"Habis ini nggak boleh makan lagi ya Kak, cuma boleh minum air putih. Besok kalau sudah selesai ambil darah baru deh boleh makan sepuasnya. Kak Nur mau dimasakin apa?" Anih meletakkan semangkuk buah-buahan segar dan segelas susu cokelat hangat pada meja makan.
Sejak masuk ke dalam rumah ini, Nur hanya berputar sekitar ruang tamu dan ruang makan. Tidak ada sedikitpun niatnya untuk masuk ke dalam kamar yang berada di ujung lorong. Bulu kuduknya tidak henti meremang ketika ingat wajah Bryan yang menunjuk kamar itu. "Bik Anih sudah lihat kamar ujung itu?" Nur menunjuk kamarnya dengan dagu. Harusnya sebelum Nur sampai sini, Anih sudah mengecek seluruh isi rumah. Kalau masalah membersihkan sih, Nur yakin Bryan sudah meminta pelayan yang lain untuk membersihkan sebelum rencana memindahkan Nur ke rumah ini. Anih terkikik mendengar pertanyaan Nur yang menurutnya sangat polos. Tadi pagi di dalam mobil box yang dikemudikan oleh driver pribadi Bryan, Anih mendapat sedikit bocoran bahwa Nur adalah calonnya Pak Bryan, calon istri kedua. Entah bagaimana kisah mereka, yang pasti Anih hanya "cukup tahu" dan tidak ada hak ikut campur kehidupan pribadi orang lain. Meski begitu, semua orang yang memperhatikan akan tahu jika Nur tampak terpaksa ketika bersama Bryan. Apakah hubungan mereka dikarenakan terlilit hutang seperti di film-film? "Sudah Kak. Kamarnya bagus banget, ada kolam renangnya di luar kamar juga. Pokoknya aksesnya aman banget. Pak Bryan bahkan pesan nggak ada yang boleh lewatin lorong itu kecuali Kak Nur, Pak Bryan dan Bik Anih." Pundak Nur mencelos, itu dia yang Nur takutkan. Untuk apa Bryan menempatkan Nur pada kamar yang paling pojok. "Mau saya antar Kak?" tawar Anih. "Iya nanti kalau sudah selesai minum susu aku ke sana, nggak perlu diantar." Bukannya dipercepat, Nur malah melambatkan adegan minum susunya hingga jam menunjukkan pukul 10 malam. Anih masih setia berdiri di sebelah kursi Nur, kehabisan ide untuk merayu Nur agar mau masuk ke dalam kamarnya. Hingga telepon di sudut ruangan berdering, kalau bukan Pak Bryan ya Pak Arya. "Halo selamat malam dengan Anih," Anih mengangkat telepon rumah dengan suara lembut, takut yang menelepon adalah Bryan. "Bik, kenapa sudah jam segini Nur masih di ruang makan? Bukannya sudah jadwal dia tidur?" Bryan bertanya tanpa babibu terlebih dahulu. Bryan baru selesai mandi dan duduk di sofa apartemennya ketika mendapati Nur yang masih duduk manis di ruang makan melalui CCTV. Jangankan Bryan, Anih saja bingung bagaimana menghadapi Nur. Anak muda itu cukup keras kepala namun begitu polos. "Tadi saya sudah minta ke kamar Pak, tapi Kak Nur coba buat mengulur waktu," kali ini Anih bicara sambil berbisik, tidak mau dibilang berkhianat pada Nur. Bryan yang memiliki otak cerdas segera paham ketika mendengar kata "mengulur waktu". Anak itu, memangnya apa yang dia takutkan dari sebuah kamar? Toh Bryan tidak akan menyeretnya ke sana sebelum mereka siap. "Hemn, mana saya mau bicara sama Nur." "Baik, Pak." Anih memberikan telepon wireless kepada Nur yang masih duduk manis di ruang makan. "Dari Pak Bryan," bisik Anih. Nur enggan menjawab, namun tatapan mata Anih begitu memelas. Apa tadi Bryan memaksa Anih agar menyerahkan telepon itu?"Malam, Pak." Terbiasa PKL di keluarahan desa, nada bicara Nur begitu lembut ketika mengangkat telepon.
Bryan pikir anak ini hanya bisa bicara dengan nada galak, ternyata tidak. Nur yang menjawab teleponnya begitu lembut dan sopan.
"Halo, Pak?"
"Ehem," Bryan menstabilkan suaranya terlebih dahulu. "Kenapa kamu belum tidur? Besok kamu harus diambil darah, Nur. Kalau kamu bergandang kondisi badan kamu bisa nggak fit."
"Iya Pak, sebentar lagi."
"Sekarang! Atau saya akan datang ke sana dan geret kamu ke dalam kamar!"
Jleb, sialan sekali ancaman Bryan. Nur menggelengkan kepalanya kuat-kuat. "Iya ini aku langsung masuk kamar. Selamat malam Pak Bryan."
Nur mematikan telepon dan menyerahkannya kepada Anih. Dengan secepat kilat Nur berlari melewati lorong dan sampai pada pintu kamar yang berwarna cokelat gelap.
Klik, dibukanya pintu kamar perlahan.
"Wahhhh," Nur bersorak senang.
Kamar ini begitu luas dan sangat estetik bertema industrial, membuat suasana santai. Bagaimana bisa seorang yang berkelas seperti Bryan membuat dekorasi kamar seperti ini?
Entah Nur harus berterima kasih atau kesal pada Bryan. Meski orang itu memiliki niat tidak baik padanya, namun berkat Bryan Nur bisa merasakan tinggal di rumah-rumah yang indah dan selama ini hanya bisa dia lihat di akun home decor.
Nur menggulung tubuhnya pada selimut berwarna biru langit yang tidak terlalu tebal. Nyaman, terasa seperti dipeluk Eyang. Malam itu Nur tidur dengan pulas dan lupa mandi sehingga membuat aroma asam menguar di hidungnya sendiri ketika pagi harinya.
"Hoekkk," Ditengah pulasnya tidur, Nur tersedak liurnya sendiri. Refleks matanya terbuka dan dia hampir lompat dari ranjang.
Nafas Nur naik turun, dipandanganya susana kamar yang mulai terang disirami cahaya matahari pagi dari balik gorden serta suara ketukan pintu yang terdengar tidak terlalu kencang namun intens. "Cepat banget udah pagi aja."
Anih sedang merapikan rambutnya ketika Nur membuka pintu, sedikit terkejut karena pagi ini Nur tampak segar meski masih mengantuk.
"Pagi Kak Nur, sudah waktunya bersiap. Nanti Bik Anih tunggu di ruang tamu ya," sapa Anih yang terlihat memakai pakaian lebih rapi dibanding sebelumnya.
"Pagi Bik, emn... rapi banget hari ini. Emang kita mau ambil darahnya dimana Bik?" alih-alih menggoda, Nur juga penasaran mereka akan dibawa kemana pagi ini. Sepertinya sebuah tempat yang wah kalau melihat penampilan Anih.
"Kemarin Pak Arya bilang, Kak Nur akan ambil darah di salah satu klinik lab punya temannya Pak Bryan, bukan di rumah sakit kemarin. Jadi hari ini Bik Anih dan Kak Nur diminta pakai baju yang rapih."
Nur mengangguk paham. Kalau Arya sudah mengingatkan, berarti tempatnya memang bagus. "Ya sudah aku mandi dulu ya Bik, baju gantinya ada di lemari situ kan ya?" Nur menunjuk barisan lemari besar yang berada dibalik tembok pemisah dengan ranjang.
"Iya Kak."
20 menit kemudian Nur muncul dari lorong dalam dan berhasil membuat Anih terkesima. Setelan blazer dan celana 7/8 berwarna sage berpadu dengan sepatu kulit serta tas selempang kecil berwarna hitam membuat Nur tampak sangat "kota".
"Jangan dipandang terus Mas, nanti Pak Bryan marah," bisik Anih pada Ijon sang driver yang ditugaskan mengantar hari ini. Sejak mereka berdua keluar rumah, Ijon tidak berkedip bagai lihat durian runtuh.
"Aduh!" Seorang perempuan bertubuh mungil terjatuh setelah terkena bola sepak yang ditendang oleh Bagas. Untungnya perempuan itu menangkis dengan tangannya, kalau tidak bisa mengenai bagian perut. Meski begitu, tubuhnya lunglai dan berjongkok.Bagas menghentikan permainan dan berlari ke arah perempuan itu. Dia ikut berjongkok demi menyejajarkan tubuh. "Maaf ya, bagian mana yang sakit?" tanyanya. Bagas tahu persis kalau tendangannya mengenai tubuh perempuan itu, makanya dia bertanya dengan lugas."Ini," perempuan itu menunjukkan siku dan tungkai lengan yang berwarna merah. Rambutnya lurus panjang, wajahnya cantik dan sederhana namun terlihat datar. "Ya, lumayan sakit," jawabnya singkat.Dia bernama Nur, anak sekolah sebelah sekaligus cinta monyet Bagas.Sejak itu, Bagas selalu curi pandang setiap ada kesempatan. Di pagar pembatas, di kantin sekolah Nur yang sengaja dia datangi saat jam istirahat, di belokan jalan saat jam pulang sekolah. Momen itu memenuhi masa remaja Bagas selama 2 ta
"Gimana Nur? Yang ini juga belum pas?"Nur menggeleng dengan wajah lesu. "Jangan deh Mas, dua-duanya mahal banget. Aku takut Pak Bryan bangkrut kalau kuliahin aku di situ."Arya terkikik, tidak mungkin lah bosnya yang kaya raya 10 turunan itu bangkrut. Walau begitu, Arya bangga pada Nur yang meski sudah dijebak tetap tidak mau memanfaatkan Bryan secara berlebihan. Coba kalau Bryan bertemu dengan gadis lain, pasti sudah dijebak habis-habisan.Jam sudah menunjukkan pukul 4 sore. Arya harus kembali ke kantor untuk menyerahkan laporan kepada Bryan yang sekarang entah berada dimana. "Kita lanjut besok lagi ya, sore ini Mas harus balik ke kantor.""Oke Mas, hati-hati."Nur mencari informasi mengenai dua kampus lain yang akan dia datangi esok hari. Sejak pulang kerjaannya hanya scroll ponsel, Anih sampai terbengong karena Nur tidak mengajaknya ngobrol malam ini.Di belahan wilayah lain, Bryan menyesap kopi hitam lokal dengan wajah yang sesekali tersenyum melihat CCTV di ponsel, Nur terlihat
Nur dan Bryan berakhir dengan makan malam serta menonton tv di dalam kamar Bryan. Tidak ada hal yang aneh atau kelewat batas. Bahkan Bryan tidak memaksa Nur untuk berganti pakaian atau melakukan hal memalukan di hadapannya. Misi utama Bryan memang membuat Nur merasa nyaman."Aku boleh balik ke kamar apa enggak Pak?" mata Nur sudah mengantuk.Bryan fokus memainkan game pada ponsel. "Mulai sekarang kamar kamu di sini," jawabnya tanpa menoleh.Nur mengangguk patuh, bagus juga kamarnya kini jadi lebih luas. "Ya sudah, kalau begitu aku tidur duluan ya Pak. Selamat malam." Dan Nur menenggelamkan tubuhnya pada selimut hangat berwarna abu-abu muda.Bryan menoleh sejenak, sepertinya Nur benar mengantuk. Terlihat dari wajahnya yang polos seperti bayi itu begitu tenang dan sesekali terdengar dengkuran halus.Pikiran Bryan terusik. Kalau anak mereka mirip Nur, pasti akan terlihat menggemaskan. Nur memiliki wajah mungil dan berhidung mancung serta alis tebal. Matanya pun terlihat indah karena berwa
BRAK!Bryan balik membanting pintu kamar Nur. Harga dirinya merasa ternoda oleh bocah ini. Bukannya jelas bahwa Bryan sedang bercanda, kenapa malah dianggap serius seolah dirinya mesum."Sabar Bryan, sabar." Bergegas Bryan masuk ke dalam kamarnya sendiri yang tepat berada di sebelah kamar Nur. Sebagai bentuk protes dengan penilaian dangkal Nur, Bryan bersumpah tidak akan menemuinya sampai hari esok.Nur berkali-kali mengusap dada agar tidak jantungan. Kakinya lemas hingga berjongkok di balik pintu. Hari ini dia bisa lolos dari cengkraman Bryan, tapi esok belum tentu.Bryan pasti berpikir jika Nur salah menilai. Padahal wajar kan jika Bryan terlihat pro? Dia itu sudah menikah, kadang ramah dan memiliki aura playboy.Meja makan pada malam ini terasa sepi seperti biasa. Bik Anih bilang Pak Bryan ada di kamarnya. Huft, sombong sekali dia tidak mau makan bersama."Sudah Bik, aku masuk ke kamar dulu ya. Terima kasih makanannya." Tanpa menoleh ke arah kamar Bryan, Nur masuk dan mengunci pint
"Jadi Nur belum keluar kamar sampai sekarang? Oke Bik, nanti biar saya bicarakan dengan Pak Bryan." Setelah menutup telepon dari Anih, Arya mendekati Bryan yang masih mengecek beberapa berkas di meja kerjanya."Kenapa lagi anak itu?" Bryan terdengar sinis."Sepertinya Nur sudah lihat hasil test-nya Pak, jadi dia menenangkan diri dan nggak mau keluar kamar sejak tadi siang."Bryan menaruh berkas tersebut, kemudian mengecek rekaman CCTV kamar Nur yang hanya bisa diakses oleh ponselnya.Alis Bryan sedikit mengkerut, kemudian kembali normal ketika melihat Nur muncul dari dalam kolam renang. Meski tidak terlihat jelas, sepertinya dada anak itu terengah. Memang sudah berapa lama dia bermain dalam kolam renang?Setengah jam... Satu jam... Dua jam?Di kantor Bryan bukanlah bos yang manja. Meski kadang lupa jadwal, tapi khusus hari ini dia sudah mengingat jadwalnya dari pagi hingga sore. Harusnya aman jika saat ini dia pulang ke rumah. Sambil melihat titik macet pada maps, Bryan merapikan tas b
Nur duduk dengan nyaman di kursi belakang sambil memainkan ponsel boba 3 barunya, sedangkan Anih di sebelah Ijon. Tidak ada yang berani memulai obrolan sehingga suasana mobil menjadi sunyi."Ehmn," akhirnya Nur putuskan untuk menaruh ponsel ke dalam tas mungil yang berlogo salah satu merk terkenal. Mungkin dengan dia mengajak Ijon ngobrol, akan ada beberapa informasi baru mengenai Bryan."Kenapa Kak? Haus ya? Sebentar Bik Anih ambilkan minum," tangan Anih menjuntai ke barisan pintu mobil Nur untuk mengambil sebotol air mineral. "Ini Kak."Walau tujuannya bukan minta minum, Nur tetap mengambil botol itu dan menenggaknya. "Makasih Bik Anih," Nur tersenyum ramah.Jika dalam keadaan tenang, Nur memiliki sifat yang lemah lembut dan tutur kata yang halus. Baginya, bersikap lembut kepada orang yang lebih tua adalah sebuah kewajiban."Pak Ijon," panggil Nur tiba-tiba dengan wajah yang sedikit dia majukan, membuat Ijon yang tidak sengaja menoleh tersentak."Astaga, kaget!" jerit Ijon tertahan.