Semoga nanti sore bisa update lagi ya 🥰🥰🥰🥰
Tania mendekat. "Opa sudah bisa merespon? Wanita ini cukup berguna juga. Nggak sia-sia dia masih hidup." Dia berjalan angkuh.Olla tersenyum miring dengan tatapan tajam. "Papa, anak haram pembawa sial yang Papa inginkan sudah datang. Papa cepat bangun. Dan semoga dia tidak mengacau lagi."Arsen menghampiri Amber. "Amber, kamu sudah membaik? Maaf, aku belum sempat menjengukmu. Aku punya banyak pekerjaan yang nggak bisa ditinggal." Dia tersenyum tipis. Tapi, Amber tak merespon apapun. Dia tetap berperan seolah ada di tengah orang asing. Tatapannya datar dan terus mengarah pada Opa.Sedang Reyvan hanya menatap wajah Arsen dengan mencoba tetap tenang. Karena kalau tidak, saat ini tangannya sudah mengepal kuat dan siap melayang. Andai tak ingat kata Opa, dia sudah mau melempar Arsen sekarang juga.Lalu, Opa menatap Amber dan Reyvan. "Di mana cicitku? Kenapa nggak kalian bawa? Aku sudah merindukan mereka." Wajahnya bak kakek-kakek yang merana menahan rindu.Semua saling pandang. Bingung. K
'Hilang ingatan? Cucu mantuku hilang ingatan. Berarti dia lupa padaku? Benarkah? Bukannya kemarin asistenku bilang Amber aman-aman saja? Akan kupastikan sendiri. Aku bukan anak ingusan yang tak tahu politik dan trik. Tapi jika Amber memang terlalu menderita dan sampai membuat keputusan kritis seperti itu, aku pasti akan melindunginya,' batin Opa.---Reyvan sendiri yang menjemput istrinya. Kini, dia mendorong Amber ke menuju ruangan Opa."Opa selalu menyebut namamu. Dulu kamu menantu kesayangan Opa. Dan kali ini Opa drop karena ada kekacauan perusahaan dan berita bohong soal perceraian kita. Jadi jangan mengecewakan Opa. Bilang kalau kita tidak akan bercerai dan akan secepatnya punya anak. Karena itu yang Opa nantikan di sisa hidupnya. Mungkin itu akan memberi pengaruh positif padanya." Reyvan tersenyum tipis sambil mendorong.Kali ini, Reyvan jadi sangat cerewet di depan Amber. Meski jauh dari style-nya yang biasanya dingin dan sarkas, tapi demi tuntutan skenario yang sedang dia main
"Reyvan?" David bersembunyi di balik tembok saat hampir berpapasan dengan Reyvan. Dia mengusap kasar wajahnya karena begitu letih mendapat banyak kerjaan. "Oh, ya Pram. Setelah bawa Amber ketemu Opa. Aku mau meeting sama dokter yang menangani istriku. Rasanya nggak tenang kalau tetap stay di rumah sakit. Apalagi di rumah sakit ini ada dokter gadungan yang sok pintar ini. Untung saja dia sudah aku buat nggak bisa bergerak. Memangnya siapa dia mau melawanku. Sekarang terima akibatnya kalau mau sok berlagak di depanku!" Reyvan tersenyum miring membayangkan David yang sedang sibuk sampai lemas."Berarti si bedebah gila itu yang membuatku seperti ini? Sial! Awas, kamu Reyvan! Pasti akan aku malas nanti!" David mendengkus lirih. Dia menajamkan sorot matanya, meski Reyvan tak melihatnya. "Dan Amber memang dipindah di rumah sakit ini? Akh! Amber pasti menderita selama ini bersama pria kejam itu!""Kalau bisa, mau aku segera bawa pulang saja. Dan bawa perawat ke rumah," ucap Reyvan didengar D
Prama menatap lekat wajah atasannya dengan dahi berkerut cemas. "Pak, apa ada sesuatu lagi soal Amber? Apa yang Nyonya Tania lakukan tadi? Tapi ... kenapa Anda malah tersenyum?" Antara cemas dan bingung. Seketika itu juga, Reyvan sontak mengerutkan lengkungan bibirnya dan merubah ekspresi wajahnya jadi datar. Tatapannya langsung tajam, tajam sekali. "Ehem! Jangan ngelantur. Kita bahas soal kerjaan!" Langsung berubah dingin. Prama mengangguk, meski bibirnya terlihat menahan sesuatu. Matanya sempat melirik atasannya sekilas, lalu menatap lurus ke depan lagi. "Ehm, sepertinya Anda harus masuk kantor, Pak. Saya sudah tidak bisa menahan lagi. Pak Robin (ayah Reyvan) juga sudah marah-marah terus dan tidak peduli lagi jika Anda diserang yang lain." "Biarkan saja. Asal hasil kerjaku memuaskan, mereka hanya berani bicara di belakangku. Besok aku akan masuk kantor," jawab Reyvan santai. Ya, meski perusahaan kacau, dan Amber seperti itu. Tapi bukan berarti Reyvan lengah. Dia tahu kalau ada y
Amber bersandar pada brankar yang disetting setengah duduk. Seluruh tubuhnya terasa berat, lelah, dan jujur saja, kepala masih pening. Namun, pusing yang paling terasa justru bukan di fisik--melainkan situasi yang dibuatnya makin rumit.'Mati aku. Kenapa aku begitu bodoh. Satu orang pergi dengan membawa jengkel, tapi satu lagi makin gila. Suami gila ini, sepertinya sengaja ingin mempermainkan amnesiaku,' batin Amber. Kepuasan melihat mertua yang sangat ingin menyingkirkannya itu mendengar kata 'hamil', hanya sesaat saja. Malah efek sampingnya yang membuatnya merinding.Wajah Reyvan kini malah mendekat pada Amber, .... terlalu dekat. Sorot matanya begitu lekat, dan mempesona.Lalu, tangan pria itu mengambang di atas perut Amber dengan senyum menyeringai tipis."Hamil? Berarti kamu sudah ingat kalau dulu kita memang tidur bersama, satu ranjang dan selalu mesra? Bagus kalau ingatanmu sudah mulai pulih. Artinya, metode memanggilku 'suamiku sayang' benar-benar efektif membuat ingatanmu ke
Reyvan menahan senyum sambil menatap wajah Amber lekat-lekat. Matanya seperti menelusuri lekuk ekspresi wanita itu yang tengah kebingungan menahan malu."Kenapa diam saja?" Suaranya terdengar datar tapi juga membuat grogi. "Sebagai suami yang bertanggung jawab, aku harus membantu istri yang kehilangan ingatan. Jadi, dengan kamu memanggilku 'suamiku sayang', itu bisa merangsang ingatan."Wajah Amber sudah merah bak kepiting rebus. Jantungnya berdebar kencang. Dia cepat-cepat memalingkan wajah sambil mengerucutkan bibir, tapi gerakan itu malah memperlihatkan kegugupannya."Turunkan aku cepat. Jangan buat drama aneh atau mau menunjukkan kalau kita yang di pasangan mesra. Kaki dan tanganku sakit. Kepalaku sudah pusing," katanya tergesa, mencari alasan.Kedua lengan dan kaki Amber memang masih terpasang gips fiberglass putih yang menjaga posisi tulangnya tetap stabil. Lehernya pun ditopang penyangga semi-kaku yang mencegah gerakan kepala berlebihan.Tapi Reyvan seperti tak mendengar protes