Share

5

Apa aku harus peduli?

Begitu gerutuan dalam benak Kinar. Sampai keluar dari gedung di mana Anan berada, kedongkolan itu masih merajai hatinya. Tidak hanya itu, aduan Anan perihal istrinya yang mandul seolah-olah menjadi jerat agar Kinar luluh dan menerima kawin kontrak ini.

Benar-benar nggak berotak!

Kinar  mendengkus lantaran kesal. Perasaannya campur aduk dan tak bisa dijabarkan dengan mudah. Mengingat dirinya yang sulit untuk berekspresi, perihal marah pun Kinar  hanya bisa diam.

Sial!

Sengatan panas hadir dikedua matanya tanpa izin. Sudah lama sejak kedua orang tuanya meninggal dan Kinar  selalu memendam keinginan untuk menangis itu seorang diri.

Tapi sore ini, saat matahari belum sepenuhnya beradu di ufuk barat dan jalanan Kota Bandung macet total, Kinar  ingin menangis hingga tersedu-sedu. Ingin meratapi nasib hidupnya yang tak seberuntung anak-anak lainnya. Yang hidup mewah dalam naungan orang tua dengan ekonomi yang tercukupi. Mereka tidak harus bersusah payah bekerja karena fasilitas yang diinginkannya tersedia dalam sekedip mata.

Terdengar lucu, ya karena terkesan Kinar nggak mensyukuri hidupnya. Padahal tanpa dilahirkan dari keluarga berduwit pun Kinar  bisa memenuhi semua kebutuhannya seorang diri. Penghasilannya dari menulis tidak tanggung-tanggung. Jadi seharusnya tidak ada alasan bagi Kinar  untuk iri kepada mereka yang hidup di bawah naungan orang tuanya.

Ah, aku merasa tertekan!

Kinar turun dari metro. Penghentian terakhir di Alun-alun Bandung dan suasana yang ramai padahal bukan akhir pekan. Sedikit banyak mengalihkan kesedihan Kinar. Liquid bening yang hendak menetes pun tertahan. Tungkainya segera berjalan menuju jajaran pedagang kaki lima dan duduk di bangku keramik kosong yang ada di sana.

“Yakin satu?” tanya pedangan es krim contong memastikan. “Tumben jam segini masih ngeluyur? Biasanya juga bertelur di kost.”

Kinar terima es krim pesanannya dan memakannya rakus. Menara es krim yang tinggi tersisa setengah. Arif—si pedagang—hanya geleng-geleng kepala. Tidak lagi heran dengan tingkah Kinar.

“Lagi.” Kinar sodorkan tangannya meminta pesanannya.

“Sabar atuh. Baru juga ngomong masa kudu langsung jadi. Kan aing bukan goblin yang bisa main sihir.”

Cuma di sini Kinar bisa menghibur dirinya. Di antara kerumunan banyak orang, kesedihan dan kebimbangan yang membelenggunya akan luruh. Tidak seketika hilang namun bisa sedikit meringankan bebannya.

Kinar sedih tapi tidak mau menunjukkan kesedihannya. Kinar bingung namun tidak ingin ling-lung. Kinar butuh sandaran tapi teringat jika dirinya seorang diri. Jadi hanya embusan napasnya yang berkali-kali terhela.

“Mang?” panggil Kinar  saat Arif sibuk menghitung berapa jumlah pendapatan hari ini. “Misalnya Mamang di paksa kawin lagi sama istri Mamang dengan alasan mandul. Mamang mau?”

“Istri saya nggak mandul. Kan Mamang sudah ada 3 anak di rumah. Ferhan, Faidz sama Faza. Ngapain kawin lagi?”

“Misalnya Mamang!”

Salahnya Kinar juga menanyakan hal sepenting ini kepada Arif. Pria berusia 35 tahun itu doyannya ndagel alias nganggap segala sesuatunya lucu. Serius tapi santai atau santai tapi serius. Pokoknya begitulah.

“Ini kembali ke masing-masing orangnya gimana. Mandul juga nggak selamanya mandul. Ada yang setelah beberapa tahun menikah di vonis mandul eh di tahun ke 20 pernikahannya bisa hamil. Ada yang benar-benar mandul dan milih adopsi anak. Memutuskan menikah lagi atau nyuruh suami nikah lagi juga mesti konsisten. Jangan asal nyuruh tapi ujungnya berakhir tragis. Dunia pernikahan bagi saya yang sudah 16 tahun menikah itu kejam. Nggak enak tapi kudu kita jalani dan enak pun wajib kita syukuri.”

Dalam hidup nggak ada yang kemudahan. Menginginkan apa yang kita mau harus ada perjuangan dalam meraihnya.

Kinar manggut-manggut mengerti. Jawaban Arif bisa dirinya jadikan pertimbangan namun masih ada gundah di hatinya.

“Mau nikah?”

“Iya—eh maksudnya tidak. Itu teman mau nikah tapi bingung.”

“Benar. Sebelum nikah memang wajib bingung dulu. Kudu memikirkan betul-betul. Jangan sembarangan menerima dengan dalih cinta dan bahagia. Bukan mustahil kalau ujung dari sebuah kehidupan adalah kebahagiaan. Tapi kita realistis. Nggak ada yang gampang kayak kita balikin tangan.”

Es krim contong Kinar meleleh mengenai telapak tangannya. Sensasi dinginnya mengulas senyum di bibir Kinar.

“Aku pulang ya, Mang.”

Kinar tinggalkan uang 50 ribuan di samping kotak es krim dan berlalu tanpa menghiraukan panggilan Arif. Kinar lambaikan tangannya santai.

Entah benar, entah tidak girangnya Kinar  kali ini. Belum ada ketentuan yang bisa diambilnya. Lain halnya dengan Teguh yang masih tertahan di kantor bersama atasannya. Anan bukan sembarang orang yang dengan mudah melepaskan seseorang ketika keinginannya tidak terwujud.

“Tidak ada di kostnya, kamu yakin?”

Itu pertanyaan yang diajukan kepada Teguh lebih dari tiga kali. Bayangkan wahai para betina. Bukankah itu artinya Anantarius sedang berbunga-bunga alias jatuh cinta?

Apa hubungannya? Kan wajar saja melontarkan tanya seperti itu. Anggaplah sebuah kekhawatiran. Lalu siapa Kinar  baginya sampai harus khawatir?

Benar, siapa?

“Saya yakin, Pak.” Teguh embuskan napasnya. Tidak sopan kalau mau mendengkus di hadapan atasannya.

“Kamu tahu dia di mana?” Teguh langsung menggeleng. “Kamu bagaimana, sih!? Memberi informasi tidak jelas sama sekali. Kan saya mintanya sejelas-jelasnya, Teguh. Artinya sampai ke mana dia pergi dan di mana dia biasa menghabiskan waktu kamu harus tahu dong. Bukan setengah-setengah seperti ini!”

“Kenapa bukan Bapak saja yang mencari. Eh maaf, maksud saya—“

“Kamu memerintah saya? Kamu berani?”

Teguh jadi manusia serba salah padahal nggak mau ada di tengah-tengah kisah mereka bertiga. Hubungan percintaan memang selalu rumit.

“Saya mau ke apartemen.”

Kesunyian yang melingkupi ruangan Anan mendadak semakin mencekam.

“Yang biasa atau yang baru, Pak?”

“Yang baru—eh tapi tidak, deh!”

Teguh elus dadanya terang-terangan.

“Kamu boleh pulang!”

“Bapak bagaimana?”

“Saya bisa pulang sendiri.”

Lebih daripada itu, Anan tidak ingin pulang. Anan tidak ingin bertegur sapa dengan Ivana dan mengikuti kerumitan yang istrinya buat. Dan di antara semua masalah yang telah tercipta, Anan ingin sekali mengucapkan kata talak agar bisa terbebas dari Ivana.

Sudah cukup Anan menjadi bodoh untuk mencintai Ivana. Anan bukan anjing yang diberi tali kekang sehingga dengan sesuka hati bisa di jerat kencang-kencang.

Pada dasarnya Anan hanyalah seorang pria normal yang ingin kehidupan rumah tangganya berjalan tanpa kerikil tajam. Sayangnya mustahil, bukan?

Tekad Anan sudah bulat.

Entahlah, keyakinan itu muncul secara mendadak dan tenggelam bak jalanan yang tergenang banjir. Tapi jika tidak Anan turuti kemauannya akan ada sesal yang hadir.

Anan ingin tetap bersama Ivana tapi Kinar lebih membuatnya tergoda. Dan di perjumpaan awal dengan Kinar, Anan tahu ada sesuatu lain yang hidup dengan letupan tak terduga. Sesuatu yang terbangun tanpa sebuah sentuhan dan Anan tahu dirinya sudah sangat murahan di awal pertemuannya dengan Kinar.

Tapi siapa yang bisa menyangka?

Benar kata orang kalau jatuh cinta bukan tindak kekerasan. Sekarang Anan mengalaminya sendiri.

Anan ketuk pintu kamar kost Kinar dikala sudah yakin dengan keputusannya. Pikir belakangan soal Kinar  yang menolak.

"Ya Tuhan!"

Kinar  kentara frustrasi. Anan memberikannya cengiran.

"Apa kabar?"

Bodoh! Pertanyaan macam apa itu?

"Sialan!"

"Ya. Saya kangen kamu."

Jujur tanpa tedeng aling-aling.

"Dasar tidak waras!"

"Tapi saya benar-benar serius ingin bersama kamu.”

"Kamu tahu apa artinya cinta?"

Anan diam. Berdiri mematung bak kerbau dicucuk. Kinar  berdecih.

"Orang kaya seperti kamu tahu apa tentang cinta, selain duwit dan saham!?"

Agaknya Anan merasa tersinggung dengan ucapan Kinar. Tapi diam menjadi tindakan yang dirinya tempuh. Nanti jika sudah tepat waktunya akan Anan katakan yang sebenarnya apa arti cinta di matanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status