Mereka bertiga saling pandang atas permintaan Vea, tidak mungkin membantu Vea pergi dari Wiliam, mereka pastinya akan membantu suaminya untuk mendapatkan Vea.
"Tenanglah Vea, kamu tidak perlu memikirkan Mas Wiliam seberat itu, kamu tau kan ini masih pagi, kamu tidak mau berangkat kerja di tempatmu?" tanya Silvi menyadarkan Vea. Wanita itu segera beranjak dari sana dan kembali berjalan keluar dari kamar hotel tanpa berkata-kata pada mereka bertiga, memang pekerjaannya jauh lebih penting dari segalanya. "Gawat, aku bisa dipecat beberapa hari ini tidak masuk kerja tanpa izin, Wiliam benar-benar memuakkan, aku tidak akan terima jika pekerjaanku akan berhenti gara-gara dia." Saat perjalanan menuju tempat kerja yang ada di Twenty XXII. Tepatnya ada di Jakarta Barat dekat sekali dengan kampus. Vea sudah lama bekerja di sana hampir dua tahun lamanya, dia tidak mau kehilangannya hanya karena pernikahan bodohnya. Dengan cepat Silvi menghubungi Wiliam yang berada di dalam mobil menuju perusahaannya, pria itu langsung menuju ke tempat yang diberikan Silver mengenai alamat kerja Vea. "Tolong jangan pecat aku Pak, aku sakit dan baru sadarkan diri, aku masih mau bekerja di sini," rengeknya memohon. Terlambat karena kepala bagian telah memasukkan pegawai lain yang menurutnya jauh lebih bisa rajin daripada Vea yang sudah tiga hari ini tanpa kabar yang jelas. "Maaf Vea, sudah ada Susan yang menggantikan kamu, secara tidak resmi kamu telah dikeluarkan dari sini, bukan salah saya karena kamu tidak bisa dihubungi atau tidak memiliki izin sama sekali." Tidak adil bagi Vea pemecatannya, padahal pernah ada pegawai yang sampai tidak ada keterangan empat hari tetapi tidak dipecat seperti dirinya. "Tolong Pak, jangan pecat aku, bagaimana aku bisa membiayai kehidupan aku sampai bulan depan, sekarang aja sakitnya masih nyeri untuk aku, tolong pertimbangan lagi biarkan aku tetap bekerja di sini." Kepala bagian yang bernama gemilang itu geleng-geleng kepala, dia tidak mungkin mengembalikan Vea dan mengusir Susan dari bagiannya, Susan adalah keponakannya yang sangat ingin bekerja di sini, sudah lama juga gemilang mau keponakannya bekerja dengannya, dan dia pula kesal dengan Vea karena selalu menolaknya diajak pulang bareng. Saat Gemilang dan Vea masih terus bicara, ada mobil berwarna silver terparkir di depan tempat kerja dan keluarlah seseorang dengan menggunakan kaca mata. "Apa perlu aku membeli market kecil ini kalau Vea tidak diizinkan bekerja lagi? Atau melupakan siapa aku yang telah menjadi pemilik lahan terluas di sini? Aku bisa saja menutup akses jalannya agar tidak ada yang datang ke sini sampai market ini gulung tikar," tuturnya membuka kaca matanya. Dari suaranya Gemilang tahu betul siapa yang bicara padanya, tentu Wiliam yang selama ini dibicarakan anak-anak lain, termasuk memproduksi segala bahan makanan dan minuman yang ada di market tersebut, dia juga tidak mau dipecat gara-gara nanti Wiliam melaporkan ini pada bosnya. "Pak Wiliam, ternyata betul Anda, apa urusannya dengan Vea ya, Pak? Mengapa Bapak sangat peduli dan mau melakukan semua itu?" Lirikan mata Wiliam tajam menusuk ke arah Gemilang, Vea sendiri memasang wajah malas melihat pria tua yang menurutnya nyaris bukan kriterianya. "Dia adalah istriku, istri keempat yang akan mewariskan segala yang aku miliki, termasuk lahan ini, mungkin dia akan menjadi bosnya, bahkan anak kami darinya yang akan meneruskan segalanya," jawab Wiliam memperjelas siapa Vea. Lutut Gemilang bergetar tidak bisa digerakkan, tentu dia takut sudah berperilaku kurang baik pada Vea yang ternyata istri seorang Wiliam si pengusaha kaya raya. "Maafkan Saya, Pak. Saya akan menerima Vea kembali bekerja di sini dan membiarkan Susan berhenti dari sini, karena memang Vea lah yang lebih dulu bekerja," ucapnya sudah setuju Vea kembali. Wiliam tidak banyak bicara lagi, dia segera melangkah pergi meninggalkan marketnya dan membiarkan Vea bekerja sesuai yang dia mau, Vea keheranan, mengapa masih ada manusia yang seperti Wiliam di dunia ini. "Bikin malu aja, masa ngaku aku istri keempatnya, memang dia pikir siapa yang mau jadi istri keempat? Aku tidak akan berterima kasih walaupun dia sudah mengembalikan kerjaan aku," ucapnya pelan. Gemilang yang sudah menyerah akhirnya meminta maaf juga pada Vea, ada rasa malu bercampur tidak enak pada Gemilang yang selama berwibawa dan galak di depannya selama ini. Hari itu Vea mulai bekerja, Wiliam terus menunggu istrinya di dalam mobil, tidak lama setelah menjelang sore Vea mulai keluar dari tempat kerjanya, sepertinya wanita itu mau pulang. "Vea! Masuklah ke dalam mobil," panggilnya masih duduk di bagian depan. Vea tahu siapa orang yang memanggilnya, rupanya benar Wiliam masih berada di sana sejak tadi pagi, sekarang Vea semakin mencemaskan nasibnya ke depan. Vea mendekat membawa sapu yang dia pungut dari luar tempat kerjanya. Bug! Bug! Bug! Pukulan demi pukulan mengenai lengan dan hampir wajah pria itu, dia tidak mengira kalau Vea akan mengamuk seperti macan yang keluar dari kandangnya. "Vea, hey kamu jangan pukul aku, sakit tau, sakit. Aku hanya ingin mengantarkan kamu ke hotel kembali, kita masih harus progam hamil malam ini." Sekuat tenaga pukulan bertambah kuat memukul Wiliam, tangan Vea tidak berhenti sampai Wiliam akhirnya keluar dari mobil dan mendekat ke arahnya. "Cukup Vea! Aku bukan mangsamu yang harus kamu pukul! Kamu harus ikut denganku sekarang, mengapa kamu tidak berterima kasih padaku karena sudah menolong mu tadi, malah kamu mengamuk memukuli aku." Tangan Wiliam menarik sapu di tangan Vea, Wiliam sangat ingin mengamuk balik pada istrinya yang bar-bar ini, banyak orang juga yang menjadi penonton akibat ulah Vea, rasanya Wiliam malu setengah mati. "Lepaskan aku! Aku mau pulang ke kontrakan aku aja, biarkan aku hidup dengan tenang tanpa kamu seperti dulu, jangan ganggu aku lagi, kamu jahat, untuk apa berterima kasih padamu yang sudah merenggut segalanya." Dari ucapan Vea banyak yang menduga-duga mereka berdua pasangan kekasih yang sedang bertengkar hebat, bahkan ada yang mengira Vea sudah dilecehkan. "Tidak mau! Aku mau kamu tetap ikut denganku dan kita buat anak yang banyak! Aku akan melakukan apa saja untuk kamu asalkan kamu ikut dengan aku pulang." Orang-orang melihat ke arah mereka berdua, banyak sepasang mata yang terlihat sinis setelah Wiliam bicara mengenai anak, Vea segera menginjak kaki Wiliam dan berlari dari sana. "Vea tunggu!" Vea masih terus berlari menuju kontrakan petaknya yang dia tinggalkan selama tiga hari ini, rasanya dia rindu kenyamanan tidur di malam hari dengan banyaknya nyamuk dan udara segar yang tidak menggunakan pendingin ruangan. Namun setelah sampai di tempatnya, ternyata Wiliam masih mengikutinya, pria tua itu ternyata sudah ada di dalam kontrakannya sedang merebahkan tubuhnya. "Hay sayang, apa kamu sudah siap membuat anak lagi denganku? Aku sudah siap di sini, bukankah kamu sangat menyukai kamar yang dekil dan kecil ini? Tapi tidak masalah bagiku asalkan bisa bersama denganmu," ucapnya. Tangan Vea menepuk dahi.["Silvi, apa ini kamu?"] ["Benar, Mas. Ini jelas aku, ada yang bisa aku bantu untuk membantu Mas?"] ["Tolong aku, berikan apa yang Vea minta sama kita waktu di rumah sakit, kamu tolong investasi ke tempat kerja Vea, tapi kamu juga harus berikan penjagaan ketat untuk setiap yang masuk ke dalam sana, aturlah bagaimana caranya, itu terserah kamu."] ["Baiklah Mas, aku akan lakukan sekarang."] ["Terima kasih Silvi, kamu bisa aku andalkan, sekarang aku baru sampai di rumah sakit, nanti hubungi aku kalau kamu sudah selesai mengurus semuanya."] ["Ok, Mas."] Wiliam memutus sambungan teleponnya. Ria menunggu apa yang dibicarakan Silvi dengan Wiliam membuatnya penasaran. "Ada apa?" "Mas Wiliam meminta aku membuka kembali tempat kerja Vea, tapi kali ini harus jauh lebih aman daripada kemarin. Aku harus pergi dulu, kamu di rumah sama Cici." "Baik, Kak Silvi." Silvi pergi sesegera mungkin dari rumah itu menuju ke tempat kerja Vea untuk mengecek tempat itu secara langsung dan mencari info
"Permisi!" Sumber suaranya ada di depan rumah, dan Silvi berjalan membukakan pintu karena ada di ruang tamu bersama Ria. "Ayahnya Vea, kan?" Tentu Silvi tahu tamunya sekarang adalah ayahnya Vea yang bertemu waktu di rumah sakit, begitu juga Ria yang tahu seperti Silvi begitu melihat wajah tamunya. "Benar, bisa bertemu sama suami kalian?" Silvi berpikir sebelum menjawab permintaan ayahnya Vea, apakah harus saat ini bertemu dengan Aziz atau nanti saja. "Bisa, Pak." Ria yang lebih dulu menjawab karena Silvi diam memikirkan akibatnya nanti. Sekarang Silvi bernafas lega karena yang mengambil keputusan bukan dirinya. "Baiklah, terima kasih." "Sama-sama, aku panggilkan dulu, tapi nanti Bapak silakan tunggu di ruang tamu bersama Kak Silvi." Menurut Ria ini kesempatan suaminya bicara berdua dengan mertuanya untuk meluruskan masalah yang terjadi, karena terlihat Aziz tidak sedang marah. "Mas, kamu ada di dalam?" Ria mengetuk pintu kamar Vea beberapa kali sampai terdengar suara
"Dengarkan aku, Vea!" Wiliam membentak istrinya dengan penuh kemarahan, selama ini Wiliam sangat sabar terhadap sikap Vea, tetapi kali ini dia tidak mau mengalah lagi. "Dengarkan aku! Kamu akan bersama denganku walaupun kamu masih mau bersama keluarga kamu dan meminta aku mengembalikan apa yang sudah aku tutup. Aku tidak membutuhkan persetujuan kamu, sekarang kamu diam dan turuti kemauan aku, kita akan segera pulang ke rumah kalau kamu sudah membaik." Tatapan tajam Wiliam membuat Vea diam dan tidak berpikir lagi, karena suaminya kalau sudah marah tidak ada yang bisa menahannya. "Baiklah," ucap Vea. Wiliam mengendus kesal di depan istrinya yang terpaksa menurutinya, dia tidak peduli apa pun yang dipikirkan oleh Vea, yang terpenting dirinya bisa membawa pulang Vea. Bahkan jika harus berseteru lagi dengan Aziz dirinya akan memberanikan diri. Pria itu keluar dari ruangan Vea dan segera menemui dokter untuk Vea bisa pulang sebelum kedua orang tua Vea akan datang menjemput istriny
"Ayo Mas pulang!" Silvi tetap memaksa suaminya pulang bersama dengan mereka bertiga lagi. Silvi hanya tidak mau juga Vea bertambah parah sakitnya harus marah-marah seperti tadi. "Silvi! Aku masih mau bersama dengan Vea, tolong kamu kalau mau pulang, pulang duluan saja bersama Ria dan Cici, aku masih mau di sini sama Vea." Posisi mereka sudah ada di luar ruangan Vea, dan Vea menghubungi ayahnya untuk menjemput dirinya malam ini juga karena tidak mau bertemu dulu sama suaminya. "Vea sakit Mas, kamu harus mengerti itu," bisik Silvi. Wiliam akhirnya berjalan mengikuti ketiga istrinya pergi dari sana pulang dengan kesalahpahaman lagi. "Wiliam ini, dia selalu bertindak sendiri tanpa meminta pendapat aku, setidaknya dia bisa mengatakan hal ini, pekerjaan itu juga penting buat semua temanku." Vea masih terus marah-marah sendiri di dalam sana, dia sendirian tanpa ada yang menemani, tetapi lebih baik seperti ini daripada dirinya ditemani Wiliam yang selalu membuat dirinya kesal. Wil
"Maaf kamu bilang? Bukankah kamu yang mau kita berkumpul? Tapi kenapa kamu mematahkan harapan kedua orang tuamu yang sudah menerima kamu? Aku tidak habis pikir dengan cara pikirmu yang ingin menghargai pernikahan sama menantuku, seharusnya dia paham kalau istrinya mau tinggal sama kedua orang tuanya dulu, tidak akan lama juga, dia bisa menjemput setiap saat." Aziz sungguh tersinggung putrinya tidak mau membahas semua itu langsung di depan Wiliam dan dirinya. Bahkan lebih mau dirinya pergi dengan alasan membeli perlengkapan mandi. "Aku minta Ayah tenang. Karena Wiliam jauh lebih emosi daripada Ayah, aku takut kalau Wiliam bisa melakukan sesuatu lagi pada keluarga kita, biarkan aku tetap tinggal bersama suamiku, dia sangat bertanggung jawab dan memenuhi segalanya, jadi tolong mengerti anakmu ini karena mau bersama kehidupan barunya, aku akan menginap beberapa pekan ke rumah kalian saat Wiliam mengizinkannya, tapi aku tidak janji akan hal itu." Vea menenangkan ayahnya yang mau tingga
Wiliam menunggu tanpa henti di luar ruangan Vea, tetapi keluarga Vea masih belum juga mau pulang setelah dirinya kesal mendengar pembicaraan satu keluarga itu. Sampai subuh Wiliam baru menyadari kalau Vea memanggilnya, "Wiliam, tolong bantu aku," ucapnya sudah melihat suaminya di depan pintu. "Ya," jawab Wiliam singkat karena masih mau bicara berdua dengan istrinya. Saat Wiliam masuk ternyata ibu mertua dan adik iparnya langsung berpamitan, sekarang hanya ada Aziz bersamanya di sana. "Wiliam, tolong jaga anakku," pamit ibu Vea. "Baik," balas Wiliam. Mereka berdua pergi, Vea mau dibantu ke kamar mandi oleh suaminya karena ingin membuang air kecil, apalagi tadi minum banyak sekali membuat Vea tidak nyaman terbaring di tempat tidurnya. "Pelan-pelan sayang." "Iya, Wiliam." Mereka berdua ke kamar mandi, sedangkan Aziz mengamati menantunya begitu menyayangi putri pertamanya itu. "Ternyata Wiliam sayang sama istrinya, aku paham mengapa Vea mau dijadikan istri keempatnya, pa