Hai, hai, siapa dia ...? ~♪♪~♪ Cerita Fayola dan Galang sudah masuk banner di aplikasi. Senangnya! ♡♡♡ Jika teman-teman ada yang baru bergabung setelah melihat promosi buku itu, selamat datang. Semoga suka dengan novel ini, ya~ ♡ Bagi yang berkomentar, sudah aku balas. Silakan dicek. XD Selamat beristirahat bagi yang sudah malam hari di sini, selamat beraktivitas bagi yang masih siang di sana. Salam sayang, Meina H.
Fay memejamkan matanya sambil menghela napas panjang. “Aku sudah selesai. Ayo, Lang, kita ke kasir sekarang,” ajaknya yang melingkarkan tangannya di lekukan lenganku. “Aku tidak mau gatal-gatal karena penyakit menular itu.” Aku menurutinya dengan berbalik ke kiri, tetapi kami terpaksa berhenti. Seorang pria berdiri di sana, menghalangi jalan kami. Dia meletakkan kedua tangan di pinggulnya dan menatap kami dengan saksama. Aku merasakan darahku mendadak mendidih melihat caranya menatap Fay. “Sonya berkata benar. Kalian datang ke Lombok untuk berbulan madu.” Doddy memandang Fay dengan tatapan menuduh. “Aku akhirnya menemukan foto pernikahan kalian di media sosial. Aku tidak pernah menyangka kalian sangat pintar membohongi semua orang. Ternyata selama ini kamu juga selingkuh di belakangku.” “Heh! Mulutmu itu dijaga sebelum bicara. Apa buktinya aku dan Galang selingkuh?” ucap Fay dengan sengit. “Aku tidak perlu menunjukkan bukti, semua orang sudah tahu perempuan itu hamil saat kita masi
Aku tahu dia pasti akan sangat marah. Karena itu, aku tidak memberi tahu dia secara terus terang ke mana kami pergi sore ini. Lebih baik meminta maaf daripada berkata jujur, lalu dia membiarkan aku menghadiri acara ini seorang diri.Kalau bukan karena pegawai resepsionis yang mengundang dengan tatapan memelas, aku juga tidak mau datang ke tempat ini. Apalagi aku masih penghuni baru, tidak punya kewajiban apa pun untuk memenuhi undangan acara yang diadakan untuk orang yang tinggal di gedung ini.“Pak Galang Pamungkas beserta istri, selamat datang.” Seorang wanita penerima tamu menyambut kami dengan ramah. Aku menahan ringisanku saat Fay mencubit lenganku. “Mari, saya antar ke tempat duduk Anda berdua.”“Aku tidak mau ikut acara ini, Lang,” bisik Fay dengan geram. Dia sengaja menahan tanganku agar kami tidak bisa berjalan mengikuti perempuan itu.“Hanya sebentar, Fay. Aku janji. Aku tidak enak mereka sudah mengundang dan kita tidak datang. Acara ini dihadiri oleh semua penghuni lainnya,
~Fayola~Aku tahu cepat atau lambat, kami pasti akan bertemu atau berpapasan dengan kedua orang yang sangat aku benci di dunia itu. Mengapa mereka harus kembali ke kota ini, sih? Aku sudah tenang ketika mereka tinggal di Bali dan mengurus usaha keluarga pria pengkhianat itu.Yang paling tidak bisa aku pahami adalah Sonya. Jika dia melihat aku atau Galang, mengapa harus selalu menegur kami dan mengajak ribut? Apa dia tidak bisa berpura-pura tidak mengenal kami? Apa dia pikir aku suka melihat wajahnya atau bicara dengannya?“Sebaiknya kita tinggal di rumahmu saja setelah masa kontrak penghuninya habis. Aku tidak mau tinggal di tempat ini dan bertemu mereka setiap hari sampai akhir hayatku,” kataku. Kami sedang makan es krim sambil menyalakan televisi yang memutar film laga.“Kamu berlebihan. Mereka tidak akan mengganggu kita lagi setelah ucapan kamu tadi, kecuali mereka sudah tidak punya harga diri,” ucapnya dengan santai.“Taruhan. Sonya tidak akan berhenti memamerkan bahwa dia yang di
Aku dan Galang serentak tertawa mendengar ucapan Sonya yang sangat lucu. Mereka datang ke apartemen ini hanya untuk mengatakan itu? Pantas saja mereka tidak melakukannya saat kami masih ada di aula. Oh, Tuhan. Aku baru tahu ada orang yang tidak punya malu begini. “Mengapa kamu tidak ganti profesi saja menjadi pelawak, Sonya?” kata Galang di tengah-tengah tawanya. Kami kembali tertawa bersama. “Mengapa kalian malah tertawa begini?” ucap Sonya dengan nada tidak senang. “Berhenti!” Kami malah semakin tergelak mendengarnya. “Sayang, lakukan sesuatu.” “Kalian sebaiknya berhenti tertawa. Sikap kalian ini sangat tidak sopan,” tegur Doddy sengit. “Kamu dengar itu?” tanyaku kepada Galang. Dia mengangguk, tidak bisa bicara. “Katanya, kita tidak sopan.” Kami kembali mengakak. Mereka memaksa untuk masuk ke unit kami, lalu mengejek pernikahan kami. Namun mereka juga yang berkata kami bersikap tidak sopan. Apa mereka lupa kami sedang berada di mana? Wajar saja kami tertawa. Galang benar. Seharu
“Aku pikir ada apa sampai Nenek memaksa kita untuk bermalam di rumahnya.” Aku mengusap krim malam pada wajah dengan hati-hati. “Kamu seperti tidak tahu saja apa yang orang katakan setelah teman-temanmu menikah. Walaupun usia kita sudah empat puluhan, tidak akan menghalangi mereka untuk mendesak kita memiliki anak.” Galang membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Aku menutup wadah krim itu dan memasukkannya kembali ke tas mekapku. “Aku tidak tahu sampai kapan aku bisa bertahan diperlakukan seperti ini.” “Sudah, tenang saja. Tebalkan telingamu, nanti juga kamu acuh tak acuh dengan pertanyaan itu. Seperti yang kamu alami mengenai desakan menikah.” Dia menguap lebar. “Rasa minumannya ampun. Entah apa yang Nenek masukkan sampai rasanya aneh begitu.” Aku menjulurkan lidah membayangkan rasanya lagi. Seolah cairan itu masih ada di mulutku. Dia tertawa kecil. “Ramuan berkhasiat yang bisa membantu kita punya anak laki-laki,” balasnya. Aku mengerang kesal sambil berbaring di sisinya. “Ba
Kesalahan yang sama di rumah Nenek. Apa yang dia maksudkan dengan itu? Apakah dia menyebut ciuman kami sebagai sebuah kesalahan?Aku rasanya mau menghilang lagi dari dunia ini mengingat kejadian itu. Aku seharusnya bersikeras untuk tidak terpancing dengan ucapan Nenek. Mengapa aku malah menyerah dan mencium dia di depan semua orang? Bukan hanya Nenek, tetapi juga pelayan setianya.Aku tidak sekadar mencium pipi atau kening, tetapi bibirnya. Semua yang Nidya dan Mala katakan di kantor tadi jadi buyar. Aku mendadak tidak tahu harus bersikap bagaimana di depan kakeknya nanti. Bagaimana kalau dia juga meminta bukti kami serius dengan pernikahan ini?“Ah, kalian sudah datang! Ayo, masuk, masuk!” Kakek menggerakkan tangannya, mengajak kami masuk ke ruang tengah.Dia sedang menonton siaran televisi sambil menikmati segelas kopi dan sepiring pisang goreng. Perutku berbunyi menghirup aroma khas kopi dari desa tersebut.“Siapkan makan malam secepat mungkin. Lalu panggil kami kalau sudah waktuny
Setelah berada di udara selama satu setengah jam, kami mendarat di Bandar Udara Abdulrachman Saleh dengan selamat. Aku berjalan dengan santai, sedangkan Galang menarik koper kami sambil menggandeng tanganku. Kami keluar dari terminal kedatangan disambut kerumunan orang.Padahal bukan tanggal merah. Mungkin ada keluarga atau teman yang datang untuk melewati akhir tahun bersama mereka di kota ini. Seperti yang keluarga Galang lakukan. Mereka biasanya berlibur di tempat yang jauh, tetapi tahun ini tidak karena kami baru menikah.Perjalanan jauh membutuhkan biaya yang lebih besar, terutama untuk ongkos pesawat. Namun ke mana pun kami pergi, aku tidak mengeluh. Asal bisa menjauh sejenak dari rutinitas pekerjaan, aku sudah senang. Apalagi selama satu tahun ini, aku jarang mengambil cuti.“Itu mereka!” seru Bunda yang menunjuk ke arah di mana Kak Gesang dan keluarganya berada.“Nenek!!” sambut kedua cucunya yang segera berlari ke dalam pelukannya. Mereka sudah remaja, tetapi tidak segan meme
~Galang~ Wanita ini perlu belajar mengendalikan dirinya dengan baik atau semua rencanaku bisa gagal total. Mengapa dia tidak bisa bersikap santai di depan neneknya sendiri? Kelemahannya selalu berhasil membuat dia mengambil tindakan tanpa berpikir panjang. Apa salahnya mengalah dan membiarkan neneknya memuji adik laki-lakinya? Aku sudah siap dengan tanggapanku mengenai desakan Nenek untuk menciumnya, dia malah lebih dahulu mencium aku. Bukan di tempat yang biasa seorang teman lakukan, tetapi di, ah, sudahlah. Membahasnya hanya akan membuat aku memikirkan hal itu terus. Padahal bukan begini yang aku pikirkan saat melakukan ciuman pertamaku dengannya. Dia benar-benar tidak berubah sejak SMU. “Lihat, aku berhasil, ‘kan?” bisiknya. Dia memperkecil jarak di antara kami dengan mendekatkan wajahnya kepadaku. Melihat bibirnya dari jarak sedekat itu menjadi godaan terbesarku saat ini. “Berhasil apa?” ejekku, menunggu para penumpang lain keluar dari kabin pesawat. “Kentut tanpa kamu ketahu