seperti kemarin."---David juga
"Bangun .... Aku janji, kalau kamu bangun, .... aku akan kabulkan semua permintaanmu. Apa pun. Asal kamu bangun. Jangan pergi, Amber .... Kumohon ...." Begitu sampai di depan Unit Gawat Darurat rumah sakit terdekat, Reyvan langsung turun sambil mengangkat tubuh Amber."Dokter! Dok! Selamatkan istriku! Cepat!" teriaknya kencang saat memasuki UGD.Amber diletakkan di atas brankar. Dan beberapa perawat langsung menghampiri."Anda tunggu di luar dulu, karena kami akan melakukan tindakan," ujar salah satu perawat."Panggil semua dokter di rumah sakit ini!" bentak Reyvan. "Kalau sampai istriku tidak selamat, aku akan ratakan rumah sakit ini!""Kami akan melakukan yang terbaik, Pak. Dan sebaiknya Anda keluar, agar tidak mengganggu proses penanganan medis."Prama cepat-cepat menarik Reyvan agar mundur. "Kita keluar, Pak. Agar Amber cepat ditangani. Yang lain akan saya urus."Tindakan medis dilakukan.Reyvan mondar-mandir di depan pintu ruang tindakan. Dia sama sekali tidak peduli dengan luka
BRAKKK!"Akhhh!"Mata Amber membelalak dengan dada bergetar hebat. Dunia seketika jungkir balik. Dentuman mobil beradu menggema. Kaca pecah langsung menghujani tubuhnya, hingga dia terbanting ke sisi kursi, lalu ke atas, ke bawah, seperti bola di dalam tempurung. Dalam pikirannya, sudah dia tebak kalau pasti akan mati.Taksi itu terguling dua kali, lalu menghantam pembatas jalan dan berhenti dalam posisi terbalik. Amber tergencet setengah di sela kursi belakang. Lengan kanannya berdarah parah karena terkena pecahan kaca. Pelipisnya sobek. Darah mengalir membasahi wajahnya. Napasnya berat melemah, dada naik-turun cepat, pandangannya pun buram."Akh …," ucap Amber lirih dalam hati. "Mungkin mati lebih baik dari pada aku hidup menderita."Tangannya mencoba bergerak, tapi tak bisa lagi. Lalu, Amber tersenyum tipis saat darah melumuri wajahnya."Akhirnya aku mati juga. Mungkin ini yang disebut kebahagiaan untukku. Akhirnya kebahagiaanku datang juga …."Kesadarannya makin menipis. Dan yang
Reyvan masih mencengkeram kuat kerah kemeja David, matanya nyalang, wajah memerah, napasnya menderu beringas seperti singa yang baru dilepaskan. "Kenapa diam saja? Cepat katakan di mana istriku?!" teriaknya keras, membuat ketegangan makin mendidih. Sedang Prama langsung sigap bergerak. Dia tahu persis isi kepala atasannya. Langkah kakinya langsung menyisir tiap sisi ruang istirahat itu, membuka lemari kecil, menyibak tirai, mencari keberadaan Amber yang entah di mana. David memegang kedua tangan Reyvan dan mencoba menghempas kuat. "Jaga sikapmu, Reyvan. Kalau kamu melewati batas, aku juga tidak akan segan lagi." Reyvan menyeringai dingin. "Jaga sikap? Kamu yang harusnya tahu batasan!" dia menahan erat, membuat David tak mudah melepas genggaman. David geram, matanya menajam, lalu menggunakan tenaganya untuk melepaskan diri. "Arggghhh!" Dorongan kuat dia lancarkan. Tapi Reyvan hanya bergeser sedikit, tapi melepas pegangannya. Lalu, dia berdiri tegap menantang. "Aku tidak pa
Amber berdiri di sisi kanan brankar Opa, sedang David di sisi kiri. Suasana hening, hanya terdengar suara alat monitor detak jantung yang berdetak tenang. Amber yang memakai masker menatap David. "Coba kamu periksa, Vid." David mengangguk, lalu melihat layar monitor jantung. Matanya menyipit memindai angka dan grafik. Kemudian dia bergerak memeriksa Opa pakai stetoskop. Dengan gerakan cekatan, dia menggerakkan stetoskop ke beberapa titik tubuh Opa. Dia sudah tahu Opa mengidap penyakit apa. Namun, dahinya justru mengernyit bingung. 'Ada yang tidak beres. Tapi aku nggak boleh ikut campur terlalu jauh urusan keluarga Kalingga. Apalagi ini pasti melibatkan direktur rumah sakit. Yang penting Amber sudah lepas dari Reyvan. Itu cukup bagiku,' ucap David dalam batin. Sementara itu, Opa yang berbaring terpejam seolah koma, dalam hatinya bergumam keras, 'Siapa dokter sok tahu yang mau mengacaukan rencanaku ini? Hish! Ke mana asistenku? Dan wanita ini pasti cucu mantuku. Semoga berandalan ten