Sungguh di luar kemampuan Wiliam untuk bisa mengubah jalan pikiran Vea yang selalu menganggapnya jahat ataupun penipu, Wiliam melangkah pergi dari kamar dan menutup pintu.
"Maafkan aku, Vea. Rasanya aku tidak kuat apabila mendengar kamu kecewa jika mendapat kenyataan yang tidak kamu inginkan lagi, setidaknya aku tidak melihatnya sekarang." Wiliam pergi dari rumah untuk memastikan sendiri apa yang dia dapatkan dari orang suruhannya, sedangkan Vea masih terus berada di dalam kamar yang terkunci, dan jendela sudah ditutup rapat agar wanita itu tidak bisa kabur lagi. Hari berlalu dan tiba di mana ada awak media yang datang ke kediaman Wiliam. Tepat pukul sembilan pagi Wiliam dan keempat istrinya sudah berada di ruangan khusus untuk pertemuan semacam ini, mereka semua meliput begitu juga banyak sekali kamera wartawan yang terus menyilaukan mata kelimanya. "Saya Wiliam telah menikah lagi dengan wanita bernama Vea, dia adalah pekerja di sebuah pusat perbelanjaan, dan sekarang menjadi salah satu ratuku yang akan mewariskan segalanya jika dia memiliki seorang anak, bersama ketiga istriku yang lain, kami akan hidup bahagia dan saling memahami serta menerima." Dengan lantangnya Wiliam mengatakan itu tanpa berpikir jika mereka semua akan berasumsi yang buruk terhadapnya, bagi Wiliam itu tidak menjadi masalah. Saat mereka sudah membuat berita secara langsung bersama Wiliam, begitu antusias mengikuti perkembangan berita pengusaha yang satu ini karena terus melonjak menjadi pebisnis yang hebat. "Kamu sudah lihat kan, aku telah mengakui keberadaan kamu, beberapa hari lagi kita akan mengadakan resepsi pernikahan, mungkin kamu akan menolaknya, tapi aku sudah mempersiapkan segalanya, jadi jangan kecewakan aku." Rupanya Wiliam masih terus menunda niatnya untuk mempertemukan Vea dengan kedua orang tuanya, ketika para wartawan berpamitan undur diri dari sana, Vea merasakan kakinya sangat pegal harus menggunakan heels yang cukup tinggi walaupun dirinya hanya banyak duduk di samping Wiliam. "Terserah kamu saja! Aku mau melepaskan sepatuku ini, kalian memaksaku untuk menggunakan sepatu artis yang tidak bisa aku gunakan sebelumnya. Berikan aku sandal jepit yang nyaman." Permintaan Vea membuat Wiliam harus menghentikan Silvi yang geram pada wanitanya yang cukup menyita waktu mereka, dengan sabar Wiliam segera memerintah asisten rumah tangganya untuk membawakan sandal jepit sesuai permintaan Vea. "Berikan yang dia mau, pastikan ukurannya pas di kakinya, kalau bisa beli yang banyak agar dia bisa bergonta-ganti," perintahnya. Asisten rumah itu pergi dan segera membeli permintaan tuannya, sekarang giliran Ria yang rasanya ingin bicara berdua dengan Vea, dia hanya ingin menasehati wanita itu agar tidak keras terhadap suaminya. Tepat di depan kamar Vea, Ria mengikuti tanpa diketahui Silvi ataupun Silvi, begitu juga Wiliam yang masih duduk di tempat ruangan tadi. "Vea, aku minta kamu cukup bertingkah di rumah ini, biarkan Mas Wiliam mengatur segalanya dan kamu hanya perlu mengikutinya, hidup kamu tidak lagi susah seperti dulu, tapi kamu juga harus ingat, Mas Wiliam bukan pembantu kamu yang kamu minta harus dituruti." Seperti menegur lembut Ria pada Vea saling berhadapan, Ria hanya mau semua yang ada di rumah bersikap lembut pada suaminya yang selama ini baik dan merubah hidupnya menjadi wanita yang berkelas. "Astaga, kamu ini memerintah aku atau kamu tidak terima kalau Wiliam lebih peduli padaku daripada sama kamu? Lembut padanya hanya membuang waktuku, lagipula aku bukan kamu yang menginginkan kedudukannya, uang Wiliam pun tidak pernah aku dambakan." Bertambah marah Ria mendengar jawaban Vea, datang Silvi yang mencegah Ria untuk tidak ikut campur mengenai Vea yang bersikap bagaimanapun pada Wiliam. "Cukup Ria, kamu harus sadar Mas Wiliam masih ada di rumah, kita bisa dimarahi hanya karena kebodohan kamu, biarkan dia sesuka hati mendapatkan perhatian Mas Wiliam, Vea juga istrinya, apa salah dengan semua itu? Vea hanya butuh waktu agar terbiasa seperti kita." Apa yang dikatakan Silvi masuk dalam pikirannya, Ria hampir akan membuat perang Dunia Kedua pada rumah yang selama ini tentram tanpa pertengkaran. "Baiklah, aku akan membiarkannya, aku ada acara sendiri, tolong beritahu Mas Wiliam kalau aku akan pulang cukup malam," pamit Ria. Silvi paham dengan kegiatan Ria yang menjadi koki terkenal pada sebuah restoran terbesar di Jakarta. Sekarang Silvi meninggalkan Vea sendiri untuk beristirahat di dalam kamar, pintu sudah tidak dikunci lagi, Vea dengan bebas bisa keluar masuk ruangan di rumah Wiliam. "Resepsi? Orang tuaku saja belum ditemukan, mau mengadakan resepsi. Wiliam tidak serius mempertemukan aku dengan mereka, aku harus bicara lagi padanya." Dengan cepat Vea kembali ke ruangan di mana tadi ada banyak wartawan, ternyata benar jika Wiliam masih terus duduk di sana memikirkan sesuatu yang berat dan tidak bisa diungkapkan kepada siapapun. "Wiliam, aku boleh bicara empat mata denganmu?" Vea duduk di samping Wiliam yang memberikan kode dengan tangannya agar wanita itu duduk di sana. "Ada apa? Mereka akan membawakan sandal jepit yang kamu mau, tunggu di kamar saja." Mengira ini masih tentang sandal jepit, padahal Vea sekarang berjalan tanpa alas kaki, dia begitu nyaman berjalan. "Bukan tentang sandal, tapi tentang kedua orang tuaku, apa kamu mau sekarang mempertemukan aku dengan mereka? Aku mau mereka hadir dalam resepsi yang akan kamu buat itu, apa kamu bisa memenuhi permintaan aku?" Tatapan penuh harap Vea menjadikan Wiliam teriris. Namun, Vea berhak mendapatkan informasi yang ditutupinya seharian ini. "Vea, mereka tidak menginginkan kehadiran kamu lagi, kedua orang tuamu membuang kamu karena menganggap kamu sebagai anak pembawa sial, mereka kini sudah memiliki anak laki-laki yang membawa keberuntungan," kata Wiliam membeberkannya. Bagaikan tersambar petir mendengar apa yang dikatakan Wiliam, semua tidak mungkin terjadi, tidak ada orang tua yang memiliki pikiran yang diucapkan Wiliam. Otaknya menolak keras! "Bohong! Kamu pasti sedang berbohong padaku Wiliam. Kamu berkata seperti tadi hanya karena aku tidak boleh pergi dari kehidupan kamu 'kan? Ini tidak boleh Wiliam, kamu jangan memisahkan aku dengan kedua orang tuaku sendiri." Dengan begitu saja butiran berwarna putih mengalir di pipi cantik Vea, rupanya Vea merasakan sakit yang luar biasa, karena mungkin yang dikatakan Wiliam ada benarnya, buktinya Vea dibuang ke panti asuhan. "Tenanglah Vea, aku bicara sesuai fakta yang ada, ini yang aku takuti dari kemarin, orang suruhanku telah mendapatkan alamat lengkap mereka berdua dan mendapatkan pula kenyataan mereka tidak menginginkan kehadiran kamu lagi." Tubuh Vea mematung dengan cepat Wiliam berada di sana memeluk wanitanya yang sedang menangis. Tidak ada yang bisa menjelaskan perasaan seorang anak yang tidak diinginkan lagi oleh kedua orang tua, mereka sendiri yang menghadirkan dirinya lahir ke dunia ini, tetapi mereka menolaknya mentah-mentah. "Hiks ... Hiks ..." "Menangislah Vea, menangis sepuasnya," ucapnya menepuk-nepuk lembut bagian belakang Vea.["Silvi, apa ini kamu?"] ["Benar, Mas. Ini jelas aku, ada yang bisa aku bantu untuk membantu Mas?"] ["Tolong aku, berikan apa yang Vea minta sama kita waktu di rumah sakit, kamu tolong investasi ke tempat kerja Vea, tapi kamu juga harus berikan penjagaan ketat untuk setiap yang masuk ke dalam sana, aturlah bagaimana caranya, itu terserah kamu."] ["Baiklah Mas, aku akan lakukan sekarang."] ["Terima kasih Silvi, kamu bisa aku andalkan, sekarang aku baru sampai di rumah sakit, nanti hubungi aku kalau kamu sudah selesai mengurus semuanya."] ["Ok, Mas."] Wiliam memutus sambungan teleponnya. Ria menunggu apa yang dibicarakan Silvi dengan Wiliam membuatnya penasaran. "Ada apa?" "Mas Wiliam meminta aku membuka kembali tempat kerja Vea, tapi kali ini harus jauh lebih aman daripada kemarin. Aku harus pergi dulu, kamu di rumah sama Cici." "Baik, Kak Silvi." Silvi pergi sesegera mungkin dari rumah itu menuju ke tempat kerja Vea untuk mengecek tempat itu secara langsung dan mencari info
"Permisi!" Sumber suaranya ada di depan rumah, dan Silvi berjalan membukakan pintu karena ada di ruang tamu bersama Ria. "Ayahnya Vea, kan?" Tentu Silvi tahu tamunya sekarang adalah ayahnya Vea yang bertemu waktu di rumah sakit, begitu juga Ria yang tahu seperti Silvi begitu melihat wajah tamunya. "Benar, bisa bertemu sama suami kalian?" Silvi berpikir sebelum menjawab permintaan ayahnya Vea, apakah harus saat ini bertemu dengan Aziz atau nanti saja. "Bisa, Pak." Ria yang lebih dulu menjawab karena Silvi diam memikirkan akibatnya nanti. Sekarang Silvi bernafas lega karena yang mengambil keputusan bukan dirinya. "Baiklah, terima kasih." "Sama-sama, aku panggilkan dulu, tapi nanti Bapak silakan tunggu di ruang tamu bersama Kak Silvi." Menurut Ria ini kesempatan suaminya bicara berdua dengan mertuanya untuk meluruskan masalah yang terjadi, karena terlihat Aziz tidak sedang marah. "Mas, kamu ada di dalam?" Ria mengetuk pintu kamar Vea beberapa kali sampai terdengar suara
"Dengarkan aku, Vea!" Wiliam membentak istrinya dengan penuh kemarahan, selama ini Wiliam sangat sabar terhadap sikap Vea, tetapi kali ini dia tidak mau mengalah lagi. "Dengarkan aku! Kamu akan bersama denganku walaupun kamu masih mau bersama keluarga kamu dan meminta aku mengembalikan apa yang sudah aku tutup. Aku tidak membutuhkan persetujuan kamu, sekarang kamu diam dan turuti kemauan aku, kita akan segera pulang ke rumah kalau kamu sudah membaik." Tatapan tajam Wiliam membuat Vea diam dan tidak berpikir lagi, karena suaminya kalau sudah marah tidak ada yang bisa menahannya. "Baiklah," ucap Vea. Wiliam mengendus kesal di depan istrinya yang terpaksa menurutinya, dia tidak peduli apa pun yang dipikirkan oleh Vea, yang terpenting dirinya bisa membawa pulang Vea. Bahkan jika harus berseteru lagi dengan Aziz dirinya akan memberanikan diri. Pria itu keluar dari ruangan Vea dan segera menemui dokter untuk Vea bisa pulang sebelum kedua orang tua Vea akan datang menjemput istriny
"Ayo Mas pulang!" Silvi tetap memaksa suaminya pulang bersama dengan mereka bertiga lagi. Silvi hanya tidak mau juga Vea bertambah parah sakitnya harus marah-marah seperti tadi. "Silvi! Aku masih mau bersama dengan Vea, tolong kamu kalau mau pulang, pulang duluan saja bersama Ria dan Cici, aku masih mau di sini sama Vea." Posisi mereka sudah ada di luar ruangan Vea, dan Vea menghubungi ayahnya untuk menjemput dirinya malam ini juga karena tidak mau bertemu dulu sama suaminya. "Vea sakit Mas, kamu harus mengerti itu," bisik Silvi. Wiliam akhirnya berjalan mengikuti ketiga istrinya pergi dari sana pulang dengan kesalahpahaman lagi. "Wiliam ini, dia selalu bertindak sendiri tanpa meminta pendapat aku, setidaknya dia bisa mengatakan hal ini, pekerjaan itu juga penting buat semua temanku." Vea masih terus marah-marah sendiri di dalam sana, dia sendirian tanpa ada yang menemani, tetapi lebih baik seperti ini daripada dirinya ditemani Wiliam yang selalu membuat dirinya kesal. Wil
"Maaf kamu bilang? Bukankah kamu yang mau kita berkumpul? Tapi kenapa kamu mematahkan harapan kedua orang tuamu yang sudah menerima kamu? Aku tidak habis pikir dengan cara pikirmu yang ingin menghargai pernikahan sama menantuku, seharusnya dia paham kalau istrinya mau tinggal sama kedua orang tuanya dulu, tidak akan lama juga, dia bisa menjemput setiap saat." Aziz sungguh tersinggung putrinya tidak mau membahas semua itu langsung di depan Wiliam dan dirinya. Bahkan lebih mau dirinya pergi dengan alasan membeli perlengkapan mandi. "Aku minta Ayah tenang. Karena Wiliam jauh lebih emosi daripada Ayah, aku takut kalau Wiliam bisa melakukan sesuatu lagi pada keluarga kita, biarkan aku tetap tinggal bersama suamiku, dia sangat bertanggung jawab dan memenuhi segalanya, jadi tolong mengerti anakmu ini karena mau bersama kehidupan barunya, aku akan menginap beberapa pekan ke rumah kalian saat Wiliam mengizinkannya, tapi aku tidak janji akan hal itu." Vea menenangkan ayahnya yang mau tingga
Wiliam menunggu tanpa henti di luar ruangan Vea, tetapi keluarga Vea masih belum juga mau pulang setelah dirinya kesal mendengar pembicaraan satu keluarga itu. Sampai subuh Wiliam baru menyadari kalau Vea memanggilnya, "Wiliam, tolong bantu aku," ucapnya sudah melihat suaminya di depan pintu. "Ya," jawab Wiliam singkat karena masih mau bicara berdua dengan istrinya. Saat Wiliam masuk ternyata ibu mertua dan adik iparnya langsung berpamitan, sekarang hanya ada Aziz bersamanya di sana. "Wiliam, tolong jaga anakku," pamit ibu Vea. "Baik," balas Wiliam. Mereka berdua pergi, Vea mau dibantu ke kamar mandi oleh suaminya karena ingin membuang air kecil, apalagi tadi minum banyak sekali membuat Vea tidak nyaman terbaring di tempat tidurnya. "Pelan-pelan sayang." "Iya, Wiliam." Mereka berdua ke kamar mandi, sedangkan Aziz mengamati menantunya begitu menyayangi putri pertamanya itu. "Ternyata Wiliam sayang sama istrinya, aku paham mengapa Vea mau dijadikan istri keempatnya, pa