Aku, Galang, dan Fayola mengucapkan terima kasih banyak atas dukungan teman-teman. Dari munculnya ide cerita pada 19 Juli 2021, sampai pertama kali diunggah di sini pada tanggal 31 Desember 2022, akhirnya tamat pada hari ini, tanggal 16 April 2023.
120 bab, 160.950 kata. Wow. (´⊙ω⊙`)
Galang dan Fayola sering membuat pusing saat menyampaikan ide cerita, jadi aku yakin ada banyak kekurangan pada karya ini. Untuk itu, aku mohon maaf. Semoga aku bisa terus memperbaiki diri dan menyajikan novel yang semakin berkualitas nan menghibur pada karya berikutnya.
Bila ada yang mau disampaikan langsung kepadaku, Galang, atau Fayola, silakan ke kolom komentar, ya. Pasti kami balas. ♡♡♡
Terima kasih banyak untuk setiap sumbangan gem lewat vote, komentar, dan aku masih menunggu review dari teman-teman pada “Tentang buku ini”. Jika suka dengan novel ini, bantu bagikan ke kenalan yang lain yang juga mencari bacaan bagus, ya. Uhuk. ≧ω≦
Akhir kata, sampai jumpa lagi. Sembari menunggu, silakan mampir ke karyaku yang lain di Goodnovel yang tidak kalah serunya dengan ini. Kalau ternyata sudah baca semua, harap bersabar, ya. Buku baruku masih dalam peninjauan di meja editor.
Yang mau tahu karyaku yang lain, silakan kunjungi rumah daringku dengan nama yang sama. Selamat berakhir pekan.
Salam sayang,
Meina H.
~Fayola~ “Hei!” teriak seorang wanita dari arah belakangku diikuti bunyi nyaring klakson mobil. “Kalau menyeberang pakai mata!” seru pengendara mobil yang berhenti tepat di depanku. Hampir saja. Jantungku berdebar dengan kencang menyadari aku baru melewati maut. “Kamu yang pakai mata!” Aku menunjuk ke arah lampu lalu lintas. “Lihat, itu! Lampu merah menyala untuk mobil. Lampu hijau itu untuk pejalan kaki! Dasar bodoh!” Pengguna jalan lain ikut memarahi pengemudi arogan mobil mewah itu. Jadi, aku tidak perlu marah berkepanjangan. Baru punya mobil hebat sedikit sudah merasa memiliki jalan. Aku menyeberangi jalan dengan hati-hati menemui kekasih jiwaku. “Apa yang terjadi, Yola?” tanya Sonya di telingaku. Aku sampai lupa, kami masih bicara lewat ponsel. “Apa kamu baik-baik saja?” “Iya. Ada sopir tidak taat lampu merah. Aku hampir sampai. Sudah dulu, ya,” kataku melihat tempat pertemuan kami sudah dekat. Jantungku berdebar bahagia. Hari ini adalah hari yang aku tunggu! “Oke. Selamat
Para tenaga medis bergerak sangat lambat memeriksa kondisiku. Rasanya aku sudah berbaring berjam-jam, tetapi mereka tidak juga datang menangani rasa sakitku. Ketika aku akhirnya didatangi seorang dokter, barulah aku merasa sedikit tenang. “Segera pindahkan dia ke ruang operasi,” kata dokter itu memberi perintah. Ruang operasi? “Apa yang terjadi, Dokter? Bayi saya baik-baik saja, ‘kan?” tanyaku panik. Dia menatap aku dengan prihatin. Aku tahu sebuah berita buruk tanpa perlu dijelaskan dengan kata-kata. Jiwaku mati ketika bangun dalam sebuah kamar rawat seorang diri, tanpa keluarga dan teman. Ruangan serba putih itu terasa sepi meskipun banyak pasien lain yang berada di kamar yang sama, hanya berbeda bilik. Ponselku terus bergetar, maka aku mengalah dan menyentuh tombol hijau. “Mengapa kamu tidak menjawab ponselmu dari tadi!? Aku pikir kamu sudah mati!” teriak Galang, memarahi aku dengan nada panik. “Kamu ada di mana? Aku sudah bilang aku akan menjemput dari tempat kerja!” “Di rumah
~Lima belas tahun kemudian~“Ayo, kita menikah,” ajak Galang dengan serius.Aku memuncratkan kopi yang belum sempat aku teguk. “Fay! Kamu ini jorok amat!” pekiknya kesal. Cairan hitam pekat itu membasahi wajah arogannya. Biar tahu rasa. Bicara tidak pakai otak, apa dia pikir aku suka dengan candaannya tadi?“Mamamu mendesak kamu untuk menikah, apa hubungannya denganku? Ada banyak perempuan di kafe ini, kamu pilih saja satu.” Aku mengusap bibirku yang basah dengan tisu.“Bukannya mamamu juga memaksa kamu untuk menikah secepat mungkin?” ejeknya, tidak mau kalah. Aku menahan tawa melihat wajahnya masih basah dengan kopi. “Kita sama-sama sudah empat puluh tahun, tetapi mereka masih saja berisik seperti kaset rusak. Tidak sabar amat.”Aku juga capai mendengar omelan dan desakan Mama. Setiap hari pasti ada saja omongannya yang mengarah ke sana. Namun bukan berarti aku akan menyerah begitu saja. Sama seperti wanita lain, aku juga mau membina rumah tanggaku sendiri, tetapi aku belum siap.“Ka
Mama sudah gila. Nenek juga sudah kehilangan akal. Kalau menyukai seorang pria, mengapa tidak dia saja yang menikah dengannya? Mengapa malah aku yang harus dikorbankan? Katanya, aku diberi waktu sampai sore ini untuk membawa calon suamiku. Mengapa pria itu datang saat makan siang?Duh, aku sudah lapar. Gara-gara Nenek, aku tidak bisa masuk ke rumahku sendiri. Demi menghindari pertanyaan orang mengenai statusku yang tidak juga berubah, aku beribadah di gereja lain. Kalau tahu begini, aku makan dahulu baru pulang.“Apa yang kamu lakukan di sini?” Aku melompat terkejut mendengar suara itu.“Galang! Dasar bodoh!” pekikku dengan suara tertahan. “Apa yang kamu lakukan di sini?” Aku pasti sibuk dengan pikiran sendiri sampai tidak mendengar bunyi mesin motornya.“Kamu pasti belum aktifkan ponselmu sejak pagi tadi.” Dia mengangkat salah satu alis matanya. “Siapa yang datang? Ini bukan mobil keluargamu. Aku rencananya mau ajak kamu makan siang—”“Ayo!” Aku segera menerimanya.Dia membawa aku ke
“Lombok?” pekikku senang saat melihat tujuan penerbangan kami di layar. “Kita belum bisa naik gunungnya sekarang, tetapi kamu pasti mau melihatnya dari jauh, ‘kan?” ucapnya sambil memberikan ponsel dan kedua kartu identitas kami kepada wanita di konter. “Ini bulan madu yang terbaik, Lang!” kataku bahagia. Kami tidur selama dalam penerbangan, jadi kami bangun dalam keadaan segar. Walaupun tubuh kami sangat lelah, kami berhasil mencapai pintu kamar hotel. Tidak peduli dengan pakaian yang belum kami ganti, gigi yang belum disikat, kami tidur di ranjang besar itu bersama. Lalu pada pagi harinya aku teringat dengan janjinya. Dia keluar dari kamar mandi dengan wajah segar dan rambut lembap. Aku tidak menyembunyikan rasa kesalku. “Masih pagi, kamu sudah cemberut. Ada apa?” tanyanya, pura-pura tidak tahu. “Kamu janji kita tidak akan tidur satu ranjang,” protesku. Dia memutar bola matanya. “Aku sudah menendang kamu keluar, kamu sendiri yang tidak mau jalan ke kamarmu yang hanya berjarak
~Galang~ Wanita yang duduk di depanku bukanlah orang yang baru aku kenal dalam beberapa jam. Aku sudah mengenal dia selama dua puluh lima tahun. Aku adalah seniornya di SMU, sedangkan dia anak baru yang tidak gentar melawan aku pada masa orientasi sekolah. Kami yang semula musuh bebuyutan terpaksa berbaikan, karena sebuah kecelakaan yang membuat kepala sekolah berang. Uniknya, kami justru menjadi teman baik sejak saat itu. Sayangnya, aku tidak tinggal di sekolah itu untuk waktu lama. Walaupun aku kuliah, kami tetap berteman sampai bertemu lagi di kampus yang sama. Dia menolak lamaranku, tetapi aku belum mau menyerah. Masa tidak ada satu hal pun yang bisa membuat dia goyah? Namun ketika aku tidak berhenti menggodanya, dia mengatakannya. Dia mengucapkan kalimat yang aku tunggu-tunggu. Sebelum dia berubah pikiran, aku melamarnya di depan kedua orang tuanya. “Aku tidak percaya ini. Kamu membuat aku menunggu begitu lama hanya untuk melihat kamu menikahi perempuan yang selama ini ada di
~Fayola~ Matanya yang semula menatap mataku, turun perlahan lalu berhenti untuk melihat bibirku. Ketika dia kembali membalas tatapan mataku, sesuatu yang sebelumnya tidak aku temukan, aku lihat di kedua indra penglihatannya itu. Dia mendekatkan wajahnya, aku tertegun sejenak. Jantungku, anehnya, berdetak semakin liar di dadaku. Aku sampai menahan napas, takut dadaku akan menyentuh bagian depan tubuhnya. Tidak punya cara lain yang lebih jitu, aku mengantukkan kepalaku ke dahinya. “Aw!” serunya dengan suara tertahan. Aku segera mendorong tubuhnya menjauh dariku, lalu duduk. Kepalaku juga terasa sakit karena antukan itu. “Ibumu sudah pergi, mengapa kamu masih ada di atasku?” protesku dengan kesal sambil mengusap-usap keningku. “Rusak sudah krim yang baru aku oleskan. Apa kamu tidak tahu harganya mahal?” Dia tertawa kecil dan berbaring telentang di atas alas tidurnya. “Kamu sudah empat puluh tahun, Fay. Untuk apa buang uang supaya tidak keriput? Aku tidak akan meninggalkan kamu hanya
Walaupun kami sama-sama sedang mempertahankan pendapat kami, fokus kami tidak teralihkan. Kondisi lalu lintas tetap menjadi perhatian utama kami. Dia menginjak rem tepat pada waktunya. Namun mobil tidak sampai berhenti sehingga tidak terjadi tabrakan beruntun di belakang kami. “Pengendara bodoh! Cari mati jangan di depan mobil mahalku!” teriaknya penuh amarah. Orang yang dimaksud pergi begitu saja, merasa tidak bersalah. “Oh, Tuhan. Jantungku hampir lepas. Untung saja dia tidak mati tertabrak.” Aku mengusap-usap dadaku. Kecelakaan itu terjadi lagi. Aku tertegun sejenak sebelum menoleh ke arah Galang. Matanya terpicing sehingga nyaris membentuk dua garis lurus horizontal. “Lain kali kita naik sepeda motor saja.” Dia menggeleng pelan. Aku rasanya ingin jok itu memakan aku agar tidak perlu menghadapi dia lagi. Memalukan sekali. Aku yang sudah kentut sembarangan, aku juga yang memarahi dia paling keras. Padahal yang dia katakan benar. Seharusnya aku jujur saja dari awal. Pertengkaran t