Seharian fokus Anan terpecah. Berbagai masalah yang silih berganti berebut di dalam pikirannya mencari celah untuk bisa mengambil alih atensinya. Tidak ada yang bisa Anan lakukan selain diam dan memendamnya. Mendebat dirinya sendiri atau lebih parahnya mendebat Ivana bukan jalan terbaik. Ivana tetaplah Ivana dengan cara dan jalannya sendiri. Siapa Anan hingga bisa merubahnya saat cinta yang Anan berikan saja dianggap sepele?
Senyum Anan kecut. Menertawai dirinya sendiri yang menyesal telah melangkah sejauh ini bersama Ivana. Andai tidak dipertemukan dengan Ivana tidak akan ada kerumitan dalam hidupnya. Andai tidak menikah dengan Ivana tidak akan ada kawin kontrak bersama wanita yang tidak Anan kenal.
Nalar Ivana lain daripada yang lain sehingga Anan harus rela menanggungnya.
“Pak?”
Panggilan dari arah belakang tubuhnya menyeret Anan dari lamunnya. Kelopak mata Anan berkedip setelah sekian menit menatapi lampu kerlap-kerlip di Kota Bandung.
“Apartemen yang Bapak minta sudah siap.” Teguh berkata setelah tidak ada respons dari atasannya. “Saya kurang paham, maaf jika saya lupa. Apakah harus menyewa atau kita membelinya. Tapi pihak properti akan dengan sabar menunggu keputusan Bapak.”
“Beli saja.” Teguh mengangguk meski Anan tidak melihatnya. “Atas nama istri baru saya.”
“Ya?”
Teguh terperanjat di tempatnya. Tahu, sih kalau atasannya ini ada niatan untuk menikah lagi. Meski begitu Teguh tetap terkejut. Lagi pula, Anan mengatakannya secara terang-terangan. Semacam ada suatu kebanggaan di dalam ucapannya.
“Kamu ketemu Kinar?”
“Maaf, Pak. Saya lancang soal itu—“
“Kamu juga tidak bisa menentang maunya Ivana. Saya tahu.” Anan membalik kursinya dan berdiri. “Kinar di kostnya?”
Teguh mengangguk. “Tidak ada tanda-tanda Ibu Kinar keluar dari kostnya.”
“Ada informasi terbaru yang kamu dapat?”
“Sudah saya kirim ke email Bapak.”
Anan kembali duduk setelah mempersilakan Teguh kembali bekerja. Memakai kaca matanya, Anan membuka kotak masuk di emailnya. Kinerja Teguh tidak main-main saat Anan memerintahnya mencari informasi. Di samping cekatan, Teguh tidak pernah bertanya setelah diberi penjelasan.
Anan tarik napasnya dalam-dalam. Informasi yang Teguh kirim lengkap dan mudah Anan mengerti. Semuanya terekam dalam sebuah file bahkan riwayat kesehatan tentang Kinar pun bisa Teguh dapatkan dengan mudah.
Mungkin alasan ini juga yang membuat Ivana bersikeras dirinya harus menikah dengan Kinar. Walaupun kawin kontrak, bukan tanpa alasan Ivana mau berbagi suami.
Ingatan Anan tentang Ivana yang pencemburu berbanding terbalik dengan sikapnya yang sekarang. Kemandulan yang Ivana alami, merubah sosoknya menjadi pribadi yang lebih egois dan hanya memikirkan dirinya sendiri. Jika tidak ingat soal perasaan rasanya ingin Anan akhiri saja pernikahan ini.
Lalu terbersit dibenaknya: apa arti 15 tahun kebersamaan ini?
Sama saja dengan akhir di mana Anan harus ikhlas menyumbangkan spermanya kepada wanita lain. Anan harus rela menjamah wanita lain yang bukan istrinya sendiri dan parahnya tidak ada perasaan yang Anan curahkan untuk Kinar. Membayangkannya saja sudah membuat Anan merinding. Pantas jika Kinar ngotot dengan pertanyaan kenapa.
Wanita mana yang mau jadi madu?
“Pak, Bu Kinar di sini.” Teguh gelagapan namun mencoba tenang. “Dan bawa semua paper bag yang di kirim Ibu tadi pagi.”
“Suruh masuk.”
Anan ingin mengenal Kinar lebih dalam. Terlepas diterima tidaknya tawaran kawin kontrak yang Anan ajukan. Jika sudah tepat waktunya, akan Anan berikan penjelasan.
“Pak, serius. Ini di kantor dan kayaknya Bu Kinar marah banget.”
“Suruh masuk.”
Akan Anan tatapi lama-lama kedalaman mata Kinar Dewi yang jernih. Jika perjalanan hidupnya sesuai informasi yang Teguh kirim, maka ada banyak luka yang bisa terpancar dari sorot matanya sepintar apa pun disembunyikannya.
“Kalian pasangan tidak normal, ya!?”
Belum sempat Teguh hengkang dari ruangan Anan saat Kinar datang dengan kedua tangan penuh paperbag.
“Kenapa menyulitkan aku yang nggak tahu apa-apa tentang masalah kalian. Tolong.”
“Kamu boleh keluar, Guh. Dan kamu ...” Tunjuk Anan pada Kinar yang dibalas dengan dengkusan. “Nggak perlu mendramatisir keadaan. Istri saya hanya memperhatikan kamu sebagai calon Adiknya.”
“Apa?” Kinar gelengkan kepalanya tidak percaya. Dunianya dikelilingi dengan orang-orang sinting. “Adik? Aku tidak punya keluarga lain selain orang tuaku yang sudah meninggal. Adik? Gagasan dari mana itu?”
“Kamu calon istriku dan dia menganggap kamu sebagai Adiknya.”
“Sebenarnya kehidupan orang kaya itu seperti apa, sih sampai-sampai sanggup membeli kehidupan orang lain?”
“Beragam, tapi aku dan istriku tidak sesederhana seperti yang kamu pikirkan. Ini rumit—kita rumit.”
“Jangan libatkan aku dalam kerumitan itu. Bisa tidak jangan menyebalkan dengan tindakan yang aku sendiri tidak bisa mentolerirnya? Istri kamu atau bahkan mungkin kamu.” Kinar letakkan dengan kasar paper bag ditangannya. “Aku tidak butuh semua ini.”
“Aku butuh kamu.”
Kinar mendecih. “Uang kamu bisa membeli orang lain kecuali aku dan hidupku.”
“Dan anak.” Mata Anan bersitatap dengan milik Kinar yang menunjukkan keterkejutan. “Kamu target paling sesuai. Kamu sempurna dan sehat.”
“Target?” ulang Kinar seolah-olah kata-kata itu terdengar semu dirungunya. Bukankah itu artinya dirinya sudah diintai selama ini?
“Benar, kamu diintai.” Anan langsung bisa menebak hanya dengan melihat reaksi Kinar. “Rahim kamu paling cocok untuk anak aku—calon anak aku. Jadi, nikah sama aku dan lahirkan keturunan untukku. Aku punya rencana tapi aku tidak bisa mengatakan sekarang.”
Gila!
“Aku tidak mau! Aku bukan boneka yang bisa kamu mainkan sesuka hati. Aku bukan barang yang bisa kalian jual beli. Gini-gini juga aku punya perasaan dan cuma mau nikah sama orang yang aku cinta.” Meskipun Kinar tidak lagi percaya pada apa itu cinta dan bagaimana cinta yang sesungguhnya.
Kinar terengah-engah. Denyutan sakit di dadanya tidak bisa ditepis begitu saja. Kelakuan Anan dan istrinya—mungkin bagi orang lain normal dan wajar—namun Kinar tidak ingin menjual dirinya demi uang. Kalaupun melahirkan, anak itu akan menjadi milik Kinar dan bukan diberikan kepada orang lain. Dan tentang apa pun rencana yang Anan ucapkan, Kinar tidak peduli.
“Sadarlah! Hidup yang kamu jalani sudah susah jadi jangan sok gengsi menolak tawaranku. Hidup kamu akan terjamin. Kamu hanya perlu menikah denganku selama setahun, hamil anakku dan melahirkan anak untukku. Uang, rumah, mobil bahkan semua kemewahan lain kamu tidak akan kekurangan. Aku menjamin itu!”
“Kalau istri kamu sebegitunya tidak mau hamil, kenapa kalian menikah?”
“Lancang!” Anan menggebrak meja dengan begitu kerasnya. Membuat Kinar terperanjat di tempatnya berdiri. “Kamu tidak berhak berbicara perihal aku dan istriku.”
“Dan kamu dengan segala kekuasaan kamu membeli hidupku untuk kehidupan kamu. Cih!”
Kinar hengkang dari sana setelah berdecih. Tidak ada gunanya meladeni Anan yang gila di mata Kinar.
“Melangkah dari ruangan ini, aku tuntut kamu atas dasar tindak pidana.” Hanya lambaian tangan yang Kinar balaskan. “Atau saya tarik semua novel kamu dari seluruh toko buku dan kamu membayar pinalti atas ketentuan saya.”
Barulah kedua tungkai Kinar berhenti. Tubuhnya panas dan kepalanya mendidih. Anan benar-benar bukan sembarang orang yang bisa dirinya lawan.
“Egois!” ucap Kinar begitu tubuhnya berbalik menghadap Anan. “Aku punya hidup yang aman sebelum kamu membuat kerusuhan. Kenapa kamu tidak melepaskan aku dan mencari target baru lagi? Aku rasa ada banyak wanita yang lebih berkompeten untuk menjadi istri kamu atau rahim pengganti istri kamu.”
“Ivana mandul.” Kinar diam saja saat Anan mengatakan perihal kemandulan istrinya. “Pernikahan kami sudah bertahun-tahun dan aku tidak mau bercerai. Jujur aku tidak butuh anak. Mereka bisa aku adopsi tapi Ivana melihat kamu dan menjadi pemerhati yang entah sejak kapan. Dia membicarakan kamu setiap hari dan meminta aku untuk menikahi kamu. Aku tahu ini berat tapi—“
“Wanita mana yang sudi dijadikan madu? Aku masih waras.”
“Aku tahu.”
“Dan aku masih tetap menolak.”
“Aduh lupa!”Teriakan Ara membuat Kinar yang sedang santai menikmati minuman dinginnya terpaksa harus menoleh. Ara si pemilik suara kecil agak cempreng dengan rambut berwarna merah gelap membuat Kinar geleng-geleng kepala. Bukan sekali, dua kali Ara menjadi heboh sendiri. Namun terlalu sering sehingga Kinar hafal betul dengan wanita yang lebih muda dua tahun di bawahnya itu.“Nggak kamu catat dulu?” tanya Kinar kalem.“Kamu kalem banget, sih, Nar?” Ara terkekeh dengan kepala bergoyang mirip bolo-bolo. “Padahal aku ini nggak ada kalemnya sama sekali tapi kamu sabar banget menghadapi aku yang super random ini.”“Aku juga random kok.” Kinar membela dirinya sendiri.Kinar sungkan saat ada orang lain yang menilai dirinya hanya dari covernya saja. Kinar selalu mendapat penilaian positif dan itu sedikit membuatnya sungkan. Yang sebenarnya terjadi adalah kebalikannya. Kinar juga punya momen-momen tertentu untuk meledak. Kinar juga bisa marah pada hal-hal kecil yang membuat orang sekitarnya te
Prinsip hidup yang selama ini Anan pegang cukup sederhana. Dengan tidak mencampuri urusan orang lain, arti dari ketenangan yang sebenarnya sudah Anan dapatkan. Tapi namanya manusia memang suka lupa diri dan semena-mena.Di saat Anan bersikeras tidak mau mendengar apa pun masalah dan keluh kesah orang lain, justru Tuhan mempertemukan dengan manusia-manusia yang sifatnya meribetkan. Dan Anan harus menjadi pendengar yang baik sedangkan itu tidak pernah tersemat sedikit pun di dalam dirinya.“Kita terlalu keras, ya?” tanya Kinar sembari merapikan dasi dileher Anan. “Aku terdengar kejam.”“Itu demi kebaikan mereka. Lagi pula mereka datang kepada kita sudah bentuk kesalahan fatal. Kita hanyalah saudara jauh dan yang seharusnya mereka datangi adalah keluarganya.” Anan tetap tidak mau salah dan pendapatnya adalah yang paling benar.Kinar mengembuskan napasnya. Tangan kanannya mengusap jas Anan seolah ada debu yang menempel di sana.“Kalau itu terjadi pada anakmu ….” Kinar tak kuasa melanjutka
Tentang hidup ….Kinar Dewi tidak mengharapkan apa-apa selain baik-baik saja. Maksud dari baik-baik saja di sini bukan sekadar adem ayem dengan segudang uang dan fasilitas yang telah terpenuhi. Namun jauh dari masalah walaupun itu mustahil. Namun setidaknya meminimalisir problem selalu Kinar usahakan.Seperti pagi ini contohnya. Tidak tahu dari mana datangnya. Kinar tidak mau menebak atau menyalahkan salah satu pihak. Bagi Kinar, masalah itu tercipta karena ada pihak-pihak tertentu yang terlibat. Mau dibalas penuh emosi bak kebakaran jenggot, masalah itu telah tercipta. Dan konyol kalau misalnya masalah itu muncul sendiri.“Jadi siapa yang mulai duluan?” tanya Kinar tegas dan jelas.Semua mata yang ada di ruang tamu rumahnya menatap Kinar dengan tatapan mata yang berbeda-beda. Anan yang santai sambil menarik napasnya dalam-dalam. Kinar tahu, semalaman Anan lembur karena ini awal bulan dan baru bisa memejamkan matanya subuh tadi. Sekarang pukul tujuh pagi yang artinya tidur Anan amatla
“Emang orangnya kayak gitu?” tanya Anan sambil mendorong troli belanja. Kinar mengajak Anan berbelanja sayur, buah dan kebutuhan lainnya. Mumpung sekalian dekat dengan supermarket.Anan mendengar ucapan terakhir Rika yang menurutnya amatlah nyelekit. Sedangkan Kinar memberi respons yang santai dan biasa saja. Seakan-akan memang istrinya itu sudah biasa mendengar kalimat tersebut.“Mungkin,” jawab Kinar sekenanya sambil memasukkan buah-buahan ke dalam troli. “Aku ketemu dan kenal Rika di komunitas menulis beberapa tahun yang lalu. Dan kita nggak dekat-dekat banget buat bertukar nasib hidup.”“Kamu nggak kesinggung? Minimal kamu keluarin ekspresi marahlah biar dia sungkan dan jera.”“Buat apa?” Kinar membalikkan tubuhnya ke belakang di mana Anan berdiri. “Kalau aku marah, aku nggak ada bedanya sama dia dan aku punya level yang sama kayak dia sedangkan aku paling anti buat lakuin itu.”“Kenapa?” Anan penasaran dan terus mengejar jawaban dari Kinar. “Sesekali marah nggak akan bikin kamu r
“Sebenarnya titik kehidupan masing-masing orang itu berbeda.” Kinar mengatakan sesuai pengalaman yang pernah dialaminya. “Aku berada di posisi ini karena aku pernah merasakan titik terendah dalam hidupku yang mana aku ingin mati. Tapi aku sadar, semengenaskan apa pun kehidupanku waktu itu, selalu ada takdir milik orang lain yang paling mengerikan. Dan untuk itu aku hanya bisa mensyukuri jalanku.”Rika hanya mengangguk. Rekan sesama penulis Kinar itu sedang mencurahkan isi hati dan pikirannya. Yang jika Kinar menilai itu adalah sebuah ujian yang tiap-tiap orang selalu merasakannya. Kinar enggan berkomentar panjang lebar. Toh masa-masa sulit yang pernah Kinar lalui telah lewat. Sekarang yang tersisa hanyalah secuil nasihat dan kenangan yang memang patut untuk dikenang.“Orang-orang kalau ngomong selalu enak.” Rika seruput es tehnya. “Tau kok soalnya cuma tinggal ngomong doang. Enak ya jadi kamu, seneng ya jadi kamu, nggak perlu effort berlebih hidup kamu udah kejamin. Andai mereka tau g
“Kali ini tentang apa?”Kinar menyeruput cokelat dinginnya dengan santai dan hidupnya memang sesantai itu sekarang. Setelah menjadi Nyonya Pradipta, kegiatan Kinar selain menulis adalah berkumpul bersama para kalangan atas. Yang jika Kinar jabarkan bagaimana rasanya … itu membosankan. Jujur saja, Kinar lebih suka hidupnya yang sederhana dan biasa-biasa saja. Tidak banyak kegiatan selain menulis, rebahan, menonton sendirian di bioskop dan makan nasi padang. Bonusnya jalan-jalan sore di alun-alun dan belie s krim.Dalam benak Kinar terbersit kerinduan masa lalunya yang sangat sulit untuk dirinya ulang kembali. Bukannya tidak mau kembali ke masa itu. Kinar hanya harus bertindak penuh kehati-hatian. Karena siapa, sih, yang nggak kenal sama keluarga Pradipta?Media yang tersembunyi di dalam pelosok saja tahu mereka. Maka dari itu Kinar harus menyamar terlebih dulu jika ingin menikmati masa lalunya. Agar orang-orang tidak tahu identitasnya terlebih wajahnya yang sudah tersorot oleh penjuru