Beranda / Romansa / Menjadi Istri Keponakan sang Mantan / Bab 5 : Di Antara Cinta dan Kekuasaan

Share

Bab 5 : Di Antara Cinta dan Kekuasaan

Penulis: Vanilla_Nilla
last update Terakhir Diperbarui: 2025-01-24 17:13:41

Daniel bergerak cepat. Dalam satu langkah sigap, ia menarik Sophia lebih dekat, membekap mulut gadis itu dengan bibirnya. Tubuh Sophia yang kecil bergetar hebat di bawah sentuhan itu, bukan karena kelembutan, tetapi karena rasa takut yang menjalari tubuhnya.

Langkah kaki di luar semakin mendekat, disertai suara pintu yang berderit ketika terbuka. Daniel memutar tubuhnya sedikit, memposisikan mereka agar tersembunyi di balik salah satu lemari besar di sudut ruangan. Jarak antara keduanya begitu tipis, aroma tubuh Daniel yang khas bercampur dengan parfumnya memenuhi indera penciuman Sophia.

Sosok Lewis, kepala pelayan mansion, muncul di ambang pintu. Ia melangkah masuk perlahan, pandangannya menyapu seluruh ruangan. “Siapa di sana?”

Sophia hampir melompat mendengar suara itu, tetapi tangan Daniel yang besar dan kokoh memegang pinggangnya erat, menahannya agar tetap diam. Tubuhnya semakin gemetar, berharap Lewis tidak menemukan mereka.

Lewis berjalan lebih jauh ke dalam ruangan, mengamati setiap sudut. Ia bahkan berhenti sejenak, seperti mencoba mendengarkan sesuatu. Namun, ruangan itu tetap sunyi.

“Aneh. Apa aku salah dengar?”

Ia berdiri di tengah ruangan selama beberapa detik sebelum akhirnya berbalik menuju pintu. Dengan satu pandangan terakhir, ia keluar, menutup pintu di belakangnya dengan suara pelan.

Sophia merasa lututnya hampir lemas saat ketegangan itu mereda. Namun, Daniel tidak langsung melepaskannya. Ia tetap memegang pinggang Sophia, tubuhnya sedikit condong ke depan, seolah menikmati momen itu lebih lama dari yang seharusnya.

Sophia yang masih terengah-engah segera mendorong tubuh Daniel menjauh, matanya menatap tajam pria itu. “Apa yang kau lakukan?!” bisiknya marah, suaranya hampir tak keluar karena takut Lewis mendengar.

“Aku hanya menolongmu, bukankah kamu takut ketahuan, tapi … bagaimana kalau mereka tahu kamu adalah kekasihku?”

“Bisakah kau berpura-pura tidak mengenalku?”

Daniel tidak langsung menjawab. Sebaliknya, jari-jarinya yang panjang dan kokoh terangkat, menyusuri wajah Sophia dengan perlahan, seperti sedang mengingat setiap lekuk wajah gadis itu.

“Baiklah, aku bisa berpura-pura, tapi … hanya jika kamu menuruti keinginanku.”

Mendengar itu, Sophia menepis tangan Daniel dengan kasar. “Tidak! Aku sudah cukup lelah menjadi bonekamu. Jadi, tolong, Daniel. Jangan memaksaku lagi untuk mengikuti semua kemauanmu.”

“Kalau begitu, aku akan memastikan mereka tahu. Aku akan mengatakan bahwa kita ini adalah sepasang kekasih.”

“Apa kamu lupa? Kita sudah putus. Semuanya sudah berakhir.”

“Apa kamu juga lupa? Aku pernah bilang, kalau kamu menemuiku lagi, saat itu juga aku tidak akan membiarkanmu pergi. Seumur hidupmu. Kamu tetap milikku, Sophia.”

“Jangan harap!” Sophia mendorong tubuh Daniel, lalu melangkah pergi dari ruangan itu.

Namun, baru saja ia berhenti di depan pintu, Daniel tiba-tiba berkata, “Sophia. Kamu boleh menikah dengannya, tapi jangan pernah biarkan dia menyentuhmu.”

Kalimat itu membuat Sophia membeku. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan gejolak di dalam dadanya, tapi emosi yang selama ini ia tekan akhirnya meledak. Sophia memutar tubuhnya dengan cepat. “Apa kau sudah gila? Siapa kamu sampai bisa berkata seperti itu? Kamu tidak punya hak untuk ikut campur dalam hidupku!”

“Kamu pikir aku bisa berdiri diam dan membiarkan lelaki lain menyentuhmu?”

“Kamu yang menyuruhku pergi! Kamu yang selalu mendorongku menjauh! Dan sekarang, ketika aku mencoba melanjutkan hidup, kamu malah berkata seperti ini? Kamu egois, Daniel. Selalu saja egois.”

Tanpa menunggu jawaban, Sophia berbalik dan membuka pintu, melangkah keluar tanpa menoleh ke belakang. Tapi saat langkahnya menjauh, air mata yang ia tahan akhirnya jatuh membasahi pipinya.

Pikiran Sophia melayang ke masa lalu, ke hari pertama ia bertemu Daniel. Saat itu, lelaki dengan mata tajam seperti elang itu berdiri di tengah keramaian, tubuhnya tegap, memancarkan aura yang begitu kuat hingga membuat siapa pun yang melihatnya sulit berpaling.

Namun di balik sikap dinginnya, Sophia pernah melihat sisi lembut dari Daniel, sisi yang hanya muncul saat mereka berdua. Dia ingat saat Daniel diam-diam membawakan kopi panas untuknya di tengah malam atau ketika lelaki itu melindunginya dari hujan dengan jaketnya, meski tubuhnya sendiri menggigil. Itu adalah momen-momen kecil yang membuat Sophia jatuh cinta, meskipun ia tahu, cinta itu tidak akan pernah sederhana.

Ketika Sophia kembali ke ruangan, suasana yang sempat sedikit tegang kini terasa sunyi. Semua mata beralih ke arahnya saat ia melangkah masuk.

“Kamu kenapa, Sophia?” William bertanya, alisnya terangkat melihat ekspresi putri Robert itu.

Sophia memaksakan senyum tipis. “Oh, tidak apa-apa,” jawabnya, lalu berjalan ke arah sofa.

Ketika ia duduk, Rose, yang berada di sebelahnya, membungkuk mendekati telinganya. Bisikan ibunya terdengar pelan, tetapi cukup menusuk. “Jangan bilang kalau kamu menemui lelaki itu lagi.”

Sophia memutar kepalanya sedikit, menatap ibunya dingin. “Itu bukan urusan Ibu.”

Rose terdiam, tetapi bibirnya mengatup erat, menahan amarah yang mulai menggelegak.

Di sisi lain, William memperhatikan interaksi itu tanpa komentar. Setelah beberapa saat, ia meletakkan cangkir teh yang sejak tadi dipegangnya dan berbicara. “Bagaimana, Sophia? Apa kau tertarik pada cucuku, David?”

Pertanyaan itu menghantam Sophia seperti badai. Tubuhnya kaku, tangan di pangkuannya mulai meremas-remas gaunnya dengan gelisah. Sebelumnya, ia setuju dengan perjodohan ini karena ingin melepaskan diri dari Daniel, memulai hidup baru tanpa bayang-bayang pria itu, tapi kenyataan bahwa Daniel adalah bagian dari keluarga William membuat segalanya menjadi rumit.

Bagaimana mungkin ia benar-benar pergi jika lelaki itu ada di sini, selalu mengawasinya?

“Sophia?” William berkata lagi saat Sophia hanya terdiam. “David sudah setuju dengan perjodohan ini. Sekarang giliranmu memberikan jawaban.”

Sophia menelan ludah. Ia ingin berbicara, tetapi lidahnya terasa kelu.

Robert yang duduk di sisi lain ruangan segera berkata, “Sophia adalah anakku yang selalu penurut. Aku yakin dia pasti akan menerima perjodohan ini.”

Sophia merasakan pandangan semua orang di ruangan itu tertuju padanya. Tekanan itu membuat dadanya terasa sesak. Ia membuka mulut, hendak memberikan jawaban. Namun sebelum satu kata pun terucap, Daniel tiba-tiba datang lagi ke hadapan mereka.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 119 : Tamat

    Mentari pagi menyelinap masuk dari sela-sela tirai putih di ruang tengah mansion William. Udara terasa berbeda. Lebih damai saat ini. Daniel berdiri di depan jendela besar yang menghadap taman belakang. Tangannya menggenggam secarik kertas—surat pengunduran diri sebagai direktur utama William Group. Ia menoleh saat suara langkah kaki mendekat. David muncul, mengenakan kemeja putih yang masih belum dirapikan. Wajahnya terlihat lelah, tapi matanya penuh cahaya yang berbeda. "Kau yakin dengan keputusan ini, Paman?" tanya David pelan. Daniel menatap ke luar jendela sebentar sebelum menoleh kembali. "Aku lelah, David. Selama ini hidupku penuh kebisingan, persaingan, dan kehilangan. Aku butuh tempat yang sunyi … tempat di mana aku bisa bernapas tanpa harus memikirkan strategi bisnis atau pengkhianatan." David mengangguk pelan. "Lalu … Sophia?" "Sophia akan ikut denganku," jawab Daniel. "Kami belum tahu akan tinggal di mana. Tapi kami berencana menetap di desa kecil dekat danau

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 118 : Mendapat Balasan

    John meletakkan pulpen itu ke atas meja, napasnya teratur, tapi wajahnya terlihat tegang. Sophia menyuruhnya untuk mengambil pulpen tersebut, karena tak sengaja melihat pesan yang dikirim Anne pada David, sebab waktu itu David lagi pergi dan lupa membawa ponselnya, Sophia pun meminta tolong pada John. "Ini dia," ujar Daniel sambil menggenggam pulpen itu seolah sedang memegang kunci yang akan membuka semua kebusukan selama ini. Ia memutar-mutar bagian tengahnya, hingga sebuah celah kecil muncul. Di dalamnya tersembunyi sebuah microSD, hampir tak terlihat jika tak benar-benar diperhatikan. "Coba masukkan ke laptop," ujar Sophia cepat, tak bisa menyembunyikan ketegangan di suaranya. Daniel menurut. Tangannya sedikit gemetar saat memasukkan kartu memori ke adaptor lalu menyambungkannya ke laptop. Tak butuh waktu lama, sebuah folder terbuka dengan nama: TRUTH. Di dalamnya terdapat beberapa video, semua dinamai dengan tanggal dan lokasi. Daniel mengarahkan kursor ke file paling atas,

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 117 : Kamera Pengawas

    Langkah Anne baru saja mencapai pintu utama saat itu juga, suara berat Edward terdengar dari belakangnya. "Mau ke mana kamu?" tanyanya dingin, nada curiga langsung terasa dari cara bicaranya. Anne menoleh pelan. Ia mencoba tetap tenang meskipun hatinya berdegup tak karuan. "Saya hanya ingin membeli beberapa sayuran, Tuan. Stok di dapur sudah menipis sejak kemarin." Edward menyipitkan mata, lalu melangkah mendekat. "Kamu sudah tahu, kan? Tidak ada satu orang pun yang boleh keluar masuk mansion ini tanpa seizinku." Anne menggenggam tali tas kecilnya erat. "Kalau saya tidak membeli bahan makanan, bagaimana orang-orang di mansion ini bisa makan, Tuan? Beberapa pelayan bahkan sudah mulai memasak seadanya." Edward terdiam sejenak, lalu mendesah panjang dengan nada malas. Ia tahu Anne tidak berbohong. Tapi ia juga tak sepenuhnya percaya padanya. "Baik, tapi kamu tidak akan pergi sendirian." Ia menoleh ke arah dua pria berseragam hitam yang berdiri tak jauh dari sana. "Kalian berdua,

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 116 : Sebuah Rencana

    "Permisi, apa ada seseorang di sana?" Suara pria dari balik pintu terdengar, disertai ketukan yang kembali berulang. Nadanya terdengar sopan, namun cukup keras untuk membuat jantung mereka berempat berdegup kencang. Daniel mendekat perlahan, lalu membuka celah kecil pada pintu untuk memastikan siapa yang datang. Seorang pria berdiri di sana, mengenakan seragam pengantar makanan lengkap dengan tas besar di punggungnya. Daniel menarik napas lega. "Ternyata cuma kurir makanan," ujarnya sambil menoleh ke dalam. Mendengar itu, semua orang di dalam ruangan langsung menghela napas panjang. Ketegangan yang sempat mencekam pun perlahan mereda. Daniel membuka pintu dan menerima pesanan dari pria berseragam. Tak lama kemudian, mereka kembali duduk di ruang tengah, membiarkan aroma makanan yang baru datang itu memenuhi ruangan. Namun, tak satu pun dari mereka merasa lapar. Pikiran mereka hanya tertuju pada satu hal: bagaimana cara kembali ke mansion William tanpa diketahui Edward. "Kita t

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 115 : Surat Cerai

    Setelah diusir dari mansion William, Daniel dan David kini tinggal di sebuah apartemen sederhana milik Daniel. Sore ini, suasana ruang tamu dipenuhi ketegangan. Di atas meja kaca, sebuah amplop cokelat tergeletak di sana. David berdiri di hadapan Sophia yang duduk di sofa, tubuhnya tampak lelah, tapi ia mencoba untuk tetap tegar. David lalu menyerahkan amplop itu padanya. "Ini," ucapnya singkat. Sophia mengernyit, lalu mengambil amplop itu. "Apa ini?" tanyanya pelan. "Surat cerai," jawab David tanpa berusaha menutupi nada berat di balik ucapannya. Mata Sophia membulat. "Cerai?" David mengangguk. Perlahan, Sophia mengangkat wajahnya, menatap ke arah Daniel yang berdiri tak jauh dari mereka, lelaki itu bersandar di dinding dengan tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapannya menyiratkan pertanyaan yang tak sempat diucapkan. "Kau tidak menyuruhnya melakukan ini ... kan?" Daniel tak langsung menjawab. Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Dia sendiri yang mem

  • Menjadi Istri Keponakan sang Mantan   Bab 114 : Kelicikan Edward

    Sophia akhirnya menatap David, matanya mulai memerah. "Kalau kau memang ingin membicarakan malam itu, mari kita bicarakan semuanya, David," ucapnya pelan namun terdengar jelas di ruangan yang hening itu. David mengernyit. "Apa maksudmu?" "Bukankah kau juga menghabiskan malam pertamamu ... bersama Anne?" Deg. Suasana sontak berubah. Anne yang duduk tak jauh dari David terlonjak, wajahnya seketika memucat. William yang sedari tadi hanya menjadi pendengar pun kini mendongak, matanya menatap cucunya dan Anne silih berganti. "Apa?" David nyaris berbisik, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Sophia menghela napas dalam. "Jangan tanya padaku seolah kau korban satu-satunya. Kau meninggalkanku di kamar yang seharusnya menjadi awal rumah tangga kita, lalu pergi ke kamar Anne. Aku tidak bodoh, David. Seprei putih itu tidak berbohong." Anne membeku di tempat duduknya, wajahnya menunduk tak sanggup menatap siapa pun. David memandang ke arah Anne, matanya melebar. "A-An

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status