Saat aku harus berjuang melahirkan buah hati kami, suamiku tak terlihat. Dan kemudian di saat anakku berusia lima bulan, datanglah seorang pengacara meminta tanda tangan persetujuan cerai dariku. Hati ini terlalu sakit, dia bahkan tak pernah melihat wajah Tisa yang begitu mirip dengan dirinya.
Kuhempaskan nafasku dengan kuat, lalu bergegas keluar. Aku melakukan pekerjaanku dengan tekun, kubuang semua kenangan indah tentang suamiku. Bagiku, dia sudah mati. Sekarang aku harus berjuang untuk menghidupi anakku sendiri. Apapun akan aku lakukan untuk kesembuhan dan masa depannya. Dialah hartaku satu-satunya selain ibu.Derap langkah sepatu hels menggema di lantai satu. Kuangkat wajahku, nampak seorang wanita dengan pakaian elegan berkulit sawo matang melangkah di dampingi dua orang pengawal. Aku sudah bisa menduga jika wanita ini pasti isteri bos. Dari gayanya yang terlihat sangat arogan sudah menunjukkan jika dialah wanita yang menjadi obrolan karyawan di kantin pagi tadi. Sebisa mungkin aku menghindar agar tidak menimbulkan masalah. Aku menunduk dan mundur perlahan saat wanita itu melewatiku. Dia benar-benar angkuh, tak sedikitpun dia melirik pada resepsionis dan karyawan yang dilewatinya. Apalagi diriku yang hanya cleaning service ini. Aku masuk lagi ke ruangan kami dan meletakkan pembersih lantai. Entah mengapa, aku mulai menyukai pekerjaan ini. Sangat ringan dan tidak terlalu melelahkan. Apalagi makan siang kami disediakan di kantor ini sehingga kami tidak perlu mengeluarkan biaya untuk makan."Menurut informasi dari asisten manajer Personalia, sore nanti akan diadakan apel sekaligus perkenalan dengan bos baru Perusahaan," tutur Faijah saat aku masuk ke dalam ruangan.
"Cepat sekali perkenalannya," jawabku seadanya.
"Ah kau ini, apa kau tak ingin melihat wajah bos baru yang tampan itu ?"
Aku hanya tertawa mendengar ucapan Faijah. Hati ini rasanya sudah tertutup untuk menerima laki-laki lain, yang menjadi tekadku saat ini bagaimana Tisa sembuh, itu saja. Walau kata orang aku cantik dan usiaku masih sangat muda tapi aku sama sekali belum berpikir mencari pengganti ayah Tisa.
Cuaca terlihat mendung, tapi belum tentu hujan. Hal ini hanya menandakan jika sore hari ini udaranya terasa sejuk.
Benar kata Faijah, semua cleaning service berkumpul di atap gedung. Aku bersama teman-teman naik lift karyawan menuju lantai tujuh. Aku sempat melihat ruangan Ceo berada di ujung kanan seberang lift. Dari lantai tujuh kami naik lagi ke atas melalui tangga.Nampak semua cleaning service telah berkumpul. Ternyata diatap gedung tersedia tempat duduk. Di samping gedung terpasang pagar stenlis sebagai bagian dari keamanan. Jadi tidak terlalu ngeri ketika melongokkan kepala ke bawah. Aku yang sedikit pobia akan ketinggian tak berani untuk berdiri di pagar itu, bahkan menoleh pun aku tak berani. Aku duduk dideretan kursi paling belakang.Tak berapa lama terdengar suara keributan, rupanya bos dan rombongan sedang naik ke atas. Kami diminta untuk segera berdiri membentuk barisan."Laki-laki berbaris terpisah dengan wanita, masing-masing dua baris," terdengar aba-aba dari seorang pria. Yang kuingat dia adalah asisten manager personalia.Kami segera berbaris dengan rapi, aku berada di barisan paling belakang tepat di belakang Stela cleaning service di lantai dua, sedangkan Faijah berada di sebelahku di belakang Tina.Aku terkesiap tatkala melihat bos, apalagi ketika mendengar suaranya. Yakinlah aku jika dia adalah ayah dari anakku. Aku menunduk dan bersembunyi di belakang Stela. Aku tak mendengar lagi apa yang dikatakannya. Pikiranku melayang, rasanya aku ingin berlari dan keluar dari gedung ini."Coba yang di belakang maju ke depan." Oh Tuhan itu suara Azhar, aku semakin tertunduk dalam. Faijah segera maju kedepan. "Yang satu lagi maju." Stela menengok ke belakang, "Kau maju."Aku berjalan ke depan sambil menunduk, sebisa mungkin aku menghindar dari tatapan pria yang pernah mengisi relung hatiku yang paling dalam itu.Aku bersyukur di dalam hati, karena dia tak memperhatikan aku. Namun aku salah.Saat aku mendongak tak sadar mata kami saling bersirobok. Wajahku seketika memanas, kulihat juga wajahnya yang seketika memucat dan mundur beberapa langkah ke belakang."Bos.., apakah kau sakit ?" seru asisten yang segera menangkap lengan Azhar.Aku kembali menunduk, tak sadar air mata ini jatuh ke lantai. Entah Azhar melihatnya atau tidak, biarlah dia tahu jika sekarang aku hanyalah seorang cleaning service demi menghidupi buah hati kami.Sekuat tenaga aku menguatkan hatiku, aku tak boleh lemah di hadapannya. Kini aku sadar mengapa dia meninggalkan aku tanpa pesan.Azhar menatapku tak berkedip, aku pura-pura tak melihatnya dan menatap lurus ke depan.Faijah menyenggol lenganku dan berbisik, "Bos sepertinya terus memperhatikanmu."Aku hanya tersenyum sinis, biarlah dia melihat cibiranku ini. Biarlah dia tahu jika aku sangat membencinya. Cinta yang dulu pernah ada telah hilang di telan waktu.Azhar memilih ďuduk dikursi yang disodorkan asistennya, mungkin kehadiranku membuatnya sedikit shock sehingga asistennya yang mengambil alih apel sore ini. Dan dia hanya terus menatapku tak berkedip.Aku tak perduli, aku harus tetap bersikap profesional. Aku tak akan mengundurkan diri, sebisa mungkin aku menghadapi kenyataan ini. Rupanya dia meninggalkanku karena menikahi anak konglomerat. Aku mengatupkan rahangku dengan kuat."Teman-teman semua, saya perkenalkan pemilik perusahaan yang baru. Beliau bernama Muhammad Azhar dan mempunyai seorang isteri bernama Alena Saputri. Besar harapan kami teman-teman bisa mengerjakan tugas dengan baik dan penuh rasa tanggung jawab. Kalian adalah bagian dari perusahaan ini, jadi marilah kita bekerja sama dengan baik" Asisten memperkenalkan bos perusahaan yang terlihat menyatukan kedua tangannya di depan dada. Lalu asisten itu kembali memberikan beberapa arahan setelah itu membubarkan barisan. Aku segera membalikkan badanku saat terdengar suara memanggilku. Aku berbalik, kulihat Azhar membisikkan sesuatu ke telinga asistennya."Mita Ariendy, harap keruang Ceo." Aku hanya mengangguk tanpa suara, lalu berjalan menuruni tangga. Aku tak tahu jika seorang cleaning service sempat memperhatikan aku.Setibanya di lantai tujuh aku tidak langsung ke ruang Ceo. Aku memilih masuk ke dalam lift dan turun ke lantai satu menuju ruangan. Tak kuhiraukan lagi pertanyaan Faijah, aku buru-buru mengambil tas ranselku di loker dan segera berjalan setengah berlari."Maaf aku harus ke rumah sakit."Mungkin Faijah dan Reza akan berpikir jika terjadi sesuatu pada anakku. Tak apa mereka berpikir begitu, yang penting sebisa mungkin aku keluar dari gedung ini secepatnya.Aku memanggil ojek yang biasa mangkal di depan gedung dan secepatnya berlalu dari tempat itu menuju rumah sakit. Aku bahkan tak perduli tatapan heran satpam karena aku keluar masih dengan seragam cleaning service. Kupejamkan mataku sesaat, terserah anggapan orang bagaimana. Aku sebisa mungkin menghindari mantan suamiku.Azhar POVPerusahaan ini kini resmi menjadi milikku setelah aku membelinya dari ayah mertuaku sendiri. Aku dulu hanyalah seorang karyawan yang dibayar diperusahaan induk di Jakarta. Namun kini perusahaan ini sudah berlepas diri dan menjadi milikku.Aku berusaha merubah pola manajemen yang berlaku selama ini, aku tak mau membeda-bedakan semua karyawan. Sebisa mungkin aku ingin menjadi sosok pemimpin yang ideal di perusahaanku.Sore itu aku sengaja mengadakan pertemuan dengan para cleaning service setelah paginya aku mengadakan meeting dengan para karyawan perusahaan. Perusahaanku bergerak di bidang real estate.Asisitenku datang melapor jika para cleaning service sudah berkumpul di atap gedung yang aku sulap sebagai tempat nongkrong yang indah, juga bisa digunakan sebagai tempat pendaratan helikopter."Para petugas kebersihan sudah siap di lantai atas bos," Erwin melongokkan kepalanya di pintu.Aku lalu bergegas keluar, dimana para manager dan asisten sudah menungguku di ujung tangga.
Mita POVSetelah menyelesaikan semua pekerjaan, kami mengganti seragam kembali dengan baju yang kami kenakan saat tiba di gedung. Reza menawarkan diri mengantarku pulang."Ayo aku antar," ajak Reza saat dia mengendarai motornya melewatiku di depan gedung.Tanpa pikir panjang aku mengiyakan. Hemat biaya tentunya.Suasana jalan raya tidak terlalu macet sehingga sepuluh menit saja kami tiba di rumah sakit."Gak mampir ?" tawarku pada Reza yang kulihat mulai menghidupkan motornya kembali."Lain kali saja, salam buat anakmu. Semoga dia cepat sembuh, " ucap Reza dengan tulus."Terima kasih," aku melambaikan tangan padanya. Pandanganku mengikuti berlalunya Reza sampai menghilang di tikungan jalan. Aku bergegas masuk menuju ruang perawatan kelas dua. Pekerjaaan hari ini sangat ringan sehingga aku tidak kelelahan.Aku berpapasan dengan beberapa perawat yang tersenyum ramah melihatku. Rumah Sakit Umum ini cukup bersih dan para tenaga medisnya sangat ramah dan sopan. Setelah melewati beberapa
Hari ini Tisa sudah diizinkan menjalani rawat jalan, pagi-pagi aku menyempatkan diri ke kantor walau aku sudah mengetahui jika pemilik perusahaan tempatku bekerja adalah ayah Tisa. Aku tetap berusaha untuk bersikap profesional, kukesampingkan semua kebencian yang terpendam lama di dalam dada ini.Setelah semua pekerjaanku selesai, aku meminta izin pulang dan tak balik lagi ke kantor, setelah membayar semua biaya perawatan anakku, kami bertiga tak pulang ke desa tetapi memilih ke rumah kakek dan nenek di desa durian. Dengan jarak tempuh empat puluh kilo dari rumah sakit memakan waktu sekitar satu jam perjalanan.Untunglah ibu tidak bertanya kenapa aku ingin membawa Mita ke rumah nenek, sehingga aku bisa bernafas lega. Aku melakukannya karena ingin menyembunyikan anakku. Aku yakin seratus persen Azhar pasti akan mencari keberadaan kami.Malam ini aku tidur dengan nyenyak. Semua beban yang menghimpit dipundak seakan terbang seiring dengan bunyi jengkerik yang bersahutan dan udara pada ma
Aku mengernyitkan keningku, ini bukan bagian dari tugasku, lalu mengapa nyonya memintaku membawakannya teh panas ? Aku mulai was-was, perasaanku tidak enak. Nyonya pasti hendak membuat perhitungan denganku. Tapi kenapa ? Apa karena kecemburuannya ?Aku mengambil alih nampan yang berisi teh panas itu, lalu keluar bersama Zaki menuju lantai tujuh.Aku masuk ke dalam ruangan dengan mengetuk pintu terlebih dahulu. Di ruangan itu terlihat bos dan asistennya sedang membicarakan masalah perusahaan sehingga tidak menyadari jika aku masuk ke ruangannya.Aku menghampiri nyonya Alisha dan menyuguhkan teh yang dimintanya. Aku berdiri membelakangi Azhar sehingga dia tidak akan bisa mengenaliku.Nyonya menyuruhku untuk terus berdiri di hadapannya. "Jangan pergi dulu, kau harus menunggu sampai teh ini kuhabiskan."Aku berdiri mematung, kulihat nyonya Alisha tersenyum licik. Tuhan, apa yang sedang dia rencanakan ? Belum habis rasa penasaranku tiba-tiba nyonya berdiri."Dasar pelayan tak tahu diri, a
Setelah lenganku diperban, Erwin menawarkan diri mengantarku pulang."Sebaiknya aku antar kau pulang, tak usah masuk kerja hari ini. Aku sudah memintakan izin di bagian personalia untukmu."Mungkin Erwin merasa iba melihat saat aku meringis ketika dokter mengobatiku, makanya setelah perban itu selesai dia menawarkan diri mengantarku."Maaf pak, rumah kami sangat jauh. Aku biar naik angkot saja," tolakku dengan halus. Kulihat Erwin tersenyum, bukannya menuruti permintaanku, dia malah menarik tanganku menuju lift. Aku merasa risih karena saat ini aku masih memakai pakaian seragam.Erwin menyadari kondisiku, akhirnya dia menemaniku ke ruangan ganti di lantai satu. Faijah yang melihatku memicingkan matanya, aku berusaha menyembunyikan perban di lenganku.Setelah menyapanya dan menceritakan alasanku pulang dia lalu tersenyum."Baiklah, titip salam untuk anakmu ya, kemarin kami tak sempat menjenguknya," ucap Faijah sambil menepuk bahuku.Yah alasan yang paling masuk akal dalam situasi ini
Azhar POVAku menunggu kedatangan Erwin dengan gelisah. Katanya dia pergi mengantar pelayan itu ke rumahnya. Katanya itu bukan Mita. Tapi aku tak percaya, Erwin memang suka mengerjaiku. Persahabatan kami walau terbilang singkat tapi kami sudah saling mengetahui dan memahami karakter masing-masing.Menurut Erwin dia dalam perjalanan pulang dari desa Durian. Aku pernah ingat jika Mita pernah bercerita padaku jika kakek dan neneknya tinggal di desa Durian. Aku semakin yakin yang diantarnya adalah Mita.Melihat lengannya tadi yang melepuh membuat hati ini teriris. Bagaimana mungkin dia berada begitu dekatnya denganku namun aku tidak mengenalinya. Apakah karena dosaku padanya sampai aku tak bisa merasakan kehadirannya ?Aku berdiri di jendela, kulihat mobil Erwin memasuki halaman gedung. Aku segera duduk di kursi kebesaranku. Aku ingin tahu apa yang sudah dilakukan asistenku itu. Selang beberapa saat, Erwin masuk ke ruanganku dengan seenaknya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Kulihat
Aku menatap cek kosong di tanganku, menurut Erwin, aku bisa menuliskan angka nominal satu milyar. Aku berpikir untuk membeli hunian di kota yang dekat dengan sekolah, aku ingin menjadi guru honorer, walau tak di gaji tapi setidaknya aku bisa memasukkan Tisa di sekolah itu. Pagi ini aku ke bank hendak mencairkan cek yang diberikan Erwin. Tak mungkin bagiku untuk membawa uang tunai yang cukup banyak, sehingga aku membuka tabungan dan mentransfer uangnya ke buku tabungan milikku. Aku hanya mengambil uang tunai lima puluh juta untuk keperluanku.Terpikir olehku untuk membeli ponsel baru untukku dan ibuku. Aku membeli ponsel android agar bisa menyimpan fotoku dan Tisa di dalam ponsel.Saat aku keluar dari mall, seseorang menyodorkan selebaran."Dilihat-lihat dulu mbak, perumahan yang cukup indah dan nyaman untuk di tinggali."Akhirnya aku berhenti dan menerima selebaran itu, aku lalu di tuntun ke konter tempat menawarkan hunian minimalis.Aku mengamati market hunian di dalam sebuah kaca,
Alisha POVAku terlahir kaya, karena ayahku adalah seorang pebisnis handal, sehingga aku tak merasakan yang namanya hidup susah. Ketika aku genap berusia dua puluh tahun aku dijodohkan dengan anak dari teman sekolah ayahku. Awalnya aku menolak karena aku ingin menikah dengan laki-laki yang minimal punya level yang sama denganku. Tetapi saat aku melihat pria yang dijodohkan denganku adalah sosok yang sangat tampan, akhirnya malah aku yang meminta untuk segera mempercepat pernikahannya.Bahkan ketika aku tahu dia telah berstatus duda tanpa anak, aku tetap menerimanya, hitung-hitung untuk memperbaiki keturunan. Aku sangat mencintainya, bahkan aku tak ingin ada wanita manapun yang dekat dengannya, bahkan itu karyawan. Menurut ibu mertuaku, jika mantan isterinya hanyalah seorang petani miskin yang tinggal di pedalaman, jadi aku tidak begitu mengkhawatirkannya. Lagian menurut cerita mertua jika pernikahan sebelumnya suamiku hanyalah sebuah kecelakaan, katanya wanita itu hamil di luar nikah