Home / Romansa / Menjadi Istri Keponakan sang Mantan / Bab 5 : Di Antara Cinta dan Kekuasaan

Share

Bab 5 : Di Antara Cinta dan Kekuasaan

Author: Vanilla_Nilla
last update Last Updated: 2025-01-24 17:13:41

Daniel bergerak cepat. Dalam satu langkah sigap, ia menarik Sophia lebih dekat, membekap mulut gadis itu dengan bibirnya. Tubuh Sophia yang kecil bergetar hebat di bawah sentuhan itu, bukan karena kelembutan, tetapi karena rasa takut yang menjalari tubuhnya.

Langkah kaki di luar semakin mendekat, disertai suara pintu yang berderit ketika terbuka. Daniel memutar tubuhnya sedikit, memposisikan mereka agar tersembunyi di balik salah satu lemari besar di sudut ruangan. Jarak antara keduanya begitu tipis, aroma tubuh Daniel yang khas bercampur dengan parfumnya memenuhi indera penciuman Sophia.

Sosok Lewis, kepala pelayan mansion, muncul di ambang pintu. Ia melangkah masuk perlahan, pandangannya menyapu seluruh ruangan. “Siapa di sana?”

Sophia hampir melompat mendengar suara itu, tetapi tangan Daniel yang besar dan kokoh memegang pinggangnya erat, menahannya agar tetap diam. Tubuhnya semakin gemetar, berharap Lewis tidak menemukan mereka.

Lewis berjalan lebih jauh ke dalam ruangan, mengamati setiap sudut. Ia bahkan berhenti sejenak, seperti mencoba mendengarkan sesuatu. Namun, ruangan itu tetap sunyi.

“Aneh. Apa aku salah dengar?”

Ia berdiri di tengah ruangan selama beberapa detik sebelum akhirnya berbalik menuju pintu. Dengan satu pandangan terakhir, ia keluar, menutup pintu di belakangnya dengan suara pelan.

Sophia merasa lututnya hampir lemas saat ketegangan itu mereda. Namun, Daniel tidak langsung melepaskannya. Ia tetap memegang pinggang Sophia, tubuhnya sedikit condong ke depan, seolah menikmati momen itu lebih lama dari yang seharusnya.

Sophia yang masih terengah-engah segera mendorong tubuh Daniel menjauh, matanya menatap tajam pria itu. “Apa yang kau lakukan?!” bisiknya marah, suaranya hampir tak keluar karena takut Lewis mendengar.

“Aku hanya menolongmu, bukankah kamu takut ketahuan, tapi … bagaimana kalau mereka tahu kamu adalah kekasihku?”

“Bisakah kau berpura-pura tidak mengenalku?”

Daniel tidak langsung menjawab. Sebaliknya, jari-jarinya yang panjang dan kokoh terangkat, menyusuri wajah Sophia dengan perlahan, seperti sedang mengingat setiap lekuk wajah gadis itu.

“Baiklah, aku bisa berpura-pura, tapi … hanya jika kamu menuruti keinginanku.”

Mendengar itu, Sophia menepis tangan Daniel dengan kasar. “Tidak! Aku sudah cukup lelah menjadi bonekamu. Jadi, tolong, Daniel. Jangan memaksaku lagi untuk mengikuti semua kemauanmu.”

“Kalau begitu, aku akan memastikan mereka tahu. Aku akan mengatakan bahwa kita ini adalah sepasang kekasih.”

“Apa kamu lupa? Kita sudah putus. Semuanya sudah berakhir.”

“Apa kamu juga lupa? Aku pernah bilang, kalau kamu menemuiku lagi, saat itu juga aku tidak akan membiarkanmu pergi. Seumur hidupmu. Kamu tetap milikku, Sophia.”

“Jangan harap!” Sophia mendorong tubuh Daniel, lalu melangkah pergi dari ruangan itu.

Namun, baru saja ia berhenti di depan pintu, Daniel tiba-tiba berkata, “Sophia. Kamu boleh menikah dengannya, tapi jangan pernah biarkan dia menyentuhmu.”

Kalimat itu membuat Sophia membeku. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan gejolak di dalam dadanya, tapi emosi yang selama ini ia tekan akhirnya meledak. Sophia memutar tubuhnya dengan cepat. “Apa kau sudah gila? Siapa kamu sampai bisa berkata seperti itu? Kamu tidak punya hak untuk ikut campur dalam hidupku!”

“Kamu pikir aku bisa berdiri diam dan membiarkan lelaki lain menyentuhmu?”

“Kamu yang menyuruhku pergi! Kamu yang selalu mendorongku menjauh! Dan sekarang, ketika aku mencoba melanjutkan hidup, kamu malah berkata seperti ini? Kamu egois, Daniel. Selalu saja egois.”

Tanpa menunggu jawaban, Sophia berbalik dan membuka pintu, melangkah keluar tanpa menoleh ke belakang. Tapi saat langkahnya menjauh, air mata yang ia tahan akhirnya jatuh membasahi pipinya.

Pikiran Sophia melayang ke masa lalu, ke hari pertama ia bertemu Daniel. Saat itu, lelaki dengan mata tajam seperti elang itu berdiri di tengah keramaian, tubuhnya tegap, memancarkan aura yang begitu kuat hingga membuat siapa pun yang melihatnya sulit berpaling.

Namun di balik sikap dinginnya, Sophia pernah melihat sisi lembut dari Daniel, sisi yang hanya muncul saat mereka berdua. Dia ingat saat Daniel diam-diam membawakan kopi panas untuknya di tengah malam atau ketika lelaki itu melindunginya dari hujan dengan jaketnya, meski tubuhnya sendiri menggigil. Itu adalah momen-momen kecil yang membuat Sophia jatuh cinta, meskipun ia tahu, cinta itu tidak akan pernah sederhana.

Ketika Sophia kembali ke ruangan, suasana yang sempat sedikit tegang kini terasa sunyi. Semua mata beralih ke arahnya saat ia melangkah masuk.

“Kamu kenapa, Sophia?” William bertanya, alisnya terangkat melihat ekspresi putri Robert itu.

Sophia memaksakan senyum tipis. “Oh, tidak apa-apa,” jawabnya, lalu berjalan ke arah sofa.

Ketika ia duduk, Rose, yang berada di sebelahnya, membungkuk mendekati telinganya. Bisikan ibunya terdengar pelan, tetapi cukup menusuk. “Jangan bilang kalau kamu menemui lelaki itu lagi.”

Sophia memutar kepalanya sedikit, menatap ibunya dingin. “Itu bukan urusan Ibu.”

Rose terdiam, tetapi bibirnya mengatup erat, menahan amarah yang mulai menggelegak.

Di sisi lain, William memperhatikan interaksi itu tanpa komentar. Setelah beberapa saat, ia meletakkan cangkir teh yang sejak tadi dipegangnya dan berbicara. “Bagaimana, Sophia? Apa kau tertarik pada cucuku, David?”

Pertanyaan itu menghantam Sophia seperti badai. Tubuhnya kaku, tangan di pangkuannya mulai meremas-remas gaunnya dengan gelisah. Sebelumnya, ia setuju dengan perjodohan ini karena ingin melepaskan diri dari Daniel, memulai hidup baru tanpa bayang-bayang pria itu, tapi kenyataan bahwa Daniel adalah bagian dari keluarga William membuat segalanya menjadi rumit.

Bagaimana mungkin ia benar-benar pergi jika lelaki itu ada di sini, selalu mengawasinya?

“Sophia?” William berkata lagi saat Sophia hanya terdiam. “David sudah setuju dengan perjodohan ini. Sekarang giliranmu memberikan jawaban.”

Sophia menelan ludah. Ia ingin berbicara, tetapi lidahnya terasa kelu.

Robert yang duduk di sisi lain ruangan segera berkata, “Sophia adalah anakku yang selalu penurut. Aku yakin dia pasti akan menerima perjodohan ini.”

Sophia merasakan pandangan semua orang di ruangan itu tertuju padanya. Tekanan itu membuat dadanya terasa sesak. Ia membuka mulut, hendak memberikan jawaban. Namun sebelum satu kata pun terucap, Daniel tiba-tiba datang lagi ke hadapan mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 6 : Takdir yang Mempermainkan

    “Wanita mana yang bisa menolak keponakanku ini?” Daniel berkata dengan santai. Akan tetapi, ada sesuatu dalam suaranya yang membuat ruangan itu terasa lebih tegang. Percakapan langsung terhenti. Semua yang duduk di sofa menoleh ke arahnya, memperhatikan pria yang kini berdiri tegak di hadapan mereka. David, yang sejak tadi terlihat tenang, kini tampak lebih ceria. Sorot kebanggaan muncul di matanya saat mendengar pujian dari pamannya. “Paman, Paman terlalu berlebihan,” ucap David dengan sedikit tawa, meski ada rona malu di wajahnya. Daniel mengangkat alisnya sedikit, ekspresi santainya tak berubah. “Tidak, aku hanya mengatakan fakta,” balasnya tenang. “Di luar sana banyak wanita yang ingin memilikimu, David. Kau bukan hanya pekerja keras, tetapi juga kebanggaan keluarga kita.” Kata-kata itu meluncur begitu saja dari bibir Daniel, tetapi matanya justru tertuju pada seseorang di hadapannya—Sophia. Gadis itu duduk dengan tubuh sedikit tegang, jemarinya meremas gaun di pangkuanny

    Last Updated : 2025-02-11
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 7 : Masa Lalu yang Tak Pernah Hilang

    Suara dentingan gelas dan alunan musik pelan memenuhi sudut bar yang remang-remang. Cahaya lampu temaram memantulkan kilau keemasan di permukaan minuman dalam gelas-gelas kristal yang berjajar rapi di meja bartender. Di salah satu sudut ruangan, dua wanita duduk berhadapan, dengan ekspresi yang kontras. Jane menatap Sophia lekat-lekat, matanya menyipit seakan mencoba memahami sesuatu yang sulit dicerna. Ia baru saja mendengar pengakuan mengejutkan dari sahabatnya, dan itu membuatnya nyaris tidak percaya.“Kau serius? Kau benar-benar menerima perjodohan ini?” Jane menatap sahabatnya dengan tajam, mencoba membaca ekspresi yang tersembunyi di balik wajah tenangnya. Ketika Sophia pertama kali memberitahunya tentang perjodohan itu, ia hampir tidak bisa mempercayai apa yang didengarnya. Rasa keterkejutan itu masih melekat, berputar dalam pikirannya seperti badai yang tak kunjung reda. Bagaimana mungkin Sophia setuju untuk menikah dengan pria lain? Selama ini, Jane tahu betul bahwa hati

    Last Updated : 2025-02-11
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 8 : Keinginan Terlarang Sophia

    Selepas kepergian Jane, Daniel tetap berdiri di tempatnya, menatap Sophia tanpa berkedip. Pandangannya begitu tajam, seolah mencoba menembus setiap lapisan pertahanan yang mungkin masih tersisa dalam diri wanita itu. Sophia yang biasanya selalu anggun dan berkelas, kini tampak begitu rapuh. Rambutnya tergerai berantakan, sebagian jatuh menutupi wajahnya yang pucat. Napasnya terdengar pelan, nyaris tak beraturan, sementara tangannya yang lemah masih mencengkeram gelas kosong di depannya. Aroma alkohol bercampur dengan parfumnya yang khas menyeruak ke udara, membuat Daniel mengerutkan kening. Baru kali ini ia melihat Sophia sepuruk ini. Lima tahun mereka bersama, dan tak sekalipun ia melihatnya kehilangan kendali seperti ini. Sophia selalu menjadi wanita yang kuat, yang selalu tersenyum meskipun hatinya terluka, yang selalu bangkit meskipun ia jatuh berkali-kali. Tapi malam ini, wanita itu tampak seperti seseorang yang telah kehilangan segalanya. Daniel menghela napas panjang, l

    Last Updated : 2025-02-12
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 9 : Badai Baru Saja Dimulai

    Udara malam ini terasa begitu dingin, menusuk hingga ke tulang. Namun, anehnya, butiran keringat seukuran biji jagung terus bermunculan di dahi Daniel, mengalir perlahan di sepanjang pelipisnya. Sejak tadi, ia menahan tubuhnya di atas wanita yang terbaring di bawahnya, matanya dipenuhi kilatan hasrat yang sulit dijelaskan. Jemarinya menjelajah dengan lembut, seolah ingin menghafal setiap lekuk yang telah begitu familiar baginya. Sophia selalu memiliki cara untuk membuatnya tenggelam, terperangkap dalam cinta yang tak berujung. Daniel telah bertemu banyak wanita—wajah-wajah cantik yang datang dan pergi dalam hidupnya—namun tidak ada satu pun yang mampu mengikatnya seperti Sophia. Ada sesuatu dalam diri wanita itu, sesuatu yang tak bisa ia temukan pada siapa pun. Bukan sekadar kecantikan atau kelembutan, tapi sebuah daya tarik yang membuatnya tak bisa berpaling, tak peduli seberapa jauh ia mencoba melangkah. Napasnya memburu, terengah-engah seiring dengan bahunya yang naik turun, m

    Last Updated : 2025-02-12
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 10 : Kepingan Ingatan

    “Auh ….” Sophia mengerjapkan matanya yang terasa berat. Kepalanya berdenyut hebat, seolah-olah ribuan palu godam sedang menghantam tengkoraknya tanpa ampun. Ia mengerang pelan, tangannya terangkat untuk memijat pelipisnya yang berdenyut, berharap rasa sakit itu segera mereda. Pandangan matanya masih buram saat ia mencoba menyapu ruangan di sekitarnya. Tempat ini asing—bukan kamarnya, bukan juga rumahnya. Langit-langit yang berbeda, aroma ruangan yang tidak familiar, serta kesunyian yang begitu menusuk membuat jantungnya mulai berdegup lebih cepat. “Aku di mana?” Pertanyaan itu bergema di kepalanya, memicu ketegangan yang merayap perlahan ke seluruh tubuh. Ia mengedarkan pandangan, mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Namun, sebelum pikirannya sempat bekerja, sesuatu yang lebih mengejutkan membuat tubuhnya membeku. Selimut putih yang melingkupinya melorot sedikit, dan saat ia melihat ke bawah—astaga! Darahnya seolah berhenti mengalir. Napasnya tercekat. Ia ti

    Last Updated : 2025-02-13
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 11 : Bekas Kepemilikan

    Sophia keluar dari taksi yang membawanya pulang. Di dalam rumah, ia sudah memikirkan apa yang harus ia katakan pada orang tuanya. Alasan apa yang akan ia berikan, terutama pada ayahnya? Ia tidak mungkin mengungkapkan bahwa semalam ia bersama Daniel. Jika ayahnya tahu, Robert pasti akan marah besar. Namun, jelas Sophia tidak akan mengungkapkan kebenaran itu. Semalam, ia pamit pada ayahnya untuk pergi bersama Jane, dan mungkin alasan yang akan ia berikan sekarang adalah bahwa ia menginap di rumah Jane. Semoga saja ayahnya percaya dan tidak merasa curiga. Sesampainya di dalam rumah, Sophia melihat ayahnya, Robert, yang tengah duduk di kursi dekat jendela besar di ruang tamu. Tangannya memegang sebuah benda yang tampak sudah usang—sebuah jam antik yang diwariskan turun-temurun dalam keluarga mereka. Robert sedang dengan telaten mengelap permukaan kaca jam tersebut, tampak sangat fokus, seolah waktu di sekelilingnya tidak ada artinya. Jam itu adalah benda kesayangan Robert, hadiah da

    Last Updated : 2025-02-13
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 12 : Gaun Pengantin

    Sophia mengenakan gaun sederhana berwarna krem dan memulas wajahnya dengan riasan tipis. Ia mencoba menutupi bekas merah yang ditinggalkan Daniel dengan concealer, meski hatinya tetap gelisah, takut bila ada yang melihat bekas merah tersebut. Dengan satu tarikan napas panjang, ia melangkah keluar dan masuk ke dalam mobil yang akan membawanya ke butik tempat fitting gaun pengantin. Begitu sampai di butik, aroma lavender bercampur dengan wangi kain baru menyambutnya. Ruangan itu luas dengan dinding putih elegan, rak-rak berisi deretan gaun mewah tergantung rapi, sementara para penjahit sibuk menyesuaikan detail jahitan. Seorang pelayan butik, wanita muda dengan seragam putih anggun, segera mendekatinya dengan senyum ramah. “Selamat datang di butik La Belle, apakah Anda Nona Sophia?” tanyanya sopan. Sophia mengangguk, menatap sekeliling dengan perasaan sedikit gugup. “Ya, aku datang untuk fitting gaun pengantin.” Pelayan itu tersenyum lebih lebar, lalu mengangguk hormat. “Oh,

    Last Updated : 2025-02-14
  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 13 : Jarak yang Tak Terlihat

    David berdiri di ambang pintu ruang ganti, matanya menyipit saat melihat pemandangan di depannya. Daniel—pamannya sendiri—berdiri begitu dekat dengan Sophia, tangannya menyentuh pinggang wanita itu. Jantung David berdetak lebih cepat. Ada sesuatu yang terasa janggal di sini. Sophia tampak terkejut, sementara Daniel tetap tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. “Paman, apa yang kamu lakukan di sini?” Suara David terdengar lebih tegang. Daniel menoleh perlahan. Wajahnya tetap santai, tapi ada kilatan kejutan singkat di matanya—seolah ia tidak menyangka akan bertemu keponakannya dalam situasi seperti ini. “Pelayan bilang kau ada di ruang ganti,” jawab Daniel datar. “Jadi ... aku langsung kemari.” Lalu, tanpa terburu-buru, Daniel menurunkan tangannya dari pinggang Sophia. Jemarinya mencabut sesuatu dari lipatan gaun itu—sebuah jarum pentul kecil. “Aku hanya ingin melepaskan ini.” Sophia menahan napas. Ia bahkan tidak sadar kalau ada jarum pentul di gaunnya. Tapi lebih dari itu

    Last Updated : 2025-02-14

Latest chapter

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 101 : Kekacauan William

    Langkah kaki William terdengar pelan namun berat saat ia keluar dari ruang rumah sakit. Pundaknya sedikit membungkuk, dan tongkat yang biasa ia genggam dengan tenang kini terasa seperti beban tambahan yang tak bisa ia lepaskan. Lewis, ketua pelayan setia yang sejak dulu menemani kehidupan keluarga Williams, menyambutnya dengan sorot mata penuh tanya. "Tuan, bagaimana dengan keadaan Nyonya Sophia?" tanyanya hati-hati, menjaga nada suaranya agar tak terdengar terlalu mendesak. Namun William hanya menggeleng pelan. Tak sepatah kata pun keluar selain bisikan lirih, "Kita kembali saja ke mansion." "Baik, Tuan," jawab Lewis dengan anggukan sopan sebelum ia berjalan cepat ke arah mobil, membuka pintu belakang dan membantu William masuk dengan penuh kehati-hatian. Mobil melaju pelan meninggalkan gedung rumah sakit, membawa keheningan yang begitu pekat di dalam kabin. William menatap kosong ke luar jendela, menyaksikan lampu-lampu kota yang lewat bagai bayangan tak bermakna. Namun pi

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 100 : Kenyataan Pahit

    Kelopak mata Sophia bergerak perlahan, seakan berusaha keluar dari kegelapan yang menyelimutinya. Napasnya masih lemah saat akhirnya matanya terbuka lebar. Pandangannya kabur sesaat sebelum akhirnya menangkap sosok yang duduk di samping ranjangnya. "Daniel ...," gumamnya lemah. Mendengar namanya dipanggil, Daniel yang sejak tadi tenggelam dalam pikirannya langsung tersentak. Dengan cepat, ia menghapus air mata yang sempat jatuh di pipinya. Ia tak ingin Sophia melihatnya dalam keadaan seperti ini. "Kau sudah bangun," suaranya terdengar serak, tapi ia tetap berusaha terdengar tenang. Sophia mengerjapkan matanya, mencoba memahami apa yang terjadi. Namun, ada sesuatu yang aneh. Daniel tampak berbeda. Wajahnya pucat, matanya memerah seolah telah menahan tangis terlalu lama. "Kenapa kamu menangis?" Ini pertama kalinya Sophia melihat Daniel dalam keadaan seperti ini—terlihat begitu hancur, begitu rapuh. Daniel menggeleng pelan. "Tidak apa-apa," jawabnya, meski jelas sekali itu bohong.

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 99 : Kepingan Hati

    "Tidak mungkin ... Ini semua tidak mungkin ...." Mata David menatap kosong ke lantai rumah sakit, sementara pikirannya berputar tak karuan. Ia tidak pernah menginginkan kehamilan Sophia sejak awal. Ia menolak dengan keras, menuduh anak itu bukan miliknya. Tapi seiring waktu, perlahan ia mulai menerimanya—terutama setelah William menjanjikan saham sebagai bagian dari tanggung jawabnya sebagai seorang ayah. Namun sekarang, semuanya sia-sia. David mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. Rencana yang sudah ia susun dengan matang kini berantakan begitu saja. Ia tak tahu harus merasa sedih, kecewa, atau marah. Yang pasti, sesuatu di dalam dirinya terasa kosong. Tatapannya kemudian beralih ke arah pintu ruang perawatan yang masih tertutup rapat. Di balik pintu itu, Sophia masih berjuang dengan kondisinya yang belum stabil. Ia mengembuskan napas panjang, mencoba menenangkan diri. Tapi tetap saja, pikirannya kacau. Apakah ini hukuman untuknya karena sejak awal menolak anak itu? Atau

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 98 : Kehilangan

    Suara jeritan Sophia menggema di seluruh lorong mansion Williams, Daniel yang mendengar itu langsung berlari secepat mungkin ke arah sumber suara. "Sophia!" Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi firasatnya mengatakan sesuatu yang buruk telah menimpa wanita itu. Saat ia tiba di tangga besar mansion, napasnya tertahan. Sophia tergeletak di anak tangga, tubuhnya setengah terduduk dengan tangan bertumpu pada salah satu undakan. Pakaiannya kusut, dan yang lebih mengejutkan—darah segar mengalir dari kakinya, sampai membentuk genangan merah di lantai marmer. Daniel berlari menuruni tangga. "Sophia!" Ia segera berjongkok di hadapan wanita itu, tangannya refleks menyentuh perut Sophia. Sophia mengangkat wajahnya yang pucat, matanya berkabut menahan sakit. "Daniel …" suaranya lemah, hampir tidak terdengar. Daniel melihat tangan Sophia juga berlumuran darah. "Apa yang terjadi?!" Sophia membuka mulut, seolah ingin menjawab, tapi sebelum satu kata pun keluar, kepalanya terkulai ke sa

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 97 : Alibi Sophia

    Flash Back. Anne berdiri di balik pintu yang sedikit terbuka, napasnya tertahan saat mendengar percakapan di dalam ruangan. Matanya menyipit tajam, memperhatikan setiap gerakan Sophia dan Daniel. Sejak awal, ia sudah merasa ada yang aneh dengan kedekatan mereka. Tatapan penuh perhatian, sentuhan yang terlalu akrab—semuanya terasa lebih dari sekadar hubungan biasa. Dan kini, bukti itu ada di depan matanya. Tangannya bergerak cepat mengambil ponsel dari saku. Dengan hati-hati, ia mengangkatnya dan membidik kamera ke arah Daniel yang tengah mengelus perut Sophia, wajahnya dipenuhi kelembutan. Klik. Satu foto berhasil ia abadikan. Anne menahan senyumnya. Ini akan sangat menarik. Tanpa ragu, ia mengetik pesan singkat di ponselnya sebelum mengunggah foto tersebut. "Kau harus melihat ini. Aku rasa kau akan sangat menyukainya." Tombol kirim ditekan, dan dalam hitungan detik, pesan itu terkirim ke Laura. Anne menatap layar ponselnya dengan penuh kepuasan. Ia tahu betul bagaimana L

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 96 : Janji yang Terucap dalam Diam

    Ruangan kerja Daniel yang berada di mansion Williams terasa lebih hangat dari biasanya. Cahaya lampu temaram menambah suasana nyaman di dalamnya. Di atas meja kerja, beberapa dokumen tersusun rapi, menunjukkan kesibukan Daniel akhir-akhir ini. Namun, saat ini, perhatiannya hanya terfokus pada satu hal—wanita yang tengah duduk di sofa, yang kini menjadi pusat dunianya. Sophia duduk dengan santai, tubuhnya sedikit bersandar ke belakang, satu tangannya mengelus lembut perutnya yang semakin membesar. Ada cahaya keibuan di wajahnya, sesuatu yang membuat Daniel tak bisa mengalihkan pandangan. Dengan langkah tenang, Daniel mendekat sambil membawa sesuatu di tangannya. Ia duduk di samping Sophia, menatapnya sejenak sebelum akhirnya menyerahkan benda itu. "Aku membeli ini untuk anak kita," katanya sambil menunjukkan sepasang sepatu bayi mungil berwarna pink. "Tapi aku tidak tahu apakah dia akan menyukainya." Mata Sophia melembut, senyum tipis muncul di wajahnya. Ia menerima sepatu itu den

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 95 : Tidak Asing

    Benturan keras masih terasa di tubuh Daniel, napasnya sedikit tersengal saat kesadarannya perlahan pulih. Suara klakson mobil lain terdengar samar, diiringi teriakan beberapa orang yang bergegas mendekat ke arah mobilnya. Mobil yang menabraknya telah melaju pergi begitu saja, meninggalkan bekas tabrakan di bagian samping mobil Daniel. Ia masih berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi, saat itu juga ketukan terdengar di jendela kaca mobilnya. Tok, tok, tok. "Pak, apa Anda baik-baik saja?" suara seorang pria terdengar khawatir dari balik kaca. Daniel mengerjapkan mata, masih sedikit pusing, lalu menekan tombol untuk menurunkan kaca jendela. Udara malam yang dingin langsung menyapa wajahnya. "Aku baik-baik saja," jawabnya dengan suara yang sedikit serak. "Terima kasih." Pria yang mengetuk kaca tadi menghela napas lega. "Syukurlah. Saya melihat mobil itu menabrak Anda lalu kabur begitu saja. Haruskah saya menelepon polisi?" Daniel menggeleng pelan. "Tidak perlu. Aku bisa mengur

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 94 : Kesepakatan yang Menguntungkan

    "Terima kasih atas kerja sama Anda, Mr. Lancaster," ujar Daniel sambil menjabat tangan pria di hadapannya. Mr. Edward Lancaster, seorang investor ternama yang memiliki jaringan luas di sektor properti dan pembangunan, mengangguk dengan ekspresi puas. "Kau memiliki visi yang kuat, Mr. Williams. Aku suka cara berpikirmu," ujarnya. Saat ini, Daniel sedang berada di ruang pertemuan eksklusif di lantai tertinggi sebuah hotel bintang lima, menemui klien penting untuk mengamankan investasi di proyek lahan perbukitan barat. Kawasan itu telah lama menjadi target pengembangan, tetapi hanya sedikit investor yang berani mengambil risiko karena akses dan infrastruktur yang masih terbatas. Namun, Daniel bukan pria yang mudah menyerah. Sejak awal presentasi, ia telah menyiapkan setiap data dengan matang—rencana pembangunan, prospek keuntungan jangka panjang, hingga strategi pengembangan akses jalan yang akan meningkatkan nilai lahan tersebut secara signifikan. Salah satu poin utama yang berha

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 93 : Godaan yang Tak Diinginkan

    Daniel menghembuskan napas panjang saat langkahnya sampai di depan pintu apartemen. Hari ini begitu melelahkan, bukan karena pekerjaan, tetapi karena pikirannya yang terus dipenuhi oleh sosok Sophia. Ada banyak hal yang harus ia pikirkan, tetapi semua terasa begitu buntu. Dengan sedikit enggan, ia merogoh kunci dari saku celananya, memasukkannya ke dalam lubang kunci, lalu memutar kenop pintu. Begitu pintu terbuka, pemandangan yang sudah berkali-kali ia lihat kembali menyambutnya. Laura berdiri di ambang kamar, bersandar di dinding dengan pakaian minim yang jelas dirancang untuk menggoda. Sebuah lingerie sutra berwarna merah melekat di tubuhnya, memperlihatkan kulitnya yang mulus. Rambut panjangnya dibiarkan tergerai, beberapa helai jatuh ke bahunya dengan cara yang tampak natural, seolah tanpa usaha. Seharusnya pemandangan itu bisa menggoda siapa pun—tapi tidak bagi Daniel. "Welcome home, darling," suara Laura terdengar lembut, mengandung nada genit yang sudah sangat familiar di

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status