Share

3

Pagi-pagi buta sebelum matahari menyapa bumi Pasundan, Kinar  dipaksa membuka kelopak matanya. Melirik jam di nakas samping ranjangnya, pukul enam lebih sedikit. Artinya Kinar baru terlelap sekitar tiga jam. Malam adalah waktu paling aktif bagi Kinar untuk membelai setiap naskah di dalam laptopnya. Dan ketukan di pintu kamar kostnya amatlah mengganggu.

“Siapa?” Kinar berteriak lalu menenggak minuman dinginnya langsung dari botol.

Berjalan gentoyoran menuju arah pintu dan membukanya. Sepasang sepatu pantofel hitam mengkilat kian mengerutkan dahi dan mata Kinar . Seingatnya Kinar tidak punya janji temu dengan siapa pun. Kinar  juga tidak ada niatan untuk keluar dari kostnya. Jadi ini siapa, ya?

“Cari siapa, ya?” tanya Kinar  dengan kepala celingak-celinguk melihat kondisi sekitar.

Masih sepi. Beberapa penghuni kost masih ada yang terlelap. Tidak semua pekerja di sini akan masuk di jam yang sama. Tergantung dari kebijakan perusahaan masing-masing.

“Bu Kinar?”

Kedua alis Kinar  mengerut sekali lagi mendengar namanya disebut. Entah itu jenis sapaan atau panggilan yang jelas Kinar tidak tahu siapa lelaki dihadapannya kini.

“Saya Teguh,” katanya memperkenalkan diri. Kinar mengangguk dan berdiri dengan lebih relaks. “Ada titipan dari Ibu Ivana Wijaya.”

Wah ... Kinar terkejut mendengar nama yang tidak asing sama sekali itu. Siapa, sih yang tidak kenal Ivana Wijaya?

Semua orang juga tahu wanita cantik ini istri dari Anan. Nah, yang jadi pertanyaan Kinar sekali lagi adalah: titipan apa yang diberikan untuk Kinar di pagi buta ini?

“Maaf mengganggu waktu istirahat Ibu Kinar.” Teguh masih berdiri di ambang pintu kost Kinar namun beberapa orang mulai masuk dan membawa barang-barang dalam paper bag yang entah apa isinya.

“Mohon diterima. Itu amanat dari Ibu Ivana yang harus Ibu Kinar terima.”

“Kenapa ... Saya?”

Kinar  bingung saat semua barang-barang itu memenuhi lantai kostnya. Sudah sempit ditambah dengan barang-barang tersebut, makin penuh sesak kost Kinar. Lagi pula, pertanyaan yang Kinar ajukan sungguh tidak berguna. Karen ajika sudah menyangkut konglomerat tersebut, tidak ada waktu untuk menolak. Jadi sudah tentu jawabannya jelas dan bisa disimpulkan sendiri.

“Saya kurang yakin tapi Ibu Ivana menyukai Ibu Kinar.”

“Ya?” Terdengar sangat ambigu tapi begitulah orang kaya saat berbicara. Mengatakan apa yang disukainya dan membuang yang menurutnya tidak berguna lagi. Kinar amat berharap menjadi barang yang tidak berguna dan dicampakkan—andai itu bisa.

Teguh mengangguk dengan senyum lebarnya. Jawabannya sama dengan yang diberikan oleh Anan. Pasangan suami istri itu kompak sekali membuat orang lain kebingungan.

“Dan ini.” Teguh berikan rantang putih berlukiskan bunga-bunga andalan orang zaman dulu. Yang warnanya merah merakah sekilas nampak seperti mawar namun beda orang akan memberikan jawaban yang berbeda perihal jenis bunganya. “Buat sarapan Ibu Kinar, masakan Ibu Ivana sendiri.”

“Buat saya?” Kinar menuding dirinya sendiri karena merasa ini aneh. Kinar bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.

“Dan mungkin ...” Teguh menjeda, menimang apakah perlu dirinya sampaikan atau biarkan saja menjadi urusan para atasannya. “Selamat menikmati.”

Teguh hengkang dari sana. Undur diri sebelum Kinar memberikan persetujuannya. Wajahnya bengong dengan mata menyapu satu per satu paperbag dilantai kostnya.

Kira-kira Kinar bodoh tidak, ya menolak ajakan Anan untuk kawin kontrak?

Anan loh ini yang banyak jadi incaran para wanita di luar sana. Sering juga Kinar dengar keinginan para wanita itu untuk menjadi madunya, simpanannnya, selingkuhannya atau bahkan bisa melakukan one night stand bersama Anan.

Ajib! Gila parah tapi memang pesona Anan tiada duanya. Bak aktor dalam drama-drama korea. Tampan dan mapan.

Tapi ya kenapa harus dirinya yang disatroni oleh kedua pasangan aneh ini, sih?

“Aku pikir cuma mimpi.” Kinar  menggerutu dengan tangan yang menutup pintu kamar kostnya dan kaki yang diseret menuju ke dalam kamarnya.

Sebelum itu, helaan napasnya kembali memberat. Kedua matanya memandangi seluruh paper bag yang ada dilantai. Ada keinginan untuk membuka semuanya. Juga isi dalam rantang yang diberikan Teguh kepadanya.

“Sudahlah!”

Hanya ada dalam benak Kinar saja. Faktanya, tubuhnya kembali bersatu dengan kasur dan selimut. Satu tangannya Kinar tumpukan pada wajahnya. Mencoba mengusir segala pikiran yang mengusik isi kepalanya. Berharap ini hanya mimpi atau salah satu tokoh dalam novelnya yang mendadak nasibnya berubah.

Berbeda dengan pagi hari milik Anan. Tidak biasanya bangun pagi mood Anan langsung hancur. Selama ini, segala tingkah laku sang istri akan Anan biarkan saja. Anan memaklumi saking cintanya kepada Ivana. Pengecualian untuk hari ini.

“Kenapa?” Ivana masih berani bertanya di sela-sela aktivitas mengancingkan kemeja Anan. “Wajah kamu kalau masam begitu tidak enak untuk di pandang.”

“Kamu keterlaluan!”

“Aku ngapain memangnya?” Ivana beralih merapikan kerah kemeja Anan dan tersenyum setelah dasi pilihannya terpasang dengan rapi. “Aku buatkan kamu lontong sayur. Ada sayap dan paha juga.”

“Mulai!”

“Kamu ngomel?”

“Suka-suka aku!”

Anan tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapi Ivana. Menyerah sudah bukan sikap bijaksana yang harus Anan lakukan. Cara Ivana mengartikan perasaan cinta yang Anan miliki pun salah. Melabeli Anan sebagai budak cinta yang akut sudah tidak bukan levelnya. Pokoknya Ivana membuat Anan sebagai pria yang tidak punya harga diri sama sekali.

“Aku bilang aku baik-baik saja.” Anan tarik napasnya dalam-dalam. “Kamu sadar tidak kalau cara kamu itu salah?”

“Tidak! Aku tahu tindakan aku benar. Aku juga tahu tindakan aku untuk kebaikan kita berdua. Kamu kenapa suka banget ngomel, sih?”

Tatapan Anan berubah sayu. Tidak ada hasrat untuk membalas tindakan Ivana. Seharusnya sejak dulu kala saat menjadikan Ivana Wijaya sebagai pilihan Anan sudah sadar kalau wanita yang berdiri dihadapannya ini tidak bisa dikalahkan begitu saja. A akan selalu menjadi A. Tidak akan pernah berubah menjadi B atau C.

“Terserah.”

Kedua tungkai Anan terangkat menuju pintu keluar kamarnya. Namun pergerakan Ivana tak kalah gesitnya. Memeluk Anan dari belakang, membelitkan kedua tangannya di perut berotot Anan dan wajahnya menempel di punggung Anan. Ivana taburkan kecupan-kecupan kecil di sana. Letak kelemahan seorang Anan sedang Ivana serang habis-habisan dan Anan tahu tidak ada yang bisa dirinya lakukan selain diam. Menikmati apa yang tengah dilakukan sang istri.

“Kali ini aku ngaku salah,” ucap Ivana lirih dan wajahnya semakin menempel di punggung Anan. “Aku sadar aku terlalu egois dengan minta ini itu ke kamu bahkan hal-hal konyol sekali pun. Tapi aku nggak punya pilihan lain selain lakuin ini. Dan ngelihat Kinar , aku kayak ngelihat diri aku sendiri. Aku ngerasa dia cerminan aku selama ini. Please ...”

Anan yang lemah dan payah.

Satu tangannya mengepal kuat. Menahan amarah dan berharap ini hanya mimpi. Setiap harinya saat kedua matanya terbuka, hanya itu harapan Anan. Sayangnya itu mustahil.

“Aku kirimin Kinar beberapa baju dan barang yang mungkin dia butuhin. Aku juga membawakan dia sarapan masakan aku. Menurut kamu dia bakalan suka tidak?”

Anan tetap diam. Hatinya serasa kebas bahkan saat Ivana dengan santai mengusap dadanya. Tidak ada perasaan khusus yang mengalir seperti biasanya.

“Aku bawakan paha dan sayap. Di antara keduanya aku tidak tahu Kinar suka yang mana. Itu kesukaan kamu semua jadi aku pikir dia harus belajar menyukai apa yang kamu sukai.”

“Terserah.”

Anan lepaskan pelukan Ivana dan berjalan keluar. Tanpa menoleh, tanpa ada kecupan sayang, dan tidak ada pamitan mesra. Anan sudah muak dengan tindakan Ivana yang sesuka hati bahkan saat menyatroni kost Kinar tanpa izin darinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status